Disusun Oleh:
Bambang Hari Wibowo
09030581620006
Dosen
Nurhidayatullah, S.H.I, S.Pd, S.H, LLM,MH,MHI
Fakultas Ilmu Komputer
Jurusan Teknik Komputer
Universitas Sriwijaya 2016
A. Pengertian Manusia
Manusia selain berperan sebagai khalifah di bumi memiliki kedudukan
lainnya di alam ini, yaitu sebagai hamba yang harus beribadah kepada Allah swt.
(QS. Adz-Zariat, 51:56). Al-Maraghi menjelaskan bahwa Allah menciptakan jin
dan manusia agar mereka dapat mengetahui atau mengenal Tuhannya, mereka
tidak hanya mengenal wujud Tuhannya saja, namun mereka juga dapat meyakini
keberadaannya. Itulah konsekwensi logis dari kedudukan manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan yang selalu bergantung dan berlindung kepada-Nya.
Esensi dari abd adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan yang semuanya
itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketaatan dan ketundukan kepada Tuhan
akan senantiasa berlaku pada manusia dan makhluk ciptaan lainnya, oleh karena
itu manusia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang telah menjadi kodrat pada
setiap makhluk ciptaannya. Namun sebagai makhluk yang memiliki kemuliaan
dan kelebihan dibanding yang lainnya, manusia tidak sepenuhnya terikat pada
hukum alamiah saja, karena dengan kemampuan akalnya ia mampu untuk
mengolah potensi alam menjadi sesuatu yang baru yang diperlukan bagi
kehidupannya, sehingga kemudian manusia terikat oleh hukum-hkum berfikir
dalam upaya mengembangkan dan mewujudkan pemikirannya.
Menurut pola pemikiran ini, manusia dan kemampuan kreatifnya dikaji dari
struktur fisiologisnya. Salah satu tokoh dalam pola ini adalah Portmann yang
berpendapat bahwa kehidupan manusia merupakan sesuatu yang bersifat sui
generis meskipun terdapat kesamaan-kesamaan tertentu dengan kehidupan hewan
atau binatang. Dia menekankan aktivitas manusia yang khas, yakni bahasanya,
posisi vertikal tubuhnya, dan ritme pertumbuhannya. Semua sifat ini timbul dari
kerja sama antara proses keturunan dan proses sosial-budaya.
belakang dengan pendirian Freud tentang kawasan bawah sadar manusia yang
terungkap dalam mimpi, nafsu dan dorongan seksual.
Tingkah laku individu ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikhis yang
sejak semula memang sudah ada pada diri individu itu. Individu dalam hal ini
tidak memegang kendali atas nasibnya sendiri, tetapi tingkah lakunya sematamata diarahkan untuk memuaskan kebutuhan dan instink biologisnya. Pandangan
Freud tersebut ditentang oleh pandangan humanistik tentang manusia. Pandangan
humanistik menolak pandangan Freud yang mengatakan bahwa manusia pada
dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan dan tidak memiliki kontrol
terhadap nasib dirinya sendiri.
Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak serta merta atau otomatis
melakukan suatu tindakan berdasarkan desakan faktor internal, karena desakan
faktor internal bisa saja ditangguhkan pelaksanaannya. Buktinya orang berpuasa,
meskipun dorongan rasa laparnya kuat, tetapi manusia bisa mengarahkan dirinya
dalam arti bisa menangguhkan desakan atau dorongan itu, yakni pada saatnya
berbuka di sore hari. Begitu juga, manusia tidak serta merta atau otomatis
melakukan tidakan karena mendapat rangsangan dari luar (eksternal). Dia dapat
mengabaikannnya, bahkan dia dapat memutuskan sesuatu yang berbeda dengan
desakan faktor eksternal. Buktinya, manusia dapat menolak iming-iming sesuatu
yang menggiurkan dari pihak lain.
Manusia menurut pola pemikiran ini tampil dalam dimensi sosial dan
kebudayaannya, dalam hubungannya dengan kemampuannya untuk membentuk
sejarah. Menurut pola ini, kodrat manusia tidak hanya mengenal satu bentuk yang
uniform melainkan berbagai bentuk. Salah satu tokoh yang termasuk dalam pola
ini adalah Erich Rothacker. Dia berupaya memahami kebudayaan setiap bangsa
melalui suatu proses yang dinamakan reduksi pada jiwa-jiwa nasional dan melalui
mitos-mitos.
Tokoh lain yang dapat dimasukkan dalam pola ini adalah Ernst Cassirer
(1990: 39-40) seorang filsuf kebudayaan abad 20. Dia merumuskan manusia
sebagai animal symbolicum, makhluk yang pandai menggunakan symbol.
Menurut Cassirer, definisi manusia dari Aristoteles, yakni zoon politicon, manusia
adalah makhluk sosial memang memberi pengertian umum tetapi bukan ciri
khasnya (1990:.337). Begitu pula definisi manusia sebaai animal rationale
dianggap tidak memadai, karena rasio tidak memadai untuk memahami bentukbentuk kehidupan budaya manusia dalam seluruh kekayaan dan bermacammacamnya.
Pola pemikiran ini bertolak dari pandangan manusia sebagai homo religiosus.
Salah satu tokohnya adalah Mircea Eliade. Pandangan Eliade dapat dilihat pada
tulisan Mangunhardjono dalam buku Manusia Multi Dimensional: Sebuah
renungan filsafat, 1982:38). Menurut Eliade, homo religiosus adalah tipe manusia
yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan
dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi,
alam tumbuh-tumbuhan, dan manusia.
konkret, seperti yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,
manusia yang demikian, harus disaksikan dan dihayati: semakin mendalam
penghayatan kita perihal manusia, maka akan semakin bermaknalah
kehidupannya. Dengan membuka lingkup yang sewajarnya, seharusnya kita
melihat manusia sebagai makhluk alamiah, naturwesen yang merupakan bagian
dari alam dan oleh karena itu memiliki sifat-sifat dan tunduk kepada hukum yang
alamiah pula. Sebagai makhluk alamiah, maka manusia mempunyai kebutuhankebutuhan tertentu. Ia membutuhkan makanan agar badannya tetap segar dan
sehat.
B. Pengertian Tuhan
Dalam konsep Islam, Tuhan disebut Allah dan diyakini sebagai Zat Maha
Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang
Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam.3 4
dan Maha Luas.9 Di antara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan
paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahman) dan "Maha
Penyayang" (ar-rahim).7 8
Dalam membahas pengertian Tuhan, setidaknya kita harus mencakup 5 hal. 5 hal
itu merupakan suatu gambaran kesatuan yang dapat memperjelas tentang
gambaran Tuhan secara lengkap, 5 hal tersebut adalah:
1. Wujud
Percaya akan ada atau tidak Tuhan sangat mempengaruhi cara dan pola
kehidupan yang dijalani manusia. Dari abad ke abad, generasi ke generasi
berusaha keras mencari jawaban yang argumentatif dan meyakinkan akan
keberadaan Tuhan. Kuat atau tidaknya argumen tersebut tergantung pada buktibukti yang ditemukan. Beberapa argumen bukti adanya Tuhan dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Dalil Naqli, yaitu argumen yang dikemukakan melalui ayat Al-Quran atau
wahyu ilahi.
e. Argumen Moral
Argumen tentang nilai baik buruk yang ada dalam realitas kehidupan nyata
ini. Tuhan menjadi sumber kebaikan dan kasih sayang serta disembah oleh orang
dengan satu sembahan yang berisi cinta dan keimanan.14
2. Dzat Tuhan
Pembahan tentang dzat Allah merupakan hal yang pelik dan membutuhkan
pemikiran jernih dan mendalam. Penalaran secara umum dilarang membahas dzat
Tuhan. Dengan demikian larangan berpikir tentang dzat Tuhan tidak bersifat
mutlak, namun melihat keadaan pemikiran seseoarang. Adapun pemikiran filsafat
tentang dzat Tuhan adalah sebagai berikut:
a. Ada yang menyatakan bahwa hakekat dzat Tuhan adalah akal yang bersifat
murni metafisik.
b. Ada yang mengatakan bahwa dzat Tuhan adalah cahaya.
3. Sifat
Dalam hal pensifatan Tuhan, ada dua aliran pemikiran yang perlu dikenal,
yaitu Aliran Antrophomorfisme dan Teophomorfisme. Yang pertama disebut
sebagai tasybih, yaiti menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat-sifat manusia yang
dapat dikenali secara mudah oleh manusia. Yang kedua, tanzih, yaitu ketidak
serupaan sama sekali sifat Tuhan dengan sifat manapun makhluknya dan hanya
Tuhan sendiri yang tahu hakikat sifatnya. Tasybih merupakan sikap imanensi
Tuhan, dan tanzih sikap mentrandensikan Tuhan.
4. Nama Nama Tuhan
Nama adalah sebutan yang bersifat simbol, tertanda yang dinisbahkan kepada
suatu realitas. Nama-nama Tuhan adalah simbol yang digunakan untuk menunjuk
kepada realitas Tuhan, yang mencakup wujud, dzat, dan sifatnNya. Oleh karena
itu,nama-nama Tuhan adalah kesatuan dari realitas Tuhan secara keseluruhan.
5. Afal, Perbuatan Tuhan
Yaitu apa saja yang telah, sedang dan akan dilakukan Tuhan dalam kehidupan
semesta ini. Perbuatan Tuhan, juga tudak lepas dari maujud, dzat, nama, dan
sifatnya.
Pengertian
menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin
berasal dari Tuhan
menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari
Tuhan
satu dengan yang lain. Berbicara tentang keimanan, maka ia memiliki dua aspek,
yaitu keyakinan dan indikator praktis. Apabila mengacu pada penjelasan di atas,
keyakinan dapat dimaknai sebagai pembenaran terhadap suatu konsep (dalam hal
ini konsep tentang Tuhan) sehingga ia menjadi aturan dalam hati yang
menunjukkan hukum sebab akibat, identitas diri, dan memengaruhi penilaian
terhadap segala sesuatu, serta dijalankan dengan penuh komitmen.
Adapun indikator praktis keimanan dapat ditengarai dari sikap dan perilaku
yang dilakukan manusia. Orang yang memiliki keimananan kepada Allah harus
dibuktikan dengan amal saleh, yang menjadi indikator praktis tentang iman
tersebut. Indikator keimanan yang praktis dan terukur inilah yang bisa dijadikan
patokan bagi seseorang untuk menilai orang lain, apakah ia termasuk orang baik
atau tidak baik. Nabi mengisyaratkan bahwa indikator keimanan minimal ada 73,
dari yang paling sederhana seperti menyingkirkan duri di jalan umum sampai
indikator yang abstrak seperti lebih mencintai Allah dan rasul-Nya daripada yang
lain.
Keimanan seseorang bertingkat-tingkat dan mengalami pasang surut seperti
sinyal handphone. Ada kalanya seseorang dapat mencapai tingkat keimanan yang
tinggi seperti sinyal handphone yang baru dicharge, namun ada kalanya seseorang
memiliki keimanan yang rendah seperti baterai handphone yang ngedrop.
Selama seseorang memiliki indikator keimanan walaupun ibarat sinyal HP
hanya tinggal segaris saja, ia tetap dikatakan beriman. Meskipun dikatakan masih
beriman, ia memiliki juga indikator-indikator kekufuran. Apabila si pendosa ini
terus-menerus melakukan indikatorindikator kekufuran dan sampai puncaknya
ketika ia berani secara terang-terangan melawan Tuhan dan rasul-Nya, maka
ketika itu ia dikatakan telah terjerumus dalam kekufuran (yang bersifat mutlak).
Sejalan dengan penjelasan di atas, maka menilai seseorang kafir atau tidak
kafir, bukan dilihat dari keyakinannya, sebab keyakinan tidak bisa dilihat. Yang
dijadikan patokan untuk menilai keimanan dan kekufuran seseorang adalah
amalnya, sebagai indikator praktis yang bisa diukur. Oleh karena itu, kita tidak
boleh dengan gampang menuduh orang kafir, apalagi penilaian tersebut hanya
dilandasi oleh asumsi dan persepsi sepihak. Iman terbentuk karena peran Tuhan
dan manusia. Peran Tuhan dalam pembentukan iman terletak pada karunia-Nya
berupa akal dan potensi kebertuhanan yang disebut dengan roh.
Karena adanya akal dan roh inilah, manusia mempunyai potensi keimanan
kepada Allah. Namun, mengingat potensi tersebut harus dipersepsi dengan cara
tertentu sehingga menjadi keyakinan, maka iman pun membutuhkan peran
Dalam bahasa agama, karakter identik dengan akhlak. Menurut Imam Ghazali,
akhlak adalah bentuk jiwa yang darinya muncul sikap dan perilaku secara
spontanitas dan disertai dengan perasaan nikmat dan enjoy ketika melakukannya.
Oleh karena itu, orang beriman kepada Tuhan atau memiliki karakter bertuhan
adalah seseorang yang meyakini Tuhan sebagai sumber kebenaran dan kebajikan
tertinggi, mengidentikkan diri dengan cara banyak meniru akhlak Tuhan dalam
bersikap dan berperilaku, dan memiliki komitmen kepada nilai-nilai tersebut.
semesta, atau kemana kita akan pergi setelah mati nanti. Inilah yang akan
membawa kita kepada jawaban yang akan menghasilkan iman kepada Allah.
Setiap orang memiliki tipe dan cara berbeda bagaimana ia dapat meyakini akan
eksistensi Allah SWT. Ada 4 tipe berbeda yang menyebabkan mengapa orang
akan meyakini akan keberadaan Allah. Diantaranya adalah:
1. Iman yang disebabkan oleh akal sehat
Di tipe ini orang akan beriman kepada Allah hanya dengan berfikir dengan
menggunakan akal sehatnya. Seperti berfikir tentang manusia yang dari dulu
hingga sekarang pasti ada penciptanya. Manusia tidak mungkin dapat
menciptakan dirinya sendiri. Seperti yang disebutkan pada firman Allah:
Apakah mereka ini diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang
menciptakan (diri mereka sendiri) (QS; At-Thur:35)
Kesimpulan
Dari hasil uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa cara manusia bertuhan itu
berbeda-beda, ada yang bertuhan ada yang menerima segala kepastian yang
menimpa diri dan saekitarnya dan yakin berasal dari tuhan, ada juga yang menaati
segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari tuhan.
Bahkan ada manusia yang hanya bertuhan saja ada juga yang beragama saja,
yang dimaksud bertuhan saja manusia itu hanya mengakui keberadaan tuhan saja,
mengakui kebesarannya tetapi dia tidak mengikuti perintah Tuhan-Nya,
sedangkan yang beragama saja dia hanya menjalankan apa yang diperintahkan
oleh agamanya, tetapi dia tidak mengakui keberadaan Tuhan-Nya.
Jadi lebih baik kita beragama dan juga bertuhan, itu akan lebih baik dari pada
hanya bertuhan saja atau hanya beragama saja, sebab kita akan bisa mengenal
lebih dekat dengan Agama dan Tuhan kita.
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.uny.ac.id/285/1/URGENSI_MEMAHAMI_HAKEKAT_MANUSIA.
pdf
file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/195903051989011SYARIF_MOEIS/MAKALAH__9.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama
http://www.entrepreneurmuslim.com/4-tipe-sebab-orang-beriman-kepada-allah
Prasetya, Joko Tri. 2004. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
Abid Al-Jabiri, Muh. 2000. Binyah al-Aql al-Araby. Tanpa kota: Markaz Dirasat
al-Wahdah al-Arabiyah.
Al-Khatib, Sulaiman. Tanpa tahun.
Minia: Jamiah Minia.
CATATAN KAKI
2 Achmad
John L. Esposito, Islam: The Straight Path, Oxford University Press, 1998, p.22.
John L. Esposito, Islam: The Straight Path, Oxford University Press, 1998, p.88
7 Bentley, David
(September 1999). The 99 Beautiful Names for God for All the People of the Book.
William Carey Library. ISBN 0-87808-299-9.
Press, p.206
7
8
10 Britannica Encyclopedia, Islam, p. 3
4
10
11
13
14
15 Miftah Fadli, 4 TIPE SEBAB ORANG BERIMAN KEPADA ALLAH, diakses dari