informasi pendeteksi cuaca yang lebih luas bisa membantu penanganan sebelum
dan setelah bencana.
Pariwisata adalah sebuah industri yang sangat bergantung pada keunikan
alam dan budaya. Daya tarik utama sebuah destinasi wisata adalah bentangan
alam dan kekayaan budaya suatu daerah yang berbeda dari daerah lainnya.
Sehingga jika terjadi kerusakan ataupun degradasi pada sebuah destinasi, baik
akibat krisis maupun bencana, maka akan sangat berpengaruh terhadap
kelangsungan industrinya. Dapat dikatakan pula bahwa industri pariwisata sangat
rentan terhadap bencana dan krisis. Berbicara tentang pariwisata dan bencana,
berarti mengupas keduanya dari dua sisi yang berbeda. Bencana bisa berpengaruh
positif maupun negatif terhadap pariwisata. Pengaruh negatif muncul karena
adanya kerusakan dan penurunan jumlah pengunjung, sementara pengaruh positif
justru timbul saat bencana itu sendiri dijadikan sebagai komoditi pariwisata. Ada
beberapa fakta di lapangan yang menunjukan hal unik terkait pariwisata dan
bencana. Secara konseptual bencana akan mempengaruhi permintaan industri
pariwisata. Pada beberapa kejadian, justru menunjukan sebaliknya. Mungkin
belum hilang dari ingatan kita bagaimana erupsi yang terjadi di Gunung Bromo
telah menarik banyak wisatawan untuk melihatnya atau bagaimana wisatawan
malah berbondong-bondong untuk melihat keadaan Kali Urang paska-erupsi
Gunung Merapi. Untuk itu para pakar termasuk Prideaux (2003) sepakat kalau
industri pariwisata memerlukan penanganan khusus dalam perencanaan dan
pemulihan paska-bencana. Kedua akibat bencana tersebut, baik negatif maupun
positif, tetap membutuhkan penanganan sebelum, saat, dan sesudah terjadinya
bencana.
Faulkner dan Vikulov (2001) memberikan beberapa alasan mengapa
industri pariwisata memerlukan penanganan khusus terkait dengan bencana alam.
1. Industri pariwisata melibatkan banyak orang, baik itu pekerja, penduduk
lokal, maupun wisatawan yang sama-sama terancam ketika sebuah
destinasi terkena bencana.
2. Perilaku wisatawan di sebuah destinasi tidak dapat diprediksi, sehingga
sulit untuk mengontrol terjadinya bencana. Hal ini menciptakan kebutuhan
yang kuat untuk mendapatkan informasi yang dapat diakses dengan mudah
di daerah terpencil dan di seluruh daerah tujuan secara keseluruhan.
3. Dalam banyak kasus, wisatawan tidak berbicara bahasa lokal dan tidak
dapat dengan mudah menemukan petunjuk tentang bagaimana berperilaku
dalam penanganan bencana.
4. Banyak destinasi wisata yang berada di daerah keindahan alam, seperti
garis pantai, gunung, sungai, dan danau di mana ada risiko dan bahaya
yang lebih besar untuk terkena dan terdampak bencana alam.
5. Wisatawan memiliki sedikit pengetahuan tentang tempat yang mereka
kunjungi, bahkan kurang begitu tahu tentang bagaimana untuk bereaksi, ke
mana harus pergi, siapa yang harus diajak bicara, dan bagaimana prosedur
darurat ketika berada pada sebuah destinasi yang mengalami bencana.
6. Industri pariwisata adalah industri multi sektor yang saling berkaitan,
sehingga tidak mudah merespon bencana. Ini juga menekankan perlunya
suatu sistem informasi di seluruh industri yang tersedia untuk semua jenis
perusahaan yang dapat digunakan dalam menghadapi bencana.
Alasan-alasan di atas menekankan perlunya stakeholders sebuah destinasi
membuat sistem pengelolaan pengetahuan dan informasi bencana yang bisa
dikomunikasikan dengan baik dan benar kepada wisatawan dan para pemangku
kepentingan lainnya, seperti pekerja wisata dan penduduk lokal, sehingga
kerusakan dan korban jiwa bisa diminimalisir. Sebuah destinasi akan
mendapatkan manfaat dari sistem pengelolaan pengetahuan dan informasi yang
digunakan untuk menangani bencana secara efektif.
Faulkner (2001) menjabarkan secara jelas dan terperinci kerangka kerja
untuk sistem pengelolaan pengetahuan dan informasi di daerah wisata dalam
sebuah jurnal berjudul Towards a Framework for Tourism Disaster Management.
Ada lima tahapan kerangka kerja berdasarkan proses terbentuknya bencana, yakni
pre-event, prodromal (disaster imminent), emergency, intermediate, dan long term
recovery. Masing-masing tahap terkait dengan unsur-unsur pengelolaan bencana,
seperti pendahulu, mobilisasi, pemulihan, rekontruksi, dan evaluasi.
dan/atau
krisis.
United
Nations
Environment
Programme
mulai
dari
bencana
alam
hingga
bencana
sosial
atau
peluang
terjadinya
bencana,
mulai
dari
akibat
peningkatan
risiko bisa mulai dianalisa. Masih pada tahapan ini, perlu dilakukan peningakatan
kapasitas, khususnya bagi masyarakat lokal dan staf pengelola, sebelum destinasi
dikembangkan. Peningkatan kapasitas (pengetahuan dan kesadaran) yang
sebelumnya telah disinggung, artinya berkaitan dengan kualitas hidup masyarakat.
Banyak kasus membuktikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada
di suatu destinasi, berbanding positif dengan tingkat kesiapsiagaan.(UNEP, 2008)
Dengan adanya upaya pembangunan manusia bersamaan dengan pengembangan
infrastruktur mitigasi, maka dapat menguatkan daya adaptasi suatu destinasi.
Dengan
adanya
informasi
dan
partisipasi,
perencanaan
terhadap