Anda di halaman 1dari 10

A.

Bencana pada Daerah Tujuan Wisata


Keindahan alam yang berlimpah, tak dapat dipungkiri menjadikan negeri
ini memiliki banyak daerah tujuan wisata yang layak dibanggakan. Laut, pantai,
gunung, sungai, lembah, dataran tinggi, hutan, dan sawah berderet dari Sabang
sampai Merauke saling berebut menampakan kemolekannya. Tapi dibalik semua
pesona alam tersebut, Indonesia adalah kawasan rawan bencana.
Letak Indonesia yang tepat berada di atas deretan cincin gunung api,
menjadikan Indonesia negeri yang rawan bencana alam, seperti gempa bumi,
letusan gunung berapi, kebakaran hutan, banjir bandang, angin topan, dan
tsunami. Sejarah juga telah membuktikan bahwa hampir tiap tahun Indonesia
selalu mengalami bencana yang sifatnya berulang. Ada beberapa bencana yang
sifatnya memang alamiah dalam artian bencana tersebut tak dapat dicegah,
seperti letusan gunung berapi dan gempa bumi. Sementara di sisi lain ternyata
lebih banyak lagi bencana yang sebenarnya merupakan ulah dari manusia itu
sendiri yang seharusnya bisa dicegah, seperti banjir bandang, kebakaran hutan,
dan tanah longsor.
Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
menyebutkan definisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor
manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi tersebut
mengacu pada semua bencana, baik bencana alam, non-alam, maupun bencana
sosial. Sementara Faulkner (2001) menjelaskan secara lebih spesifik bahwa
bencana merupakan suatu peristiwa atau kejadian akibat dari fenomena alam
yang membutuhkan sistem informasi gabungan pendeteksi cuaca dan tindakan
manusia secara lebih luas. Faulkner membedakan antara bencana alam dan
bencana non-alam. Bencana menurut Faulkner adalah bencana alam, sementara
bencana non-alam dan sosial disebut sebagai krisis. Dari pengertian tersebut,
Faulkner menegaskan bahwa apa pun bentuk sebuah bencana sebenarnya bisa
diprediksi ataupun dicegah. Keterlibatan manusia secara aktif dan sistem

informasi pendeteksi cuaca yang lebih luas bisa membantu penanganan sebelum
dan setelah bencana.
Pariwisata adalah sebuah industri yang sangat bergantung pada keunikan
alam dan budaya. Daya tarik utama sebuah destinasi wisata adalah bentangan
alam dan kekayaan budaya suatu daerah yang berbeda dari daerah lainnya.
Sehingga jika terjadi kerusakan ataupun degradasi pada sebuah destinasi, baik
akibat krisis maupun bencana, maka akan sangat berpengaruh terhadap
kelangsungan industrinya. Dapat dikatakan pula bahwa industri pariwisata sangat
rentan terhadap bencana dan krisis. Berbicara tentang pariwisata dan bencana,
berarti mengupas keduanya dari dua sisi yang berbeda. Bencana bisa berpengaruh
positif maupun negatif terhadap pariwisata. Pengaruh negatif muncul karena
adanya kerusakan dan penurunan jumlah pengunjung, sementara pengaruh positif
justru timbul saat bencana itu sendiri dijadikan sebagai komoditi pariwisata. Ada
beberapa fakta di lapangan yang menunjukan hal unik terkait pariwisata dan
bencana. Secara konseptual bencana akan mempengaruhi permintaan industri
pariwisata. Pada beberapa kejadian, justru menunjukan sebaliknya. Mungkin
belum hilang dari ingatan kita bagaimana erupsi yang terjadi di Gunung Bromo
telah menarik banyak wisatawan untuk melihatnya atau bagaimana wisatawan
malah berbondong-bondong untuk melihat keadaan Kali Urang paska-erupsi
Gunung Merapi. Untuk itu para pakar termasuk Prideaux (2003) sepakat kalau
industri pariwisata memerlukan penanganan khusus dalam perencanaan dan
pemulihan paska-bencana. Kedua akibat bencana tersebut, baik negatif maupun
positif, tetap membutuhkan penanganan sebelum, saat, dan sesudah terjadinya
bencana.
Faulkner dan Vikulov (2001) memberikan beberapa alasan mengapa
industri pariwisata memerlukan penanganan khusus terkait dengan bencana alam.
1. Industri pariwisata melibatkan banyak orang, baik itu pekerja, penduduk
lokal, maupun wisatawan yang sama-sama terancam ketika sebuah
destinasi terkena bencana.
2. Perilaku wisatawan di sebuah destinasi tidak dapat diprediksi, sehingga
sulit untuk mengontrol terjadinya bencana. Hal ini menciptakan kebutuhan
yang kuat untuk mendapatkan informasi yang dapat diakses dengan mudah
di daerah terpencil dan di seluruh daerah tujuan secara keseluruhan.

3. Dalam banyak kasus, wisatawan tidak berbicara bahasa lokal dan tidak
dapat dengan mudah menemukan petunjuk tentang bagaimana berperilaku
dalam penanganan bencana.
4. Banyak destinasi wisata yang berada di daerah keindahan alam, seperti
garis pantai, gunung, sungai, dan danau di mana ada risiko dan bahaya
yang lebih besar untuk terkena dan terdampak bencana alam.
5. Wisatawan memiliki sedikit pengetahuan tentang tempat yang mereka
kunjungi, bahkan kurang begitu tahu tentang bagaimana untuk bereaksi, ke
mana harus pergi, siapa yang harus diajak bicara, dan bagaimana prosedur
darurat ketika berada pada sebuah destinasi yang mengalami bencana.
6. Industri pariwisata adalah industri multi sektor yang saling berkaitan,
sehingga tidak mudah merespon bencana. Ini juga menekankan perlunya
suatu sistem informasi di seluruh industri yang tersedia untuk semua jenis
perusahaan yang dapat digunakan dalam menghadapi bencana.
Alasan-alasan di atas menekankan perlunya stakeholders sebuah destinasi
membuat sistem pengelolaan pengetahuan dan informasi bencana yang bisa
dikomunikasikan dengan baik dan benar kepada wisatawan dan para pemangku
kepentingan lainnya, seperti pekerja wisata dan penduduk lokal, sehingga
kerusakan dan korban jiwa bisa diminimalisir. Sebuah destinasi akan
mendapatkan manfaat dari sistem pengelolaan pengetahuan dan informasi yang
digunakan untuk menangani bencana secara efektif.
Faulkner (2001) menjabarkan secara jelas dan terperinci kerangka kerja
untuk sistem pengelolaan pengetahuan dan informasi di daerah wisata dalam
sebuah jurnal berjudul Towards a Framework for Tourism Disaster Management.
Ada lima tahapan kerangka kerja berdasarkan proses terbentuknya bencana, yakni
pre-event, prodromal (disaster imminent), emergency, intermediate, dan long term
recovery. Masing-masing tahap terkait dengan unsur-unsur pengelolaan bencana,
seperti pendahulu, mobilisasi, pemulihan, rekontruksi, dan evaluasi.

B. Pendekatan PRB Terhadap Destinasi


Pendekatan pengurangan risiko bencana (PRB) dalam pengelolaan
bencana diperlukan karena bencana bisa terjadi kapan pun di mana pun.

Sementara pariwisata akan menjadi industri yang rentan terhadap dampak


bencana, sehingga untuk meminimalkan dampak, diperlukan suatu perencanaan
dan pengembangan terhadap pendekatan tersebut. Secara terminologi, risiko
dapat diterjemahkan sebagai kemungkinan terhadap kerugian atau keburukan
yang timbul di waktu yang akan datang dan bersifat tidak pasti. Dalam kerangka
disaster risk management, risiko didefinisikan sebagai probabilitas dari
konsekuensi bahaya atau kemungkinan kehilangan atau kerugian akibat terjadinya
bencana

dan/atau

krisis.

United

Nations

Environment

Programme

merumuskannya dengan risiko = (Probabilitas Bencana x Kerentanan) /


Kapasitas. Artinya, untuk mengurangi risiko, dibutuhkan kapasitas yang besar
untuk merespon risiko serendah mungkin, maka diperlukan pendekatan yang
menurunkan kerentanan (decreasing vulnerability) dan meningkatkan kapasitas
(increasing capacity). Kapasitas di sini adalah mengenai besaran pengetahuan dan
kesadaran manusia yang menjadi perihal paling krusial dan mendasar untuk
pengurangan risiko bencana.
Bencana dapat berupa apa saja yang tak mampu ditangani oleh
masyarakat,

mulai

dari

bencana

alam

hingga

bencana

sosial

atau

kecelakaan/penyalahgunaan teknologi. Bencana memiliki potensi untuk dampak


jangka panjang dan mengancam kehidupan manusia serta bisnis, termasuk di
dalamnya adalah infrastruktur, pelayanan, transportasi, akomodasi, dan elemen
pariwisata lainnya. Manajemen risiko bencana dan krisis adalah suatu proses atau
sistem yang terintegrasi (multi-sektor dan stakeholders) guna meminimalkan
kerugian/kehilangan dan memaksimalkan peluang dari kemunculan bencana dan
krisis yang mempengaruhi industri pariwisata secara langsung maupun tak
langsung. Proses atau sistem yang menjadi penekanan yaitu terhadap aspek
keorganisasian dan manusia (pengelola, masyarakat lokal, dan wisatawan).
Inisiatif pariwisata untuk menerapkan manajemen bencana dan perspektif
PRB terhadap suatu destinasi, kini menjadi lebih besar lagi seiring dengan kian
tingginya

peluang

terjadinya

bencana,

mulai

dari

akibat

peningkatan

mobilitas/kedatangan wisatawan sampai pada besarnya tingkat kerusakan


lingkungan karena fenomena perubahan iklim (pemanasan global). Tak cukup

hanya dengan menjadikannya sebagai industri yang berkelanjutan, melainkan


bagaimana membuat industri pariwisata di suatu destinasi menjadi tangguh.
Apalagi, biasanya atraksi yang unik dan menarik wisatawan justru berada di area
dengan risiko bencana yang besar, seperti kawasan pesisir, pulau-pulau kecil,
gunung berapi, dan dataran tinggi.
Untuk menggali potensi ekonomi di area rentan, pariwisata harus memiliki
kemampuan adaptasi dan mitigasi (better prepared and response) agar tidak
membahayakan masyarakat maupun wisatawan serta menimbulkan kerusakan
permanen. Sebisa mungkin, pariwisata mampu memberikan peluang terhadap
kontrol bagi manusia yang berkehidupan di dalamnya serta keberlangsungan
keunikan itu sendiri, baik alam atau sejarah-budaya.
Secara khusus, wisatawan merupakan objek yang paling berisiko terhadap
peristiwa bencana, terutama wisatawan asing. Kita tentu sering mendengar
peristiwa penangkapan atau penyanderaan wisatawan oleh kelompok separatis
bersenjata maupun teroris, bahkan di daerah yang dianggap aman sekali pun.
Sebagai target, wisatawan asing dapat digunakan untuk mendesak kelompok
musuh atau menekan negara asal wisatawan melalui ancaman hubungan
diplomatik antar-negara serta exposure media massa yang besar. Wisatawan asing
begitu mudah menjadi sasaran karena adanya keterkaitan dengan isu internasional
dan juga wisatawan itu sendiri yang cenderung memiliki informasi terbatas
tentang kondisi dan situasi di mana mereka berada. Sebagai contoh kasus Bom
Bali atau bencana pada destinasi wisata di mana wisatawan asing banyak menjadi
korban.
Fase terhadap manajemen risiko bencana dan krisis, terdiri dari fase prabencana, saat bencana, dan paska-bencana. Pada tahap awal, yang sangat
mendasar untuk dilakukan, adalah melakukan pengumpulan informasi (database)
berupa pengelompokkan risiko bencana yang mungkin terjadi dengan kondisi
alam di suatu destinasi (kerentanan alam) dan sejauh mana tingkat kerentanannya
pada masyarakat yang hidup di sana. Keduanya akan dihubungkan dengan
ketergantungan/jalinan dengan berbagai aktivitas pariwisata, sehingga berbagai

risiko bisa mulai dianalisa. Masih pada tahapan ini, perlu dilakukan peningakatan
kapasitas, khususnya bagi masyarakat lokal dan staf pengelola, sebelum destinasi
dikembangkan. Peningkatan kapasitas (pengetahuan dan kesadaran) yang
sebelumnya telah disinggung, artinya berkaitan dengan kualitas hidup masyarakat.
Banyak kasus membuktikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada
di suatu destinasi, berbanding positif dengan tingkat kesiapsiagaan.(UNEP, 2008)
Dengan adanya upaya pembangunan manusia bersamaan dengan pengembangan
infrastruktur mitigasi, maka dapat menguatkan daya adaptasi suatu destinasi.
Dengan

adanya

informasi

dan

partisipasi,

perencanaan

terhadap

manajemen bencana bisa diformulasikan. Strategi tidak terbatas pada mekanisme


perencanaan penanganan bencana yang terdiri dari strategi analisa, arahan dan
pilihan, implementasi dan kontrol, serta evaluasi dan feedback, (Mistilis dan
Sheldon, 2005) melainkan juga strategi komunikasi (untuk menghindari terjadinya
krisis komunikasi yang biasa terjadi saat muncul bencana) dan keorganisasian.
Strategi keorganisasian berarti bagaimana kemudian manajemen bencana dapat
diserap dan bersinergi dengan berbagai pihak. Pada destinasi tertentu, pengelola
bahkan mendedikasikan divisi khusus yang menangani bencana sekaligus relasi
dengan masyarakat dan pihak terkait. Jika tidak memungkinkan untuk
pembentukkan divisi khusus, dapat dilakukan dengan melakukan konsensus dan
pembentukkan local working group (kelompok siaga bencana). Mengenai
pendekatan, akan lebih baik untuk menyerap pula kearifan (substansi bermuatan
lokal) agar mengurangi resistensi dan mudah bersinergi, seperti bagaimana
masyarakat lokal memiliki berbagai tradisi membaca tanda-tanda alam atau
melakukan ritual/upacara tertentu sebagai bagian dari budaya dan tradisi, selain
tentu saja ditunjang dengan aspek teknologi mitigasi yang terpantau dan terupdate dengan baik. Tahapan awal ini akan mampu mendorong tingkat
pengetahuan, kesadaran, dan kesiapsiagaan destinasi menghadapi bencana dan
krisis.

C. Risiko Masalah Kesehatan Pada Wisatawan


Melakukan perjalanan wisata pun bukan tanpa risiko bagi kesehatan.
Orang-orang yang melakukan perjalanan berisiko mengalami masalah kesehatan.
Masalah kesehatan yang dikarenakan perjalanan disebut kasus travel medicine.
Faktor-faktor pokok yang mempengaruhi adalah model transportasi, tempat yang
dikunjungi, durasi dan musim saat perjalanan, tujuan perjalanan, standar
akomodasi dan hygienitas makanan, perilaku wisatawan, serta riwayat kesehatan
wisatawan. Standar akomodasi, jenis makanan yang dikonsumsi, dan perilaku
wisatawan merupakan aspek yang bisa memberikan kontribusi pada status
kesehatan wisatawan saat di obyek wisata yang dikunjungi. Wisatawan bisa juga
bisa mendadak mengalami perubahan penting dalam hal ketinggian, kelembaban,
temperatur, dan terekspos penyakit-penyakit menular yang akan mempengaruhi
kesehatannya selama perjalanan. Resiko mengalami permasalahan kesehatan
semakin mengingkat ketika mengunjungi obyek wisata di negara berkembang.
Karena sejauh ini negara-negara berkembang dianggap sebagai daerah tujuan
wisata yang mempunyai risiko kesehatan tertentu. Permasalahan kesehatan para
wisatawan yang berkunjung ke negara berkembang dengan iklim tropis
diantanranya adalah sebagai berikut :
1. Malaria
Malaria merupakan penyakit yang disebabkan karena infeksi empat
spesies protozoa yang berasal dari genus Plasmodium yang ditularkan oleh
nyamuk Anopheles. Gejala penyakit malaria adalah sakit kepala, nyeri
perut, demam, rasa dingin, peluh, lelah, lemah, anorexia atau disertai
muntah. Komplikasi terburuk yang bisa ditimbulkan dari penyakit malaria
adalah kematian. Sehingga diperlukan pencegahan terhadap penykit ini.
Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki endemik
malaria yang harus diwaspadai. Apalagi ketika berwisata ke wilayah
Indonesia timur yang paling banyak angka kejadian. Pencegahan penyakit
malaria adalah dengan menghindari gigitan nyamuk Anopheles dan
mengkonsumsi obat anti malaria sebelum perlajanan wisata ke daerah
endemik.
2. Demam Berdarah

Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus


dengue, yang ditularkan oleh nyamuk. Nyamuk demam bedarah hanya
menggigit pada waktu tertentu yaitu pada pagi hari pukul 06.00-09.00 dan
sore hari pukul 15.00-17.00. Penyakit ini banyak dijumpai pada daerah
tropis dan sub-tropis, dan menjangkit luas di banyak negara di Asia
Tenggara. Demam berdarah umumnya ditandai oleh demam tinggi
mendadak, sakit kepala hebat, rasa sakit di belakang mata, otot dan sendi,
hilangnya napsu makan, mual-mual dan ruam. Demam berdarah yang
lebih parah ditandai dengan demam tinggi yang bisa mencapai suhu 4041C selama dua sampai tujuh hari, wajah kemerahan, dan gelaja lainnya
yang menyertai demam berdarah ringan. Berikutnya dapat muncul
kecenderungan pendarahan, seperti memar, hidung dan gusi berdarah, dan
juga pendarahan dalam tubuh. Pada kasus yang sangat parah, mungkin
berlanjut pada kegagalan saluran pernapasan, shock dan kematian. Timnul
pula bercak-bercak merah pada daerah wajah dan dada. Saat ini, tidak
tersedia vaksin untuk demam berdarah. Pencegahan terbaik adalah dengan
menghindari gigitan nyamuk. Seseorang yang terjangkit penyakit ini
sebaiknya segera dirawat, dan terutama dijaga jumlah cairan tubuhnya.
3. Diare
Diare adalah kelainan irama usus yang ditandai dengan
peningkatan frekuensi buang air besar dan wujudnya cair. Dikatakan
mengalami diare jika telah buang air besar 3 kali atau lebih dalam sehari
yang tidak dapat ditahan, dan timbul nyeri pada perut. Diare terbagi
menjadi diare Akut dan Kronik. Diare akut berdurasi 2 minggu atau
kurang, sedangkan diare kronis lamanya lebih dari 2 minggu. Penyebab
diare adalah menurunnya absorbsi normal larutan dalam air, meningkatnya
sekresi elektrolit kedalam lumen intestinal, adanya absorbsi yang buruk
secara osmosis larutan aktif di lumen usus, meningkatnya motilitas
intestinal, penyakit inflamasi yang menghasilkan darah, pus dan mucus.
Makanan yang dikonsumsi juga menjadi salah satu faktor penyebab diare.
Kurang hygienis atau makanan terlalu pedas, sehingga mengiritasi saluran

pencernaan. Sehingga pencegahannya adalah menjaga asupan makanan


yang dikonsumsi oleh para wisatawan.
4. Hepatitis A
Hepatitis A merupakan penyakit hati yang ditularkan oleh virus.
Hepatitis A ditularkan melalui air minum dan makanan yang tidak bersih,
yang tercemar oleh kotoran manusia yang mengandung virus. Gejala
Hepatitis A ialah demam ringan, nafsu makan hilang, mual-mual, urin
berwarna gelap mengandung bilirubin, ikterus meningkat, pembesaran hati
ringan, dan sering terasa nyeri25. Pencegahan yang bisa dilakukan adalah
dengan menjaga hygienitas minuman dan makanan yang dikonsumsi.
5. Kecelakaan di obyek wisata
Kecelakaan yang biasa dialami wisatawan di negara berkembang
yang dikunjungi ada 2 yaitu kecelakaan di jalan, dan karena mengalami
kekerasan. Selain itu ada kecelakaan wisatawan di obyek wisata air.
Kecelakaan wisatawan di obyek wisata air diasosiasikan dengan aktivitas
berenang, menyelam, berlayar dan aktivitas yang lain. Tindakan
pencegahan terjadinya kecelakaan di jalan diantaranya memastikan
kendaraan yang digunakan memenuhi standar, pengemudi kendaraan tidak
dalam keadaan mabuk atau mengkonsumsi alkohol, dan saat perjalanan
mematuhi peraturan lalu lintas. Sedangkan kecelakaan karena mengalami
kekerasan biasanya berhubungan dengan kondisi daerah wisata yang
sedang ada konflik. Sehingga demi keamanan wisatawan tidak
mengujungi dulu daerah tersebut. Kecelakaan yang wisatawan di obyek
wisata air dapat dicegah dengah mematuhi peraturan yang ada pada obyek
wisata dan selalu berhati-hati.

Dalidjo, Nurdiyansyah. 2013. Bencana dan Pariwisata : Ancaman atau Peluang.


Available http://disasterchannel.co. Diakses tanggal 6 Mei 2016.

Khoirul. Roni. 2014. Bencana Pada Daerah Wisata. Available


http://jejakwisata.com. Diakses tanggal 6 Mei 2016.
Wulansari. Nanda. 2013. Masalah Kesehatan Pariwisata. Available
http://pitajeng.blogspot.co.id. Diakses tanggal 6 Mei 2016.

Anda mungkin juga menyukai