Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu faktor pendukung dalam kegiatan Pembangunan Nasional yang
telah lama dijalankan oleh pemerintah Republik Indonesia adalah pajak.
Keberadaan pajak memang terbukti sangat kuat pengaruhnya pada pemasukan
negara. Maka memang tidaklah berlebihan jika pemerintah sangat mengandalkan
pajak demi perputaran roda Pembangunan Nasional.
Kontribusi masyarakat di dalam pembayaran pajak memang sudah
selayaknya diperhitungkan sebagai salah satu upaya yang dilakukan oleh
pemerintah untuk mendongkrak peningkatan penerimaan dalam negeri. Di dalam
terminologi governance atau tata kepemerintahan, ada tiga komponen yang
terlibat dalam sebuah pemerintahan yaitu pemerintah sebagai public governance,
dunia usaha/swasta sebagai corporate governance, dan masyarakat sebagai civil
society. Dalam konteks ini, masyarakat sebagai civil society mempunyai peran dan
tanggung jawab yang cukup besar dalam mencitrakan sebuah good governance
atau tata kepemerintahan yang baik. (Erni Murniasih, 2005:478)
Pajak Penghasilan (PPh) sebagai salah satu cabang dari pajak yang
diterapkan pemerintah berperan aktif dalam menggerakkan laju pertumbuhan
perekonomian Indonesia. Pemerintah sendiri sangat menggantungkan Pajak
Penghasilan (PPh) yang dibebankan kepada Wajib Pajak (WP) sebagai kontribusi

APBN dan Pembangunan Nasional dengan harapan bahwa dengan adanya


kontribusi dari pajak maka angka hutang negara pada negara lain dapat ditekan.
Fungsi pajak dibedakan menjadi dua, yaitu pajak berfungsi sebagai sumber
dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaranpengeluarannya (pajak
budgetair) dan pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi (pajak regulerend)
(Wiwin Hidayati Wasduki, 2012:2).
Keberhasilan suatu pemerintahan perlu disokong oleh partisipasi
masyarakat. Maka dari itu, masyarakat perlu mamahami dan mengerti akan
pentingnya pajak sebagai salah satu faktor pendukung kelangsungan negara.
Sehingga pemerintah sendiri perlu mengoptimalkan penerimaan pajak yang
dihimpun dari masyarakat dengan sebaikbaiknya agar terciptanya hubungan
timbal balik yang positif antara pemerintah dan masyarakat.
Menurut lembaga pemungutnya, pajak dibagi ke dalam dua sub:
1. Pajak Pusat, yaitu pajak dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga negara. Contohnya adalah Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah, Bea Materai, dll.
2. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah (Wiwin Hidayati
Wasduki, 2012:2).

Meskipun telah banyak informasi mengenai perpajakan yang membantu


masyarakat untuk mudah dalam melakukan kewajiban pajaknya, namun
kepatuhan masyarakat dalam pembayaran pajak masih diluar harapan pemerintah.
Ketidakpatuhan masyarakat melaksanakan kewajiban perpajakannya, baik yang
tidak disengaja maupun disengaja telah menjadi perhatian khusus bagi pemerintah
Republik Indonesia setiap tahunnya. Ketika masyarakat yang dalam hal ini
berperan sebagai Wajib Pajak (WP), tidak mematuhi kewajibannya membayar
pajak, maka secara langsung maupun tidak langsung akan mengurangi
penerimaan negara di sektor pajak. Apalagi hal ini diperkeruh pula dengan
sedikitnya masyarakat yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan
mereka yang melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT).
Jumlah Wajib Pajak di kota Pekalongan sendiri memang mengalami
penambahan pada periode lima tahun terakhir, tetapi faktanya, justru pada tahun
2013 lalu Kassubag KPP Pratama Kota Pekalongan menyatakan bahwa tingkat
kepatuhan pajak di kota Pekalongan masih rendah. Berikut adalah tabel jumlah
Wajib Pajak PPh Pasal 21 yang didapat dari data KPP Pratama Kota Pekalongan
dari tahun 2009 sampai 2013:

Tabel 1.1
Jumlah Wajib Pajak PPh Pasal 21 di KPP Pratama Kota Pekalongan tahun
2009 - 2013
No

Tahun

Total

2009

Jumlah WP Terdaftar
(Kota dan Kab. Pekalongan,
Kab. Pemalang)
866

1
2

2010

1239

2105

2011

2907

5054

2012

2949

7961

2013

1541

9502

Jumah Keseluruhan WP

866

24622

Sumber: KPP Pratama Kota Pekalongan, Rabu, 4 Februari 2015 pukul 08.00 WIB
Dari Tabel 1.1 diatas, dapat diketahui bahwa meskipun total
keseluruhan jumlah Wajib Pajak PPh Pasal 21 yang terdaftar di KPP
Pratama Kota Pekalongan cenderung mengalami kenaikan, tetapi jumlah
Wajib Pajak PPh Pasal 21 yang terdaftar mengalami fluktuasi. Hal ini
menunjukkan bahwa KPP Pratama perlu meningkatkan lagi sosialisasi
pada masyarakat Pekalongan agar mampu menjaring masyarakat yang
potensial yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak di kota Pekalongan
agar mampu mencapai target yang telah direncanakan.
Perlu disadari bersama bahwa proses pemungutan pajak tidaklah
mudah. Proses ini memerlukan peran aktif aparat pajak dan juga kesadaran
diri para Wajib Pajak. Karena menurut PerundangUndangan Pajak,
Indonesia menganut sistem self assesment atau pemberian kepercayaan

pada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan


melaporkan sendiri jumlah pajak terutang kepada aparat pajak, sehingga
disinilah kesadaran diri dan juga pemahaman serta pengetahuan mengenai
perpajakan yang dimiliki oleh Wajib Pajak sangat diperlukan.
Pelaksanaan sistem self assesment tersebut harus didukung oleh
tingkat pemahaman dan kesadaran Wajib Pajak. Namun, di Indonesia,
tingkat kesadaran , pengetahuan dan pemahaman, serta kepatuhan pajak
pada diri Wajib Pajak masih sangatlah rendah (Susi Dianawati, 2008:18).
Kesadaran Wajib Pajak adalah salah satu faktor penting dalam
kelancaran proses pemungutan pajak. Hal ini dibuktikan dengan hasil-hasil
penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti, meski ada yang hasilnya
saling bertolak belakang. Hasil penelitian dari Lusia Rahmawati (2012)
dan Hariyadi Setyonugroho (2012) menyatakan bahwa kesadaran Wajib
Pajak tidak berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Sedangkan hasil
penelitian dari Siti Musyarofah (2008), Anisa Nurmala Santi (2012),
Fikriningrum (2012), dan Sapti Wuri Handayani, dkk (2013) menyatakan
bahwa kesadaran Wajib Pajak berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib
Pajak.
Pengetahuan Wajib Pajak di daerah-daerah terpencil di Indonesia
yang masih sangat kurang, terlebih mengenai tata cara, sistem, hingga
pengalokasian dana pajak yang selama ini mereka bayarkan pada aparat
pajak. Kondisi seperti ini semakin dipersulit dengan banyaknya isu-isu

miring tentang kasus-kasus seputar mafia pajak yang berpengaruh pula


dengan tingkat kepercayaan masyarakat dalam kepatuhan pajak.
Banyak daerah-daerah di Indonesia yang menjadi titik lemah akan
kepatuhan pajak. Sedangkan tingkat kesadaran Wajib Pajak di wilayah
yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu kota Pekalongan, menurut
Kasubbag Umum KPP Pratama Kota Pekalongan masih dinilai rendah.
(http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2014/03/11/19416
8/Kesadaran-Wajib-Pajak-di-Pekalongan-Dinilai-Masih-Rendah)
Fakta terbaru mengenai rendahnya kepatuhan Wajib Pajak PPh di
kota Pekalogan baru-baru ini peneliti dapatkan dari wawancara peneliti
dengan Bagian Informasi di KPP Pratama Kota Pekalongan dengan
Bagian Informasi di KPP Pratama Kota Pekalongan tentang tingkat
kepatuhan Wajib Pajak PPh Pasal 21 di wilayah kerja KPP Pratama Kota
Pekalongan pada hari Senin, 20 Januari 2014 pukul 14:00 WIB. Menurut
data di KPP Pratama Kota Pekalonngan, prosentase tingkat kepatuhan
Wajib Pajak PPh Pasal 21 selalu rendah setiap tahunnya yaitu berkisar
pada angka 1%.
Hal ini didukung pula dengan tingkat kepatuhan SPT Tahunan PPh
sampai pada tahun 2014 yang hanya sebesar 60%. Dengan kata lain,
sekitar 40% Wajib Pajak PPh tidak membayar dan melaporkan SPT
Tahunannya pada 2014. Lebih lanjut, Bagian Informasi KPP Pratama Kota
Pekalongan menyatakan bahwa prosentase tingkat kepatuhan PPh Pasal 21

sangat bertolak belakang dengan prosentase tingkat kepatuhan PPN yang


hampir selalu menyentuh angka 100% per tahunnya.
Selanjutnya, menurut Bagian Informasi KPP Pratama Kota
Pekalongan pada tahun 2013 lalu, pemerintah Republik Indonesia
mengeluarkan peraturan tentang pengalihan kepengurusan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) yang semula dihandle oleh Pemerintah Pusat melalui
Kantor Pelayanan Pajak, dialihkan kepengurusannya ke Pemerintah
Daerah (Pemda) di seluruh Indonesia.
KPP Pratama Kota Pekalongan sendiri sempat menangani PBB
sebelum adanya pengalihan di tahun 2013 tersebut, tetapi sebelum
pengalihan maupun setelah pengalihan, database PBB dan PPh Pasal 21
terpisah satu sama lain. Sehingga hal tersebut tidak mempengaruhi geliat
PBB maupun PPh Pasal 21 itu sendiri, maka menurut Bagian Informasi
KPP Pratama Kota Pekalongan, fluktuasi di dalam PPh Pasal 21 (tingkat
pertumbuhan Wajib Pajak, penerimaan, hingga target yang dicapai)
bersifat independen dan tidak terikat dengan apapun yang terjadi pada
PBB dan pajak lain yang ditangani oleh KPP Pratama Kota Pekalongan.
Pengetatan peraturan perpajakan khususnya PPh Pasal 21 oleh
pemerintah dengan meluncurkan program e-SPT atau pegisian SPT secara
online menurut Bagian Informasi KPP Pratama Kota Pekalongan masih
perlu didukung oleh sosialisasi di masyarakat. Sebab perbaikan sistem
perpajakan juga diperlukan guna mendongkrak angka kepatuhan pajak

khususnya pada PPh Pasal 21 yang angka kepatuhan pajaknya selalu


rendah. Lebih lanjut, Kasi Waskon KPP Pratama Kota Pekalongan
mengatakan bahwa sistem perpajakan di Indonesia sendiri sempat
menggunakan official system di era 80 an, tetapi karena adanya pergantian
sistem pemerintahan di Indonesia maka secara otomatis akan berdampak
pula pada sistem perpajakan yang ada di Indonesia.
Menurut Kasi Waskon KPP Pratama Kota Pekalongan, official
system lebih baik dari self assessment system karena official system
cenderung lebih efektif dan teratur. Dengan official system kepatuhan
Wajib Pajak juga lebih terkontrol dan mampu meningkatkan prosentase
tingkat kepatuhan PPh Pasal 21 di wilayah kerja KPP Pratama Kota
Pekalongan yang meliputi Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, dan
Kabupaten Pemalang.
Memang perlu disadari bahwa dalam upaya meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak harus didukung oleh peran aktif para aparat pajak
dan juga kemauan Wajib Pajak sendiri dalam membayar pajak. Kemauan
Wajib Pajak dalam membayar pajak adalah faktor penting dalam
penarikan pajak. Hal ini sudah pasti akan berpengaruh pada sistem
perpajakan Indonesia, yaitu self assessment system.
Self assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang
memberikan kepercayaan terhadap Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak terutang serta

mempertanggung jawabkan pajak terutang (Fikriningrum, 2012:7). Pajak


terutang harus dibayarkan sesuai dengan ketentuan peaturan PerundangUndangan Pajak yang berlaku di Indonesia demi menghindari kecurangan
dan penyelewengan baik dari oknum pajak tak bertanggung jawab, agar
supaya sistem perpajakan di Indonesia menjadi lebih baik dan mampu
meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk patuh membayar pajak di
kemudian hari.
Apalagi, sempat pula diadakannya pemberian Sunset Policy
sebagai tax amnesty bagi para Wajib Pajak oleh pemerintah beberapa
tahun lalu yang tentunya diharapkan sangat efektif dalam proses penarikan
pajak nantinya, khususnya pada KPP Pratama Kota Pekalongan selain
penggencaran kegiatan sosialisasi pajak oleh KPP tersebut pada
masyarakat kota Pekalongan pada masa kini. Dikarenakan begitu
banyaknya masalah pajak di masyarakat, maka sosialisasi oleh aparat
pajak terhadap masyarakat memang perlu dilakukan.
Ada dua aspek perpajakan yang perlu disosialisasikan. Pertama,
aspek kesadaran dan pemahaman tentang pajak. Aspek inilah sebenarnya
yang harus diarahkan ke masyarakat luas, baik itu Wajib Pajak atau bukan.
Alat yang efektif adalah sekolah dan perguruan tinggi.
Aspek kedua yaitu teknis dari perpajakan. Pengetahuan teknis ini
sebaiknya diberikan langsung kepada pihak yag akan melaksanakan
kewajiban pajaknya. Misalnya, sosialisasi tentang pengisian SPT atau

10

sosialisasi tentang perubahan peraturan pajak. Sosialisasi aspek ini


nampaknya memang lebih cocok diberikan oleh kantor pajak Aspek kedua
yaitu teknis dari perpajakan.
Pengetahuan teknis ini sebaiknya diberikan langsung kepada pihak
yag akan melaksanakan kewajiban pajaknya. Misalnya, sosialisasi tentang
pengisian SPT atau sosialisasi tentang perubahan peraturan pajak.
Sosialisasi aspek ini nampaknya memang lebih cocok diberikan oleh
kantor pajak (Susi Dianawati, 2008:20).
Tetapi jika sosialisasi dilakukan oleh kantor pajak, peserta
sosialisasi biasanya enggan datang karena mungkin masih terdapat jarak
psikologis antara Wajib Pajak dan aparat pajak. Dengan modernisasi
kantor pajak, masalah ini akan teratasi karena dengan sifat struktur dan
kultur yang baru memungkinkan adanya saling percaya antara Wajib Pajak
dan aparat pajak sehingga jarak psikologisnya semakin berkurang.
Hasil penelitian dari Kristina Widyanti (2013) pengetahuan pajak
mempunyai pengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap kepatuhan
Wajib Pajak dalam membayar pajak. Penelitian ini didukung oleh hasil
penelitian dari Muhammad Edo, dkk (2012) yang menyatakan bahwa
pengetahuan Wajib Pajak tentang pajak tidak berpengaruh terhadap
kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak. Sedangkan hasil
penelitian dari Fery Istanto (2010), Monica Dian Anggraeni dan Endang
Kiswara (2011), Fikriningrum (2012), Hariyadi Setyonugroho (2012),

11

Sapti Wuri Handayani, dkk (2013), Sylivia Fitriana, dkk (2013), dan Bona
Imelda (2014) menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman peraturan
perpajakan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemauan Wajib
Pajak dalam membayar pajak.
Selain kesadaran dan pengetahuan akan pajak, tingkat kepercayaan
Wajib Pajak terhadap aparat pajak juga termasuk pondasi yang dibutuhkan
dalam kelancaran proses pemungutan pajak. Maka, tidak sedikit pula
peneliti yang meneliti pengaruh kepecayaan terhadap kepatuhan Wajib
Pajak, seperti hasil penelitian dari Scholz dan Lubell (1998) dan Togler
dan Schneider (2004) menyatakan bahwa kepercayaan berpengaruh
terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Namun, Sapti Wuri Handayani, dkk
(2013) menyatakan bahwa kepercayaan terhadap sistem pemerintahan dan
hukum tidak berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
Tingkat kepercayaan Wajib Pajak terhadap sistem pemerintahan
dan hukum di Indonesia masih tergolong minim. Banyak Wajib Pajak di
Indonesia, termasuk Wajib Pajak di kota Pekalongan yang sengaja
menghindari pembayaran pajak karena sebagian besar diantara mereka
trauma dengan mencuatnya kasus mafia pajak beberapa tahun yang lalu.
Menurut wawancara peneliti dengan Bagian Waskon di KPP
Pratama Kota Pekalongan pada hari Rabu, 4 Februari 2015 pukul 12.00
WIB, meski pemerintah telah memperketat sistem untuk semua jenis
pajak, namun trauma yang membekas pada persepsi mereka terhadap hal

12

yang

berbau

pajak

seakan

membuat

mereka

teringat

kembali

penyelewengan mafia pajak tersebut.


Masih menurut Bagian Waskon KPP Pratama Kota Pekalongan,
setahun setelah kasus itu memanas, pemerintah menggelontorkan dana
yang cukup banyak untuk mensosialisasikan pajak melalui media massa.
Hal tersebut gencar dilakukan oleh pemeritah karena selain untuk
membangun kembali citra pajak di masyarakat, pemerintah juga berupaya
untuk membuat masyarakat yang notabene merupakan Wajib Pajak tidak
terpengaruh isu miring tentang mafia pajak.
Lebih lanjut, Bagian Waskon KPP Pratama Kota Pekalongan
menganggap bahwa apabila pemerintah mampu membuat masyarakat
percaya pada sistem yang ada pada negaranya sediri khususnya sistem
perpajakan yang telah disosialisasikan lewat media massa tersebut, maka
tingkat kepercayaan masyarakat sebagai Wajib Pajak akan meningkat,
demikian pula dengan tingkat kepatuhan pajak. Hal ini mungkin saja
terjadi apabila pengetatan peraturan tentang perpajakan oleh pemerintah
dibarengi dengan komunikasi yang baik antara Wajib Pajak dengan aparat
pajak dan pemerintah.
Tingkat kepatuhan pajak juga dipengaruhi oleh peraturan
perpajakan yang diterapkan oleh Ditjen Pajak maupun pemerintah
Republik Indonesia. Salah satu peraturan yang diberikan pada Wajib Pajak
tersebut adalah pemberian Sunset Policy. Program ini menekankan pada

13

sistem penghapusan sanksi administrasi pajak yang diharapkan mampu


meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak.
Tingkat kepatuhan pajak juga dipengaruhi oleh peraturan
perpajakan yang diterapkan oleh Ditjen Pajak maupun pemerintah
Republik Indonesia. Salah satu peraturan yang diberikan pada Wajib Pajak
tersebut adalah pemberian Sunset Policy. Program ini menekankan pada
sistem penghapusan sanksi administrasi pajak yang diharapkan mampu
meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak.
Menurut Tatiana Ratung dan Priyo Hari Adi (2009), dalam rangka
untuk meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah mengeluarkan
program Sunset Policy dalam bidang perpajakan. Inti dari program ini
adalah adanya pengampunan pajak (tax amnesty). Kebijakan dalam bidang
perpajakan ini diharapkan dapat meningkatkan kemauan membayar
(willingness to pay) pajak dari Wajib Pajak dan program ini telah
dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada 2008 silam, tetapi pengaruhnya
sangat terasa sampai sekarang dengan banyaknya masukan dan saran
kepada pemerintah, baik dari Wajib Pajak maupun aparat pajak untuk
meneruskan program ini secara berkala karena hal ini sangat berpengaruh
pada peningkatan pendapatan pajak di Indonesia.
Hasil penelitian tentang pengaruh Sunset Policy terhadap
kepatuhan Wajib Pajak dari beberapa peneliti terdahulu menunjukkan
perbedaan hasil yang mampu dijadikan sebagai research gap untuk segera

14

dibahas dalam penelitian ini, seperti hasil penelitian dari Tatiana Ratung
(2009) menyatakan dalam penelitiannya bahwa program Sunset Policy
berpengaruh signifikan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
kemauan membayar pajak. Sedangkan Mira Novana Ardiani (2010) dalam
Monica Dian Anggraeni (2010) menemukan bahwa program Sunset Policy
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
Meski ada beberapa peneliti yang menyatakan bahwa program
Sunset Policy membantu peningkatan jumlah Wajib Pajak, akan tetapi
jumlah penambahan Wajib Pajak PPh Pasal 21 yang terdaftar di KPP
Pratama Kota Pekalongan setelah adanya program ini justru cenderung
mengalami penurunan. Dari data yang diperoleh dari Bagian Informasi di
KPP Pratama Kota Pekalongan, jumlah penambahan Wajib Pajak PPh
Pasal 21 yang terdaftar pada tahun 2007 (1 tahun sebelum Sunset Policy)
sejumlah 889 Wajib Pajak.
Selanjutnya, pada saat diberlakukannya program ini oleh
pemerintah di tahun 2008, jumlah Wajib Pajak PPh Pasal 21 yang terdaftar
memang sempat bertambah menjadi 900 Wajib Pajak PPh Pasal 21. Tetapi
tahun berikutnya jumlah tersebut turun ke angka 866 Wajib Pajak PPh
Pasal 21. Menurut Bagian Waskon KPP Pratama Kota Pekalongan,
program ini kurang disosialisasikan pada masyarakat di wilayah kerja KPP
Pratama Kota Pekalongan sehingga mungkin faktor inilah yang menjadi
pemicu kurangnya informasi yang diperoleh oleh Wajib Pajak di wilayah

15

kerja KPP Pratama Kota Pekalongan. Akibatnya, jumlah penambahan


Wajib Pajak PPh Pasal 21 yang terdaftar di KPP Pratama Kota Pekalongan
sangat sedikit. Fenomena ini menarik peneliti untuk mengambil variabel
pemberian Sunset Policy dalam penelitian ini guna mengetahui kevalidan
efektifitas pengaruh variabel ini terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak
PPh Pasal 21 di KPP Pratama Kota Pekalogan.
Setelah mengupas tentang variabel-variabel yang akan peneliti
teliti di dalam penelitian ini beserta research gap dari hasil peneliti
terdahulu pada setiap variabel, maka peneliti memutuskan untuk meneliti
tentang pengaruh keempat variabel yang telah dijelaskan diatas, yaitu
tingkat kesadaran (X1), tingkat kepercayaan (X2), tingkat pengetahuan
perpajakan (X3), dan pemberian Sunset Policy (X4) terhadap kepatuhan
Wajib Pajak dalam membayar pajak PPh pasal 21 (Y).
Berdasarkan

uraian-uraian

di

atas,

maka

peneliti

akan

mengembangkan penelitian mengenai hal ini dalam skripsi dengan judul


Analisis Pengaruh Tingkat Kesadaran, Tingkat Kepercayaan,
Tingkat Pengetahuan Perpajakan, dan Pemberian Sunset Policy
Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak dalam Pembayaran Pajak
Penghasilan Pasal 21 (Study Kasus di KPP Pratama Kota
Pekalongan).

16

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas, maka perumusan
masalah akan penelitian ini adalah:
1. Apakah tingkat kesadaran Wajib Pajak berpengaruh signifikan
terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran pajak
pribadi?
2. Apakah tingkat kepercayaan Wajib Pajak berpengaruh signifikan
terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran pajak
pribadi?
3. Apakah tingkat pengetahuan perpajakan Wajib Pajak berpengaruh
signifikan terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran
pajak pribadi?
4. Apakah pemberian Sunset Policy berpengaruh signifikan terhadap
tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran pajak pribadi?
5. Apakah tingkat kesadaran, tingkat kepercayaan, tingkat pengetahuan
perpajakan, dan pemberian Sunset Policy secara bersama-sama
berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam
pembayaran pajak pribadi?

17

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini yaitu untuk memberikan bukti empirik
bagaimana pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung antara
tingkat kesadaran, tingkat kepercayaan, tingkat pengetahuan perpajakan
dan pemberian Sunset Policy terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak
dalam pembayaran pajak pribadi di kota Pekalongan. Adapun tujuan
dibuatnya penelitian ini yaitu:
1. Untuk memperoleh bukti empiris bahwa tingkat kesadaran berpengaruh
terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran pajak
pribadi di kota Pekalongan.
2. Untuk memperoleh bukti
berpengaruh

terhadap

empiris bahwa

tingkat

kepatuhan

tingkat
Wajib

kepercayaan
Pajak

dalam

pembayaran pajak pribadi di kota Pekalongan.


3. Untuk memperoleh bukti empiris bahwa tingkat pengetahuan
perpajakan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam
pembayaran pajak pribadi di kota Pekalongan.
4. Untuk memperoleh bukti empiris bahwa pemberian Sunset Policy
berpengaruh

terhadap

tingkat

kepatuhan

Wajib

Pajak

dalam

pembayaran pajak pribadi di kota Pekalongan.


5. Untuk memperoleh bukti empiris bahwa tingkat kesadaran, tingkat
kepercayaan, tingkat pengetahuan, dan pemberian Sunset Policy secara
bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak
dalam pembayaran pajak pribadi di kota Pekalongan.

18

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak
yang membutuhkan. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagi Peneliti
Untuk memperluas wawasan mengenai pengaruh tingkat kesadaran,
tingkat kepercayan, tingkat pengetahuan perpajakan, dan pemberian
Sunset Policy terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam
pembayaran pajak pribadi.
2. Bagi Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan mampu member manfaat dalam
menambah ilmu pengetahuan dan perbendaharaan pustaka serta
diharapkan mampu menjadi referensi bagi mahasiswa yang masih
menempuh studi dan penelitian.
3. Bagi Masyarakat dan Wajib Pajak
Diharapkan dapat memberikan masukan dalam rangka mengembangkan
tingkat kesadaran, tingkat kepercayan, tingkat pengetahuan perpajakan,
dan memahami tentang sistem pemberian Sunset Policy sehingga
mampu menambah tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran
pajak pribadi.
4. Bagi KPP Pratama Kota Pekalongan
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi
pengembangan teori dan sistem yang berkaitan dengan sosialisasi untuk

19

menambah kesadaran, kepercayan, pengetahuan perpajakan, dan


program pemberian Sunset Policy pada Wajib Pajak guna menambah
kepatuhan Wajib Pajak di kota Pekalongan dalam pembayaran pajak
pribadi di KPP setempat pada khususnya.

Anda mungkin juga menyukai