Anda di halaman 1dari 5

Bagaimana Sri Mulyani Menjaga Jarak

dengan Politik dan Politisi?


Senin, 1 Agustus 2016 | 07:32 WIB

Oleh: Wisnu Nugroho

Mereka yang ditangisi ketika pergi, akan disambut dengan kegembiraan ketika
kembali. Banyak contoh untuk sosok seperti ini. Minggu lalu, kita melihatnya dalam
sosok Sri Mulyani.
Bersamaan dengan 20 tahun peringatan 27 Juli, di teras Istana Negara, Jakarta,
Rabu (27/7/2016), Presiden Joko Widodomengumumkan menteri-menteri baru
dalam rangka perombakan kedua kabinet kerja.
(Baca: Presiden Jokowi Umumkan Perombakan Kedua Kabinet Kerja)
Ada sembilan nama baru dalam perombakan kedua di tahun kedua pemerintahan
Jokowi ini. Namun, dari sembilan nama itu, satu nama mencuri perhatian dan
diperkenalkan pertama kali oleh Presiden Jokowi. Dia adalah Sri Mulyani.
Sri Mulyani pergi meninggalkan tanah air yang dicintainya saat menjabat sebagai
Menteri Keuangan pada 5 Mei 2010. Ini adalah jabatan keduanya setelah di rentang
periode 2004-2009, Sri Mulyani juga menjabat sebagai Menteri Keuangan di Kabinet
Indonesi Bersatu I pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebelum kepergiannya, kemelut politik yang berpusat pada kasus Bank Centuty
menyeret namanya. Simpati dan air mata tanda tidak rela mengiringi kepergian Sri
Mulyani menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia di Amerika.
Dalam kemelut politik enam tahun lalu itu, Sri Mulyani terlihat tegar. Ketika
menghadapi anggota DPR yang mencecarnya dengan berbagai pertanyaan, Sri
Mulyani tenang dan lantang memberi jawaban.
Ketenangan itu juga tampak saat Sri Mulyani ditanya persiapan apa yang dilakukan
menghadapi pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan senyum
ditahan, Sri Mulyani mengemukakan ingin mengenakan baju baru.
Kita tahu, saat itu KPK memiliki baju baru untuk para tersangka kasus korupsi yaitu
rompi warna oranye. Jawaban Sri Mulyani yang disampaikan 28 April 2010 itu
menjadi seperti teka-teki dan "ledekan" kepada para politisi.

Teka-teki itu terjawab dua hari setelahnya saat Presiden Yudhoyono menerima dan
membaca surat dari Presiden Bank Dunia Robert Zoelick. Pada 25 April 2010,
Zoelick berkirim surat ke Presiden Yudhoyono tentang niatnya mengangkat Sri
Mulyanisebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia.
(Baca: Kenapa Bank Dunia Pilih Sri Mulyani)
Bank Dunia adalah baju baru yang disiapkan Sri Mulyani ketika menyampaikannya
dengan senyum sebelum pemeriksaan KPK.

TRIBUNNEWS/DANY PERMANAManaging

Director Bank Dunia, Sri Mulyani Indrawati, bersaksi dalam sidang mantan
Deputi Bidang IV Pengelolaan Devisa Bank Indonesia, Budi Mulya, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta, Jumat (2/5/2014). Pada Rabu (27/7/2016) Sri Mulyani kembali dilantik menjadi Menteri Keuangan RI.

Untuk pilihan baju baru yang mengharuskan Sri Mulyani pergi, Presiden Yudhoyono
termasuk salah satu yang berat hati dan "menangisi". Kehilangan menteri terbaik
saat pemerintahan minim prestasi adalah pukulan berat.
Presiden Yudhoyono Memuji
Soal predikat menteri terbaik bukan basa-basi seperti biasa disampaikan untuk
melipur lara seseorang yang akan pergi. Selain diucapkan Presiden Yudhoyono,
predikat menteri terbaik untuk Sri Mulyani bisa ditilik dari hal paling sederhana:
nomor polisi sedan dinasnya.
Dilantik sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, Oktober 2004, Sri Mulyani memakai RI 41.

Saat perombakan kabinet pertama, November 2005, Sri Mulyani memakai RI 20


karena dipercaya menjadi Menteri Keuangan.
Dua tahun menjadi Menteri Keuangan, Mei 2008, Sri Mulyanimendapat tugas
tambahan karena Boediono memilih menjadi Gubernur Bank Indonesia daripada
bertahan menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Selain naik RI 20, Sri Mulyani juga kerap naik RI 12 karena jabatan yang
dirangkapnya sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Di dua periode pemerintahan Presiden Yudhoyono, tidak ada menteri yang
prestasinya seperti Sri Mulyani. Lebih istimewa lagi, di periode itu, Sri Mulyani adalah
satu-satunya menteri yang dipanggil "mbak" bukan ibu. "Mbak" dipakai untuk
membedakan dengan Ibu Ani Yudhoyono.
Tidak mengherankan jika Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono merekam
khusus sambutannya untuk perombakan kedua kabinet kerja ini.
Dengan suka cita, Yudhoyono memberi selamat atas pergantian menteri sambil
menegaskan posisi Partai Demokrat yang didirikan dan kini dipimpinnya sebagai
penyeimbang. Sri Mulyani yang enam tahun lalu dilepas dengan berat hati dan
"ditangisi", secara khusus juga disebut namanya dalam rekaman ini.
Tidak hanya Presiden ke-6 RI yang angkat bicara soal Sri Mulyani. Ketua Dewan
Pembina Partai Golongan Karya Aburizal Bakrie yang "berseteru" dengan Sri
Mulyani sebelum pergi bahkan sudah memprediksi.
Aburizal mengakui ketokohan dan kemampuan Sri Mulyani untuk jabatan yang
sebenarnya tidak baru sebagai Menteri Keuangan. Aburizal berharap Sri
Mulyani membawa angin segar bagi perekonomian Indonesia.
(Baca: Harapan Aburizal dengan Masuknya Sri Mulyani di Kabinet Kerja)
Dari pernyataan Aburizal, tidak tergambar bagaimana suasana hatinya mengingat
perseteruan lamanya dengan Sri Mulyani. Posisi Partai Golkar yang terlihat ingin
sekali masuk kabinet bersamaan dengan penunjukan Sri Mulyani oleh Presiden
Jokowi ini tampaknya membuat suasana campur aduk.
Terlebih lagi, sejak Aburizal digantikan Setya Novanto sebagai Ketua Umum
Partai Golkar, partai berlambang beringin ini telah menyatakan sikap untuk
mendukung pencalonan Jokowi dalam Pemilihan Presiden 2019.

Mengambil jarak
Dukungan itu kembali ditegaskan dalam penutupan Rapat Pimpinan Nasional
Partai Golkar, sehari setelah perombakan kedua kabinet kerja dan seorang kader
Partai Golkar diakomodasi. Terkait dukungan terbuka itu, Jokowi yang hadir dalam
acara itu menolak menanggapi.
Selama pidato di acara yang juga dihadiri Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan Megawati Soekarnoputri itu, Jokowi sama sekali tidak menyingung
PIlpres 2019. Dukungan Partai Golkar disingung terkait pemerintahan periode 20142019, bukan Pilpres 2019.
Tidak disinggungnya dukungan Partai Golkar untuk Jokowi di Pilpres 2019
tampaknya merupakan upaya Jokowi mengambil jarak dengan Partai Golkar. Apa
yang diperlihatkan Megawati dengan menolak diajak berfoto bersama di akhir acara
itu adalah ungkapan lebih kuat terkait pengambilan jarak itu.
Sebagai korban rezim orde baru dengan motor utama Golkar, Megawati tahu betul
bagaimana harus bersikap dan mengambil jarak dengan partai yang sekarang
berganti nama itu.
Untuk urusan mengambil jarak dengan politik dan politisi, Sri Mulyani kerap
menunjukkan secara terbuka ketika menjadi menteri. Ingatan saya untuk hal ini
tertuju pada lapangan parkir Hall D Jakarta International Expo di Kemayoran, 20
Agustus 2009.
Malam itu, hawa terasa gerah lantaran kemarau. Lapangan parkir Hall D telah
disulap seperti cawan raksasa berwana biru. Lampu-lampu dipancarkan ke
panggung tempat Susilo Bambang Yudhoyono akan tampil didampingi Boeidono
sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Banyak anggota tim kampanye SBY-Boediono datang termasuk mereka yang selama
ini tidak muncul secara fisik karena berbagai alasan. Di antara mereka adalah
Murdaya Poo yang masih menjadi kader PDI-P dan Aburizal Bakrie yang partainya
mencalonkanJusuf Kalla.
Sejumlah menteri juga hadir di acara yang dirancang Fox Indonesia ini termasuk Sri
Mulyani. Berbeda dengan menteri lain, tepat sesaat sebelum SBY naik panggung
dengan banyak sorot lampu untuk menyampaikan pidato penerimaan, Sri
Mulyanipergi.
Tidak terkonfirmasi kenapa Sri Mulyani yang mengenakan batik warna cerah itu
pergi di saat acara inti akan dimulai dan tidak kembali.

Bagi saya, sikap Sri Mulyani mengkonfirmasi upayanya mengambil jarak dengan
politik dan politisi selama ini. Sri Mulyani tidak anti terhadap politik dan politisi sejauh
wajar dan perlu. Jika sudah menilai tidak wajar dan terlalu, mengambil jarak dengan
"pergi" adalah pilihan strategi.
Konsitensi dukungan
Terkait dukungan Partai Golkar di Pilpres 2019, pidato Jokowi di penutupan
Rapimnas Golkar yang berkali-kali menekankan konsistensi daripada menyambut
begitu saja dukungan.
Berkaca pada pengalaman Pilpres sejak 2014, konsitensi ini yang menjadi faktor
kekalahan Partai Golkar dan calon presiden dan calon wakil presiden yang
diusungnya secara resmi. Sejak Pilpres 2004, 2009, dan 2014, konsistensi
Partai Golkar mendukung calon presiden dan calon wakil presidennya tidak terlihat.
Di Pilpres 2004, di putaran kedua, Partai Golkar mendukung Megawati-Hasyim
Muzadi dan Pilpres dimenangkan SBY-Jusuf Kalla (petinggi Partai Golkar).
Di Pilpres 2009, Partai Golkar mendukung Jusuf Kalla-Wiranto dan Pilpres
dimenangkan SBY-Boediono yang didukung Aburizal dari belakang.
Di Pilpres 2014, Partai Golkar mendukung Prabowo-Hatta dan Pilpres dimenangkan
Jokowi-Jusuf Kalla yang didukung petinggiGolkar lain seperti Luhut B Panjaitan.
Melihat permainan dua kaki sebagai tanda keroposnya konsistensi, mengambil jarak
dan jika dirasa perlu "pergi" bisa jadi strategi.
Hadirnya Sri Mulyani bisa menambah keberanian untuk sikap-sikap seperti ini.

Anda mungkin juga menyukai