MATA KULIAH
JUDUL :
ANALISIS KEBIJAKAN PENGALIHAN PBB PERDESAAN
PERKOTAAN DAN BPHTB SERTA OPTIMALISASI PAJAK
DAERAH DALAM RANGKA MENINGKATKAN
PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
OLEH:
WIDYA PERMANA
NIM : I2F015040
Widya Permana
Abstract
With the adoption of Act PDRD on December 15, 2009, and effective from
January 1, 2010, the United Nations Rural and Urban sector (PBB P2) and
BPHTB transferred to local taxes. With the issuance of Law No. 28 Year 2009 on
Regional Taxes and Levies, local governments now have an additional source of
local revenue (PAD), which comes from the Local Tax. UN diversion P2 into Local Taxes proven to increase revenue Regency / City. Examples fact that Surabaya
is experiencing a significant increase in revenue. Function with the transfer of the
tax sector, the UN into Local Taxes for its own area is; (I) give greater authority
to local taxation and charges in line with the magnitude of the responsibility of
Regions in governance and public service. Moreover, it can also, (ii) Increasing
local accountability in service delivery and governance and to the strengthening
of regional autonomy, (iii) Provide certainty for businesses regarding the types of
local taxes and at the same time strengthen the legal basis for local taxation and
levies. Some suggestions are given, namely: Preparing the organizational structure and working procedures; setting up Human Resources with training; procuring infrastructure such as equipment and procurement of printing, as well as setting up data collection online application with data held by BPN and Notaries.
Keyword : PBB P2, BPHTB, PAD
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pengertian pajak daerah jika dilihat dari ketentuan pasal 1 ayat (10)
Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah
bahwa pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib
kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbaalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Subyek pajak sendiri berdasarkan pasal 1 ayat (44) adalah orang pribadi
atau badan yang dapat dikenakan pajak. Yang dimaksud badan disini adalah
sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan
usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas (PT), CV
(commanditaire vennonschap), badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha
milik daerah (BUMD), firma, koperasi, dana pensiun, dan organisasi lainnya.
Sebagai salah satu bentuk continuous improvement, Pemerintah secara
konsisten berupaya memperkuat dan menyempurnakan kebijakan desentralisasi
fiskal untuk mendukung tercapainya peningkatan layanan publik di daerah.
Konsistensi tersebut diwujudkan tidak hanya melalui penguatan desentralisasi
fiskal dari sisi pengeluaran, tetapi juga dari sisi penerimaan berupa perluasan local
taxing power. Salah satu wujud nyata komitmen tersebut adalah dengan
mengalihkan BPHTB dan PBB-P2 menjadi pajak daerah. Pengalihan kedua jenis
pajak tersebut merupakan langkah fundamental yang dilakukan dalam rangka
memperbaiki struktur keuangan daerah.
Apabila dilihat dari karakteristiknya, yakni dari sisi kepada siapa sebagian
besar penerimaannya diserahkan, kedua jenis pajak tersebut merupakan pajak
daerah. Namun, kewenangan dalam hal penentuan basis pajak, pentarifan,
pemberian hasil penerimaan (tax sharing) dan pengelolaan administrasinya masih
berada pada Pemerintah Pusat. Dengan diberlakukan UU 28 Tahun 2009, maka
maka
pengadministrasian,
kegiatan proses
pemungutan/penagihan
pelayanan
PBB-P2
akan
(1) pemungutan BPHTB dan PBB P2 dapat dilakukan oleh daerah secara optimal,
dan (2) pelayanan kepada masyarakat tidak mengalami penurunan.
Hampir seluruh instansi terkait, utamanya jajaran Kementerian Keuangan
dan Kementerian Dalam Negeri, memberikan kontribusi yang signifikan dalam
memperlancar pemungutan BPHTB dan PBB P2 oleh daerah. Namun demikian,
persiapan yang matang dan partisipasi aktif dari pemerintah daerah dalam
mengimplementasikan UU Nomor 28 Tahun 2009 merupakan faktor penentu
kelancaran pengalihan BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah.
KAJIAN PUSTAKA
2.1
TEORI EMPIRIS
Berdasarkan jurnal yang berjudul Implikasi Kebijakan Pengelolaan PBB
panjang
untuk
melihat
pengaruh
positif
pembangunan
terhadap
pertumbuhan.
Reformasi perpajakan di Indonesia (Tax Reform) dicetuskan oleh
pemerintah Indonesia pada tahun 1983 atau setelah 38 tahun Indonesia merdeka.
Tax Reform pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah terhadap ketentuan
perpajakan yang bersifat sangat mendasar yaitu mengenai prinsip, sistimatika
serta dasar falsafahnya. Beberapa pertimbangan pemerintah melakukan reformasi
perpajakan
adalah
karena
banyaknya
perundang-undangan
pajak
yang
pendaerahan
penyelenggaraan
PBB
pemerintahan
tentunya
di
tidak
Indonesia.
terlepas
Dalam
dari
kebijakan
perkembangannya,
dan
mengurus
kepentingan
masyarakat
setempat.
Kebijakan
menuju
pelaksanaan
desentralisasi
tersebut
merupakan
2.2
TEORI TEORITIK
1.
Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk
kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat
meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan
daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Contoh kebijakan fiskal adalah apabila perekonomian nasional mengalami
inflasi, pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan
cara memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta
kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran. Tujuan
kebijakan fiskal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini
dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi
pemerintah, jumlah transfer pemerintah, dan jumlah pajak yang diterima
pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional dan
tingkat kesempatan kerja.
Jenis-jenis kebijakan fiskal jika ditinjau dari sisi teori, ada tiga macam
kebijakan anggaran, yaitu:
a.
b.
c.
b.
d.
2.
10
3.
atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta
bangunan di atasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16
tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.
Dasar pengenaan atas bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dari nilai
perolehan obyek pajak dengan besaran tarif sebesar 5% dari nilai perolehan obyek
pajak. (Wikipedia : 2013).
Pada dasarnya obyek dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
adalah setiap upaya pemindahan hak atau pemberian hak atas tanah dan bangunan.
Obyek bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dapat dijabarkan sebagai
berikut:
Jual beli
Tukar menukar
11
Hibah
Hibah wasiat
Waris
Penggabungan usaha
Peleburan usaha
Pemekaran usaha
Hadiah.
Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama
4.
Karena wakaf
Karena warisan
12
13
14
PEMBAHASAN
1.1
A.
Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh
Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat
Jenderal Pajak - Kementerian keuangan. Yang termasuk Pajak Pusat adalah Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak atas Penjualan Barang
Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Bea Materai. Sedangkan Pajak Daerah adalah
pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi
maupun Kabupaten/Kota. Yang termasuk Pajak Daerah adalah Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Rokok, Pajak Hotel, Pajak
Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, dan Pajak Sarang
Burung Walet.
PBB sendiri terdiri dari 5 Sektor, yaitu:
1. PBB sektor Pedesaan
2. PBB sektor Perkotaan
3. PBB sektor Perkebunan
4. PBB sektor Perhutanan
5. PBB sektor Pertambangan
Dengan disahkannya UU PDRD pada tanggal 15 Desember 2009, dan
berlaku mulai 1 Januari 2010, maka PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB
P2) dan BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah. Tujuan pengalihan PBB P2 dan
BPHTB kepada pemerintah Kabupaten / Kota adalah agar Pendapatan Asli
15
Daerah (PAD) meningkat, sehingga daerah akan lebih mampu mengurus dan
mengelola rumah tangganya secara mandiri, termasuk menyangkut penyediaan
sumber dana penyelenggaraan pemerintahan dan penerimaan pajak.
Dasar pemikiran dan alasan pokok pengalihan BPHTB dan PBB-P2 menjadi
pajak daerah, antara lain: pertama berdasarkan teori, property tax lebih bersifat
lokal (local origin), visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile),
dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil
pajak tersebut (the benefit tax-link principle). Kedua, pengalihan kedua jenis pajak
tersebut diharapkan akan meningkatkan PAD dan sekaligus memperbaiki struktur
APBD. Ketiga, untuk meningkatkan pelayanan masyarakat (public services),
akuntabilitas, dan transparasi dalam pengelolaan BPHTB dan PBB-P2. Keempat,
bahwa berdasarkan praktek di banyak negara, BPHTB dan PBB-P2 termasuk
dalam jenis local tax.
Diserahkannya BPHTB dan PBB-P2 kepada daerah, tidak hanya sekedar
untuk
meningkatkan
kemampuan
daerah
dalam
memenuhi
kebutuhan
16
Pajak Hotel
Pajak Restoran
Pajak Hiburan
Pajak Reklame
Pajak Penerangan Jalan (PPJ)
Pajak Parkir
Pajak Pengambilan Bahan
Galian Gol. C
UU 28/2009
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pajak Hotel
Pajak Restoran
Pajak Hiburan
Pajak Reklame
Pajak Penerangan Jalan
Pajak Parkir
Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan (perubahan nomenklatur)
8. Pajak Air Tanah (pengalihan dari
Prov)
9. Pajak Sarang Burung Walet (baru)
10. PBB Pedesaan & Perkotaan (baru)
11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (baru)
17
1.2
Pemda, namun dilakukan sesuai dengan kesiapan Pemda antara lain dalam
menyiapkan peraturan pelaksanaan sebagai payung hukum, perangkat lunak dan
keras, dan sumber daya manusia yang akan mengelolanya sehingga pengalihan
PBB-P2 tidak menimbulkan permasalahan baru yang membebani Wajib Pajak dan
Pemda.
Salah satu indikator keberhasilan pengalihan BPHTB menjadi pajak
daerah adalah kemampuan daerah untuk memungut seluruh potensi BPHTB di
daerahnya. Karena potensi BPHTB sangat ditentukan oleh kegiatan ekonomi yang
berlangsung di daerahnya, maka tolok ukur yang digunakan sebagai pembanding
adalah realisasi penerimaan BPHTB pada tahun sebelum pengalihan. Dilihat dari
sisi penerimaan, secara nasional pengalihan BPHTB memberikan kontribusi
terhadap penerimaan daerah yang cukup besar, yaitu kurang lebih Rp.8,2 triliun
18
19
20
21
tercantum pada Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri
adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah
Daerah. Tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak dijabarkan sebagai
berikut:
1.
22
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Terkait dengan tugas dan tanggung jawab DJP tersebut, DJP telah
melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
23
2.
2.
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah bertugas dan bertanggung jawab menyiapkan:
1. Sarana dan prasarana,
2. Struktur organisasi dan tata kerja,
3. Sumber Daya Manusia,
4. Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, dan SOP,
5. Kerja sama dengan pihak terkait, antara lain, Kantor Pelayanan Pajak,
perbankan, Kantor Pertanahan, dan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah,
dan
6. Pembukaan rekening penerimaan PBB-P2 pada bank yang sehat.
Matriks persiapan (tugas dan tanggung jawab) Pemerintah Daerah terkait
24
administrasi
PBB
(pendataan,
penilaian,
penetapan,
25
Teknologi Informasi seperti yang telah dimiliki oleh Pemerintah Pusat (DJP)
sebagai berikut:
Tabel 4: Kebutuhan Sarana dan Prasarana Teknologi Informasi
26
3.4
mendukung pemungutan pajak yang lebih murah dengan size yang lebih kecil
maka pendataan disebar ke daerah akan menjaadi lebih murah dibandingkan
sentralisasikan di pusat, pembayaran menjadi lebih jelas, pengawasan menjadi
lebih mudah, dan pembagian pajak antardaerah diharapkan menjadi lebih adil
sebagai bentuk otonomi daerah karena setiap daerah memiliki porsinya masingmasing. Hal ini berkaitan dengan ketentuan pasal 5,6,7,10,11,dan 12 Undang
Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat Dan Daerah. Penggunaan sanksi dalam pelanggaran peraturan perundangundangan dalam bidang perpajakan bukanlah menjadi sebuah solusi konkret
dalam memperbaiki mindset wajib pajak untuk melaksanakan kewajibannya akan
tetapi hanya akan menjadi celah bagi oknum pegawai dan pejabat pajak untuk
melakukan kegiatan curang untuk menghiindari pajak yang lebih besar. Sanksi
tersebut bukannya tidak penting akan tetapi sanksi adalah sebuah pilihan terakhir
dalam terjadinya sebuah deadlock, karena berdasarkan faktanya bahwa seringkalai
pengunaan sanksi dalam suatu pelanggaran hanya perlu sebagai tindakan refresif
atas suatu pelanggaran. Yang perlu dikedepankan tentunya adalah berkaitan
dengan kebijakan-kebijakan yang bersifat inovatif yang lebih mengedepankan
itikad baik wajib pajak. dalam rangka mewujudkan suatu pemerintahan daerah
27
yang mandiri dalam aspek keuangan tentunya pemerintah daerah yang diberikan
wewenang lewat prinsip otonomi daerah perlu untuk melakukan upaya-upaya
lewat kebijakan-kebijakan yang bersifat inovatif bukannya bersifat penghukuman
ataupun hanya tindakan tanpa pertimbangan-pertimbangan matang. Peningkatan
pendapatan daerah dapat ditempuh dengan kebijakan sebagai berikut :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
tergaantung
oleh
kebijakan-kebijakan
pemerintah
daerah
dalam
pertimbangan
pemerintah
daerah
tingkat
II
khususnya
dalam
meingkatkan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah adalah sebagai berikut
:
28
29
A.
30
(opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau suatu spekulasi
bisnis maupun kebijakan-kebijakan. Keempat faktor itulah yang membentuk
akronim SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats). Proses ini
melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis maupun
kebijakan- kebijakan dalam proyek dan mengidentifikasi faktor internal dan
eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut.
Analisis SWOT dapat diterapkan dengan cara menganalisis dan memilah berbagai
hal yang mempengaruhi keempat faktornya, kemudian menerapkannya dalam
gambar matrik SWOT, dimana aplikasinya adalah bagaimana kekuatan (strengths)
mampu mengambil keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang
ada, bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mencegah
keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada, selanjutnya
bagaimana kekuatan (strengths) mampu menghadapi ancaman (threats) yang ada,
dan terakhir adalah bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang
mampu membuat ancaman (threats) menjadi nyata atau menciptakan sebuah
ancaman baru. Teknik ini dibuat oleh Albert Humphrey, yang memimpin proyek
riset pada Universitas Stanford pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an dengan
menggunakan data dari perusahaan-perusahaan Fortune 500.
Tujuan analisis SWOT adalah untuk mengetahui dan melakukan
pembenahan sistem administrasi pemungutan pajak daerah agar lebih efektif dan
efisien.
1.
Keunggulan (Strenghts)
a.
b.
31
c.
d.
2.
Kelemahan (Weaknesses)
a.
b.
c.
d.
3.
Peluang (Opportunities)
a.
b.
c.
d.
e.
32
f.
4.
Ancaman (Threats)
a.
b.
c.
Wajib pajak tidak memberi keterangan yang jelas dan benar mengenai
jumlah penerimaan dari usaha yang dijalankan.
d.
e.
33
Weaknesses
Opportunities
Threats
Gambar 2
Matriks Analisis SWOT
External
Internal
Strenghts
34
B.
dalam meningkatkan pengelolaan pajak daerah di atas, maka berikut ini diberikan
beberapa upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah :
1.
2.
Memperluas
basis
penerimaan.
Tindakan
yang
dilakukan
untuk
Memperkuat
proses
pemungutan.
Upaya
memperkuat
proses
pemungutan,
yaitu
yang
antara
dilakukan
lain
dalam
mempercepat
5.
6.
dilakukan,
yaitu
kebijaksanaan
Pemerintah
untuk
35
8.
Sistem
administrasi
PBB
(pendataan,
penilaian,
penetapan,
10.
11.
36
4.1
Kesimpulan
1.
sumber
penerimaan
utama
bagi
daerah,
sehingga
3.
4.
5.
6.
Fungsi dengan adanya pengalihan sektor pajak PBB menjadi Pajak Daerah
bagi daerah sendiri adalah; (i) memberikan kewenangan yang lebih besar
kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin
37
dan
sekaligus
memperkuat
otonomi
daerah,
(iii)
4.2
Saran
Beberapa saran yang bisa diberikan khususnya untuk Pemerintah Daerah
yaitu :
1.
2.
3.
4.
38
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2012. Pengalihan PBB Pedesaan dan Perkotaan Sebagai Pajak Daerah
(online). pajak.go.id. (Diakses pada 21 Juli 2016).
Anonim. 2012. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Online).
id.wikipedia.org. (Diakses pada 21 Juli 2016).
Anonim. 2012. Objek dan Subjek Pajak (Online). www.pajakonline.com.
(Diakses pada 21 Juli 2016).
Anonim. 2012. Pajak Bumi dan Bangunan (Online). id.wikipedia.org. (Diakses
pada 21 Juli 2016).
Anonim. 2013. Kebijakan Fiskal (Online). id.wikipedia.org. (Diakses pada 21 Juli
2016).
Anonim. 2013. Pertumbuhan Ekonomi (Online). id.wikipedia.org. (Diakses pada
21 Juli 2016).
Anonim. Pendapatan Asli Daerah (Online). www.negarahukum.com. (Diakses
pada 21 Juli 2016).
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2011. Tinjauan Pelaksanaan
Pengalihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan BPHTB Menjadi Pajak
Daerah. Jakarta: Kemenkeu
Nota Keuangan dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2013
Pamuji, Kadar. Implikasi Kebijakan Pendaerahan Pengelolaan PBB Setelah
Berlakunya UU nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. (Online). Fh.unsoed.ac.id. Diakses pada 17 Februari
2013.
Peraturan Bersama Menteri Keuangan Menteri Dalam Negeri Nomor
213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan
Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai
Pajak Daerah.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2010 tentang Tata Cara
Persiapan Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak
Daerah.
39
Perpres Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Dana Alokasi Umum Untuk Daerah
Provinsi Dan Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2014
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak
Bumi dan Bangunan
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dan Daerah
www.pajak.go.id
www.djpk.depkeu.go.id
www.hukumonline.com