Anda di halaman 1dari 21

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Penelitian Terdahulu
Pada saat penelitian dilakukan, terlebih dahulu haruslah melakukan studi

literatur atau biasa disebut dengan studi pustaka untuk mengetahui penelitian
terdahulu mengenai topik atau bahasan yang akan diteliti. Dalam penelitian analisa
bangkitan dan tarikan perjalanan terhadap distribusi pergerakan tiap zona dikota
palembang dengan program vissum ini, menggunakan beberapa referensi dari
beberapa jurnal ilmiah, jurnal penelitian, skripsi, thehsis, buku, maupun karya ilmiah
lainnya yang terdahulu.
Sebelumnya telah diterbitkan jurnal ilmiah dalam jurnal transportasi volume
12 nomor 1 tahun 2012, dengan judul penggunaan sistem dinamik dalam
manajemen transportasi untuk mengatasi kemacetan didaerah perkotaan oleh
Sugeng Wiyono (2012) menuliskan bahwa dalam perencaan sistem transportasi
dinamik untuk perkotaan, bahwa permodelan dinamis tidak harus memodelkan
seluruh sistem yang ada, namun dapat dibagi dalam beberapa sub model yang
nantinya digabungkan sehingga lebih memudahkan dalam proses aplikasi dan input
data. Dalam jurnalnya Sugeng Wiyono juga memberikan contoh loop sistem
distribusi pergerakan yang baik dimana pada loop atau alur pergerakan terarah dan
menjadi jelas dalam tata guna kawasan di dalam suatu kota. Dalam jurnalnya Sugeng
Wiyono juga mengatakan bahwa meningkatnya aktivitas dan mobilitas masyarakat
kota membutuhkan ruang gerak yang lebih luas. Permodelan sistem dinamis dapat
digunakan sebagai suatu alat untuk mengestimasi kebutuhan ruang gerak tersebut,
dengan variabel-variabel permodelan harus ditentukan terlebih dahulu sehingga jelas
apa yang mau dinilai dan bagaimana data tersebut distrukturkan. Jadi didalam
merencanakan sistem transportasi dinamis kita harus menentukan terlebih dahulu
variabel variabel apa yang kita jadikan tinjauan sehingga kita bisa dengan mudah dan
terarah menentukan hasil atau output dari tinjuan penelitian kita.
Ofyar Z Tamin (1994) dalam jurnalnya yang diterbitkan dalam jurnal teknik
sipil ITB yang berjudul aplikasi model perencanaan transportasi 4 tahap dalam
pemecahan masalah transportasi di negara sedang berkembang menjelaskan bahwa
metode perencanaan transportasi 4 tahap sangat efektif dan efisien dalam
pengembangan wilayah dan pemecahan masalah transportasi di kota besar pada

negara yang sedang berkembang. Ofyan Z Tamin (1994) menjelaskan secara global
model perencanaan transportasi 4 tahap yang mengkaitkan interaksi antara sistem
kegiatan (tata guna tanah) dengan sistem jaringan (transportasi) dan sistem
pergerakan (lalu-lintas) yang dapat dianalisa dengan biaya yang cukup rendah
(murah) dan dengan waktu proses yang cukup singkat (cepat). Telah pula dijelaskan
bahwa sistem transportasi secara makro terdiri dari beberapa sistem mikro yang
dikenal sebagai: Sistem Kegiatan, Sistem Jaringan, Sistem Pergerakan dan Sistem
Kelembagaan. Dalam bukunya yang berjudul perencanaan dan permodelan
transportasi Ofyar Z Tamin (2000) juga menjelaskan tentang cara bagaimana kita
merencakan konsep dasar perencanaan transportasi 4 tahap. Menganalisa bangkitan
dan tarikan perjalanan adalah salah satu bagian dari perencanaan trannsportasi 4
tahap dimana tahap ini disebut dengan Trip Generation barulah tahap perencanaan
akan dilanjutkan ke tahapan analisa distribusi pergerakan atau Trip Distribution
untuk kemudian dianalisa pola pergerakan sehingga kita dapat menentukan rute
perjalanan dan moda transportasi yang paling efisien.
Yang berikutnya adalah penelitian oleh Joni Arliansyah (2015) yang berjudul
kajian awal kebutuhan jembatan penghubung antara bagian hulu dan hilir kota
palembang menjelaskan bahwa pembuatan model transportasi dengan menggunakan
program dapat mempermudah dalam perencanaan transportasi makro. Pada studi
sebelumnya adalah menggunakan program JICA Strada Ver.3 dimana model dibuat
berdasarkan kondisi jaringan network yang ada di kota Palembang dan setelah
dilakukan uji keandalan model ternyata model memiliki hasil yang baik. Hal ini
menunjukkan bahwa pembuatan model transportasi makro dapat berguna untuk
memprediksi pertubuhan dan juga perkembangan pembebanan rute perjalanan di
kota Palembang.
2.2

Pendekatan Dasar dalam Perencanaan Sistem Transportasi.


Seperti halnya sebuah sistem, dalam merencanakan sebuah sistem

transportasi kota haruslah berkaitan ke semua aspek dalam kota tersebut seperti
masyarakat, kebudayaan, sistem pemerintahan, perindustrian, perekonomian, dan
kebiasaan masyrakatnya. Kita juga memahami bahwa sistem kelembagaan juga
berpegaruh dalam perencanaan transportasi kita juga tidak bisa melewatkan lembaga
lembaga yang berkaitan dengan sistem transportasi seperti kepolisian, dinas
perhubungan dan lembaga lainnya. Ofyar Z Tamin (1994) mengatakan dalam
beberapa jurnal nya bahwa perlu dilakukan pendekatan sistem transportasi terlebih

dahulu sebelum merencanakannya agar perencanaan dan permodelan yang dibuat


dapat diterapkan dan dapat memecahkan permasalahan transportasi di kota dengan
tepat.
Dalam salah satu jurnalnya yang yang berjudul aplikasi model perencanaan
transportasi 4 tahap dalam pemecahan masalah transportasi di negara sedang
berkembang menjelaskan tentang pendekatan sistem transportasi yang dimaksud.
Ofyar Z Tamin (2000) mengatakan untuk mendapatkan pengertian yang lebih
mendalam dan usaha untuk mendapatkan alternatif alternatif pemecahaan masalah
yang baik, sistem transportasi makro perlu dipecahkan menjadi sistem transportasi
yang lebih mikro. Sistem transportasi secara menyeluruh (makro) dapat dipecahkan
menjadi beberapa sub-sistem dimana masing-masing sistem mikro tersebut akan
saling terkait dan saling mempengaruhi.
Sistem mikro yang dimaksud adalah sistem kegiatan (transport demand),
sistem jaringan (prasarana transportasi/transport supply), sistem pergerakan (lalu
lintas/traffic), dan sistem kelembagaan. Yang kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh
Ofyar Z Tamin dalam jurnal yang dikutip sebagai berikut,
Setiap tata guna tanah atau Sistem Kegiatan mempunyai tipe kegiatan
tertentu yang akan 'membangkitkan' pergerakan (traffic generation) dan akan
'menarik' pergerakan (traffic attraction). Sistem tersebut merupakan suatu sistem
pola kegiatan tata guna tanah (land use) yang terdiri dari sistem pola kegiatan sosial,
ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Kegiatan yang timbul dalam sistem ini
membutuhkan adanya pergerakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan yang perlu
dilakukan setiap/harinya yang tidak dapat dipenuhi oleh tata guna tanah tersebut.
Besarnya pergerakan yang ditimbulkan tersebut sangat berkaitan erat dengan
jenis/tipe dan intensitas kegiatan yang dilakukan.
Pergerakan tersebut baik berupa pergerakan manusia dan/atau barang jelas
membutuhkan suatu moda transportasi (sarana) dan media (prasarana) tempat moda
transportasi tersebut dapat bergerak. Prasarana transportasi yang diperlukan tersebut
merupakan sistem mikro yang kedua yang biasa dikenal dengan Sistem Jaringan
yang meliputi jaringan jalan raya, kereta api, terminal bus dan kereta api, bandara
dan pelabuhan laut.
Interaksi antara Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan ini akan menghasilkan
suatu pergerakan manusia dan/atau barang dalam bentuk pergerakan kendaraan

dan/atau orang (pejalan kaki). Suatu Sistem Pergerakan yang aman, cepat, nyaman,
murah dan sesuai dengan lingkungannya akan dapat tercipta jika pergerakan tersebut
diatur oleh suatu sistem rekayasa dan manajemen lalu-lintas yang baik.
Pendekatan sistem transportasi seperti yang telah dijelaskan diatas tentunya
akan menjalin sebuah pola yang saling berhubungan satu sama lain. Setelah
diketahui masing masing aspek dalam pendekatan sistem transportasi diatas, maka
kita akan lebih mudah dalam menganalisa dan merencakan permodelan transportasi
berkelanjutan. Karena dalam merencanakan sistem transportasi kita tidak bisa hanya
menganalisa keadaan pada saat ini, karena tentunya perkembangannya harus juga
diperhitungkan. Dalam jurnalnya Ofyar Z Tamin (1994) mengatakan Permasalahan
kemacetan yang sering terjadi di kota-kota besar di Indonesia biasanya timbul
disebabkan karena kebutuhan akan transportasi yang lebih besar dibandingkan
dengan prasarana transportasi yang tersedia atau prasarana transportasi yang tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dari pernyataan teresbut kita bisa
mengetahui bahwa dalam perencanaan transportasi perkotaan kita haruslah
merencanakan sistem transportasi yang berkelanjutan karena kebutuhan transportasi
masyarakat pasti akan bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan populasi masyarakat
perkotaan tersebut. Pertumbuhan populasi masyarakat seperti yang terjadi di
indonesia dimana negara yang termasuk dalam 5 besar negara dengan populasi
terbanyak di dunia pasti akan mengakibatkan bertumbuhnya dengan pesat kebutuhan
akan transportasi masyarakat terlebih lagi di kota kota besar di Indonesia seperti di
kota Palembang. Oleh karena itu perencanaan transportasi dikota palembang
haruslah memperhitungkan perkembangan akan kebutuhan transportasi dimasa
mendatang.
Oleh karena itu lah pentingnya melakukan studi perencanan dan permodelan
transportasi berkelanjutan dimana kita harus membuat dan merancang suatu sistem
transportasi yang dapat menampung dan memenuhi kebutuhan transportasi untuk
masa yang akan mendatang.
Dalam penjelasannya beliau juga menerangkan keterkaitan antara pendekatan
sistem trasnportasi seperti yang telah dijelaskan diatas dimana Sistem Kegiatan,
sistem Jaringan, dan Sistem Pergerakan akan saling mempengaruhi satu dengan
lainnya. Perubahan pada Sistem Kegiatan jelas akan mempengaruhi Sistem Jaringan
melalui suatu perubahan pada tingkat pelayanan pada sistem pergerakan. Begitu juga

perubahan pada Sistem Jaringan akan dapat mempengaruhi Sistem Kegiatan melalui
peningkatan mobilitas dan aksesibilitas dari sistem pergerakan tersebut. Selain itu,
Sistem Pergerakan memegang peranan yang penting dalam mengakomodir suatu
sistem pergerakan agar tercipta suatu sistem pergerakan yang lancar yang akhirnya
juga pasti akan mempengaruhi kembali Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan yang
ada. Ketiga sistem mikro ini saling berinteraksi satu dengan yang lainnya yang
terkait dalam suatu sistem transportasi makro.
Dan untuk pendekatan sistem transportasi yang keempat yaitu sistem
kelembagaan, dijelaskan dalam GBHN 1988, dalam usaha untuk menjamin
terwujudnya suatu sistem pergerakan yang aman, nyaman, lancar, murah dan sesuai
dengan ingkungannya, maka dalam sistem transportasi makro terdapat suatu sistem
mikro tambahan lainnya yang disebut dengan Sistem Kelembagaan yang terdiri
beberapa individu, kelompok, lembaga, instansi pemerintah serta swasta yang terlibat
dalam masing-masing sistem mikro tersebut.
Di negara Republik Indonesia sistem kelembagaan (instansi) yang berkaitan
dengan masalah transportasi adalah sebagai berikut (Gambar 2.1):
- Sistem Kegiatan:
BAPPENAS, BAPPEDA, BANGDA, PEMDA
- Sistem Jaringan:
Departemen Perhubungan (Darat, Laut, Udara), Bina Marga
- Sistem Pergerakan:
DLLAJR, ORGANDA, POLANTAS
Gambar 2.1 Sistem kelambagaan untuk masalah transportasi.
(Sumber : GBHN, 1998)
Bappenas, Bappeda, Pemda, Bangda memegang peranan yang sangat penting
dalam menentukan sistem kegiatan melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan baik
wilayah, regional maupun sektoral. Kebijaksanaan sistem jaringan secara umum
ditentukan oleh departemen perhubungan baik darat, laut dan udara serta departemen
pu melalui direktorat jenderal bina marga.
Sistem pergerakan ditentukan oleh Dllajr, Dephub, Polantas, masyarakat
sebagai pemakai jalan (road user) dan lain-lain. Kebijaksanaan yang diambil
tentunya dapat dilaksanakan dengan baik melalui suatu peraturan yang secara tidak

10

langsung juga memerlukan adanya suatu sistem penegakan hukum yang baik pula.
Sehingga secara umum dapat disebutkan bahwa pemerintah, swasta dan masyarakat
seluruhnya dapat berperan dalam mengatasi masalah dalam sistem transportasi ini
terutama dalam hal mengatasi masalah kemacetan.
2.3

Perencanaan Transportasi Empat Tahap (four step model)


Dalam perencanaan transpotasi serta permodelan transportasi perkotaan yang

paling umum dikenal adalah perencanaan transportasi empat tahap atau biasa dikenal
dengan istilah 4 step model . perencanaan transportasi 4 tahap ini lebih mudah untuk
dipahami dan diterapkan karena dianggap sederhana namun mencakup hampir semua
aspek yang dibutuhkan dalam merencanakan permodelan transportasi perkotaan.
Model ini merupakan gabungan dari beberapa seri sub model yang masingmasing harus dilakukan secara terpisah dan berurutan. Sub model tersebut adalah
aksesibilitas, bangkitan dan tarikan pergerakan, sebaran pergerakan, pemilihan moda,
pemilihan rute dan arus lalu lintas dinamis. Konsep ke dua sampai ke lima
merupakan bagian utama model tersebut, yang harus dilakukan secara berurutan.
Pertama, bangkitan dan tarikan pergerakan, mengukur frekuensi perjalanan
yang dikembangkan sebagai kecenderungan melakukan perjalanan. Perjalanan
direpresentasikan sebagai trip ends, productions dan attractions, yang diestimasi
secara terpisah. Kedua, sebaran pergerakan, bangkitan perjalanan didistribusikan
menyesuaikan dengan distribusi tarikan perjalanan dan untuk merefleksikan
hambatan perjalanan (waktu dan/atau uang), sebagai tabel perjalanan dari permintaan
perjalanan orang. Berikutnya di pemilihan moda, matrik perjalanan direfleksikan
dalam proporsi perjalanan menggunakan beberapa alternatif moda. Terakhir pilihan
rute, matrik perjalanan menggunakan suatu moda di bebankan ke jaringan moda
tertentu.
Jenis pemodelan empat tahap ini sangat kompleks, membutuhkan banyak
data dan waktu lama dalam proses pengembangan dan pengkalibrasiannya. Akan
tetapi, model ini dapat disederhanakan agar memenuhi kebutuhan perencanaan
transportasi di daerah yang mempunyai keterbatasan waktu dan biaya.
2.3.1. Model Bangkitan Pergerakan (Trip Generation)

11

Bangkitan

pergerakan

adalah

langkah

pertama

dalam

perencanaan

transportasi empat tahap (dikuti oleh distribusi perjalanan, pilihan moda dan
pembebanan jaringan), digunakan dalam memperkirakan jumlah perjalanan yang
berasal atau bertujuan di suatu zona dalam analisis lalu lintas.
Fokus utama dalam analisis bangkitan perjalanan adalah dipemukiman, dan
bahwa bangkitan perjalanan adalah fungsi dari kegiatan sosial, ekonomi keluarga.
Pada tingkat zona analisis lalu lintas, tata guna lahan akan menghasilkan atau
membangkitkan perjalanan. Zona juga merupakan tujuan perjalanan, menarik
perjalanan. Analisis dari tarikan perjalanan difokuskan kepada tata guna lahan yang
bukan pemukiman. Penelaahan bangkitan perjalanan merupakan hal yang penting
dalam proses perencanaan perangkutan, karena dengan mengetahui bangkitan
perjalanan, maka jumlah perjalanan tiap trip zona pada masa yang akan datang dapat
diperkirakan.
a.

Bangkitan perjalanan (Trip Production) adalah banyaknya perjalanan yang


ditimbulkan oleh suatu zona atau daerah per satuan waktu. Waktu perjalanan
bergantung pada kegiatan kota, karena penyebab perjalanan adalah adanya
kebutuhan manusia untuk melakukan kegiatan dan mengangkut barang
kebutuhannya.

b.

Sedangkan tarikan perjalanan (Trip Attraction) adalah banyaknya jumlah


perjalanan yang ditarik oleh suatu zona.

Gambar 2.2. Trip Production Dan Trip Attraction


2.3.2. Model Sebaran Pergerakan
Pola pergerakan dalam sistem transportasi sering dinyatakan dalam bentuk arus
pergerakan (kendaraan, penumpang, dan barang) yang bergerak dari zona asal ke zona

12

tujuan pada suatu daerah tertentu dan selama periode waktu tertentu. Matriks Pergerakan
atau Matriks Asal-Tujuan (MAT) adalah matriks berdimensi dua yang paling sering
dipergunakan untuk menggambarkan pola pergerakan yang memuat informasi jumlah
pergerakan antarzona. Baris dalam MAT menyatakan zona asal dan kolom dalam MAT
menyatakan zona tujuan, sehingga setiap sel dalam MAT menyatakan besarnya arus
pergerakan yang bergerak dari zona asal i menuju ke zona tujuan j selama selang waktu
tertentu sebagaimana terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Bentuk Umum Matriks Asal-Tujuan (MAT)

Gambar 2.3 memperlihatkan beberapa macam cara untuk mendapatkan


Matriks Asal-Tujuan (MAT) yang dikelompokkan menjadi dua bagian utama, yaitu
metode konvensional dan metode tidak konvensional.

Gambar 2.3 Metode Untuk Mendapatkan Matriks Asal-Tujuan (MAT)


Model faktor pertumbuhan adalah pendekatan pemodelan distribusi perjalanan
yang paling sederhana dengan persamaan 2.1 umum sebagai berikut :
Tij = Qij E

....................(2.1)

13

dimana :
Tij = perjalanan yang akan datang dari i ke j
Qij = perjalanan pada base year dari i ke j
E

= faktor pertumbuhan
Metode ini mengasumsikan pertumbuhan lalu lintas yang terjadi akan terjadi

secara seragam sehingga mempermudah dalam membuat prediksi ramalan matriks


asal tujuan untuk tahun yang diinginkan. Dengan membandingkan lalu lintas harian
pada dua tahun yang berbeda untuk menemukan persamaan pertumbuhan lalu lintas
sebagai acuan untuk mendapatkan presentase kenaikan pertumbuhan lalu lintasnya
dengan menggunakan persamaan 2.2
LHRT = LHRo (1+E)n

....................(2.2)

dimana :
LHRT

= lintas harian rata rata tahun terakhir

LHRo

= lintas harian rata rata tahun sebelumnya

= faktor pertumbuhan

= jumlah tahun
Sebagai bahan perbandingan untuk hasil yang didapat, dengan tetap

menggunakan analisa growth factor namun menggunakan lain metode yaitu dengan
menggunakan metode pertumbuhan rata rata dimana pada metode ini kita
mengasumsikan bahwa pertumbuhan lalu lintas tidak sama pada setiap zonanya.
Oleh karena itu akan diperhitungkan faktor pertumbuhan pada setiap zona. Dengan
menggunakan persamaan (2.3).
Tij = Qij (Ei + Ej)/2
dimana : Tij = perjalanan yang akan datang dari i ke j
Qij = perjalanan pada base year dari i ke j
Ei = Ti / Qi, dan Ej = Tj / Qj

....................(2.3)

14

Jika model ini digunakan, total future trip akan dihasilkan tidak sama seperti
yang dihasilkan dari tahapan bangkitan perjalanan yaitu Ti = Ti(g)
2.3.3. Pilihan moda (Modal Split)
Tahap ketiga dari perencanaan transportasi empat tahap merupakan analisis
terhadap pilihan moda dalam melakukan perjalanan, apakah menggunakan kendaraan
pribadi atau kendaraan umum, menggunakan kendaraan pribadi bisa dengan berjalan
kaki, bersepeda, sepeda motor atau mobil sedang angkutan umum bisa becak, taxi,
bus atau kereta api.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pilihan moda seperti:
a. Jaringan pelayanan angkutan umum
b. Biaya angkutan, kalau angkutan umum disubsidi akan mempengaruhi
penggunaan angkutan umum, termasuk kalau biaya penggunaan kendaraan
pribadi tinggi akan mempengaruhi penggunaan angkutan umum.
c. Kecepatan perjalanan dengan angkutan umum dan angkutan pribadi
d. Fasilitas yang disediakan untuk moda tertentu seperti:
1) Trotoar dan fasilitas pejalan kaki yang baik untuk menarik pejalan kaki
berjalan kaki menuju tujuannya.
2) Jaringan bagi pesepeda.
2.3.4. Pembebanan Perjalanan (Trip Assignment)
Disebut juga pembebanan lalu lintas adalah tahapan terakir dari perencanaan
transportasi empat tahap yang merupakan pilihan rute yang dipilih dalam melakukan
perjalanan dari satu zona ke zona lainnya. Rute yang dipilih adalah rute yang
ditempuh dengan waktu yang paling cepat atau biaya yang paling murah.
Terdapat beberapa model pembebanan perjalanan yang dibedakan menurut
mekanisme asumsi pemilihan rute serta batasan kapasitas rute, sebagai berikut:
a. Model pembebanan all or nothing
Mengasumsikan seluruh pelaku perjalanan mengetahui rute termurah dan
hanya akan memilihsatu rute dengan biaya perjalanan terendah tersebut,
sehingga tidak memperhitungkan kapasitas rute.
b. Model pembebanan equilibrium determinatik (User Equilibrium)
Memperhitungkan kapasitas rute, maka volume lalu lintas di jaringan akan

15

mempengaruhi biaya perjalanan di tiap rute dan seluruh pelaku perjalanan


mengetahui secara interaktif rute mana yang termurah, sehingga pelaku
perjalanan akan mendistribusikan diri ke tiap rute sampai semua rute
memiliki biaya perjalanan yang sama.
c. Model pembebanan equilibrium stochastic
Pendekatannya hamper sama dengan model sebelumnya, namun ditambahkan
pengaruh persepsi perjalanan yang dianggap tidak deterministic, melainkan
memiliki distribusi random tertentu.
2.4

Model Simultan
Model perencanaan transportasi empat tahap dapat disederhanakan agar

memenuhi kebutuhan perencanaan transportasi di daerah yang mempunyai


keterbatasan waktu dan biaya. Waktu merupakan hal yang penting, jika hanya sedikit
waktu tersedia dalam penentuan kebijakan, maka melakukan pemodelan yang
sesederhana mungkin akan lebih baik daripada pemodelan yang menyeluruh. Sampai
saat ini banyak dikembangkan kombinasi tahapan tersebut, yaitu menggabungkan
tahapan, kemudian parameternya dikalibrasi dengan arus lalu lintas.
Kombinasi tahapan merupakan salah satu langkah pengembangan model
dalam memperoleh tahapan model yang efisiensi dan efektif. Dimana dengan model
kombinasi ini, proses pemodelannya menjadi lebih singkat dan cepat dengan hasil
sesuai dengan yang diharapkan untuk masing-masing tahap. Disamping itu,
konsistensi antar tahapan model yang dikombinasikan tersebut dapat lebih terjamin,
karena mempergunakan

masukan dan batasan yang sama

dalam proses

pemodelannya. Model kombinasi bertujuan menggabungkan tahapan sebaran


pergerakan, pemilihan moda dan pemilihan rute dalam satu proses, kemudian
parameternya dikalibrasi dengan arus lalu lintas atau penumpang.
2.4.1

Kombinasi Sebaran Pergerakan dan Pembebanan Rute


Secara umum kebutuhan pergerakan dipengaruhi oleh ketersediaan jaringan.

Beberapa penelitian untuk mengembangkan metode sistem peramalan untuk


menghitung kebutuhan pergerakan dengan ketersediaan jaringan secara langsung
telah dikembangkan. Evans (1976) mempublikasikan kombinasi matematis dari
model distribusi gravity dengan model equilibrium assignment. Kutipan awal
kombinasi ini dikerjakan oleh Florian et al (1975) yang mencatat beberapa hal dari

16

penelitian Evans. Penelitian mereka menghasilkan umpan balik antara kondisi


keseimbangan pada kemacetan dan sebaran pergerakan, dengan menerapkan juga
prosedur sequential. Perjalanan interzona dibebankan ke rute terpendek. Rute
terpendek yang baru, di komputasi, dan panjangnya (access times) digunakan sebagai
input model distribusi. Arus interzonal yang baru kemudian dibebankan dalam
beberapa proporsi ke rute yang telah diperoleh. Prosedur ini dihentikan ketika waktu
interzonal untuk iterasi berturut-turut tidak benar-benar sama.
2.4.2

Kombinasi Model Sebaran Pergerakan dan Pemiliham Moda


Ben-Akiva dan Lerman (1985) mengembangkan kombinasi sebaran

pergerakan dan pemilihan moda menggunakan rumusan logit untuk perjalanan


bekerja dan tidak bekerja. Dalam penerapan saat ini, beberapa model, termasuk
misalnya model perencanaan transportasi yang digunakan di Portland, Oregon
menggunakan rumusan logit untuk distribusi perjalanan. Allen (1984) menggunakan
utilitas logit berdasar model pemilihan moda dalam menentukan keterpisahan
(composite impedance) untuk sebaran pergerakan. Pendekatan menggunakan
pemilihan moda logsums menyatakan secara tidak langsung bahwa sebaran
pergerakan tergantung dari variabel variabel yang sama seperti pemilihan moda.
Tamin (1988) mengembangkan model agregat yang dikombinasikan dengan model
pemilihan moda logit yang dikalibrasi dengan data arus lalu lintas (penumpang).
Arus lalu lintas (penumpang) diekspresikan sebagai fungsi dari model TDMC.
Dalam kasus ini model TDMC direpresentasikan dengan fungsi dari bentuk model
dan parameter yang relevan. Model yang diuji adalah model gravity yang
dikombinasikan dengan model multinomial logit. Untuk mengkalibrasi parameter
model kombinasi tersebut digunakan estimasi Non Linear Least Squares (NLLS).
Levinson dan Kumar (1995) menggunakan probabilitas pemilihan moda sebagai
faktor bobot dan mengembangkan fungsi hambatan khusus atau f-curve untuk tiap
moda untuk maksud perjalanan bekerja dan non bekerja.
Tamin serta Purwanti, O. (2002) mengembangkan model kombinasi Sebaran
Pergerakan Pemilihan Moda (SPPM), parameter model dikalibrasi dengan data arus
lalu lintas atau penumpang dan beberapa data perencanaan sederhana. Pada model
kombinasi Sebaran Pergerakan Pemilihan Moda (SPPM), peubah lk id p digunakan
untuk dapat mendefinisikan proporsi jumlah perjalanan (moda k) dari zona asal i ke

17

zona tujuan d yang menggunakan ruas jalan l . sehingga arus lalu lintas di setiap ruas
jalan dalam suatu jaringan jalan adalah hasil dari :
2.4.3

Kombinasi Aksesibilitas, Sebaran Pergerakan dan Pemilihan Moda


Penelitian yang dilakukan oleh Departemen Transportasi di US (Bureau of

Transportation Statistics, 1994) menemukan bahwa hasil dari model pilihan moda
logit digunakan sebagai variabel penjelas dalam model distribusi. Variabel
aksesibilitas, yang dikenal dengan variable logsum, diperhitungkan untuk tiap bagian
origin-destination sebagai logaritma dari persamaan model pilihan moda logit.
Variabel ini merepresentasikan utilitas maksimum yang diharapkan, yang diperoleh
dari semua moda perjalanan yang mungkin antara asal dan tujuan diantara variabel
waktu dan biaya. Variabel logsum dapat diinterpretasikan dan digunakan sebagai
generalized cost, yang memberikan ukuran lebih baik dari biaya seseorang dalam
melakukan perjalanan. Penggunaan variabel logsum ini berbeda dengan yang umum
digunakan di sebagian besar daerah perkotaan saat ini, yang menggunakan waktu
perjalanan, sebagai variabel batasan dalam model gravity dari sebaran perjalanan.
Variabel logsum digunakan sebagai intervening opportunities model trip distribusi.
Model ini menggunakan parameter yang disebut nilai L, yang diukur dari
probabilitas tujuan yang dipilih. Nilai L dari asal tergantung aksesibilitas dan semua
kemungkinan tujuan perjalanan. Aksesibilitas asal mempunyai nilai L yang rendah,
sehingga didefinisikan variable aksesibilitas dalam model sebaran pergerakan
sebagai jumlah tujuan perjalanan.
Model nested logit berbasis pada teori utilitas random, dimana orang memilih
alternatif yang memaksimalkan utilitasnya. Variabel Logsum juga digunakan di
Seattle (Puget Sound Regional Council) dan di daerah New Hampshire/Maine
seacoast (Resource Systems Group)untuk mengintegrasikan model pilihan moda
dengan model alokasi tata guna lahan, informasi aksesibilitas digunakan dalam
model tata guna lahan. Satu digunakan untuk tiap tipe tata guna lahan (perumahan,
perdagangan dan non perdagangan) di tiap zona. Yang diturunkan dari variabel
logsum pilihan moda. Setiap variabel aksesibilitas adalah jumlah bobot dari variabel
logsum pilihan moda untuk semua bagian O-D dalam zona, meliputi perjalanan
bekerja berbasis rumah, tidak bekerja berbasis rumah dan perjalanan tidak berbasis

18

rumah. Bobot jumlaht tergantung tipe tata guna lahan dari variable aksesibilitas yang
dihitung, dan diestimasi menggunakan metode multiple linear regression.
Penggunaan kombinasi pilihan moda dengan bagian lain model kebutuhan
perjalanan menjadi kompleks dalam estimasi dan aplikasinya. Sebagai contoh
penggunaan variabel logsum dalam model sebaran pergerakan menggunakan
prosedur iterasi keseimbangan, karena ada ketergantungan antara model. Parameter
model pilihan moda di ambil untuk memperoleh hasil yang sesuai antara arus lalu
lintas yang diestimasi dengan model sebaran pergerakan. Adjustment ini merubah
variabel logsum, ketika digunakan dalam model sebaran pergerakan merubah arus
lalu lintas. Model pilihan moda dan sebaran pergerakan harus diperkirakan secara
iterasi sampai arus lalu lintas sesuai dengan variabel logsum untuk dua model
tersebut.
2.4.4

Kombinasi Sebaran Pergerakan, Pemilihan Moda, dan Pemilihan Rute


Boyce and Bar-Gera (2003) mengembangkan penelitian tentang kombinasi

trip distribusi, mode choice dan route choice, untuk multiple user classes yang
diterapkan dalam kondisi macet di jalan perkotaan di Chicago. Untuk memvalidasi
dan mengestimasi model digunakan survey perjalanan rumah tangga dan data sensus
1990.
Model (pelaku perjalanan berdasar maksud perjalanan atau kelompok
sosioekonomi merupakan satu kelompok homogeneous). Sementara sebenarnya
pilihan bervariasi tergantung maksud perjalanan, income, kepemilikan kendaraan dll.
Sehingga penelitian untuk model multi kelas dikembangkan. Dua model multiklas
dari trip distribusi, mode, and route choice diformulasi, diestimasi dan divalidasi.
Model pertama menggabungkan O-D and mode choice menggunakan single
exponential function of generalized travel cost. Model kedua memisahkan distribusi
dan mode choice tetapi ada hubungan diantaranya dengan fungsi exponential
digambarkan dengan nested logit model. Pelaku perjalanan dikelompokkan dalam
klas maksud perjalanan dalam periode jam sibuk pagi dengan satuan orang/jam.
2.5

Estimasi Matriks Asal Tujuan (MAT) Dengan Data Arus Lalu Lintas
Arus lalu-lintas pada suatu ruas jalan adalah merupakan hasil kombinasi dua

faktor utama yaitu: MAT dan pola pemilihan rute (route choice) oleh setiap

19

pengendara dalam jaringan jalan tersebut. Kedua elemen ini berhubungan linear
dengan arus lalu-lintas . Metoda non-konvensional yang telah dikembangkan sampai
saat ini dapat diklasifikasikan menjadi 2 group yaitu: Metoda Struktural (Structured
Method) dan Metoda Non- Struktural (Unstructured Method). Kedua metoda ini akan
dijelaskan secara umum dibawah ini.
2.5.1 Metoda Non-Struktural
Metoda Non-Struktural terdiri dari metoda yang tidak memerlukan adanya
suatu model

transportasi dalam mewakili kelakuan dari pemakai jalan. Akan tetapi,

metoda ini menggunakan konsep 'informasi' atau 'entropi' dimana konsep ini pada
mulanya berasal dari ilmu Fisika. Metoda yang telah dikembangkan sampai saat ini
adalah metoda 'Maximum-Entropy' atau 'Information-Minimisation' (Willumsen,
1978). Metoda ini sebenarnya mencoba mengestimasi MAT yang paling 'mungkin
(likely)' sesuai dengan data arus lalu-lintas yang juga merupakan satu-satunya data
yang diperlukan. Akan tetapi, disamping keuntungan yang dapat diperoleh, metoda
non-struktural inipun tidak luput dari beberapa kelemahan-kelemahan seperti
(Atkins, 1987):
(a) akurasi MAT sangat tergantung dari adanya informasi awal mengenai MAT (prior
matrix). Dengan kata lain, metoda ini baik digunakan untuk mengestimasi MAT
dengan cara memperbaiki MAT 'prior' dengan data arus lalu-lintas pada saat
sekarang, dan
(b) metoda ini tidak dapat digunakan untuk memprediksi MAT untuk masa yang akan
datang. Sebagai contoh, metoda ini tidak bisa digunakan untuk melihat dampak dari
pengembangan tata guna tanah, populasi, urbanisasi atau tingkat pendapatan suatu
daerah terhadap pertumbuhan kegiatan transportasi di daerah tersebut pada masa
yang akan datang.
Kelemahan inilah yang menyebabkan para peneliti mencoba mengembangkan
metoda lain yang bisa digunakan untuk memprediksi MAT untuk masa yang akan
datang (Low, 1972; Robillard, 1975; Tamin, 1985, 1988ab).
2.5.2 Metoda Struktural
Model transportasi telah sering digunakan untuk mendapatkan MAT seperti
contoh: model gravity dengan suatu bentuk fungsi dan beberapa parameter tertentu.

20

Keuntungan yang diperoleh dengan menggabungkan model transportasi dengan data


arus lalu-lintas adalah merupakan kunci utama dalam tulisan ini.
Metoda struktural ini mengasumsikan bahwa kelakuan pemakai jalan dapat
diwakili oleh suatu model transportasi dengan parameternya. Dalam proses
kalibrasinya, arus lalu-lintas diekspresikan sebagai fungsi MAT dimana dalam hal ini
MAT juga diekspresikan sebagai fungsi dari model transportasi dengan
parameternya.
Kemudian parameter tersebut dikalibrasi dengan pendekatan 'OperationResearch (OR)' sehingga kesalahan antara arus lalu-lintas yang didapat di lapangan
dengan yang dihasilkan dari proses estimasi, diminimumkan. Beberapa metoda
estimasi yang telah dikembangkan adalah: Non-Linear-Least-Squares (NLLS) dan
Maximum-Likelihood (ML) (Tamin, 1988ab, 1989).
2.6 Pengertian dan Klasifikasi Jalan
Klasifikasi dan pembagian sistem jaringan jalan telah diatur oleh departemen
pekerjaan umum dalam buku pedoman kosntruksi dan bangunan mengenai
klasifikasi fungsi jalan di kawasan perkotaan nomor Pd T-18-2004-B. Berikut
klasifikasi jalan yang telah ditentukan
Dalam pengklasifikasian sistem jaringan jalan kita harus menganalisa kelas
jalan karena dalam menganalisa distribusi pergerakan yang bersifat makro kita akan
lebih memeperhatikan jalan arteri dan kolektor atau jalan utama yang mengubungkan
zona zona analisa. Untuk mengetahui seberapa banyak pembebanan rute yang ada
pada setiap jaringan jalan terhadap jumlah pergerakan yang ada, kita harus
mengetahui seberapa besar kapasitas jalan tersebut dan hal itu tentunya tergantung
daripada jenis jalan dan klasifikasinya.
Seperti telah dijelaskan diatas adalah bagaimana pengertian jalan menurut
pedoman dari dinas pekerjaan umum yang telah dibuat. Dalam klasifikasi dan fungsi
jalan selanjutnya dijelaskan dalam peraturan pemerinta nomor 34 tahun 2006
mengenai jalan. Dalam peraturan, disebutkan mengenai fungsi, ciri, dan klasifikasi
mengejani sistem jaringan jalan sebagai berikut
a. Jalan arteri primer
Jalan arteri primer menghubungkan secara berdaya guna antar pusat
kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah.
Sistem jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan

21

distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional,
dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat
kegiatan sebagai berikut: menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional,
pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan;
dan menghubungkan antar pusat kegiatan nasional.
b. Karakteristik jalan arteri primer
Karakteristik jalan arteri primer adalah sebagai berikut :
1.

Jalan arteri primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60


(enam puluh) kilometer per jam (km/h);

2.

Lebar Ruang Manfaat Jalan minimal 11 (sebelas) meter;

3.

Jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien; jarak antar jalan masuk/akses
langsung minimal 500 meter, jarak antar akses lahan langsung berupa kapling
luas lahan harus di atas 1000 m2, dengan pemanfaatan untuk perumahan;

4.

Persimpangan pada jalan arteri primer diatur dengan pengaturan tertentu yang
sesuai dengan volume lalu lintas dan karakteristiknya;

5.

Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu lalu lintas,
marka jalan, lampu lalu lintas, lampu penerangan jalan, dan lain-lain;

6.

Jalur khusus seharusnya disediakan, yang dapat digunakan untuk sepeda dan
kendaraan lambat lainnya;

7.

Jalan arteri primer mempunyai 4 lajur lalu lintas atau lebih dan seharusnya
dilengkapi dengan median (sesuai dengan ketentuan geometrik);

8.

Apabila persyaratan jarak akses jalan dan atau akses lahan tidak dapat dipenuhi,
maka pada jalan arteri primer harus disediakan jalur lambat (frontage road) dan
juga jalur khusus untuk kendaraan tidak bermotor (sepeda, becak, dll).
c. Jalan arteri sekunder
Jalan arteri sekunder adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan

ciri-ciri perjalanan jarak jauh kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk
dibatasi seefisien ,dengan peranan pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat dalam
kota. Didaerah perkotaan juga disebut sebagai jalan protokol.

22

d. Ciri jalan arteri sekunder


Jalan arteri sekunder menghubungkan :
I. kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu.
II. antar kawasan sekunder kesatu.
III. kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.
IV. jalan arteri/kolektor primer dengan kawasan sekunder kesatu.
2.
Jalan arteri sekunder dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling
1.

rendah 30 (tiga puluh) km per jam.


3.

Lebar badan jalan tidak kurang dari 8 (delapan) meter.

4.

Lalu lintas cepat pada jalan arteri sekunder tidak boleh terganggu oleh lalu
lintas lambat.

5.

Akses langsung dibatasi tidak boleh lebih pendek dari 250 meter.

6.

Kendaraan angkutan barang ringan dan bus untuk pelayanan kota dapat
diizinkan melalui jalan ini.

7.

Persimpangan pads jalan arteri sekunder diatur dengan pengaturan tertentu


yang sesuai dengan volume lalu lintasnya.

8.

Jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas same atau lebih besar dari
volume lalu lintas rata-rata.

9.

Lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya
tidak dizinkan pada jam sibuk.

10.

Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka,


lampu pengatur lalu lintas, lampu jalan dan lain-lain.

11.

Besarnya lala lintas harian rata-rata pada umumnya paling besar dari sistem
sekunder yang lain.

12.

Dianjurkan tersedianya Jalur Khusus yang dapat digunakan untuk sepeda


dan kendaraan lambat lainnya.

13.

Jarak selang dengan kelas jalan yang sejenis lebih besar dari jarak selang
dengan kelas jalan yang lebih rendah.
e. Jalan kolektor primer

23

Jalan kolektor primer adalah jalan yang dikembangkan untuk melayani dan
menghubungkan kota-kota antar pusat kegiatan wilayah dan pusat kegiatan lokal dan
atau kawasan-kawasan berskala kecil dan ataupelabuhan pengumpan regional dan
pelabuhan pengumpan lokal.
f. Ciri Jalan Kolektor Primer

Jalan kolektor primer dalam kota merupakan terusan jalan kolektor primer
luar kota.

Jalan kolektor primer melalui atau menuju kawasan primer atau jalan arteri
primer.

Jalan kolektor primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah


40 (empat puluh) km per jam.

Lebar badan jalan kolektor primer tidak kurang dari 7 (tujuh) meter

Jumlah jalan masuk ke jalan kolektor primer dibatasi secara efisien. Jarak
antar jalan masuk/akses langsung tidak boleh lebih pendek dari 400 meter.

Kendaraan angkutan barang berat dan bus dapat diizinkan melalui jalan ini.

Persimpangan pada jalan kolektor primer diatur dengan pengaturan tertentu


yang sesuai dengan volume lalu lintas nya.

Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari
volume lalu lintas rata-rata.

Lokasi parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak diizinkan
pada jam sibuk.

Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu lalu


lintas, marka jalan, lampu lalu lintas dan lampu penerangan jalan.

Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih rendah dari jalan
arteri primer.

Dianjurkan tersedianya Jalur Khusus yang dapat digunakan untuk sepeda dan
kendaraan lambat lainnya.
g. Jalan Kolektor Sekunder

24

Jalan

kolektor

sekunder

adalah

jalan

yang

melayani

angkutan

pengumpulan atau pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan


rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi, dengan peranan pelayanan jasa
distribusi untuk masyarakat di dalam kota.
h. Ciri jalan kolektor sekunder
Jalan kolektor sekunder menghubungkan:
Antar kawasan sekunder kedua.
Kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.
2.
Jalan kolektor sekunder dirancang berdasarken keoepatan rencana paling
1.

rendah 20 (dua puluh) km per jam.


3.

Lebar badan jalan kolektor sekunder tidak kurang dari 7 (tujuh) meter.

4.

Kendaraan angkutan barang berat tidak diizinkan melalui fungsi jalan ini di
daerah pemukiman.

5.

Lokasi parkir pada badan jalan-dibatasi.

6.

Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup.

7.

Besarnya lalu lintas harian rata-rata pads umumnya lebih rendah dari sistem
primer dan arteri sekunder.

2.7

Program VISUM
VISUM adalah suatu program makrosimulation untuk traffic simulation

membantu pemodelan lalu lintas yang terjadi untuk skala yang besar atau makro.
Ruang lingkup pemodelan yang dapat dilakukan oleh program ini bisa memodelkan
hingga satu kota.
Menurut PTV-AG (2011), VISUM adalah multi-moda lalu lintas perangkat
lunak aliran makroskopis simulasi. Hal ini dikembangkan oleh PTV (Planing
Transportasi Verkehr AG ) di Karlsruhe, Jerman. Nama ini berasal dari Verkehr
Stadten Simulationmodell (bahasa Jerman untuk untuk Lalu lintas di kota
model simulasi). VISSUM dimulai pada tahun 1992 dan saat ini pemimpin pasar
global VISSUM model simulasi telah dipilih untuk mengkalibrasi sistem lalu lintas
yang bersifat makro.
2.7.1

Kemampuan VISUM

25

Menurut PTV-AG (2015), VISSUM dapat melakukan analisa pemodelan


simulasi makro lalu lintas dengan berbagai metoda analisa. VISSUM juga dapat
dengan detail membedakan moda transportasi yang terdapat pada kondisi eksisting.
VISSUM akan melakukan analisa pemodelan dengan input data yang lebih mudah
yaitu data input berupa matriks yang bisa di input langsung terkoneksi dengan
program Microsoft Excel sehingga lebih memudahkan dalam input data.
2.7.2

Parameter yang di evaluasi dalam makrosimutation VISUM


Dalam melakukan analisa pemodelan transportasi ada beberapa parameter

parameter analisa yang dapat dikta gunakan. Dalam membuat permodelan


menggunakan program makrosimulation VISSUM 15.00, input data yang diperlukan
yaitu :
a.
b.

Parameter tetap yang meliputi Link, Zone, Connector, PrT Path, Nodes
Parameter bebas yang terdiri dari lebar geometrik jalan, Maps, Backround,
Matrix Input dan Demand Data.
Setelah memasukkan parameter-parameter di atas maka output yang akan

diperoleh dari permodelan yaitu :


a.
b.
c.

Desire line perjalanan tiap zona


Visual pembebana rute perjalanan setiap Link
Hasil analisa pembebanan dalam bentuk sajian tabel.

Anda mungkin juga menyukai