Anda di halaman 1dari 41

DIABETES MELITUS

TIPE 2

Pembimbing:
Dr. DONNY GUSTIAWAN, Sp.PD
Disusun Oleh:
Nama

: INDRIA PARAMITHA

NPM

: 110. 2007.146

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI
OKTOBER 2011
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 1

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah
dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan sari pustaka yang berjudul
DIABETES MELITUS TIPE 2.
Sari pustaka ini merupakan salah satu syarat untuk ujian pada Departemen Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Bekasi.
Terwujudnya sari pustaka ini adalah berkat bantuan dan dorongan berbagai
pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada :
1. Dr. Donny Gustiawan, Sp.PD selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
pengarahan dalam penulisan Sari Pustaka ini.
2. Dosen-dosen Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Yarsi yang telah banyak berjasa
memberikan bimbingan dan pengajaran kepada penyusun selama ini.
3. Para perawat, yang telah banyak membantu selama kepaniteraan ini.
4. Orang tua, yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan baik moril dan
materiil.
5. Rekan-rekan kepaniteraan SMF Ilmu Penyakit Dalam, atas bantuan, dukungan,
dan
kerjasamanya.

Penulis menyadari bahwa sari pustaka ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga
penyusunan ini dapat lebih baik sesuai dengan hasil yang diharapkan.
Akhir kata dengan mengucapkan Alhamdulilah, semoga Allah SWT selalu
meridhoi kita semua dan tulisan ini dapat bermanfaat.

Jakarta, Oktober 2011


Penulis

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 2

DAFTAR ISI
Daftar Isi...................

Kata Pengantar. ....................

ii

Bab I Pendahuluan......................................................................................

I.1 Latar Belakang ..................................

Bab II Diabetes Mellitus Tipe 2.................................................................

2.1 Gambaran Umum ................................

2.2 Epidemiologi .......................................

2.3 Etiologi ........................................

2.4 Patofisiologi.................................

2.5 Manifestasi klinik.........................

2.6 Pemeriksan penunjang.....................................

2.7 Diagnosis ............................................

13

2.8 Penatalaksanaan ..........................

17

2.9 Komplikasi ..................................

34

2.10 Pengendalian.......................................................................................

35

2.11 Prognosis......................................

35

Bab III Penutup ............................................................................................


3.1 Kesimpulan ...................................

36

Daftar Pustaka .......................................

37

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 3

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

LATAR BELAKANG
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang dinyatakan

dengan adanya hiperglikemia kronik dan gangguan pada metabolisme karbohidrat,


lemak dan protein yang berkaitan dengan perkembangan terjadinya kelainan,
disfungsi dan kerusakan beberapa organ khususnya mata, ginjal, saraf, jantung dan
pembuluh darah (Suyono, 2007).
Sebagian besar gambaran patologik Diabetes Melitus (DM) dapat
dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin yaitu:
(1)Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh, mengakibatkan peningkatan
konsentrasi glukosa darah hingga 300-1.200 mg/dL; (2)Peningkatan metabolisme
lemak, menyebabkan terjadinya metabolisme lemak abnormal disertai dengan
endapan kolesterol pada dinding pembuluh darah sehingga timbul gejala
aterosklerosis; dan (3)Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh (Soegondo, 2005).
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit dengan konsentrasi gula darah
tinggi dalam darah (hiperglikemia), diakibatkan karena defisiensi insulin relatif
maupun absolut. Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel
terhambat serta metabolisme glukosa yang terganggu. Dalam keadaan normal, kirakira 50% glukosa yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan
air, 5% diubah menjadi glikogen dan kira-kira 3040% diubah menjadi lemak. Pada
penderita DM semua proses terganggu, glukosa tidak dapat ke dalam sel, sehingga
energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak (Soegondo, 2005).
Hiperglikemia sendiri relatif tidak berbahaya, kecuali apabila berlebihan
sehingga darah menjadi hiperosmotik terhadap cairan intrasel. Kondisi yang
berbahaya adalah glikosuria karena glukosa bersifat diuretik osmotik, sehingga
diuresis meningkat disertai hilangnya berbagai elektrolit. Hal ini menyebabkan
dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada penderita Diabetes Melitus (DM) yang tidak
diobati. Karena adanya dehidrasi, maka tubuh berusaha mengatasi dengan banyak
minum (polidipsia). Badan kehilangan empat kalori untuk setiap gram glukosa yang
diekskresi. Sedangkan, polifagia timbul karena perangsangan pusat nafsu makan di
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 4

hipotalamus oleh kurangnya pemakaian glukosa di kelenjar itu (Soegondo, 2006).


Saat ini angka kejadian Diabetes Melitus (DM) diperkirakan akan terus
meningkat. Berbagai penelitian di Indonesia menunjukkan peningkatan prevalensi
dari 1.5-2.3% menjadi 5.7% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun (Subekti, 2004).
Diabetes Melitus (DM) sering disebut sebagai the great imitator karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. DM
yang tidak ditangani dapat mengakibatkan berbagai penyulit atau komplikasi yang
meliputi komplikasi akut dan kronik (Supartondo dan Waspadji, 2003).
Prevalensi Diabetes Melitus Tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 36% dari orang dewasa. Negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan
ekonominya sangat menonjol, seperti di Singapura, kekerapan DM sangat meningkat
dibanding dengan 10 tahun yang lalu. Menurut penelitian epidemiologi yang sampai
saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan DM di Indonesia berkisar antara 1,4
dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang,
2,3% dan di Manado 6% (Suyono, 2007).
Gaya hidup mempengaruhi kejadian Diabetes Melitus (DM), di mana
penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah urban
yaitu di kelurahan Kayu putih adalah 5,69%, sedangkan di daerah rural di suatu
daerah di Jawa Barat tahun 1995, angka kejadian sekitar 1,1%. Penelitian terakhir
antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan pevalensi DM Tipe 2
sebesar 14.7%, di Makassar prevalensi DM terakhir tahun 2005 yang mencapai
12.5% (Soegondo, 2006).
Jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan
peningkatan jumlah pasien Diabetes Melitus (DM) yang jauh lebih besar yaitu 86138%. Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan tersebut diantaranya (Suryono
Slamet, 2006) :
a. Faktor demografi : 1) Jumlah penduduk meningkat
2) Penduduk usia lanjut betambah banyak
3) Urbanisasi makin tak terkendali
b. Gaya hidup yang kebarat-baratan : 1) Penghasilan per capita tinggi
2) Restoran siap santap
3) Teknologi canggih menimbulkan sedentary
life, kurang gerak badan
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 5

c. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi


d. Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih
panjang.
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang sangat
sering dijumpai di Indonesia. Semakin hari angka kesakitannya semakin meningkat.
Dengan referat ini diharapkan dapat menambah pemahaman pembaca tentang
Diabetes Melitus (DM) serta dapat berguna bagi panduan untuk tatalaksana penyakit
metabolik yang paling sering di jumpai di masyarakat Indonesia.

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 6

BAB II
DIABETES MELITUS TIPE 2
2.1.

GAMBARAN UMUM DIABETES MELITUS


Meningkatnya prevalensi Diabetes Melitus (DM) di beberapa negara

berkembang, akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir-akhir ini


banyak diamati. Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup
terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit
degeneratif, seperti penyakit jantung koronner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia,
diabetes dan lain-lain (Suyono, 2007).
Diabetes Melitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin
baik absolut maupun relatif (Sudoyo Aru, 2006).
Diabetes Melitus (DM) bukan penyakit yang disebabkan oleh satu faktor,
tetapi merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh banyak faktor (multifaktor).
DM dikarakterisasi oleh hiperglikemia kronik karena penurunan kerja insulin pada
jaringan target (disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, resistensi insulin atau
keduanya). Penurunan kerja insulin ini berhubungan dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein pada jaringan termasuk hati (Sudoyo Aru, 2006).
2.2.

EPIDEMIOLOGI
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit endokrin yang paling

sering ditemukan dan diperkirakan diderita oleh 120 juta orang di seluruh dunia. Saat
ini angka kejadian DM diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai penelitian di
Indonesia menunjukkan peningkatan prevalensi dari 1.5-2.3% menjadi 5.7% pada
penduduk usia lebih dari 15 tahun (Subekti, 2004).
Diabetes Melitus (DM) sering disebut sebagai the great initator karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam
keluhan. DM yang tidak ditangani dapat mengakibatkan berbagai penyulit atau
komplikasi yang meliputi komplikasi akut dan kronik (Supartondo dan Waspadji,
2003).
Prevalensi Diabetes melitus (DM) tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 7

antara 3-6% dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk
membandingkan kekerapan diabetes antar berbagai kelompok etnik di seluruh dunia.
Dengan demikian kita dapat membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu
kelompok etnis tertentu dengan kelompok etnis kulit putih pada umumnya. Misalnya
di negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan eknominya sangat meningkat
dibanding dengan 10 tahun yang lalu (Subekti, 2004).
Dari data ini dapatlah disimpulkan bahwa faktor lingkungan terutama
peningkatan kemakmuran suatu bangsa akan meningkatkan terjadinya Diabetes
melitus (DM).
Tabel 1:
Urutan 10 negara dengan jumlah pengidap Diabetes terbanyak pada penduduk dewasa di
seluruh dunia 1995 dan 2025

Urutan

Negara

1995

urutan

Negara

2025

1
2
3

India
Cina
Amerika

(juta)
19,4
16,0
13,9

1
2
3

India
Cina
Amerika

(juta)
57,2
37,6
21,9

Serikat
Federasi

8,9

Serikat
Pakistan

14,5

5
6

Russia
Jepang
Brazil

6,3
4,9

5
6

Indonesia
Federasi

12.4
12,2

Indonesia
Pakistan
Meksiko
Ukraine
Semua

4,5
4,3
3,8
3,6
49,7

7
8
9
10

Russia
Meksiko
Brazil
Mesir
Jepang

negara lain
Jumlah

135,3

7
8
9
10

11,7
11,6
8,8
8,5
103,6
300

Sumber : Subekti, 2004

Prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia, terjadinya DM di Indonesia


berkisar antara 1,4 dengan 1,6 %, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu
desa dekat Semarang, 2,3 % dan di Manado 6%. Di Pekajangan prevalensi ini agak
tinggi disebabkan di daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan di
Manado, Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi itu
populasinya terdiri dari dari orang-orang yang datang dengan suarela, jadi agak lebih
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 8

selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang dekat dengan
Filipina, ada kemungkinan prevalensi di Manado tinggi karena prevalensi di Filipina
juga tinggi, yaitu sekitar 8,4%-12% di daerah urban dan 3,85-9,7% di daerah rural.
Penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan
prevalensi DM tipe 2 sebesar 14,7%, demikian juga di Makassar, prevalensi terakhir
tahun 2005 mencapai 12,5%(Supartondo dan Waspadji, 2003).
Jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan
peningkatan jumlah pasien Diabetes Melitus (DM) yang jauh lebih besar yaitu 86138%. Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global seperti
disebutkan di atas, maka dengan demikian dapat dimingerti bila suatu saat atau lebih
tepat lagi dalam 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan Diabetes Melitus (DM)
di Indonesia akan meningkat dengan drastis.
Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan tersebut diantaranya
(Suryono Slamet, 2006):
a. Faktor demografi :

1) Jumlah penduduk meningkat


2) Penduduk usia lanjut betambah banyak
3) Urbanisasi makin tak terkendali

b. Gaya hidup yang kebarat-baratan : 1) Penghasilan per capita tinggi


2) Restoran siap santap
3)Teknologi

canggih

menimbulkan

sedentary life, kurang gerak badan


c. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
d. Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi
lebih panjang.

2.3.

ETIOLOGI
Diabetes Melitus (DM) tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes

Mellitus (NIDDM) disebabkan karena kegagalan relatif sel dan resistensi insulin.
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 9

Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang


pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa
oleh hati. Sel tidak mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi
defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi
insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan
perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel pankreas mengalami desensitisasi
terhadap glukosa (Gustaviani, 2006).
Pada awalnya resistensi insulin belum menyebabkan klinis Diabetes Melitus
(DM).

Sel

pankreas

masih

dapat

mengkompensasi,

sehingga

terjadi

hiperinsulinemia, kadar glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat.
Kemudian setelah terjadi kelelahan sel pankreas, baru terjadi diabetes melitus
klinis, yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah yang meningkat, memenuhi
kriteria diagnosis diabetes melitus (Gustaviani, 2006).
2.4.

PATOFISIOLOGI
Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang

rusak. Di samping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh berfungsi
dengan baik. Energi pada mesin tubuh manusia berasal dari bahan makanan yang
dimakan sehari-hari, yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak (Suyono, 2007).
Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan harus masuk dulu
ke dalam sel untuk dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar
melalui proses kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi.
Proses ini disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang
peranan yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk
selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau
hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas (Suyono, 2007).
Diabetes Melitus (DM) tipe 1 disebabkan adanya reaksi otoimun yang
disebabkan oleh peradangan pada sel beta. Ini menyebabkan timbulnya antibodi
terhadap sel beta yang disebut Islet Cell Antibody (ICA). Reaksi antigen (sel beta)
dengan antibodi (ICA) menyebabkan hancurnya sel beta (Suyono, 2007).
Pada Diabetes Melitus (DM) tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin
lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang
kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 10

dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun
anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang,
maka glukosa yang masuk akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar
(glukosa) dan glukosa dalam pembuluh darah meningkat. Keadaan ini disebut
sebagai resistensi insulin (Suyono, 2007).
Penyebab resistensi insulin pada NIDDM sebenarnya tidak begitu jelas tetapi
faktor-faktor di bahwa ini banyak berperan (Suyono, 2007) :

2.5.

Obesitas terutama yang berbentuk sentral

Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat

Kurang gerak badan

Faktor keturunan (herediter)


MANIFESTASI KLINIK
Gejala klasik Diabetes Melitus (DM) adalah rasa haus yang berlebihan

(polidipsi), sering kencing terutama pada malam hari (poliuri), banyak makan
(polifagi) serta berat badan yang turun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang
ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal,
penglihatan kabur, gairah seks menurun, luka sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering
melahirkan bayi di atas 4 kg (Suyono, 2007).

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 11

Perjalan penyakit antara Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dan DM tipe 2 tidak
sama. Demikian juga pengobatannya. Oleh karena itu ada baiknya bila diketahui
sedikit tentang perbedaannya, karena ada dampaknya pada rencana pengobatan.
Tabel 2.
Perbandingan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2

Onset (umur)
Keadaan klinis saat

DM Tipe 1
Biasanya < 40 tahun
Berat

DM Tipe 2
Biasanya > 40 tahun
Ringan

Tak ada insulin

Insulin normal atau

Biasanya kurus

tinggi
Biasanya gemuk atau

Insulin, diet, olahraga

normal
Diet, olahraga, tablet,

diagnosis
Kadar Insulin
Berat badan
Pengobatan

insulin
Sumber : Suyono S, 2007

2.6.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan untuk diagnosa Diabetes Melitus (DM), melalui pemeriksaan

kadar glukosa darah (gula darah puasa, gula darah 2 jam setelah makan/post
prandial/PP) dan setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO)
(Gustaviani Reno, 2006).
Pemeriksaan kadar glukosa darah.
Bahan untuk pemeriksaan gula darah puasa, pasien harus berpuasa 6 12 jam
sebelum diambil darahnya. Setelah diambil darahnya, penderita diminta makan
makanan seperti yang biasa dia makan/minum glukosa per oral (75 gr) untuk TTGO,
dan harus dihabiskan dalam waktu 15 20 menit. Dua jam kemudian diambil
darahnya untuk pemeriksaan glukosa 2 jam PP (Gustaviani Reno, 2006).
Pemeriksaan dilakukan dengan cara darah disentrifugasi untuk mendapatkan
serumnya, kemudian diperiksa kadar gula darahnya. Bila pemeriksaan tidak langsung
dilakukan (ada penundaan waktu), darah dari penderita bisa ditambah dengan
antiglikolitik (gliseraldehida, fluoride, dan iodoasetat) untuk menghindari terjadinya
glukosa darah yang rendah palsu. Ini sangat penting untuk diketahui karena
kesalahan pada fase ini dapat menyebabkan hasil pemeriksaan gula darah tidak
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 12

sesuai dengan sebenarnya, dan akan menyebabkan kesalahan dalam penatalaksanaan


penderita Diabetes Melitus (DM) (Gustaviani Reno, 2006).
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan gula darah meliputi metode
reduksi, enzimatik, dan lainnya. Yang paling sering dilakukan adalah metode
enzimatik, yaitu metode glukosa oksidase (GOD) dan metode heksokinase
(Gustaviani Reno, 2006).
a. Metode GOD, akurasi dan presisi yang baik (karena enzim GOD spesifik
untuk reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan interferen (tak spesifik).
Interferen yang bisa mengganggu antara lain bilirubin, asam urat, dan
asam askorbat.
b. Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi
dan presisi yang sangat baik dan merupakan metode referens, karena
enzim yang digunakan spesifik untuk glukosa. Untuk mendiagnosa
Diabetes Melitus (DM), digunakan kriteria dari consensus perkumpulan
Endokrinologi Indonesia tahun 1998.
Pemeriksaan lainnya untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM)
Antibody marker adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell
cytoplasmic antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibody terhadap
glutomic acid decarboxylase (anti-GAD) (Gustaviani Reno, 2006).
a. Islet cell cytoplasmic antibodies (ICA) bereaksi dengan antigen yang ada
di sitoplasma sel-sel endokrin pada pulau-pulau pancreas. ICA
menunjukkan adanya kerusakan sel. Adanya ICA dan IAA menunjukkan
risiko tinggi berkembangnya penyakit ke arah Diabetes Melitus (DM)
tipe 1.
b. antibody terhadap glutomic acid decarboxylase (anti-GAD) adalah enzim
yang dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmitter g-aminobutyric
acid (GAB). Anti GAD ini bias teridentifikasi 10 tahun sebelum onset
klinis terjadi. Jadi, 3 petanda ini bisa digunakan sebagai uji saring
sebelum gejala Diabetes Melitus (DM) muncul.
Untuk membedakan Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dengan Diabetes Melitus
(DM) tipe 2 digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-peptide merupakan
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 13

indicator yang baik untuk fungsi sel beta, juga bias digunakan untuk memonitor
respons individual setelah operasi pancreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat
pada transplantasi pancreas atau transplantasi sel-sel pulau pancreas (Gustaviani
Reno, 2006).
Pemeriksaan untuk pemantauan Diabetes Melitus (DM)
Untuk Pemantauan Pengelolaan Diabetes Melitus (DM), yang digunakan
adalah kadar gula darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated hemoglobin,
khususnya HbA1C, serta pemeriksaan fruktosamin (Gustaviani Reno, 2006).
Pemeriksaan fruktosamin saat ini jarang dilakukan karena pemeriksaan ini
memerlukan prosedur yang memakan waktu lama . Pemeriksaan lain yang bisa
dilakukan ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan sebagai selfassessment untuk memantau terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin
(Gustaviani Reno, 2006).
Pemeriksaan HbA1C
HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara
glukosa dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang
dihasilkan ini diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan
irevarsibel (Gustaviani Reno, 2006).
Metode pemeriksaan HbA1C ; ion-exchange chromatography, HPLC (high
performance liquid chromatography), electroforesis, Immunoassay (EIA), Affinity
Chromatography, dan analisis kimiawi dengan kolorimetri (Gustaviani Reno, 2006).
a. Metode Ion Exchange Chromatography, harus dikontrol perubahan suhu
reagen dan kolom, kekuatan ion, dan pH dari buffer, Interferens yang
mangganggu adalah adanya Hbs dan HbC yang bias memberikan hasil
negatif palsu.
b. Metode HPLC (high performance liquid chromatography), prinsip sama
dengan ion exchange chromatography, bias diotomatisasi, serta memiliki
akurasi dan presisi yang baik sekali. Metoce ini juga direkomendasikan
menjadi metode referensi.
c. Metode elektroforesis, hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi
presisinya kurang dibanding HPLC, HbF memberikan hasil positif palsu,
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 14

tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak berpengaruh
pada metode ini.
d. Metode immunoassay (EIA), hanya mengukur HbA1C tidak mengukur
HbA1C yang labih maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang
baik.
e. Metode Affinity Chromatography, non-glycated hemoglobin serta bentuk
labih dari HbA1C tidak mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak
dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC hanya sedikit
mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan
glycated hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih
tinggi dari metode HPLC.
f. Metode Kalorimentri, waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena
tidak

dipengaruhi

non-glycosylated

ataupun

glycosylated

labil.

Kerugiannya waktu lama, sample besar, dan satuan pengukuran yang


kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.
Interpertasi hasil pemeriksaan HbA1C akan meningkat secara signifikan bila
glukosa darah meningkat. Karena itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas
kontrol glukosa darah pada penderita DM (glukosa darah tak terkontrol, terjadi
peningkatan HbA1C-nya) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA 1C meningkat :
pemberian Therapi lebih intensif untuk menghindari komplikasi
(Gustaviani Reno, 2006).
Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA 1C (terkontrol) : 4%, 5,9%.(6)
Jadi, HbA1C penting untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau
belum. Sebaiknya, penentuan HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali
(Gustaviani Reno, 2006).

2.7.

DIAGNOSIS DIABETES MELITUS


Diagnosis Diabetes Melitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 15

glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna
penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan
bahan darah utuh (whole blood) vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan
dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO (Sudoyo Aru, 2006).
Ada perbedaan antara uji diagnostik Diabetes Melitus (DM) dan
pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala atau tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai
resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka
yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis
definitif (Sudoyo Aru, 2006).

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 16

Keterangan :
GDP

= Glukosa Darah Puasa

GDS

= Glukosa Darah Sewaktu

GDPT

= Glukosa Darah Puasa Terganggu

TGT

= Toleransi Glukosa Terganggu

Pemeriksaan penyaringan
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko
Diabetes Melitus (DM) namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan
ini bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu) maupun GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu), sehingga dapat
ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai
prediabetes, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut
merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di
kemudian hari (PERKENI, 2002).

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 17

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok yang memiliki salah satu faktor
risiko DM sebagai berikut (PERKENI, 2002) :
1. Usia 45 tahun
2. Usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23 kg/m, yang disertai dengan
faktor risiko:
- Kebiasaan tidak aktif
- Turunan pertama dari orang tua dengan DM
- Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4 kg, atau riwayat DM
gestasional
- Hipertensi ( 140/90 mmHg)
- Kolesterol HDL 35 mg/dL dan atau trigliserida 250 mg/dL
- Menderita Policictic Ovarial Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain
yang terkait dengan resistensi insulin
- Adanya riwayat TGT atau GDPT sebelumnya
- Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular

Tabel 3.
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Kadar

glukosa

Bukan DM

Belum pasti

DM

darah Plasma vena

< 110

DM
110-199

> 200

Darah

< 90

90-199

> 200

kapiler
darah Plasma vena

< 110

110-125

> 126

Darah

< 90

90-199

> 110

sewaktu (mg/dl)

Kadar

glukosa

puasa (mg/dl)
kapiler
Sumber : Soegondo S (2005)
catatan :
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan pemeriksaan ulangan
tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan setiap 3 tahun.

Langkah-langkah Menegakkan Diagnosis Diabetes Melitus dan Gangguan


INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 18

Tolerangi Glukosa
Diagnosis klinis Diabetes Melitus (DM) umumnya akan dipikirkan bila
ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin
dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas,
pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126
mg/dl juga digunakan utnuk patokan diagnosis DM (Sudoyo Aru, 2006).
Untuk kelompok tanpa keluhan khas Diabetes Melitus (DM), hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat
untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan
mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126
mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari
hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca
pembebanan 200 mg/dl (Sudoyo Aru, 2006).
Cara Pelaksanaan TTGO (PERKENI, 2002) :

3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat


cukup)

Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan

Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan,


minum air putih diperbolehkan

Diperiksa kadar glukosa darah puasa

Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB


(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu
15 menit

Diperiksa kadar glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa

Selama proses pemeriksaan subyek yang dipeiksa tetap istirahat dan


tidak merokok

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 19

Tabel 4.
Kriteria diagnostik diabetes melitus * dan gangguan toleransi glukosa

1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl


Atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl
Atau
3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada dua jam sesudah beban
glukosa 75 gram pada TTGO **
Sumber : PERKENI, 2002
*

Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali

untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik berat, seperti ketoasidosis,
gejala klasik : poliuri, polidipsi, polifagi dan berat badan menurun cepat.
**

Cara Diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik, untuk penelitian

epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik kadar glukosa darah
puasa dan dua jam pasca pembebanan. Untuk DM gestasional juga dianjurkan kriteria
diagnostik yang sama.

2.8.

PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup


Diabetes Melitus (DM) (Sudoyo Aru, 2006).
Tujuan penatalaksanaan
A. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
B. Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan
adalah turunnya morbiditas dan maortalitas dini DM.
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 20

Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus(PERKENI, 2006)


1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis dan
latihan jasmani selama beberapa waktu (2 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah
belum mencapai

sasaran, dilakukan intervensi farmakologis

dengan obat

hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO
dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.
Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis berat, stres
berat, berat adan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala hipoglikemia
dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan pemantauan kadar
glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus
(PERKENI, 2006)
I.

Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :
- Perjalanan penyakit DM
- Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
- Penyulit DM dan risikonya
- Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan
- Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik
oral atau insulin serta obat-obatan lain
- Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau
urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak
tersedia)
- Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau
hipoglikemia
- Pentingnya latihan jasmani yang teratur
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 21

- Masalah khusus yang dihadapi ( missal : hiperglikemia pada kehamilan)


- Pentingnya perawatan diri
- Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
II. Terapi gizi medis (TGM)
-

Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya


guna mencapai target terapi

prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran


makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Pada diabetisi perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :


Karbohidrat
- Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi
- Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat terutama yang
berserat tinggi
- Sukrosa todak boleh lebih dari 10% total asupan energi
- Sedikit gula dapat dikonsumsi sebagai bagian dari perencanaan makan
yang sehat dan pemanis non-nutrisi dapat digunakan sebagai pengganti
jumlah besar gula misalnya pada minuman ringan dan permen
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat
dalam sehari
Lemak
- Dianjurkan sekitar 20 25% kebutuhan kalori
- Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 22

tunggal
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu
penuh (whole milk)
- Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal
dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA / Mono Unsaturated Fatty
Acid), membatasi PUFA (Poly Unsaturated Acid) dan asam lemak jenuh
Protein
- Dibutuhkan sebesar 15 20% total asupan energi
- Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang dan kacangkacangan, tahu, tempe
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi
0,8 g/kg BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologik tinggi
Garam
- Sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari
3000 mg atau sama dengan 6 7 g (1 sendok teh) garam dapur
- Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari
terutama pada mereka yang hipertensi
Serat
- Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari, diutamakan serat larut
Pemanis
- Batasi penggunaan pemanis bergizi
- Fruktosa tidak dianjurkan karena efek samping pada lipid plasma
- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 23

diabetisi. Diantaranya adalah dengan perhitungan berdasarkan kebutuhan


kalori basal sebesar 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah dan dikurangi
bergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas,
berat badan, dll.
Perhitungan berat badan ideal ( BBI ) menurut Broca yang dimodifikasi
adalah sebagai berikut :
Berat badan ideal = 90 % x ( TB dalam cm - 100) x 1 kg
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah
150 cm, rumus modifikasi menjadi : ( TB dalam cm 100) x 1 kg
BB

Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %

Penentuan status gizi dapat digunakan


BMI / Body Mass Index = IMT / Indeks Masa Tubuh dan Rumus Broca.
BB ( Kg )
IMT =
TB ( M2 )
Klasifikasi IMT :
BB Kurang

< 18,5

BB Normal

18,5 22,9

BB lebih

23,0

Dengan risiko

23,0 24,9

Obes I

25,0 29,9

Obes II

30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :


Jenis kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dari pada pria. Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal / kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal / kg BB
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 24

Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5 % untuk
dekade antara 40 an 59 tahun, dikurangi 10 % untuk usia 60 s/d 69 tahun,
dan dikurangi 20 % untuk usia diatas 70 tahun
Aktifitas fisik atau pekerjaan
Penambahan 10 % dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat,
20 % pada pasien dengan aktifitas ringan, 30 % dengan aktifitas sedang,
dan 50 % dengan aktifitas sangat berat
Berat badan
- Bila kegemukan dikurangi 20 30 % bergantung pada tingkat
kegemukan
-Bila kurus ditambah 20 30 % sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB
-Untuk tujuan penurunan BB jumlah kalori yang diberikan paling sedikit
1000 1200 kkal / hari untukwanita dan 1200 1600 kkal / hari untuk
pria
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas
dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi( 20 % ), siang ( 30 % )dan
sore ( 25 % ) serta 2 3 porsi makan ringan ( 10 15 % ) diantaranya.
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan
dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kebiasaan. Untuk diabetisi
yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan
penyakit penyertanya.
III. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama + 30 menit
yang sifatnya

CRIPE ( Continous Rhytmical Interval Progressive

Endurace training ).
-

Continous
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 25

Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa


henti. Contoh : bila dipilih jogging 30 menit, maka selama 30 menit
pasien melakukan jogging tanpa istirahat.
-

Rytmical

Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot berkontraksi
dan berelaksasi secara teratur.
-

Interval

Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Contoh :


jalan cepat diselingi dengan jalan lambat, dsb.

Progressive

Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas


ringan sampai hingga mencapai 30-60 menit.
Sasaran Heart Rate

= 75-85 % dari Maksimum Heart Rate

Maksimum Heart Rate

= 220-umur

Endurance

Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi,


seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging, berenang dan
bersepeda.
Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan
sampai memulai olah raga sebelum makan, harus menggunakan sepatu
yang pas, didampingi oleh orang yang tahu bagaimana cara mengatasi
hipoglikemia, harus membawa permen, membawa tanda pengenal sebagai
pasien DM dalam pengobatan, dan memeriksa kaki dengan cermat setelah
berolahraga.
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau zona latihan yaitu 75-85%
denyut nadi maksimal yang dapat dihitung dengan cara sbb :
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 26

DNM = 220 Umur ( dalam Tahun )


Kegiatan jasmani sehari hari dan latihan jasmani secara teratur ( 3 4
kali seminggu selama 30 menit ) merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran
juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani aerobik seperti jalan kaki, bersepeda
santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani. Hindarkan kebiasaan hidup
yang kurang gerak atau bermalas malasan.

IV. Terapi Farmakologis


Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan TGM dan latihan jasmani (Sudoyo Aru, 2006).
1. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan
(Sudoyo Aru, 2006) :
A. Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid
B. Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis : metformin
D. Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase
A. Golongan Insulin Secretagogues
Insulin secretagogues mempunyai efek hipoglikemik dengan cara
stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
1) SULFONILUREA
Digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 sejak
tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal
pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 27

sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering


digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk
meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin.
Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan
merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas.
Bila sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) pada channel tersebut maka
akan

terjadi

penutupan.

Keadaan

ini

menyebabkan

penurunan

permeabilitas K pada membran dan membuka channel Ca tergantung


voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat
pada Calmodilun dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung
insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas
untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Oleh karena itu hanya
bermanfaat untuk pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk
sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes
mellitus tipe 1.
Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan
tertentu dimana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan
sulfonilurea dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus
bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas
dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang
cukup bermakna.
Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl, Sulfonilurea
sebaiknya dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara
bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90130mg/dl. Bila glukosa darah puasa > 200mg/dl dapat diberikan dosis
awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum
makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu
kali sehari sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan
makanan porsi terbesar.
2) GLINID
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 28

Kerjanya

juga

melalui

reseptor

sulfonilurea

(SUR)

dan

mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea tetapi tidak


mempunyai efek sepertinya.
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat
fenilalanin) kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati
sehingga diberikan 2 sampai 3 kali sehari.
B. Golongan Insulin Sensitizing
1) BIGUANID
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah
metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam
usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui
ginjal. Oleh karena itu metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali
sehari kecuali dalam bentuk extended release.
Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk
menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal (kreatinin >1,3mg/dl pada perempuan dan >1,5mg/dl pada
laki-laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus
diberikan dengan hati-hati pada orang usia lanjut.
Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor
insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan
pemakaian glukosa oleh usus sehigga menurunkan glukosa darah dan
menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Setelah
diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertingi dalam
darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan
waktu paruh 2,5 jam.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan
menyebabkan hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai obat
hipoglikemik,

tetapi

obat

antihiperglikemik.

Metformin

tidak

meyebabkan kenaikan berat badan.


Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini merupakan
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 29

kombinasi yang rasional karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga


kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada
pengobatan tuggal masing-masing, baik pada dosis maksimal keduanya
maupun pada kombinasi dosis rendah.
Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan
sejak awal pengelolaan diabetes, berdasarkan hasil penelitian UKPDS
(United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan hanya 50 persen
pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan
tungal metformin atau sulfonylurea sampai dosis maksimal.
Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan
pada pasien gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi
insulin dengan sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi insulin dengan
metformin. Penelitian lain ada yang mendapatkan kombinasi metformin
dan insulin lebih baik dibanding dengan insulin saja.
Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah
penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin
sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk
dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat merupakan pilihan
pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan
kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain.
2) GLITAZONE
Merupakan obat yang juga mempunyai efek farmakologis untuk
meningkatkan

sensitivitas

insulin.

Mekanisme

kerja

Glitazone

(Thiazolindione) merupakan agonist peroxisome proliferators-activated


receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR
gamma terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa,
otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan
regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi ter
jadi setelah 1-2 jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik
obat ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7
jam bagi pioglitazone.
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 30

Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis


tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa
puasa sampai 55 mg/dl dan A1C sampai 1,5% dibandingkan dengan
placebo. Sedang pioglitazone juga mempunyai kemampuan menurunkan
glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi
kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis tunggal. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I IV karena
dapat memperberat udem / retensi cairan dan juga pada gangguan faal
hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan

faal

hati

secara

berkala.

Saat

ini

tiazolidindion

tidakdigunakan sebagai obat tunggal.

C. Penghambat Glukoneogenesis
1) METFORMIN
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan perifer.
Terutama dipakai pada diabetisi gemuk. Metformin dikontraindikasikan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan
hati, serta pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya
penyakit serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi efek samping
tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
D. Penghambat Alfa Glukosidase ( acarbose )
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa
glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat
menurunkan

penyerapan

glukosa

dan

menurunkan

hiperglikemia

postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan


hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulen.
Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja local pada saluran
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 31

pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme di dalam saluran


pencernaan, metabolisme terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis
intestinal dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma
kira-kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui
feses.
Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hipoglikemi Oral:
a. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian
dinaikkan secara bertahap.
b. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek
samping obat-obat tersebut (misalnya klorpropamid jangan
diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama kerjanya 24 jam).
c. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan
adanya interaksi obat.
d. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral,
usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal baru
beralih kepada insulin.
e. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.
Tabel 5
Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh OHO terhadap penurunan A1C
( Hb-glikosilat )

Golongan

Sulfonilurea
Glinid

Cara kerja utama

Efeksamping

A1C

Meningkatkan

utama
BB naik,

sekresi insulin
Meningkatkan

hipoglikemia
BB naik,

1,5 2 %

sekresi insulin
hipoglikemia
Menekan produksi Diare, dyspepsia,
glukosa

Metformin

Penurunan

hati

1,5 2 %

& asidosis laktat

menambah

1,5 2 %

sensitifitas
Penghambat
glukosidase

terhadap insulin
Menghambat

Flatulens, tinja

absorpsi glukosa
Menambah

lembek
Edema

0,5 1,0 %

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 32

Tiazolidindion

sensitifitas

1,3%

terhadap insulin
Menekan produksi Hipoglikemia, BB
Insulin

glukosa

hati, naik

stimulasi

Potensial
sampai normal

pemanfaatan
glukosa
Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006

Cara pemberian OHO terdiri dari (PERKENI, 2006) :

OHO dimulai dengan dosis kecil dan


ditingkatkan secara bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dapat
diberikan sampai dosis hampir maksimal

Sulfonilurea generasi I & II : 15 30 menit


sebelum makan

Glimepiride : sebelum / sesaat sebelum


makan

Repaglinid, Nateglinid : sebelum / sesaat


sebelum makan

Metformin : sebelum / pada saat / sesudah


makan karbohidrat

Acarbose : bersama suapan pertama makan

Tiazolidindion : tidak bergantung pada


jadwal makan

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 33

Tabel 6
Obat Hipoglikemik Oral di Indonesia

Golongan

Sulfonilurea

Glinid
Tiazolidindion

Penghambat
glukosidase

Generik

Mg/tab

Dosis

Lama Frek/hari

Klorpropamid

100-250

harian
100-

kerja
24-36

Glibenklamid
Glipizid
Glikuidon

2,5 - 5
5 - 10
30

500
2,5 - 15 12-24
5 210-16
30
- 6-8

12
12
23

Glimepirid
Repaglinid
Nateglinid
Rosiglitazon

1,2,3,4
0,5,1,2
120
4

120
0,5 - 6
1,5 - 6
360
4-8

1
3
3
1

Tdk

bergantung
jadwal

makan
Bersama

Pioglitazon

15,30

15 - 45

Acarbose

50-100

100300

24
24
24

Waktu

Sebelum
makan

suapan
pertama

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 34

Biguanid

Metformin

500-850

250-

6-8

1-3

3000

Bersama/se
sudah
makan

Sumber : Sudoyo Aru, 2006

2. INSULIN (Sudoyo Aru, 2006)


Insulin diperlukan pada keadaan :
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
- Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
- Diabetes melitus gestasional yang tidak trkendali dengan TGM
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu :
- Insulin kerja cepat ( rapid acting insulin )
- Insulin kerja pendek ( short acting insulin )
- Insulin kerja menengah ( intermediate acting insulin )
- Insulin kerja panjang ( long acting insulin )
- Insuln campuran tetap ( premixed insulin )

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 35

Efek samping terapi insulin


- Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia
- Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin

Table 7
Insulin di Indonesia

Nama
Cepat

Buatan

Actrapid

Novo Nordisk (U-40&U-100)

Humulin-R
Menengah

Eli Lilly (U-100)

Insulatard

Novo Nordisk (U-40&U-100)

Monotard Human

Novo Nordisk (U-40&U-100)

Humulin-N
Campuran

Eli Lilly (U-100)

Mixtard 30

Novo Nordisk (U-40&U-100)

Humulin-30/70
Panjang

Eli Lilly (U-100)

Lantus

Aventis

Bentuk Penfill untuk

Novopen 3 adalah :

Efek puncak
2-4 jam

Lama kerja
6-8 jam

4-12 jam

18-24 jam

1-8

14-15

Tidak ada

24 am

Actrapid Human 100


Insulatard Human 100
Maxtard 30 Human 100
Bentuk Penfill untuk

Humapen Ergo adalah :


Humulin-R 100
Humulin-N 100
Humulin-30/70

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 36

Bentuk Penfill untuk

Optipen adalah :
Lantus

Sumber : PERKENI, 2006

Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar
glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani,
bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi.
Terapi OHO dengan kombinasi harus dipilih dua macam obat dari
kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar
glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO
dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada
pasien yang disertai alasan klinik dimana insulin tidak memungkinkan
untuk dipakai, dipilih terapi kombinasi dengan tiga OHO.
Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipergunakan
adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang / panjang)
yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh
kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.
Dosis awal insulin kerja menengah / panjang adalah 10 unit yang
diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut
dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih
tidak terkendali, maka obat hpoglikemik oral dihentikan dan diberikan
insulin saja (PERKENI, 2006)
2.9. KOMPLIKASI
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
(Sudoyo Aru, 2006).
I. Penyulit akut
Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan yang
harus ditangani dengan tepat dan benar karena hanya dengan cara itulah
angka kematiannya dapat ditekan serendah mungkin.
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 37

Ketoasidosis diabetik
Hiperosmolar nonketotik
Hipoglikemia
II. Penyulit menahun
1. Makroangiopati, yang melibatkan :
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi
Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati:
Retinopati diabetik
Nefropati diabetik
3. Neuropati
2.10.

PENGENDALIAN DM
Untuk

dapat

mencegah

terjadinya

komplikasi

kronik,

diperlukan

pengendalian DM yang baik yag merupakan sasaran terapi. DM terkndali baik,


apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan
A1C juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan
darah (Sudoyo Aru, 2006).
Tabel 8
Kriteria pengendalian DM

GD puasa
GD 2 jam pp
A1C
Kolesterol total
LDL
HDL
Trigliserida
IMT
Tekanan darah

Baik
80 - 109
80 - 144
< 6,5
< 200
< 100
>45
< 150
18,5 22,9
< 130/80

Sedang
110 - 125
145 - 179
6,5 8
200 - 239
100 - 129

Buruk
126
180
>8
240
130

150 - 199
23 - 25
130 140 / 80 - 90

200
>25
>140/90

Sumber : Sudoyo Aru, 2006

2.11.

PROGNOSIS
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 38

Sekitar 60% pasien DM yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti
orang normal, sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronis, dan
kemungkinan untuk meninggal lebih cepat( Mansjoer, 2001).

BAB III
KESIMPULAN
3.1.

KESIMPULAN
a. Diabetes Melitus (DM) merupakan kumpulan gejala (rasa haus yang
berlebihan, sering kencing terutama pada malam hari, banyak makan
serta badan yang turun dengan cepat) yang timbul pada seseorang
karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif baik yang disebabkan oleh
autoimun, obesitas sentral, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat,
gerak badan kurang dan keturunan (herediter). Prevalensi DM
diperkirakan akan terus meningkat dari tahun ke tahun di mana 120
juta orang di seluruh dunia terkena DM, sehingga perlu adanya upaya
pencegahan seperti dengan uji diagnostik DM dan pemeriksaan
penyaring.
b. Gejala Diabetes Melitus (DM) dapat berupa banyak makan
(polifagia), sering merasa haus (polidipsia), sering kencing (poliuria)
terutama malam hari, lemas, berat badan menurun, kesemutan pada
jari tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan kabur, impotensi pada
pria, pruritus vulva pada wanita, luka sukar sembuh, melahirkan bayi
dengan berat badan > 4 kg.
c. Diagnosis Diabetes Melitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan
kadar glukosa darah. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan pada
orang yang mempunyai risiko DM, tetapi tidak menunjukan gejala
DM melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 39

glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi


glukosa oral (TTGO) standar.
d. Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus (DM) terdiri dari edukasi,
terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.
e. Dalam perjalanan penyakit Diabetes Melitus (DM), dapat terjadi
penyulit akut yang merupakan kegawatan dan penyulit menahun yang
dapat menimbulkan kecacatan.
DAFTAR PUSTAKA
Gustaviani Reno. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1857-9.
Mansjoer Arif, dkk. Kapita selekta kedokteran ed III jl I.
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta : 2001
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelelolaan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni, Jakarta: 2002; hal 1-19
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus
Tipe 2 Di Indonesia. Semarang: 2006.
Powers C Alvin. Harrisons Principle of Internal Medicine 16th.
Medical Publishing Division Mc Graw-Hill. North America: 2005.
Soegondo S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 4 jl 2. Perhimpunan Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: 2005; Hal 1974-80.
Soegondo S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th . Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta: 2006; Hal 1860-3.
Subekti I (2004). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Balai Penerbit
INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 40

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004; Hal 217-23.


Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006
Supartondo, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 2003; hal 375-7.
Suyono S. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2007; Hal 7-14
Yunir Em, Soebardi Suharko. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1864-7.

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 41

Anda mungkin juga menyukai