Anda di halaman 1dari 40

TUGAS UAS

MATA KULIAH

SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

JUDUL :
ANALISIS KEBIJAKAN PENGALIHAN PBB PERDESAAN
PERKOTAAN DAN BPHTB SERTA OPTIMALISASI PAJAK
DAERAH DALAM RANGKA MENINGKATKAN
PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)

OLEH:
WIDYA PERMANA
NIM : I2F015040

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI


PASCASARJANA UNIVERSITAS MATARAM
2016

ANALISIS KEBIJAKAN PENGALIHAN PBB PERDESAAN


PERKOTAAN DAN BPHTB SERTA OPTIMALISASI PAJAK
DAERAH DALAM RANGKA MENINGKATKAN
PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)

Widya Permana

Abstract
With the adoption of Act PDRD on December 15, 2009, and effective from
January 1, 2010, the United Nations Rural and Urban sector (PBB P2) and
BPHTB transferred to local taxes. With the issuance of Law No. 28 Year 2009 on
Regional Taxes and Levies, local governments now have an additional source of
local revenue (PAD), which comes from the Local Tax. UN diversion P2 into Local Taxes proven to increase revenue Regency / City. Examples fact that Surabaya
is experiencing a significant increase in revenue. Function with the transfer of the
tax sector, the UN into Local Taxes for its own area is; (I) give greater authority
to local taxation and charges in line with the magnitude of the responsibility of
Regions in governance and public service. Moreover, it can also, (ii) Increasing
local accountability in service delivery and governance and to the strengthening
of regional autonomy, (iii) Provide certainty for businesses regarding the types of
local taxes and at the same time strengthen the legal basis for local taxation and
levies. Some suggestions are given, namely: Preparing the organizational structure and working procedures; setting up Human Resources with training; procuring infrastructure such as equipment and procurement of printing, as well as setting up data collection online application with data held by BPN and Notaries.
Keyword : PBB P2, BPHTB, PAD

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Pengertian pajak daerah jika dilihat dari ketentuan pasal 1 ayat (10)

Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah
bahwa pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib
kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbaalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Subyek pajak sendiri berdasarkan pasal 1 ayat (44) adalah orang pribadi
atau badan yang dapat dikenakan pajak. Yang dimaksud badan disini adalah
sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan
usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas (PT), CV
(commanditaire vennonschap), badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha
milik daerah (BUMD), firma, koperasi, dana pensiun, dan organisasi lainnya.
Sebagai salah satu bentuk continuous improvement, Pemerintah secara
konsisten berupaya memperkuat dan menyempurnakan kebijakan desentralisasi
fiskal untuk mendukung tercapainya peningkatan layanan publik di daerah.
Konsistensi tersebut diwujudkan tidak hanya melalui penguatan desentralisasi
fiskal dari sisi pengeluaran, tetapi juga dari sisi penerimaan berupa perluasan local
taxing power. Salah satu wujud nyata komitmen tersebut adalah dengan
mengalihkan BPHTB dan PBB-P2 menjadi pajak daerah. Pengalihan kedua jenis
pajak tersebut merupakan langkah fundamental yang dilakukan dalam rangka
memperbaiki struktur keuangan daerah.
Apabila dilihat dari karakteristiknya, yakni dari sisi kepada siapa sebagian
besar penerimaannya diserahkan, kedua jenis pajak tersebut merupakan pajak
daerah. Namun, kewenangan dalam hal penentuan basis pajak, pentarifan,
pemberian hasil penerimaan (tax sharing) dan pengelolaan administrasinya masih
berada pada Pemerintah Pusat. Dengan diberlakukan UU 28 Tahun 2009, maka

seluruh kewenangan dalam pemungutan diserahkan kepada Pemda. Dengan


demikian BPHTB dan PBB-P2 diharapkan bisa menjadi salah satu sumber PAD
yang potensial bagi daerah, dibandingkan dengan keseluruhan penerimaan pajakpajak daerah yang ada selama ini. Berdasarkan Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009
tentang PDRD, maka sejak tanggal 1 Januari 2010, Pemerintah Kabupaten/Kota
sudah diperbolehkan untuk menerima pengalihan PBB P2 dan BPHTB.
Sedangkan tahapan pengalihan PBB P2 dan BPHTB diatur oleh Menteri
Keuangan bersama dengan Menteri Dalam Negeri (UU PDRD Pasal 182).
Pengalihan pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah tersebut merupakan suatu bentuk
tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Bentuk kebijakan
tersebut dituangkan ke dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Hal ini adalah titik balik dalam pengelolaan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan pengelolaan Pajak
Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2). Dengan
pengalihan ini

maka

pengadministrasian,

kegiatan proses

pemungutan/penagihan

pendataan, penilaian, penetapan,


dan

pelayanan

PBB-P2

akan

diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota).


Dilihat dari berbagai aspek, pengalihan BPHTB dan PBB P2 menjadi
pajak daerah merupakan kebijakan yang tepat. Untuk kelancaran pengalihannya
diperlukan perencanaan yang matang, implementasi rencana yang konsisten, serta
monitrong dan evaluasi yang berkesinambugan sebagai landasan untuk melakukan
penyempurnaan. Kebijakan pengalihan BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah
dilakukan melalui suatu proses pembahasan rancangan undang-undang yang
cukup panjang antara pemerintah dan dewan perwakilan rakyat. Dengan
mempertimbangkan berbagai faktor strategis serta kondisi daerah yang berbedabeda, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya menyepakati
pengalihan BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah dengan beberapa kondisi,
antara lain:

(1) pemungutan BPHTB dan PBB P2 dapat dilakukan oleh daerah secara optimal,
dan (2) pelayanan kepada masyarakat tidak mengalami penurunan.
Hampir seluruh instansi terkait, utamanya jajaran Kementerian Keuangan
dan Kementerian Dalam Negeri, memberikan kontribusi yang signifikan dalam
memperlancar pemungutan BPHTB dan PBB P2 oleh daerah. Namun demikian,
persiapan yang matang dan partisipasi aktif dari pemerintah daerah dalam
mengimplementasikan UU Nomor 28 Tahun 2009 merupakan faktor penentu
kelancaran pengalihan BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah.

KAJIAN PUSTAKA

2.1

TEORI EMPIRIS
Berdasarkan jurnal yang berjudul Implikasi Kebijakan Pengelolaan PBB

Setelah Berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan


Retribusi Daerah oleh Pamuji Kadar menyatakan bahwa pengelolaan pemerintah
daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era
baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU no. 25 tahun
1995 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan
ini merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola
sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. Bagi daerah-daerah yang
memiliki potensi sumber daya yang dapat diandalkan, baik sumber daya manusia
maupun sumber daya alam, kebijakan ini disambut baik, mengingat lepasnya
campur tangan pemerintah akan memberikan kesempatan yang lebih cepat untuk
meningkatkan kesejahteraannya.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal (yang dimulai per 1 Januari 2001)
dipandang banyak pengamat sebagai pendekatan bing-bang dikarenakan secara
radikal mengubah pola hubungan antara pusat dan daerah (Kuncoro, 2004)
dengan jangka waktu persiapan yang sangat pendek untuk negara yang begitu
besar dengan kondisi geografis yang cukup menyulitkan (Brodjonegoro, 2003).
Akibatnya, kebijakan ini memunculkan kesiapan daerah yang beragam,
terlebih ditengah-tengah upaya untuk melepaskan diri dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Saragih (2003) menyatakan bahwa sebelum terjadi krisis
ekonomi pertumbuhan ekonomi (PDRB) rata-rata lebih dari 5% (lima persen).
Pada tahun 1998 rata-rata daerah mengalami pertumbuhan negatif. Sedangkan
pada tahun 1999 dan 2000 (sebelum pelaksanaan otonomi) beberapa daerah sudah
menunjukkan pertumbuhan yang positif, sementara beberapa daerah lain masih
kesulitan untuk melepaskan diri dari belenggu krisis.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal, bisa jadi menimbulkan perbedaan
orientasi kebijakan ekonomi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Pemda lebih menghadapi masalah keterbatasan keuangan (financial constraints)


daripada keterbatasan ekonomi (economic constraints) yang justru menjadi
perhatian pemerintah pusat (Rafinus, 2001). Akibatnya Pemda akan lebih banyak
terkonsentrasi pada permasalahan alokasi daripada permasalahan stabilisasi
(perekonomian). Dengan kata lain upaya untuk menciptakan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan stabil menjadi terabaikan dikarenakan adanya persoalan
keterbatasan (keuangan). Pengalaman dan kapabilitas Pemda dalam pengelolaan
keuangan menjadi faktor penting dalam mengatasi kedua permasalahan tersebut
secara simultan.
Myrdal (1957) sebagaimana dikutip Kuncoro (2004) menyatakan bahwa
perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah akan menyebabkan pengaruh
yang merugikan (terjadinya ketidakseimbangan horizontal). Hal ini disebabkan
pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar akan cenderung meningkat,
sehingga menyebabkan ketimpangan daerah yang semakin tinggi (Arysad 1999).
Kuznets (Kuncoro 2004) menyatakan bahwa pada tahap-tahap awal pertumbuhan,
disitribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya
hal ini akan membaik. Hal ini memberikan indikasi diperlukannya dimensi waktu
yang

panjang

untuk

melihat

pengaruh

positif

pembangunan

terhadap

pertumbuhan.
Reformasi perpajakan di Indonesia (Tax Reform) dicetuskan oleh
pemerintah Indonesia pada tahun 1983 atau setelah 38 tahun Indonesia merdeka.
Tax Reform pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah terhadap ketentuan
perpajakan yang bersifat sangat mendasar yaitu mengenai prinsip, sistimatika
serta dasar falsafahnya. Beberapa pertimbangan pemerintah melakukan reformasi
perpajakan

adalah

karena

banyaknya

perundang-undangan

pajak

yang

membingungkan rakyat. Pada saat itu pemerintah sudah mulai memebuat


ketentuan mengenai perpajakan sementara ketentuan produk Hindia Belanda
masih efektif berlaku, sehingga hak itu dipandang sangat membebani rakyat
karena banyaknya macam pemungutan pajak.
Kebijakan

pendaerahan

penyelenggaraan

PBB

pemerintahan

tentunya
di

tidak

Indonesia.

terlepas
Dalam

dari

kebijakan

perkembangannya,

penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia telah mengarah kepada pelaksanaan


otonomi luas. Pasca reformasi pemerintahan tahun 1998, Pemerintah memberikan
keleluasaan kepada daerah untuk menentukan arah kebijakan pembangunan bagi
daerahnya, yang dituangkan dalam wujud otonomi daerah seluasluasnya dalam
mengatur

dan

mengurus

kepentingan

masyarakat

setempat.

Kebijakan

desentralisasi tersebut akan berhasil jika aparat pemerintah daerah cukup


terlembaga sehingga mampu menciptakan tata pemerintahan yang demokratis.
Perjalanan

menuju

pelaksanaan

desentralisasi

tersebut

merupakan

perwujudankonkrit akan adanya tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada


daerah.
Dibandingkan dengan UU PDRD lama, maka terdapat penambahan 3
(tiga) jenis pajak Kabupaten/Kota yang baru, yaitu PBB Pedesaan dan Perkotaan,
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Sarang
Burung Walet. Jenis pajak yang selama ini di- pungut oleh Pusat, yaitu PBB
Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB. Pemberlakuan pemungutan PBB dan
BPHTB akan dilakukan secara bertahap. BPHTB akan dilaksanakan sepenuhnya
oleh daerah pada tanggal 1 Januari 2011, sedangkan PBB Perdesaan dan
Perkotaan telah dilaksanakan sepenuhnya oleh daerah pada tanggal 1 Januari
2014.

2.2

TEORI TEORITIK

1.

Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk

mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa


pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang
bertujuan menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan
jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran
dan pajak. (Wikipedia : 2013).
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah
yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif
pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka

kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat
meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan
daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Contoh kebijakan fiskal adalah apabila perekonomian nasional mengalami
inflasi, pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan
cara memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta
kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran. Tujuan
kebijakan fiskal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini
dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi
pemerintah, jumlah transfer pemerintah, dan jumlah pajak yang diterima
pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional dan
tingkat kesempatan kerja.
Jenis-jenis kebijakan fiskal jika ditinjau dari sisi teori, ada tiga macam
kebijakan anggaran, yaitu:
a.

Kebijakan anggaran pembiayaan fungsional (functional finance).


Kebijakan yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat
berbagai akibat tidak langsung terhadap pendapatan nasional dan
bertujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja.

b.

Kebijakan pengelolaan anggaran (the finance budget approach).


Kebijakan untuk mengatur pengeluaran pemerintah, perpajakan, dan
pinjaman untuk mencapai ekonomi yang mantap.

c.

Kebijakan stabilisasi anggaran otomatis (the stabilizing budget).


Kebijakan yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat
besarnya biaya dan manfaat dari berbagai program. Tujuan kebijakan
ini adalah agar terjadi penghematan dalam pengeluaran pemerintah.

Kebijakan fiskal/anggaran dapat dibedakan menjadi empat jenis dilihat dari


perbandingan jumlah penerimaan dengan jumlah pengeluaran.
a.

Kebijakan Anggaran Seimbang.


Kebijakan anggaran seimbang, adalah kebijakan anggaran yang
menyusun pengeluaran sama besar dengan penerimaan.

b.

Kebijakan Anggaran Defisit.

Kebijakan anggaran defisit yaitu kebijakan anggaran dengan cara


menyusun pengeluaran lebih besar daripada penerimaan.
c.

Kebijakan Anggaran Surplus.


Kebijakan anggaran surplus, yaitu kebijakan anggaran dengan cara
menyusun pengeluaran lebih kecil dari penerimaan.

d.

Kebijakan Anggaran Dinamis.


Kebijakan anggaran dinamis, yaitu kebijakan anggaran dengan cara
terus menambah jumlah penerimaan dan pengeluaran sehingga
semakin lama semakin besar (tidak statis).

2.

Pajak Bumi Dan Bangunan


Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah

dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi


yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau
memperoleh manfaat dari padanya. Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar per
wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan. (Wikipedia : 2013).
Besarnya PBB yang terutang diperoleh dari perkalian tarif (0,5%) dengan
NJOP. Nilai Jual Kena Pajak ditetapkan sebesar 20% dari NJOP (jika NJOP
kurang dari 1 miliar rupiah) atau 40% dari NJOP (jika NJOP senilai 1 miliar
rupiah atau lebih). Besaran PBB yang terutang dalam satu tahun pajak
diinformasikan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Wajib pajak
PBB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak dan/atau memperoleh
manfaat atas tanah dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat
atas bangunan. Wajib pajak memiliki kewajiban membayar PBB yang terutang
setiap tahunnya. PBB harus dilunasi paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal
diterimanya SPPT oleh wajib pajak. Pembayaran PBB dapat dilakukan melalui
bank persepsi, bank yang tercantum dalam SPPT PBB tersebut, atau melalui
ATM, melalui petugas pemungut dari pemerintah daerah serta dapat juga melalui
kantor pos.
Obyek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah (UU
Nomor 12 Tahun 1994) :

10

Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang


ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.

Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis


dengan itu;

Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman


nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara
yang belum di bebani suatu hak;

Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas


perlakuan timbal balik.

Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang


ditentukan oleh Menteri Keuangan.

3.

Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan


Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pungutan

atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta
bangunan di atasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16
tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.
Dasar pengenaan atas bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dari nilai
perolehan obyek pajak dengan besaran tarif sebesar 5% dari nilai perolehan obyek
pajak. (Wikipedia : 2013).
Pada dasarnya obyek dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
adalah setiap upaya pemindahan hak atau pemberian hak atas tanah dan bangunan.
Obyek bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dapat dijabarkan sebagai
berikut:

Jual beli

Tukar menukar

11

Hibah

Hibah wasiat

Waris

Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain

Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan

Penunjukan pembeli pada lelang

Pelaksanaan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap

Penggabungan usaha

Peleburan usaha

Pemekaran usaha

Hadiah.
Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh :

Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik

Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan


pembangunan guna kepentingan umum

Badan atau perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan oleh


Menteri

Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama

4.

Karena wakaf

Karena warisan

Untuk digunakan kepentingan ibadah.


Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak

daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan


kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu komponen sumber
pendapatan daerah sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 79 undang-undang

12

nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, berdasarkan pasal 79 UU


22/1999 disimpulkan bahwa sesuatu yang diperoleh pemerintah daerah yang dapat
diukur denga uang karena kewenangan (otoritas) yang diberikan masyarakat dapat
berupa hasil pajak daerah dan retribusi daerah. Sumber pendapatan daerah terdiri
dari:
a. Hasil pajak Daerah.
b. Hasil retribusi Daerah.
c. Hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah
lainnya yang dipisahkan.
d. lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Kebijakan keuangan daerah diarahkan untuk meningkatkan pendapatan
asli daerah sebagai sumber utama pendapatan daerah yang dapat dipergunakan
oleh daerah dalam rnelaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai
dengan kebutuhannya guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan
dana dan pemerintah tingkat atas (subsidi). Dengan demikian usaha peningkatan
pendapatan asli daerah seharusnya dilihat dari perspektif yang Iebih luas tidak
hanya ditinjau dan segi daerah masing-masing tetapi daham kaitannya dengan
kesatuan perekonomian Indonesia. Pendapatan asli daerah itu sendiri, dianggap
sebagai alternatif untuk memperoleh tambahan dana yang dapat digunakan untuk
berbagai keperluan pengeluaran yang ditentukan oleh daerah sendiri khususnya
keperluan rutin. Oleh karena itu peningkatan pendapatan tersebut merupakan hal
yang dikehendaki setiap daerah.
Dalam upaya memperbesar peran pemerintah daerah dalam pembangunan,
pemerintah daerah dituntut untuk lebih mandiri dalam membiayai kegiatan
operasional rumah tangganya. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa
pendapatan daerah tidak dapat dipisahkan dengan belanja daerah, karena adanya
saling terkait dan merupakan satu alokasi anggaran yang disusun dan dibuat untuk
melancarkan roda pemerintahan daerah.
Sebagaimana halnya dengan negara, maka daerah dimana masing-rnasing
pemerintah daerah mempunyai fungsi dan tanggung jawab untuk meningkatkan

13

kehidupan dan kesejahteraan rakyat dengan jalan melaksanakan pembangunan


disegala bidang sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa Pemerintah daerah berhak dan
berwenang menjalankan otonomi, seluas-Iuasnya untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Adanya hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan Kepada daerah
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, merupakan satu upaya
untuk meningkatkan peran pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi
daerahnya dengan mengelola sumber-sumber pendapatan daerah secara efisien
dan efektif khususnya Pendapatan asli daerah sendiri.

14

PEMBAHASAN

1.1

KEBIJAKAN PENGALIHAN PBB PERKOTAAN PERDESAAN


(P2) DAN BPHTB

A.

Konsep Kebijakan Pengalihan PBB Perkotaan Perdesaan (P2) dan


BPHTB
Pajak di Indonesia, berdasarkan pengelolaannya dibagi menjadi 2, yaitu

Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh
Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat
Jenderal Pajak - Kementerian keuangan. Yang termasuk Pajak Pusat adalah Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak atas Penjualan Barang
Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Bea Materai. Sedangkan Pajak Daerah adalah
pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi
maupun Kabupaten/Kota. Yang termasuk Pajak Daerah adalah Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Rokok, Pajak Hotel, Pajak
Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, dan Pajak Sarang
Burung Walet.
PBB sendiri terdiri dari 5 Sektor, yaitu:
1. PBB sektor Pedesaan
2. PBB sektor Perkotaan
3. PBB sektor Perkebunan
4. PBB sektor Perhutanan
5. PBB sektor Pertambangan
Dengan disahkannya UU PDRD pada tanggal 15 Desember 2009, dan
berlaku mulai 1 Januari 2010, maka PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB
P2) dan BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah. Tujuan pengalihan PBB P2 dan
BPHTB kepada pemerintah Kabupaten / Kota adalah agar Pendapatan Asli

15

Daerah (PAD) meningkat, sehingga daerah akan lebih mampu mengurus dan
mengelola rumah tangganya secara mandiri, termasuk menyangkut penyediaan
sumber dana penyelenggaraan pemerintahan dan penerimaan pajak.
Dasar pemikiran dan alasan pokok pengalihan BPHTB dan PBB-P2 menjadi
pajak daerah, antara lain: pertama berdasarkan teori, property tax lebih bersifat
lokal (local origin), visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile),
dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil
pajak tersebut (the benefit tax-link principle). Kedua, pengalihan kedua jenis pajak
tersebut diharapkan akan meningkatkan PAD dan sekaligus memperbaiki struktur
APBD. Ketiga, untuk meningkatkan pelayanan masyarakat (public services),
akuntabilitas, dan transparasi dalam pengelolaan BPHTB dan PBB-P2. Keempat,
bahwa berdasarkan praktek di banyak negara, BPHTB dan PBB-P2 termasuk
dalam jenis local tax.
Diserahkannya BPHTB dan PBB-P2 kepada daerah, tidak hanya sekedar
untuk

meningkatkan

kemampuan

daerah

dalam

memenuhi

kebutuhan

pengeluarannya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, namun juga untuk


lebih mengefektifkan pengelolaan BPHTB dan PBB-P2. Pemerintah Daerah
tentunya lebih memahami karakteristik daerahnya dan mengetahui apa yang
terbaik yang akan dilakukan bagi masyarakat setempat. Sehingga dengan
dialihkannya BPHTB dan PBB-P2 menjadi pajak daerah diharapkan pelayanan
kepada Wajib Pajak akan menjadi lebih baik, efektif, efisien dan akuntabel.
BPHTB sepenuhnya dialihkan ke Pemerintah Kabupaten / Kota mulai 1
Januari 2011. Ini didasarkan pada Pasal 82 Ayat 2 UU PDRD yang mengatur
bahwa Menteri Keuangan bersama-sama menteri Dalam Negeri mengatur tahapan
persiapan pengalihan BPHTB sebagai pajak daerah dalam waktu paling lama 1
tahun sejak berlakunya UU PDRB. Sedangkan untuk PBB P2 masih tetap dikelola
DJP paling lama sampai dengan 31 Desember 2013, sepanjang belum ada
Peraturan Daerah tentang PBB yang terkait dengan Pedesaan dan Perkotaan.
Adapun tujuan kebijakan pengalihan PBB P2 dan BPHTB sebagai Pajak
Daerah adalah sebagai berikut:
a. Memperluas objek pajak daerah dan retribusi daerah

16

b. Menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk pengalihan


PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB menjadi Pajak Daerah)
c. Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah
d.

Menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan

pengaturan pada daerah


Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah kini mempunyai tambahan
sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari Pajak Daerah, sehingga
saat ini Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari sebelas jenis pajak, yaitu Pajak
Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan,
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, dan
Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan,
dan Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Matriks penambahan jenis
Pajak Kabupaten/Kota dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1: Perbedaan Jenis Pajak Kabupaten/Kota pada UU No.34/2000
dengan UU No. 28/2009
UU 34/2000
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Pajak Hotel
Pajak Restoran
Pajak Hiburan
Pajak Reklame
Pajak Penerangan Jalan (PPJ)
Pajak Parkir
Pajak Pengambilan Bahan
Galian Gol. C

UU 28/2009
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Pajak Hotel
Pajak Restoran
Pajak Hiburan
Pajak Reklame
Pajak Penerangan Jalan
Pajak Parkir
Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan (perubahan nomenklatur)
8. Pajak Air Tanah (pengalihan dari
Prov)
9. Pajak Sarang Burung Walet (baru)
10. PBB Pedesaan & Perkotaan (baru)
11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (baru)

Sumber: Materi Presentasi PengalihanPBB-P2 dan BPHTB sebagai Pajak Daerah,


Direktorat Jenderal Pajak. Agustus 2011

Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah


dan Retribusi Daerah, pengalihan pengelolaan BPHTB dilaksanakan mulai 1

17

Januari 2011 dan pengalihan pengelolaan PBB-P2 ke seluruh pemerintahan


kabupaten/kota dimulai paling lambat 1 Januari 2014. Kota Surabaya merupakan
kota pertama yang menerima pengalihan pengelolaan PBB-P2. Dengan demikian
Pemerintah Kota Surabaya menjadi pilot project bagi pelaksanaan pengalihan
pengelolaan penerimaan dari sektor PBB-P2. Keberhasilan pemerintah Kota
Surabaya dalam mengelola penerimaan dari sektor PBB-P2 dapat menjadi contoh
dan acuan bagi pemerintah kabupaten/kota lainnya.
Kemudian, agar terciptanya kelancaran dalam pengelolaan PBB-P2, pemerintah
kabupaten/kota harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Kebijakan NJOP agar memperhatikan konsistensi, kesinambungan dan
keseimbangan antar wilayah
2. Kebijakan tarif PBB, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat
3. Menjaga kualitas pelayanan kepada WP, dan
4. Akurasi data subjek dan objek pajak dalam SPPT tetap terjaga

1.2

PENGARUH PENGALIHAN PBB P2 DAN BPHTB SEBAGAI


PAJAK DAERAH PADA PENINGKATAN PAD
Pengalihan PBB-P2 didesain tidak dilakukan serentak pada seluruh

Pemda, namun dilakukan sesuai dengan kesiapan Pemda antara lain dalam
menyiapkan peraturan pelaksanaan sebagai payung hukum, perangkat lunak dan
keras, dan sumber daya manusia yang akan mengelolanya sehingga pengalihan
PBB-P2 tidak menimbulkan permasalahan baru yang membebani Wajib Pajak dan
Pemda.
Salah satu indikator keberhasilan pengalihan BPHTB menjadi pajak
daerah adalah kemampuan daerah untuk memungut seluruh potensi BPHTB di
daerahnya. Karena potensi BPHTB sangat ditentukan oleh kegiatan ekonomi yang
berlangsung di daerahnya, maka tolok ukur yang digunakan sebagai pembanding
adalah realisasi penerimaan BPHTB pada tahun sebelum pengalihan. Dilihat dari
sisi penerimaan, secara nasional pengalihan BPHTB memberikan kontribusi
terhadap penerimaan daerah yang cukup besar, yaitu kurang lebih Rp.8,2 triliun

18

atau meningkat sebesar 4 persen dari penerimaan sebelum pengalihan, meskipun


masih terdapat 16 daerah yang belum melaksanakan pemungutan PBB-P2 pada
tahun 2011.
Dengan pengalihan ini, penerimaan PBB-P2 dan BPHTB akan sepenuhnya
masuk ke pemerintah kabupaten/kota sehingga diharapkan mempu meningkatkan
jumlah pendapatan asli daerah. Pada saat PBB-P2 dikelola oleh pemerintah pusat,
pemerintah kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8 % dan
BPHTB hanya mendapatkan 64%. Setelah pengalihan ini, semua pendapatan dari
sektor PBB-P2 dan BPHTB akan masuk ke dalam kas pemerintah daerah. Salah
satu contoh daerah yang mengalami kenaikan pendapatan asli daerah pasca
pengalihan PBB-P2 dan BPHTB adalah kota Surabaya. Walikota Surabaya, Ir. Tri
Rismaharini, MT. menyatakan bahwasanya pada tahun 2010, PAD kota Surabaya
hanya Rp.1 Triliun. Di tahun 2011, PAD kota Surabaya akan menjadi Rp.2
Triliun. Beliau manambahkan bahwa penyebab kenaikan PAD tersebut berasal
dari PBB dan BPHTB. (Media Keuangan Vol. V No. 40/Desember/2010, hal. 8).
Pada tahun 2011 hanya Kota Surabaya yang telah mendapatkan
pengalihan atas pengelolaan PBB dari sektor perkotaan dan perdesaan. Kota ini
merupakan satu-satunya kota yang telah siap melakukan pengelolaan PBB dari
sektor P2 tersebut. Untuk tahun 2012, 17 kab./kota telah menyatakan diri siap
untuk mengelola PBB dari sektor P2. Kemudian, sebanyak 105 kab./kota telah
menyatakan kesiapannya dalam mengelola PBB sektor P2. Dan pada tahap
terakhir, diharapkan seluruh kab./kota yang belum menerima pengalihan
pengelolaan PBB sektor P2 (sebanyak 369 kab./Kota) sudah mempersiapkan diri
untuk menerima pengalihan tersebut dan diharapkan pula seluruh kab./kota di
Indonesia saat ini tahun 2016 sudah sepenuhnya melakukan pengelolaan PBB
sektor P2 nya masing-masing.
Tujuan Pengalihan pengelolaan PBB-P2 menjadi pajak daerah sesuai
dengan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah:
1. Meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah

19

2. Memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan


baru (menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah),
3. Memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi
dengan memperluas basis pajak daerah,
4. Memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak
daerah, dan
5. Menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan
pengaturan pada daerah.

Sumber: Materi Presentasi PengalihanPBB-P2 dan BPHTB sebagai Pajak Daerah,


Direktorat Jenderal Pajak.Agustus 2011

Gambar 1: Perbandingan Penerimaan PBB-P2 dan BPHTB Sebelum dan


Setelah Pengalihan

20

Tabel 2. Realisasi BPHTB Beberapa Daerah di Indonesia

21

Tabel di atas memperlihatkan bahwa dalam semester I Tahun 2011, beberapa


daerah dapat merealisir pemungutan BPHTB dengan baik (proporsional dengan
realisasi penerimaan semester I tahun sebelumnya) dan bahkan ada diantaranya
yang telah dapat melampaui realisasi penerimaan BPHTB tahun 2010. Hal ini
menunjukkan bahwa pemerintah daerah pada dasarnya siap dan mampu untuk
memungut BPHTB sebagaimana halnya dengan yang selama ini dilakukan oleh
pemerintah pusat. Hal ini tidak terlepas dari strategi yang tepat dari pemerintah
pusat dalam mempersiapkan pengalihan BPHTB serta dukungan dan kerjasama
pemerintah daerah dalam pelaksanaan pemungutannya.
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pengalihan BPHTB
sebagai pajak daerah juga berhasil meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
kabupaten atau kota. Salah satu contohnya adalah kabupaten Bojonegoro yang
pada tahun 2010 (sebelum diberlakukannya UU PDRD) meningkatkan
pendapatan daerah sebesar 170% pada semester pertama tahun 2011.
Namun begitu ditemukan juga beberapa daerah yang memiliki peningkatan
pendapatan yang tidak signifikan. Contohnya adalah Kabupaten Cianjur. Selama
semester pertama tahun 2011, Cianjur memiliki realisasi penerimaan BPHTB
terendah di Indonesia yaitu sebesar 29%. Sedangkan Kabupaten dengan realisasi
penerimaan BPHTB tertinggi dimiliki oleh Kabupaten Kutai Barat yang mencapai
angka 542%.
1.3

TUGAS PARA PIHAK DALAM PENGELOLAAN PBB P2 DAN


BPHTB
Pihak-pihak yang berperan dalam persiapan pengalihan PBB-P2 seperti

tercantum pada Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri
adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah
Daerah. Tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak dijabarkan sebagai
berikut:
1.

Pemerintah Pusat (DJP dan DJPK)


Tugas dan tanggung jawab Pemerintah Pusat dipikul bersama oleh

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

22

(DJPK). DJP bertugas dan bertanggung jawab dalam memberikan Pemerintah


Daerah hasil kompilasi berupa:
1.

Peraturan Pelaksanaan PBB-P2,

2.

Standard Operating Procedure (SOP) terkait PBB-P2,

3.

Struktur, tugas, dan fungsi organisasi Direktorat Jenderal Pajak


terkait pemungutan PBB-P2,

4.

Data piutang PBB-P2 beserta data pendukungnya,

5.

SK Menkeu mengenai Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak


(NJOPTKP) yang berlaku dalam kurun wakti 10 tahun sebelum
tahun pengalihan,

6.

Salinan Peta Desa/Kelurahan, Peta Blok, dan Peta Zona Nilai


Tanah dalam bentuk softcopy,

7.

Salinan basis data PBB-P2 sebelum Tahun Pengalihan,

8.

Salinan Sistem Aplikasi terkait PBB-P2 beserta source code-nya.

Terkait dengan tugas dan tanggung jawab DJP tersebut, DJP telah
melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1.

Menyampaikan salinan Peraturan BPBHTB dan PBB-P2

2.

Menyampaikan Standard Operating Procedures Pengelolaan BPHTB


dan PBB-P2

3.

Menyampaikan Struktur, Tugas dan Fungsi Pengelolaan BPBHTB


dan PBB-P2

4.

Menyampaikan Data Tunggakan BPHTB dan PBB-P2

5.

Menyampaikan Data NJOP, NJOPTKP, NPOPTKP, Peta, SISMIOP

6.

Aplikasi SISMIOP dan sourcecode

7.

Sosialisasi ke Stakeholder (Wajib Pajak, Kantor Pertanahan, Kantor


Lelang, Bank, Pemerintah Daerah)

8.

Asistensi ke Pemerintah Daerah

Kemudian, tugas dan tanggung jawab DJPK adalah:


1.

Menggandakan hasil kompilasi tersebut untuk kemudian diserahkan


kepada Pemerintah Daerah,

23

2.

Melakukan pemantauan dan pembinaan pelaksanaan pengalihan


kewenangan pemungutan PBB-P2 ke Pemerintah Daerah.

2.

Kementerian Dalam Negeri


Tugas dan tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri dilaksanakan

bersama oleh Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Keuangan Daerah, dan


Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Dalam Negeri. Tugas dan tanggung
jawab tersebut dilakukan dalam bentuk:
1. Penyiapan pedoman struktur organisasi dan tata kerja pemerintah daerah,
2. Pemberian bimbingan, konsultasi, pendidikan dan pelatihan teknis, dan
3. Pelaksanaan supervisi dalam rangka pengalihan kewenangan pemungutan
PBB-P2.
3.

Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah bertugas dan bertanggung jawab menyiapkan:
1. Sarana dan prasarana,
2. Struktur organisasi dan tata kerja,
3. Sumber Daya Manusia,
4. Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, dan SOP,
5. Kerja sama dengan pihak terkait, antara lain, Kantor Pelayanan Pajak,
perbankan, Kantor Pertanahan, dan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah,
dan
6. Pembukaan rekening penerimaan PBB-P2 pada bank yang sehat.
Matriks persiapan (tugas dan tanggung jawab) Pemerintah Daerah terkait

dengan pengelolaan PBB-P2 adalah sebagai berikut:

24

Tabel 3: Matriks Persiapan Pemerintah Daerah Terkait Pengelolaan PBB-P2

Sumber: Materi Presentasi Pengalihan PBB-P2 Sebagai Pajak Daerah, Direktorat


Jenderal Pajak. Juni 2012

Sehubungan dengan persiapan tersebut, Pemerintah Daerah dapat


mengadopsi beberapa hal dimiliki dan telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat
(DJP) sebagai berikut:
1. Sistem

administrasi

PBB

(pendataan,

penilaian,

penetapan,

pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan),


2. Kebijakan/peraturan dan SOP pelayanan,
3. Peningkatan keahlian Sumber Daya Manusia (Aparatur) melalui pelatihan,
4. Sistem manajemen informasi objek pajak.
Sehubungan dengan persiapan sarana dan prasarana Teknologi Informasi,
Pemerintah Daerah dapat mempersiapkan kelengkapan sarana dan prasarana

25

Teknologi Informasi seperti yang telah dimiliki oleh Pemerintah Pusat (DJP)
sebagai berikut:
Tabel 4: Kebutuhan Sarana dan Prasarana Teknologi Informasi

Sumber: Materi Presentasi PengalihanPBB-P2 dan BPHTB sebagai Pajak Daerah,


Direktorat Jenderal Pajak. Agustus 2011

Sebagai contoh pelaksanaan, Pemerintah Daerah/Kota yang belum


menerima pengalihan pengelolaan PBB-P2 dapat mempelajari dan meniru
persiapan yang telah dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya sebagai berikut:
1. Membangun kerja sama dengan semua pihak yang terkait dengan
pengalihan PBB-P2 dan BPHTB seperti Badan Pertanahan Nasional
(BPN), Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan Dispenda dari
tingkat kota sampai dengan kelurahan, serta Kantor Wilayah Pajak dan
Kantor Pelayanan Pajak yang ada di Surabaya,
2. Membuat peraturan daerah mengenai PBB-P2 dan BPHTB,
3. Menyiapkan struktur organisasi dan tata kerja. Dalam hal ini Pemkot
Surabaya sudah menyiapkan Standard Operational Procedure (SOP),

26

4. Menyiapkan Sumber Daya Manusia dengan training dan memagangkan


staf-stafnya secara bergantian, dari tingkat kota sampai dengan tingkat
kelurahan, dan
5. Dari sisi sarana dan prasarana, Pemkot Surabaya telah menyiapkan 8
cabang Dinas Pendapatan, 8 mobil keliling PBB, serta 31 Kantor
Kecamatan yang bekerja sama dengan bank swasta, melakukan pengadaan
peralatan dan pengadaan barang percetakan, serta menyiapkan aplikasi
pendataan yang online dengan data yang dimiliki oleh BPN dan notaris
PPAT.

3.4

UPAYA-UPAYA INOVATIF PEMERINTAH YANG LEBIH


EFEKTIF UNTUK MENCAPAI TARGET PENERIMAAN PAJAK
Sumber pendapatan daerah menjadi sangat banyak karena untuk

mendukung pemungutan pajak yang lebih murah dengan size yang lebih kecil
maka pendataan disebar ke daerah akan menjaadi lebih murah dibandingkan
sentralisasikan di pusat, pembayaran menjadi lebih jelas, pengawasan menjadi
lebih mudah, dan pembagian pajak antardaerah diharapkan menjadi lebih adil
sebagai bentuk otonomi daerah karena setiap daerah memiliki porsinya masingmasing. Hal ini berkaitan dengan ketentuan pasal 5,6,7,10,11,dan 12 Undang
Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat Dan Daerah. Penggunaan sanksi dalam pelanggaran peraturan perundangundangan dalam bidang perpajakan bukanlah menjadi sebuah solusi konkret
dalam memperbaiki mindset wajib pajak untuk melaksanakan kewajibannya akan
tetapi hanya akan menjadi celah bagi oknum pegawai dan pejabat pajak untuk
melakukan kegiatan curang untuk menghiindari pajak yang lebih besar. Sanksi
tersebut bukannya tidak penting akan tetapi sanksi adalah sebuah pilihan terakhir
dalam terjadinya sebuah deadlock, karena berdasarkan faktanya bahwa seringkalai
pengunaan sanksi dalam suatu pelanggaran hanya perlu sebagai tindakan refresif
atas suatu pelanggaran. Yang perlu dikedepankan tentunya adalah berkaitan
dengan kebijakan-kebijakan yang bersifat inovatif yang lebih mengedepankan
itikad baik wajib pajak. dalam rangka mewujudkan suatu pemerintahan daerah

27

yang mandiri dalam aspek keuangan tentunya pemerintah daerah yang diberikan
wewenang lewat prinsip otonomi daerah perlu untuk melakukan upaya-upaya
lewat kebijakan-kebijakan yang bersifat inovatif bukannya bersifat penghukuman
ataupun hanya tindakan tanpa pertimbangan-pertimbangan matang. Peningkatan
pendapatan daerah dapat ditempuh dengan kebijakan sebagai berikut :
1)

Peningkatan pendapatan daerah dengan menggali dan mengoptimalkan


sumber-sumber pendapatan yang sesuai dengan kewenangan daerah
melaalui intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan daerah;

2)

Peningkatan kualitas sumberdaya manusia pengelola pendapatan daerah;

3)

Peningkatan pendayagunaan kekayaan daerah sebagai sumber pendapatan


daerah;

4)

Penigkatan pelayanan pajak dan non pajak kepada masyarakat;

5)

Peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung peningkatan pendapatan


daerah;

6)

Peningkatan kordinasi dan pengelolaan pendapatan daerah

7)

Pemanfaatan fasilitas internet dalam melakukan pemungutan pajak daerah


sebagai bentuk reformasi pemungutan pajak;
Dalam era globalisasi saat ini tentunya kecanggihan teknologi perlu untuk

dikedepankan sebagai media untuk membantu segala aktifitas manusia tak


terkecuali dalam mengelola pemerintahan daerah. Hal ini berkaitan dengan
pemanfaatan media internet untuk membantu mempercepat dan mempermudah
segala kegiatan. Bidang perpajakan sendiri sangat terbantu dengan hadirnya
pembayaran pajak secara elektronik. Maka dari itu pemanfaatan media tersebut
sangat

tergaantung

oleh

kebijakan-kebijakan

pemerintah

daerah

dalam

memanfaatkan fasilitas tersebut. Upaya upaya inovatif yang mungkin perlu


menjadi

pertimbangan

pemerintah

daerah

tingkat

II

khususnya

dalam

meingkatkan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah adalah sebagai berikut
:

28

1) Online Pajak daerah;


2) Online Pendapatan Asli Daerah;
3) Pembebasan sanksi administrasi berupa denda dan bunga;
4) Peningkatan dan penyediaan sistem pemungutan pajak daerah secara
elektronik;
5) Peningkatan fasilitas, tampilan dan keamanan terhadap beberapa obyek
retribusi;
6) Sosialisasi, promosi terhadap obyek pelayanan retribusi pada masyarakat;
7) Optimalisasi pemanfaatan kekayaan daerah;
8) Penyesuaian tarif retribusi dengan harga pasar yang berlaku;
9) Transparansi penggunaan keuangan daerah terutama yang berasal dari
pajak dengan melakukan publikasi terhadap penggunaannya;
Poin utama dalam penjabaran diatas adalah mengenai pemanfaatan pajak
secara elektronik karena dengan media ini akan sangat menghemat waktu dan
lebih efektif akan tetapi yang menjadi tantangan pemerintah adalah penyediaan
sistem yang terintegrasi dan juga sistem keamanan yang handal dalam hal ini
perlu orang orang yang berkompeten dalam bidang informasi dan telekomunikasi
yang handal di bidangnya. Sebagamana kita ketahui bahwa permasalahan besar
yang menjadi halangan utama dalam penyelenggaraan pajak secara elektronik
adalah masih banyaknya masyarakat yang kurang melek akan teknologi ataupun
mungkin karena sosialisasi yang kurang dilakukan oleh pemerintah. inovasi
berupa sistem pemungutan pajak melalui pajak elektronik adalah sebuah hal yang
langka pasti akan tetapi perlu sebuah perangkat hukum yang mampu untuk
memberikan kepastian hukum, karena hal ini berkaitan dengaan sebuah tindakan
hukum yang dilakukan oleh pemerintah selaku pejabat yang berwenang untuk
melakukan pengelolaan pemerintahan untuk melakukan pemungutan pajak dan
juga tentunya memberikn kepastian hukum terhadap wajib pajak.
Hal- hal yang mungkin diperlukan dalam penyediaan sistem pemungutan
pajak daerah dan retribusi daerah secara elektronik adalah berkaitan dengan halhal :

29

1) Seperangkat kaidah hukum yang sederhana akan tetapi mampu untuk


mengakomodir hak dan kewajiban para pihak dan memberikan kepastian
hukum;
2) Sistem yang terintegrasi dengan pihak Badan Pusat Statistik yang
memiliki database;
3) Sistem keamanan berupa server sendiri, password dan lain lain;
4) Sumber daya manusia yang terampil dan handal, profesional dalam bidang
informasi teknologi;
Hal-hal terkait dengan lemahnya kesadaran wajib pajak untuk membayar
pajak adalah salah satu faktor yang mempengaruhi adalah karena masyarakat
cenderung jarang melihat hasil real dari pajak yang mereka bayar contoh
diantaranya infrastruktur yang cenderung terkesan masih asal-asalan dari
pemerintah daerah seolah oleh dalam penyediaan infrastruktur yang bersumber
dari pajak hanya cenderung menggugurkan kewajiban tanpa memikirkan
maintenance atau perawatan secara berkala, sehingga masyarakat menilai apa
yang mereka dapat dari membayar pajak sama sekali kurang memuaskan. Faktor
lainnya adalah pelayanan masyarakat lewat birokrasi yang banyak dijumpai
pungutan liar padahal untuk anggaran belanja pegawai telah dialokasikan dari
keuangan daerah yang mayoritas berasal dari pajak, bobroknya birokrasi membuat
masyarakat merasa tidak terlayani dengan baik bahkan tak jarang dijumpai
masyarakat selalu dipersulit oleh oknum birokrasi. Jadi menurut hemat penulis
jika pengalokasian keuangan daerah dari pajak dalam pembangunan infrstruktur
dan pelayanan tepat sasaran dan maksimal maka tentu masyarakat akan bisa
merasakan pajak yang mereka bayar sehingga mampu menjadi pendorong
kesadaran masyarakat akan pentingnya membayar pajak.
3.5

ANALISIS SWOT TERHADAP OPTIMALISASI PAJAK DAERAH

A.

Tinjauan SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats)


Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan

untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang

30

(opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau suatu spekulasi
bisnis maupun kebijakan-kebijakan. Keempat faktor itulah yang membentuk
akronim SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats). Proses ini
melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis maupun
kebijakan- kebijakan dalam proyek dan mengidentifikasi faktor internal dan
eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut.
Analisis SWOT dapat diterapkan dengan cara menganalisis dan memilah berbagai
hal yang mempengaruhi keempat faktornya, kemudian menerapkannya dalam
gambar matrik SWOT, dimana aplikasinya adalah bagaimana kekuatan (strengths)
mampu mengambil keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang
ada, bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mencegah
keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada, selanjutnya
bagaimana kekuatan (strengths) mampu menghadapi ancaman (threats) yang ada,
dan terakhir adalah bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang
mampu membuat ancaman (threats) menjadi nyata atau menciptakan sebuah
ancaman baru. Teknik ini dibuat oleh Albert Humphrey, yang memimpin proyek
riset pada Universitas Stanford pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an dengan
menggunakan data dari perusahaan-perusahaan Fortune 500.
Tujuan analisis SWOT adalah untuk mengetahui dan melakukan
pembenahan sistem administrasi pemungutan pajak daerah agar lebih efektif dan
efisien.
1.

Keunggulan (Strenghts)
a.

Kantor Pelayanan Pajak Daerah mempunyai dasar hukum yang kuat


karena pemungutannya berdasarkan Undang-Undang No. 34 tahun
2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah serta berbagai
peraturan daerah tentang pajak daerah yang dibuat oleh pemerintah
daerah.

b.

Adanya dana operasional dalam memungut pajak daerah termasuk


dana insentif karyawan.

31

c.

Meningkatnya PAD Daerah dengan adanya pengalihan pajak sebagai


pemasukan daerah.

d.
2.

Dapat meningkatkan kemandirian daerah.

Kelemahan (Weaknesses)
a.

Rendahnya kesadaran para wajib pajak untuk menyetorkan pajak yang


telah dibayar oleh konsumen.

b.

Jumlah sumber daya manusia yang berkualitas masih terbatas dan


belum maksimalnya pendidikan dan pelatihan khusus bagi user sistem
pajak daerah online.

c.

Masih banyak usaha masyarakat yang belum berizin sehingga sulit


untuk memungut pajaknya.

d.

Masih minimnya fasilitas dan utilitas dalam rangka pelaksanaan


aplikasi pendataan yang online.

3.

Peluang (Opportunities)
a.

Meningkatkan mutu pelayanan kepada wajib pajak.

b.

Melakukan penertiban bagi yang belum mendaftarkan diri dan


memberi sanksi kepada wajib pajak.

c.

Kerjasama dengan instansi-instansi lain yang terkait serta dengan


asosiasi-asosiasi para pengusaha.

d.

Memberi motivasi kepada wajib pajak untuk melunasi pajak dengan


cara pembinaan peningkatan pajak daerah.

e.

Mengikuti perkembangan teknologi di bidang perpajakan. Perbaikan


mekanisme pemungutan pajak daerah tersebut dapat dilakukan dengan
mempertahankan kekuatan yang ada dan memanfaatkan peluang yang
dimiliki secara optimal. Sedangkan terhadap kelemahan dan ancaman
pemungutan pajak daerah harus diatasi dengan perbaikan mekanisme
pemungutan pajak daerah dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Pengertian efektif dan efisien disini adalah dapat mencapai tujuan
dengan target yang ditetapkan atau bahkan melebihi target yang telah
ditetapkan serta biaya yang dikeluarkan sehemat mungkin.

32

f.

Semakin meningkatnya kemandirian daerah hingga tahun-tahun


mendatang sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi
masyarakatnya.

4.

Ancaman (Threats)
a.

Akan lebih menguntungkan bagi Perusahaan yang besar yang nantinya


akan menaikan Harga Pokok Produksi sehingga Masyarakat akan
mengalami kesulitan dalam mengkonsumsi Barang / Jasa.

b.

Kurangnya pengertian wajib pajak tentang arti pentingnya pajak


dalam pembangunan daerah.

c.

Wajib pajak tidak memberi keterangan yang jelas dan benar mengenai
jumlah penerimaan dari usaha yang dijalankan.

d.

Wajib pajak yang dengan sengaja atau tidak sengaja menghindari


pemungutan pajak, misal wajib pajak tidak mendaftarkan diri sebagai
wajib pajak. Kurangnya kesadaran wajib pajak dalam memenuhi
kewajibannya dalam membayar pajak,

e.

Diperlukan sistem dan teknologi informasi yang maksimal untuk


pelaksanaan aplikasi pendataan yang online dengan data yang dimiliki
oleh BPN dan notaris PPAT

33

Weaknesses

KPPD punya dasar hukum yang kuat


yaitu UU No.34 Tahun 2000 tentang
Pajak
Adanya dana operasional dalam
memungut pajak daerah
Meningkatnya PAD Daerah dengan
adanya pengalihan pajak sebagai
pemasukan daerah
Dapat meningkatkan kemandirian
daerah

Rendahnya kesadaran para wajib pajak


untuk menyetorkan pajak yang telah
dibayar oleh konsumen
Jumlah sumber daya manusia yang
berkualitas masih terbatas
Masih banyak usaha masyarakat yang
belum berizin sehingga sulit untuk
memungut pajaknya
Masih minimnya fasilitas dan utilitas
dalam rangka pelaksanaan aplikasi
pendataan yang online

Opportunities

Threats

Meningkatkan mutu pelayanan


kepada wajib pajak
Melakukan penertiban bagi yang
belum mendaftarkan diri dan
memberi sanksi kepada wajib pajak
Kerjasama dengan instansi-instansi
lain yang terkait serta dengan
asosiasi-asosiasi para pengusaha
Memberi motivasi kepada wajib
pajak untuk melunasi pajak dengan
cara pembinaan peningkatan pajak
daerah
Mengikuti perkembangan teknologi
di bidang perpajakan
Semakin meningkatnya kemandirian
daerah hingga tahun-tahun
mendatang sehingga mampu
meningkatkan kesejahteraan
ekonomi masyarakatnya.

Akan lebih menguntungkan bagi


Perusahaan yang besar yang nantinya
akan menaikan Harga Pokok Produksi
sehingga Masyarakat akan mengalami
kesulitan dalam mengkonsumsi
Barang / Jasa
Kurangnya pengertian wajib pajak
tentang arti pentingnya pajak dalam
pembangunan daerah
Wajib pajak tidak memberi keterangan
yang jelas dan benar mengenai jumlah
penerimaan dari usaha yang dijalankan
Wajib pajak yang dengan sengaja atau
tidak sengaja menghindari
pemungutan pajak, misal wajib pajak
tidak mendaftarkan diri sebagai wajib
pajak
Diperlukan sistem dan teknologi
informasi yang maksimal untuk
pelaksanaan aplikasi pendataan yang
online dengan data yang dimiliki oleh
BPN dan notaris PPAT

Sumber : Hasil Analisis

Gambar 2
Matriks Analisis SWOT

External

Internal

Strenghts

34

B.

Mendesain Strategi dan Regulasi


Berdasarkan Analisis SWOT yang telah dijelaskan, sebagai langkah riil

dalam meningkatkan pengelolaan pajak daerah di atas, maka berikut ini diberikan
beberapa upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah :
1.

Membangun kerja sama dengan semua pihak yang terkait dengan


pengalihan PBB-P2 dan BPHTB seperti Badan Pertanahan Nasional
(BPN), Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan Dispenda dari
tingkat kota sampai dengan kelurahan, serta Kantor Wilayah Pajak dan
Kantor Pelayanan Pajak.

2.

Memperluas

basis

penerimaan.

Tindakan

yang

dilakukan

untuk

memperluas basis penerimaan yang dapat dipungut oleh daerah, yang


dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial, antara lain yaitu
mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan jumlah pembayar
pajak, memperbaiki basis data objek, memperbaiki penilaian, menghitung
kapasitas penerimaan dari setiap jenis pungutan.
3.

Memperkuat

proses

pemungutan.

Upaya

memperkuat

proses

pemungutan,

yaitu

yang
antara

dilakukan
lain

dalam

mempercepat

penyusunan Perda, dan peningkatan SDM.


4.

Meningkatkan pengawasan. Hal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain


dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan dan berkala, memperbaiki
proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan
sanksi terhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan
pelayanan yang diberikan oleh daerah.

5.

Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan.


Tindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki
prosedur administrasi pajak melalui penyederhanaan admnistrasi pajak,
meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan.

6.

Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih


baikHal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan
instansi terkait di daerah.
dapat

dilakukan,

yaitu

Selanjutnya, ekstensifikasi perpajakan juga


melalui

kebijaksanaan

Pemerintah

untuk

35

memberikan kewenangan perpajakan yang lebih besar kepada daerah pada


masa mendatang. Untuk itu, perlu adanya perubahan dalam sistem
perpajakan Indonesia sendiri melalui sistem pembagian langsung atau
beberapa basis pajak Pemerintah Pusat yang lebih tepat dipungut oleh
daerah.
7.

Memberantas KKN, karena banyak sumber penerimaan Negara di korupsi.


Padahal kalau itu dikelola dengan baik. Maka bangsa ini akan sejahtera
dan makmur.

8.

Sistem

administrasi

PBB

(pendataan,

penilaian,

penetapan,

pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan).


9.

Kebijakan/peraturan dan SOP pelayanan.

10.

Peningkatan keahlian Sumber Daya Manusia (Aparatur) melalui


pendidikan dan pelatihan.

11.

Sistem manajemen informasi objek pajak.

36

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1

Kesimpulan

1.

Pajak daerah mempunyai peran penting dalam rangka untuk meningkatkan


kemandirian pemerintahan daerah dalam aspek keuangan berdasarkan
prinsip otonomi daerah. Besarnya potensi dari penerimaan pajak harus
dimanfaatkan untuk digali oleh pemerintah daerah. Pajak daerah yang
merupakan salah satu komponen penerimaan daerah, seharusnya
merupakan

sumber

penerimaan

utama

bagi

daerah,

sehingga

ketergantungan daerah kepada Pemerintah Pusat (Dana Perimbangan)


semakin berkurang, yang pada gilirannya daerah diharapkan akan
memiliki akuntabilitas yang tinggi kepada masyarakat lokal.
2.

Dengan disahkannya UU PDRD pada tanggal 15 Desember 2009, dan


berlaku mulai 1 Januari 2010, maka PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan
(PBB P2) dan BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah

3.

Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak


Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah kini mempunyai
tambahan sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari Pajak
Daerah.

4.

Pengalihan PBB P2 menjadi Pajak Daerah terbukti berhasil meningkatkan


PAD Kabupaten/Kota. Contoh nyatanya yaitu Kota Surabaya yang
mengalami peningkatan PAD yang signifikan.

5.

Dilihat dari sisi penerimaan, secara nasional pengalihan BPHTB


memberikan kontribusi terhadap penerimaan daerah yang cukup besar,
yaitu kurang lebih Rp8,2 triliun atau meningkat sebesar 4 persen dari
penerimaan sebelum pengalihan, meskipun masih terdapat 16 daerah yang
belum melaksanakan pemungutan PBB-P2 pada tahun 2011.

6.

Fungsi dengan adanya pengalihan sektor pajak PBB menjadi Pajak Daerah
bagi daerah sendiri adalah; (i) memberikan kewenangan yang lebih besar
kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin

37

besarnya tanggung jawab Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan


dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu dapat juga, (ii) Meningkatkan
akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan
pemerintahan

dan

sekaligus

memperkuat

otonomi

daerah,

(iii)

Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan


daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah
dan retribusi daerah.
7.

Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang perpajakan harus lebih


bersifat inovatif daripada menonjolkan sisi penghukuman/punishment.
Dengan beberapa langkah tersebut maka diharapkan sistem perpajakan
daerah maupun pusat tidak ketinggalan jaman dan cenderung kuno
sehingga mampunyai daya saing.

4.2

Saran
Beberapa saran yang bisa diberikan khususnya untuk Pemerintah Daerah
yaitu :

1.

Segera membuat peraturan daerah mengenai PBB-P2 dan BPHTB, karena


jika sampai akhir 2013 daerah tersebut masih belum siap, maka daerah
tersebut akan berpotensi kehilangan salah satu sumber pendapatan asli
daerah karena pada saat itu pemerintah pusat sudah tidak boleh melakukan
pemungutan terhadap kedua jenis pajak tersebut,

2.

Menyiapkan struktur organisasi dan tata kerja.

3.

Menyiapkan Sumber Daya Manusia dengan training dan memagangkan


staf-stafnya secara bergantian, dari tingkat kota sampai dengan tingkat
kelurahan.

4.

Melakukan pengadaan sarana dan prasarana seperti peralatan dan


pengadaan barang percetakan, serta menyiapkan aplikasi pendataan yang
online dengan data yang dimiliki oleh BPN dan notaris PPAT.

38

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2012. Pengalihan PBB Pedesaan dan Perkotaan Sebagai Pajak Daerah
(online). pajak.go.id. (Diakses pada 21 Juli 2016).
Anonim. 2012. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Online).
id.wikipedia.org. (Diakses pada 21 Juli 2016).
Anonim. 2012. Objek dan Subjek Pajak (Online). www.pajakonline.com.
(Diakses pada 21 Juli 2016).
Anonim. 2012. Pajak Bumi dan Bangunan (Online). id.wikipedia.org. (Diakses
pada 21 Juli 2016).
Anonim. 2013. Kebijakan Fiskal (Online). id.wikipedia.org. (Diakses pada 21 Juli
2016).
Anonim. 2013. Pertumbuhan Ekonomi (Online). id.wikipedia.org. (Diakses pada
21 Juli 2016).
Anonim. Pendapatan Asli Daerah (Online). www.negarahukum.com. (Diakses
pada 21 Juli 2016).
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2011. Tinjauan Pelaksanaan
Pengalihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan BPHTB Menjadi Pajak
Daerah. Jakarta: Kemenkeu
Nota Keuangan dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2013
Pamuji, Kadar. Implikasi Kebijakan Pendaerahan Pengelolaan PBB Setelah
Berlakunya UU nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. (Online). Fh.unsoed.ac.id. Diakses pada 17 Februari
2013.
Peraturan Bersama Menteri Keuangan Menteri Dalam Negeri Nomor
213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan
Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai
Pajak Daerah.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2010 tentang Tata Cara
Persiapan Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak
Daerah.

39

Perpres Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Dana Alokasi Umum Untuk Daerah
Provinsi Dan Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2014
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak
Bumi dan Bangunan
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dan Daerah
www.pajak.go.id
www.djpk.depkeu.go.id
www.hukumonline.com

Anda mungkin juga menyukai