Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

MANIFESTASI ORAL PADA PENDERITA HIV

Disusun Oleh:
Muhammad Arief Luthfi Parama
G99152077
Periode: 22 Agustus 4 September 2016
Pembimbing:
Dr. Vita Nirmala, drg., Sp. Pros., Sp.KG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
BAB I

PENDAHULUAN

Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan infeksi retrovirus RNA


yang dulunya disebut sebagai human T lymphotrophic virus III (HTL-III).
Infeksi HIV akan menyebabkan immunodefisieansi. Virus HIV bisa ditularkan
oleh penderita HIV melalui beberapa cara yaitu hubungan seksual, berbagi jarum
suntik atau syringe, transfuse darah dan organ serta melalui ibu hamil kepada
bayinya (Scully, 2004). Pintu masuk utama HIV ke dalam tubuh adalah melalui
darah dan mukosa yang terbuka pada vagina, vulva, rectum, penis dan juga pada
oral cavity (Scully, 2002).
Penderita yang terinfeksi virus HIV biasanya ditandai dengan adanya lesi
pada mulut (oral lesions). Manifestasi di mulut seringkali merupakan tanda awal
infeksi HIV. Lesi mulut yang terjadi dan sangat berkorelasi dengan infeksi HIV
adalah oral candisiasis, oral hairy leukoplakia, penyakit periodontal, oral kaposis
sarcoma, dan oral non-Hodgkins lymphoma. Lesi mulut biasanya terlihat
(menetap) pada orang yang terinfeksi HIV, namun terkadang tidak terlihat. Hal ini
tergantung pada frekuensi virus yang menginfeksi. Virus yang menetap misalnya
pada stomatitis aphtosa rekuren dan bacillary angiomatosis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. HIV
1. Definisi
Human

immunodeficiency

virus

(HIV)

merupakan

infeksi

retrovirus RNA yang dulunya disebut sebagai human T lymphotrophic


virus III (HTL-III). Infeksi HIV akan merusak limfosit T, terutama CD4+,
yang akan menyebabkan imunodefisiensi. Hal ini akan menjadi predisposisi
terhadap infeksi virus, fungi, mycobacteria atau parasit. Seiring dengan
waktu, HIV akan menjadi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS),
apabila limfosit T CD4+ di bawah 200 cells/l disertai infeksi HIV (Scully,
2004).
2. Cara Penularan
Menurut Scully (2004), virus HIV terdapat pada jaringan (tissue) dan
cairan tubuh (darah dan saliva) individu yang terinfeksi HIV dan bisa
menularkan virus HIV melalui :
a. Hubungan seksual. Kebanyakannya melalui seks heteroseksual yaitu
hubungan seksual antar lelaki dan lelaki. Penularan melalui anal lebih
berisiko dibanding vaginal.
b. Berbagi jarum atau syringes, biasanya pada pengguna narkoba.
c. Transfusi darah dan tranplantasi organ. Namun, penularan melalui cara
ini sudah berkurang karena sudah banyak negara yang terlebih
dahulu melakukan screening HIV pada pendonur darah atau organ),
d. Penularan melalui ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya melalui
plasenta dan breast-feeding.
3. Etiologi dan Patogenesis

Terdapat dua virus utama pada infeksi HIV, yang hanya mempunyai
sedikit perbedaan pada pathogenesis, manifestasi infeksi, perawatan dan
prognosis yaitu HIV-1 yang sejauh ini paling umum di dunia dan HIV-2
yang menyebar terutama di Afrika Barat (Scully, 2004). Pada individu yang
terinfeksi, biasanya virus akan membentuk antibody dalam waktu 6-12
minggu. Kebanyakan individu yang terinfeksi HIV akan berada dalam fase
viremia selama 2-6 minggu. Pada kasus yang langka, bisa selama 35
bulan.periode inkubasi AIDS pada kebanyakan individu yang terinfeksi HIV
adalah 10-12 tahun. Kira-kira 30% penderita AIDS yang meninggal setelah
3 tahun didiagnosa AIDS dan kira-kira 50% hidup selama 10 tahun (Little
dkk., 2002).
Pintu masuk utama HIV ke dalam tubuh adalah melalui darah dan
mukosa yang terbuka pada vagina, vulva, rectum, penis dan juga pada oral
cavity. HIV yang masuk ke dalam tubuh menuju kelenjar limfe dan berada
dalam sel dendritik selama beberapa hari (Greenberg dkk., 2008). Kemudian
terjadi sindrom retroviral akut seperti flu disertai viremia hebat dengan
keterlibatan berbagai kelenjar limfe. Sindrom ini akan hilang sendiri setelah
1-3 minggu, karena kadar virus yang tinggi dalam darah dapat diturunkan
oleh sistem imun tubuh. Proses ini berlangsung berminggu-minggu
sampai terjadi keseimbangan antara pembentukan virus baru dan upaya
eliminasi respon imun. Titik keseimbangan disebut set point.
Apabila angka ini tinggi, perjalanan penyakit menuju AIDS akan
berlangsung cepat (Tjay, 2000). Tahap selanjutnya adalah serokonversi yaitu
perubahan antibodi negatif menjadi positif, terjadi 1-3 bulan setelah infeksi
dan pasien akan memasuki masa tanpa gejala. Pada masa ini terjadi
penurunan CD4 secara bertahap (CD4 normal = 800-1.000/mm3 ) yang
terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA virus realtif
konstan. Mula-mula penurunan jumlah CD4 sekitar 30-60/tahun, tetapi pada
2 tahun terakhir penurunan jumlah menjadi cepat sekitar 50-100/tahun
sehingga jika tanpa pengobatan, rata-rata masa infeksi HIV sampai masa
3

AIDS adalah 8-10 tahun saat jumlah CD4 akan mencapai di bawah 200
(Tjay, 2000).

4. Klasifikasi HIV
Menurut Little dkk. (2002), pertama kali terinfeksi HIV, pasien dapat
dikelompok menjadi tiga kelompok yang dapat dilihat pada tabel 1.
Klasifikasi infeksi HIV yang paling sering digunakan adalah yang
dipublikasi oleh U.S. Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
pada tahun 1986, yang berdasarkan kondisi tertentu yang terkait dengan
infeksi HIV. Pada tahun 1993, klasifikasi CDC telah direvisi menjadi (CDC
1993b) (Hoffmann dkk., 2007).

Terdapat juga klasifikasi menurut jumlah limfosit T CD4+ yang


ditunjukkan pada tabel 3. Klasifikasi lesi oral pada infeksi HIV ditunjukkan
pada tabel 4.

B. Infeksi Jamur
1. Candidiasis
a. Definisi
Candidiasis oral merupakan infeksi pada rongga mulut yang
disebabkan oleh pertumbuhan berlebihan dari jamur Candida terutama
Candida albicans. Candida merupakan organisme komensal normal yang
banyak ditemukan dalam rongga mulut dan membran mukosa vagina.
Dalam rongga mulut, Candida albicans dapat melekat pada mukosa
labial, mukosa bukal, dorsum lidah, dan daerah palatum. Candidiasis oral
dapat menyerang semua usia baik usia muda, usia tua dan pada penderita
defisiensi imun seperti AIDS. Pada pasien HIV/AIDS, Candida albicans
ditemukan paling banyak yaitu sebesar 95% (Setiani dan Sufiawati,
2005).

b. Gambar

Gambar 1. Gambaran klinis bentuk primer candidiasis oral: candidiasis


pseudomembranous akut (kiri atas), candidiasis eritematous kronik (kanan atas),
candidiasis eritematous akut (kiri bawah) dan candidiasis hiperplastik kronik
(kanan bawah).

c. Etiologi
1) Faktor Lokal
a) Perubahan epitel pada barier mukosa oral seperti atrofi,
hiperplasi atau displasia
b) Kondisi saliva: penurunan kualitas dan kuantitas saliva (misal
pada pasien dengan DM, kemoterapi, dan radioterapi),
perubahan pH saliva.
c) Penurunan sistem fagosit di pertahanan mukosa (misal pada
pasien dengan AIDS dan candidiasis mukokutaneus kronik
d) Morfogenesis mikroorganisme: bentuk hifa lebih invasif dan
patogenik terhadap host.
2) Faktor Sistemik
a) Individu yang imunokompromis: DM, HIV, leukemia, limfoma
b) Individu dengan gangguan nutrisi: defisiensi besi, defisiensi
vitamin
3) Faktor Iatrogenik
8

a) Terapi antibiotik
b) Terapi kortikosteroid
c) Radioterapi dan kemoterapi
d) Merokok
(Scully, 2003)
d. Klasifikasi
1) Bentuk Primer Candidiasis Oral
a) Candidiasis Pseudomembranous akut
Candidiasis pseudomembranous akut tampak sebagai lesi
putih pada mukosa oral yang dapat dihilangkan dengan kerokan
halus dan meninggalkan permukaan mukosa yang eritematous.
Pada pemeriksaan histologis tampak sel ragi dan hifa di antara
epitel desquamasi. Infeksi jenis ini sering terjadi pada bayi baru
lahir yang sistem imunnya masih belum matang.Pada individu
yang lebih dewasa, candidosis pseudomembranous akut sering
terjadi pada individu dengan gizi kurang, supresi lokal sistem
imun (misal pada pemberian steroid inhaler pada pasien asma),
atau penyakit dasar lain seperti infeksi HIV dan AIDS.
b) Candidiasis Eritematous akut
Bentuk candidiasis eritematous akut ini sering terjadi
pada pemberian antibiotik spektrum luas, yang menyebabkan
penurunan populasi bakteri dalam mulut sehingga terjadi
pertumbuhan berlebihan spesies Candida.Jenis infeksi ini dapat
terjadi pada mukosa buccal, namun paling sering timbul sebagai
lesi kemerahan di dorsum lidah dan juga palatum.Candidiasis
eritematous akut adalah satu-satunya bentuk candidiasis oral
yang menimbulkan nyeri terus-menerus. Resolusi spontan dapat
terjadi dengan menghentikan pemberian antibiotik spektrum
luas.
c) Candidiasis Eritematous kronik

Candidiasis eritematous dapat terjadi secara kronik. Lesi


termasuk lesi atrofik yang sering dikaitkan dengan keilitis
angular dan denture stomatitis. Candidiasis eritematous kronik
sering terjadi pada individu dengan HIV positif dan pasien
AIDS.
d) Candidiasis Hiperplastik kronik
Candidiasis hiperplastik kronik (kadang disebut sebagai
candidal leukoplakia) dapat timbul pada semua permukaan
mukosa mulut baik sebagai lesi homogen atau lesi putih noduler.
Tidak seperti lesi candidosis pseudomembranous, lesi candidosis
hiperplastik kronik tidak dapat dihilangkan dengan kerokan
halus. Lesi paling sering muncul bilateral pada regio komisura
mukosal buccal dengan prevalensi paling tinggi pada laki-laki
setengah baya yang merokok. Hal yang penting diketahui dari
bentuk infeksi ini adalah hubungannya dengan perubahan ke
arah keganasan. Secara in vitro, sel ragi terbukti dapat
menghasilkan

nitrosamin

karsinogenik,

N-

nitrosobenzylmethylamine dari molekul prekursor.


2) Bentuk Sekunder
a) Keilitis Angular
Keilitis angular adalah kondisi di mana lesi timbul pada
sudut mulut dan secara mikrobiologis sampel lesi menunjukkan
adanya

C.albicans,

sering

bersama

dengan

bakteri

S.aureus.Peranan Candida pada bentuk ini masih belum jelas,


namun penting diperhatikan bahwa keilitis angular sering terjadi
pada pasien dengan candidosis oral di mana jumlah spesies
Candida meningkat.
b) Median Rhomboid Glossitis

10

Median rhomboid glossitis merupakan kondisi kronik


yang muncul sebagai lesi berbentuk kristal di posterior midline
dorsum lidah. Didapatkan jumlah spesies Candida yang tinggi
dari lesi tersebut. Kondisi ini sering dikaitkan dengan individu
yang sering menggunakan steroid inhaler atau individu yang
merokok.
(Williams, 2011).
e. Diagnosis
Berdasarkan hasil anamnesa dapat diperoleh informasi mengenai
keadaan rongga mulut yang dialami pasien. Keluhan yang bisa terjadi
pada candidiasis oral seperti adanya rasa tidak nyaman, rasa terbakar,
rasa sakit, dan pedih pada rongga mulut. Pemeriksaan klinis dilakukan
dengan melihat gambaran klinis lesi yang terdapat pada rongga mulut.
Gambaran klinis candidiasis oral yang terlihat bisa berbeda-beda sesuai
dengan tipe candidiasis yang terjadi pada rongga mulut pasien. Di
samping itu, pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan sitologi
eksfoliatif, kultur swab, uji saliva, dan biopsi sangat diperlukan dalam
mendukung diagnosa candidiasis oral (Setiani dan Sufiawati, 2005)
f. Terapi
Pengobatan farmakologis kandidiasis oral dikelompokkan dalam
tiga kelas agen antifungal yaitu: polyenes, azoles, dan echinocandins.
Antifungal

Polyenes

mencakup

Amphotericin

dan

Nystatin.

Amphotericin B dihasilkan oleh Streptomyces nodosus dan memiliki


aktivitas antijamur yang luas. Di samping keuntungannya, antifungal ini
dapat menimbulkan efek nefrotoksik. Obat antifungal lain yang sekarang
banyak digunakan adalah Nystatin. Azoles dibagi dalam dua kelompok
yaitu imidazoles dan triazoles. Azoles akan menghambat ergosterol yang
merupakan unsur utama sel membran jamur sedangkan Caspofungin
termasuk golongan antifungal echinocandins yang digunakan untuk
pengobatan terhadap infeksi jamur Kandida dan spesies aspergillus
(Andryani, 2010).

11

Obat anti jamur dapat diberikan secara topikal maupun sistemik,


dengan syarat pemakaiannya harus sesuai dengan tipe kandidiasis yang
akan dirawat. Obat - obat anti jamur yang dapat diberikan secara topikal
berupa: clotrimazolelozenge, nystatinpastiles, dan nystatin suspensi oral,
sedangkan obat anti jamur yang dapat diberikan secara sistemik yaitu:
ketoconazole tablet, itraconazole tablet, fluconazole tablet. Hal yang
sangat penting dilakukan oleh pasien adalah menjaga kebersihan rongga
mulut, sehingga kandida albikans yang merupakan mikroorganisme
komensal dan flora normal di rongga mulut tidak berubah menjadi agen
infeksius opportunistik penyebab kandidiasis oral. Pasien juga harus
menghindari faktor-faktor

predisposisi yang dapat menimbulkan

kandidiasis (Andryani, 2010).


C. Infeksi Virus
1. Herpes Labialis
a. Definisi
Herpes labialis adalah lesi pada bibir yang bersifat kambuhan,
dikarenakan reaktivasi dari Herpes Simplex Virus 1 (HSV-1) (Scully et al,
2010; Laskaris, 2003; Jordan dan Lewis, 2004).

Herpes labialis

merupakan bentuk dari infeksi herpes rekuren. Herpes labialis lebih


sering terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan perbandingan sekitar
2:1, dan melibatkan bibir atas atau bawah dengan frekuensi yang sama
(Laskaris, 2003; Burket et al, 2008).
b. Gambar

12

Gambar 2. Herpes labialis


c. Klinis
Gejala prodromal yang dirasakan seperti sensasi terbakar, nyeri
ringan, dan gatal-gatal. Gejala ini mengawali erupsi, pada umumnya rasa
nyeri berlangsung pada 2 hari pertama. Secara klinis, hal ini ditandai
dengan edema dan kemerahan di vermilion border, dan juga kulit perioral
yang berdekatan, kemudian diikuti oleh sekelompok vesikel kecil.
Vesikel ini segera pecah, meninggalkan ulkus kecil yang ditutupi oleh
krusta dan akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu 5-8 hari
(Laskaris, 2003; Jordan dan Lewis, 2004). Ekstraoral: Kadang lesi ini
terinfeksi oleh Staphylococcus atau Streptococcus, yang kemudian
mengakibatkan impetigo. Pada pasien immunocompromised, lesi ini
dapat meluas dan dapat melibatkan kulit perioral. Pada pasien atopik, lesi
ini dapat menyebar luas sehingga mengakibatkan eczema herpeticum
(Scully et al, 2010; Burket et al, 2008)
d. Diagnosis
Biopsi, kultur sel, dan tes darah. Pada tes darah IgG sebagai
parameter adanya infeksi rekuren (Burket et al, 2008).
e. Diagnosis Banding
Lesi traumatik, sifilis primer atau sekunder, dan impetigo (Scully et
al, 2010; Laskaris, 2003).
f. Prognosis
Baik,

tetapi

bagi

pasien

immunocompromised

frekuensi

kekambuhannya lebih sering (Scully et al, 2010).


g. Terapi
13

Pemberian acyclovir 5%, pencyclovir 1%, atau silica gel topikal


sedini mungkin dapat membantu mengkontrol lesi (Scully et al, 2010;
Jordan dan Lewis, 2004). Pada pasien immunocompromised sebaiknya
diberikan pengobatan secara sistemik, atau dengan antiviral lainnya
(Scully et al, 2010). Pengolesan tabir surya pada bibir juga efektif dalam
menurunkan frekuensi kekambuhan akibat induksi dari sinar matahari
(Jordan dan Lewis, 2004). Foscarnet dapat menjadi obat pilihan selain
yang telah disebutkan di atas (Burket et al, 2008).
2. Oral hairy leukoplakia
a. Definisi
Pada penderita HIV, oral hairy leukoplakia (OHL) merupakan
kelainan terbanyak kedua setelah oral candidiasis. OHL berhubungan
dengan penurunan jumlah CD4+ limfosit T dalam darah (Burket et al,
2008). Prevalensi OHL pada pasien HIV positif ialah 80% atau lebih.
Meskipun etiologi dari OHL ini masih belum jelas, tetapi dijelaskan
bahwa Epstein-Barr virus (EBV) memiliki peranan penting terhadap
timbulnya OHL (Laskaris, 2003).
b. Gambar

14

Gambar 3. Oral hairy leukoplakia


c. Klinis
Lesi berwarna putih, terdapat peninggian, tidak dapat dikerok,
bersifat asimtomatis, biasanya lesi ini terdapat pada lidah, terutama pada
lateral lidah. Permukaan dari lesi ini biasanya berkerut, dengan orientasi
vertikal. Lesi ini dapat meluas hingga ke bagian dorsum lidah (Laskaris,
2003).
d. Diagnosis
Biopsi diindikasikan ketika diagnosis tidak dapat diketahui secara
klinis. Biopsi menunjukkan tanda hiperkeratosis dengan ditemukannya
virus pada nukleus keratinosit superfisial. Terdapat struktur berhifa dan
bentukan spora dari candida sering nampak pada keratin layer. Studi
hibridisasi in situ menunjukkan adanya EBV pada bagian atas keratinosit
(Burket et al, 2008; Jordan dan Lewis, 2004).
e. Diagnosis Banding
Candidiasis hiperplastik, idiopatik leukoplakia, dan trauma (Lala,
2012)
f. Prognosis
Baik, karena merupakan self-limiting lesion, dan tidak berpotensi
menjadi ganas. Lesi ini dapat hilang dengan sendirinya, dengan medikasi
antiviral, atau dengan terapi sistemik pada penderita AIDS (Burket et al,
2008; Gnepp, 2009).
g. Terapi

15

Acyclovir, gancyclovir, tretinoin, atau podophyllin. Peningkatan


sistem imun pada pasien dapat meregresi OHL (Jordan dan Lewis, 2004).
D. Infeksi Bakteri
1. Penyakit periodontal
a. Definisi
Gingivitis merupakan inflamasi yang terjadi pada gingiva. Radang
gusi atau gingivitis adalah akibat dari infeksi bakteri Streptococcus.
Gingivitis dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Penyebab
gingivitis salah satunya adalah turunnya sistem imun pada penderita HIV
sehingga bakteri lebih mudah menginfeksi mukosa rongga mulut (John,
2005). Necrotizing Ulcerative Periodontitis (NUP) dan Necrotizing
ulcerative gingivitis (NUG) tergolong penyakit necrotizing periodontal
disease. Kejadian NUP dan NUG mempunyai hubungan kuat dengan
HIV/AIDS. Pada penderita immunocompromised penyakit berkembang
cepat dan parah dari gingiva ke jaringan periodontium dan masuk ke
dalam jaringan lunak sehingga dapat menyebabkan cancrum oris dan
noma. Bakteri yang berperan dalam terjadinya penyakit ini antaralain,
golongan treponema, p. intermedia, fusobacteria nucleatum, p.
gingivalis, golongan selenomonas, dan campylobacter. Kerusakan
jaringan yang ditimbulkan merupakan akibat dari produksi endotoksin
dam turunnya sistem imun. Pada umumnya penderita menunjukkan
penurunan jumlah neutrofil dan fagositosis (Burket et al, 2008).
b. Gambar

16

Gambar 4. Linear gingival erythema (kiri atas), Necrotizing ulcerative


gingivitis (kanan atas), Necrotizing Ulcerative Periodontitis (bawah kiri),
Gingivitis (bawah kanan)
c. Klinis
1) Gingivitis
Erythema dan pembesaran gingiva merupakan tanda-tanda gejala
klinis dari gingivitis, yaitu terjadi pembesaran gingiva diantara
interdental papil dengan margin gingival. Penyakit ini biasanya
didahului oleh serangan tonsilitis, gusi meradang difus dan akut,
berwarna merah, membengkak dan mudah berdarah. Terkadang timbul
abses pada gusi pada papil interdental Adanya perdarahan ketika
probing dan gosok gigi, ini menjadi tanda utama. Rasa nyeri tidak
selalu muncul pada gingivitis (John, 2005)
2) Necrotizing Ulcerative Periodontitis
NUP digambarkan sebagai ulserasi pada jaringan lunak, dan
nekrosis, serta terjadinya kerusakan yang cepat pada periodontal
attachment. Terjadi perdarahan secara spontan dan nyeri yang dalam.
HIV positif dengan manifestasi periodontitis biasanya diikuti dengan
demam

dan

malaise

terkadang

juga

terjadi

submandibular

lymphadenopaty. Pada pasien immunocompremised NUP muncul bila


jumlah CD4+ dalam darah kurang dari 200sel/mm3 (Burket et al,
2008).
3) Necrotizing ulcerative gingivitis
Tanda klinis dari lesi ini adalah suatu ulserasi yang nyeri dimana
mengenai margin gingiva dan interdental papil, dan diikuti oleh bau

17

mulut. Paling sering terjadid bagian anterior rahang bawah. Etiologi


dari NUG masih belum diketahui, tetapi bakteri anaerob, seperti
spirochetes dan spesies Fusobacterium dikatakan terlibat, dikarenakan
mikroorganisme tersebut ditemukan dengan angka yang tinggi pada
lesi ini (Laskaris, 2003; Burket et al, 2008).
4) Linear Gingival Erythema (LGE)
Secara klinis, LGE digambarkan sebagai suatu garis kemerahan
sepanjang margin gingiva. Sering terjadi pada penderita HIV positif.
Meskipun dilakukan tindakan

kontrol plak, root planing maupun

scalling, lesi ini tidak hilang. Perdarahan gingiva dapat terjadi secara
spontan, atau pada saat probing (Laskaris, 2003; Burket et al, 2008).
d. Diagnosis
Menggunakan kultur bakteri untuk menentukan jenis bakteri. Sulit
dibedakan antara penderita non-HIV dengan HIV positif, tetapi biasanya
pada penderita HIV nyeri yang ditimbulkan sangat hebat dan terjadi
destruksi secara cepat (Scully et al, 2010).
e. Diagnosis Banding
Primary herpetic gingivostomatitis, desquamative gingivitis,
periodontitis (Burket et al, 2008).
f. Prognosis
Baik (Burket et al, 2008).
g. Terapi
Kontrol plak, debridement, irigasi dengan povidone iodin, scalling
dan root planing, dan obat

kumur sehari dua kali. Pada kasus NUP,

metronidazole (satu tablet 250mg sehari empat kali), amoxicillin (satu


tablet 250mg sehari tiga kali) atau clindamycin (satu tablet 300mg sehari
tiga kali). Pada jangka panjang, peningkatan oral hygiene diperlukan untuk
mencegah kerusakan gingiva lebih lanjut (Jordan dan Lewis, 2004).
Terkadang bedah periodontal juga diberikan untuk koreksi gingiva dan
defek periodontal (Burket et al, 2008).

18

E. Lesi Neoplastik
1. Sarkoma Kaposi
a. Definisi
Sarkoma

kaposi

merupakan

keganasan

akibat

proliferasi

multisentrik dari sel endotel. Sarkoma kaposi disebabkan oleh Human


Herpes Virus tipe 8 (HHV-8). Kejadian sarkoma kaposi lebih rendah pada
penderita AIDS tanpa transmisi seks sebab kejadian sarkoma kaposi
berhubungan dengan transmisi seksual. Biasanya sarkoma kaposi
ditemukan intraoral yaitu di palatum, gingiva, dan dorsum lidah, bersifat
soliter atau bergabung dengan lesi lainnya. Sarkoma kaposi merupakan
manisfestasi AIDS pada stadium IV (Burket, 2008).
b. Gambar

Gambar 5. Sarkoma Kaposi


c. Klinis
Gambaran klinis dari sarkoma kaposi adalah, pada intraoral berupa
makula berwarna merah, biru,ungu, atau kadang-kadang berwarna coklat
atau hitam, yang kemudian membesar menjadi sebuah nodula atau ulser.
Hingga 95% lesi ini terjadi di palatum, 23% di gingiva, dan lainnya
terdapat di lidah atau mukosa buccal. Pada ekstraoral, sarkoma kaposi

19

biasanya menyebar luas pada kulit, gastrointestinal, dan tractus


respiratorius (Scully et al, 2010; Burket, 2008).
d. Diagnosis Banding
Hemangioma, purpura, pitheloid angiomatosis (Scully et al, 2010;
Burket, 2008).
e. Prognosis
Sarkoma kaposi muncul pada stadium IV maka prognosisnya
buruk (Scully et al, 2010),
f. Terapi
Terapi lokal dapat dengan operasi atau kemoterapi. Operasi hanya
memiliki efek yang kecil atau tidak terlalu berpengaruh. Terapi yang
dapat dilakukan pada pasien HIV dengan sarkoma kaposi adalah
pemberian terapi antiviral. Utuk agen infeksi HHV-8, dengan injeksi
vinblastine (0,2mg/ml) dilaporkan cukup membantu (Burket, 2008).
2. Non hodgkins Lymphoma
a. Definisi
Non hodgkins lymphoma (NHL) merupkan salah satu manifestasi
yang sering terjadi pada infeksi HIV. NHL berasal dari sel B atau EBV.
Sama seperti sarkoma kaposi, NHL juga muncul pada stadium IV kasus
AIDS (Burket, 2008).
b. Gambar

Gambar 6. Non hodkins lymphoma (NHL)

20

c. Klinis
Submukosa swelling, biasanya bilateral diantara mukosa bergerak
dan tak bergerak palatum dan juga dapat melibatkan tulang mandibula.
Lesi muncul dengan pembengkakan tanpa rasa sakit, berupa ulserasi.
Beberapa lesi oral muncul sebagai ulserasi yang dangkal. NHL dapat
muncul sebagai lesi soliter maupun bersamaan dengan lesi-lesi lainnya
(Laskaris, 2003; Burket et al, 2008).
d. Diagnosis
Secara histologi yaitu dengan biopsi (Laskaris, 2003; Burket et al,
2008).
e. Diagnosis Banding
NHL sering diduga sebagai major aphtous atau perikoronitis akibat
erupsi gigi molar ketiga (Laskaris, 2003).
f. Prognosis
Buruk, karena merupakan suatu keganasan (Scully et al, 2010).
g. Terapi
Kombinasi

antara

kemoterapi

dan

radioterapi,

dan

juga

transplantasi stem cell hematopoietic (Burket et al, 2008).


F. Lesi oral lain yang berhubungan dengan penyakit HIV/AIDS
1. Recurrent Apthous Stomatitis (RAS)
a. Definisi
RAS merupakan kelainan yang bersifat kambuhan dan ditemukan
di mukosa rongga mulut. Penyebab RAS belum diketahui diduga akibat
kelainan sistem imun, defisiensi hematologi, faktor genetik dan juga
stress yang diderita penderita HIV (Jordan dan Lewis, 2004).

21

b. Gambar

Gambar 7. Recurrent Apthous Stomatitis


c. Klinis
Gejala prodormal, mulut terasa terbakar 2-48 jam. Gejala inisiasi
berupa erythema, beberapa jam kemudian berubah menjadi papula
berwarna putih, ulserasi, dan akan membesar dalam waktu 48-72 jam.
Secara klinis RAS dibedakan menjadi 2 yaitu minor dan mayor. Pada
ulkus jenis minor, muncul sebagai lesi soliter dengan ukuran 0,5-1,0cm,
dapat sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut. Jenis mayor muncul
sebagai ulkus nekrotik dengan ukuran sangat besar (2-4cm). Ulkus mayor
sangat menyakitkan dan dapat bertahan selama beberapa minggu, bila
sembuh meninggalkan jaringan parut. Jenis herpetiform muncul sebagai
kelompok ulkus kecil (1-2cm), biasanya di palatum dan orofaring
(Burket et al, 2008).
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan cara biopsi untuk mengetahui suatu
keganasan atau tidak (Laskaris, 2003).
e. Diagnosis banding
Luka trauma, leukoplakia (Burket et al, 2008).
22

f. Prognosis
Baik (Burket et al, 2008).
g. Terapi
Steroid

topikal,

seperti

fluocinonide,

betamethasone,

atau

clobetasol dicampur dengan orabase dioleskan enam kali sehari. Terapi


sistemik prednisone (40-60mg selama 7-10 hari) bagi penderita HIV
cukup efektif (Jordan dan Lewis, 2004). Thalidomide juga dapat
diberikan pada penderita HIV positif maupun HIV negatif. Penggunaa
thalidomide lebih efektif pada RAS mayor (Burket et al, 2008).

23

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan infeksi retrovirus RNA
yang dulunya disebut sebagai human T lymphotrophic virus III (HTL-III).
Virus HIV bisa ditularkan oleh penderita HIV melalui beberapa cara. Pintu
masuk utama HIV ke dalam tubuh adalah melalui darah dan mukosa yang
terbuka.
Penderita yang terinfeksi virus HIV biasanya ditandai dengan adanya lesi
pada mulut (oral lesions). Lesi mulut biasanya terlihat (menetap) pada orang
yang terinfeksi HIV, namun terkadang tidak terlihat. Hal ini tergantung pada
frekuensi virus yang menginfeksi.
Penderita yang terinfeksi HIV akan mengalami gejala klinis dan
manifestasi di rongga mulut. Manifestasi didalam rongga mulut oleh penderita
AIDS terdiri atas serangkaian infeksi oportunistik dan neoplasma.
B. Saran
Dokter hendaknya mengetahui tentang gejala serta manifestasi penyakit ini
dalam rongga mulut sehingga dapat melakukan perawatan terhadap penderita
HIV.
Dokter harus memperhatikan kewaspadaan universal dalam melakukan
perawatan terhadap penderita AIDS dan upaya pencegahan penularan yang
semaksimal mungkin diprakteknya.

24

Anda mungkin juga menyukai