Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alergi merupakan masalah penting yang harus diperhatikan karena terdapat
pada semua lapisan masyarakat dan insidennya meningkat pada tiga periode terakhir.
Pada usia tahun pertama kehidupan, sistim imun seorang anak relatif masih imatur
dan sangat rentan. Bila ia mempunyai bakat atopik akan mudah tersensitisasi dan
berkembang menjadi penyakit alergi terhadap alergen tertentu misalnya makanan dan
inhalan.1
Air susu ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi bayi. Namun pada kondisi
tertentu bayi tidak dapat memperoleh ASI sehingga diperlukan susu formula (susu
sapi). Susu sapi adalah protein asing utama yang diberikan kepada seorang bayi.
Penyakit alergi susu sapi sering merupakan penyakit atopik pertama pada seorang
anak. Pada beberapa tahun terakhir ini terdapat peningkatan prevalens alergi susu sapi
pada bayi dan anak dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari ringan sampai
berat. Di lain pihak produk-produk susu formula semakin banyak di pasaran.1,2
Diperkirakan insiden alergi susu sapi 2-3% bayi, sedangkan diantara bayi umur
1 tahun dengan dermatitis atopik 30-45% disebabkan alergi susu sapi. Di samping
gejala pada kulit, alergi susu sapi dapat menunjukkan gejala paru dan gejala saluran
cerna tipe segera bahkan gejala sistemik berupa reaksi anafilaksis. Diperkirakan
alergi susu sapi dapat juga memberikan gejala reaksi tipe lambat yang timbul setelah
24 jam berupa sindrom kolik pada usia bayi (infantile colic syndrome).1
Prevalens alergi susu sapi sekitar 2-7,5% dan reaksi alergi terhadap susu sapi
masih mungkin terjadi pada 0,5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif. Sebagian
besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan prevalens 1.5%, sedangkan
sisanya adalah tipe non-IgE.2
Upaya pencegahan terhadap alergi protein susu sapi telah banyak dilakukan di
berbagai negara maju. Pencegahan ini berupa pencegahan primer, sekunder atau
tersier. Rekomendasi pencegahan primer cukup bermakna dilakukan pada bayi baru
lahir yang memiliki risiko tinggi alergi yaitu ibu memiliki riwayat atopi atau saudara

kandung dengan riwayat penyakit alergi yang jelas dan/atau terbukti dengan
pemeriksaan IgE total tali pusat yang tinggi.3
1.2 Batasan Masalah
Penulisan referat ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, faktor
risiko, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, terapi, dan prognosis tentang alergi
susu sapi.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan di
kepaniteraan klinik tentang alergi susu sapi serta sebagai pemenuhan salah satu syarat
di kepaniteraan klinik ilmu kesehatan anak.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam menambah
wawasan bagi dokter muda di bagian ilmu kesehatan anak khususnya dan pada semua
ahli kesehatan pada umumnya.
1.5 Metode Penulisan
Metode penulisan referat ini adalah dengan tinjauan pustaka dan merujuk pada
beberapa jurnal dan literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Alergi Susu Sapi (ASS) adalah suatu penyakit yang berdasarkan reaksi
imunologis yang timbul sebagai akibat pemberian susu sapi atau makanan yang
mengandung susu sapi dan reaksi dapat terjadi segera atau lambat.1
Alergi susu sapi biasanya dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang
diperantarai oleh IgE, walaupun demikian ASS dapat diakibatkan oleh reaksi
imunologis yang tidak diperantarai oleh IgE ataupun proses gabungan antara
keduanya.1
2.2 Epidemiologi
Diperkirakan insiden ASS adalah sekitar 2-3% pada keseluruhan bayi.
Sedangkan di antara bayi usia 1 tahun dengan dermatitis atopi, sekitar 30-45%
disebabkan oleh alergi susu sapi. Alergi susu sapi mempengaruhi 2-6% anak.
Prevalensi tertinggi terjadi selama 1 tahun pertama kehidupan. Sekitar 50% anak
menunjukkan perbaikan alergi susu sapi dalam tahun pertama, dan 80-90% dalam 5
tahun. Penelitian dari World Allergy Organization (WAO) memperkirakan sekitar 1,94,9% anak mengalami alergi susu sapi. Data dari UK tahun 2008 juga
mengindikasikan sekitar 2,3% dari anak usia 1-3 tahun yang mengalami alergi susu
sapi, kebanyakan diperantarai non Ig-E alergi susu sapi.1,4
Prevalens alergi susu sapi sekitar 2-7,5% dan reaksi alergi terhadap susu sapi
masih mungkin terjadi pada 0,5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif. Sebagian
besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan prevalens 1.5%. Gejala
yang timbul sebagian besar adalah gejala klinis yang ringan sampai sedang, hanya
sedikit (0.1-1%) yang bermanifestasi klinis berat.2
2.3 Klasifikasi
Alergi susu sapi dapat dibagi menjadi:
a. IgE mediated, yaitu: Alergi susu sapi yang diperantarai oleh IgE. Gejala klinis
timbul dalam waktu 30 menit sampai 1 jam (sangat jarang > 2 jam)

mengkonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis: urtikaria, angioedema,


ruam kulit, dermatitis atopik, muntah, nyeri perut, diare, rinokonjungtivitis,
bronkospasme, dan anafilaksis. Dapat dibuktikan dengan kadar IgE susu sapi
yang positif (uji tusuk kulit atau uji RAST).
b. Non-IgE mediated, yaitu: Alergi susu sapi yang tidak diperantarai oleh IgE,
tetapi diperantarai oleh IgG dan IgM. Gejala klinis timbul lebih lambat (1-3
jam) setelah mengkonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis: allergic
eosinophilic gastroenteropathy, kolik, enterokolitis, proktokolitis, anemia, dan
gagal tumbuh.2
2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi
Protein susu sapi merupakan alergen tersering pada berbagai reaksi
hipersensitivitas pada anak. Susu sapi mengandung sedikitnya 20 komponen protein
yang dapat merangsang produksi antibodi manusia. Protein susu sapi terdiri dari 2
fraksi, yaitu casein dan whey. Fraksi casein membuat susu berbentuk kental (milky)
dan merupakan 76-86% dari protein susu sapi. Fraksi casein dapat dipresipitasi
dengan zat asam pada pH 4,6 yang menghasilkan casein dasar, yaitu
dan.1
Beberapa protein whey mengalami denaturasi dengan pemanasan ekstensif
(albumin serum bovin, gamaglobulin bovin dan -laktalbumin). Akan tetapi, dengan
pesteurisasi rutin tidak cukup untuk denaturasi protein ini tetapi malah meningkatkan
sifat alergenitas beberapa protein susu seperti -laktoglobulin.1
Fungsi utama saluran cerna adalah memproses makanan yang dikonsumsi
menjadi bentuk yang dapat diserap dan digunakan untuk energi dan pertumbuhan sel.
Selama proses ini berlangsung, mekanisme imunologik dan non-imunologik berperan
dalam pencegahan masuknya antigen asing ke dalam tubuh. Pada bayi baru lahir
kadar SIgA dalam usus masih rendah sehingga antigen mudah menembus mukosa
usus dan kemudian dibawa ke aliran darah sistemik.1

Tabel 2.1 Barier terhadap antigen makanan1


Barrier terhadap antigen makanan
Non imunologik
Menghalangi antigen makanan masuk ke mukosa dengan cara:
- Peristaltik usus
- Lapisan mucus di usus
- Komposisi membran mikrovili usus
Memecah antigen yang masuk dengan cara:
- Asam lambung dan pepsin
- Enzim pankreas
- Enzim usus
- Aktivitas lizosim sel epitel usus
Imunologik
Menghalangi antigen masuk ke mukosa usus
- S-IgA spesifik dalam lumen usus
Membersihkan antigen yang telah menembus mukosa usus
- IgA dan IgG spesifik dalam serum
- Sistem retikuloendotelial
2.5 Patogenesis
Patogenesis alergi susu sapi dibagi menjadi dua jenis yaitu tipe diperantarai
oleh IgE (IgE mediated) dan tidak diperantarai IgE (non IgE mediated). Alergi yang
diperantarai IgE terjadi ketika tubuh gagal mentoleransi suatu makanan sehingga
merangsang IgE.5
Sel epithel intestinal mengekspresikan sejumlah reseptor pada permukaannya,
menangkap protein susu sapi sebagai alergen, lalu bertindak sebagai antigen
presenting cell (APC).Kemudian APC mempresentasikan alergen tersebut kepada sel
T CD4+. Alergen tersebut menginduksi sel T CD4+ tipe TH2 mensekresikan sitokin,
hususnya IL-4 dan IL-5 yang menyebabkan sel B memproduksi IgE. IgE.Setelah
dibentuk dan dilepaskan ke sirkulasi, IgE berikatan dengan reseptor Fc pada sel mast
yang memiliki afinitas tinggi lalu membentuk reseptor spesifik allergen untuk
berinteraksi dengan alergen pada pajanan berikutnya.Hal ini disebut dengan fase
sensitisasi. Pada kontak berikutnya, protein susu yang berikatan silang dengan IgE
pada permukaan sel mast menyebabkan sel tersebut berdegranulasi dan terjadi
pelepasan mediator dengan segera sehingga timbul reaksi hipersensitivitas tipe I.5,6

Gambar2.1Patogenesis IgE mediated pada Alergi6


Beberapa mediator yang dilepaskan sel mast dan mekanisme kerjanya dapat
dilihat pada tabel berikut.

Tabel2.2 Cara Kerja Mediator Sel Mast pada Hipersensitivitas Tipe I6


Cara Kerja
Infiltrasi sel

Vasoaktif
meningkatnya
vaskuler)

Spasme otot polos

Mediator
Sitokin (misalnya, TNF)
Leukotrien B4
Faktor kemotaksis eosinofil pada
anafilaksis
Faktor kemotaksis netrofil pada
anafilaksis
Faktor pengaktivasi trombosit
(vasodilatasi, Histamin
permeabilitas Faktor pengaktivasi trombosit
Leukotrien C4, D4, E4
Protease netral yang mengaktivasi
komplemen dan kinin
Prostaglandin D2
Leukotrien C4, D4, E4
Histamin
Prostaglandin
Faktor pengaktivasi trombosit

Reaksi karena mekanisme IgE mediated timbul dengan onset yang cepat, yaitu
dalam beberapa menit sampai 1 jam (sangat jarang > 2 jam) setelah paparan dengan
alergen. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa urtikaria, angioedema, ruam
kulit, dermatitis atopik, muntah, nyeri perut, diare, rinokonjungtivitis, bronkospasme
dan anafilaksis. Hal ini dapat dibuktikan dengan kadar IgE susu sapi yang positif
yaitu dari uji tusuk kulit atau uji RAST.2
Proses alergi non IgE mediated belum diketahui betul, namun didukung oleh
beragam hipotesis, yaitu reaksi yang dimediasi oleh sel TH1, interaksi antara limfosit
T, sel mast dan neuron yang mengubah fungsi otot polos dan motilitas usus. Pada
alergi non IgE mediated gejala klinis timbul lebih lambat, yaitu 1-3 jam hingga
beberapa hari setelah mengkonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis yang timbul
berupa allergic eosinophilic gastroenteropathy, kolik, enterokolitis, proktokolitis,
anemia, dan gagal tumbuh.2,5
\

2.6 Manifestasi Klinis


Alergi susu sapi adalah penyakit yang umum terjadi pada bayi dan anak-anak.
Pada bayi biasanya muncul dalam 6 bulan pertama kehidupan, mayoritas gejalanya
berkembang sebelum usia 1 bulan, sering dalam waktu 1 minggu setelah pengenalan
protein susu sapi di dalam dietnya. Bagaimanapun, bayi yang mendapatkan ASI juga
bisa muncul gejala alergi ini karena makanan yang dimakan oleh ibu mengandung
protein susu sapi dan mengalir melalui ASI ke anak. Jarang onset gejala alergi ini
setelah usia 12 bulan. Mayoritas anak yang alergi terhadap protein susu sapi ini
memiliki satu atau lebih gejala yang melibatkan 1 atau lebih sistem organ, terutama
sistem gastrointestinal dan atau kulit, seperti : lemah, allergic shiners, ulkus pada
mulut, nyeri sendi atau hipermobilitas, sulit tidur, keringat malam, dan sakit
kepala.Mayoritas reaksi bersifat ringan sampai sedang, tetapi ada juga yang
mengancam jiwa (pada saat terjadi reaksi anafilaksis).7

Gambar 2.2 Allergic Shiners19


Manifestasi klinis alergi susu sapi ini bervariasi, tidak ada gejala yang
patognomonik.

Manifestasi

klinis

yang

terjadi

biasanya

terhadap

traktus

gastrointestinal (50-60%), kulit (50-60%), traktus respiratorius (20-30%). Gejalanya


bervariasi, mulai dari ringan-sedang sampai berat.8
Ada dua tampilan klinis alergi susu sapi ini, yaitu:
1. Langsung, muncul dalam waktu yang singkat setelah menelan protein susu sapi.
Gejala yang akan muncul, seperti : urtikaria, angioedem, muntah atau flare akut
pada dermatitis atopi dan muncul pada setengah pasien alergi terhadap susu sapi
ini. Biasanya pada orang ini, apabila dilakukan prick test maka hasilnya akan
positif (diameter > 3mm) atau immunoglobulin E spesifik serumnya positif.

2. Lambat, seperti : dermatitis atopi atau manifestasi gastrointestinal (proktokolitis


atau enteropati), biasanya muncul setelah beberapa jam atau beberapa hari.8
Alergi susu sapi ini bisa dimediasi oleh IgE dan bisa juga tidak dimediasi oleh
IgE. Reaksi yang dimediasi oleh IgE secara klinis lebih sering terjadi sebagai tipe
yang bermanifesi langsung dan bisa dikonfirmasi dengan skin prict test atau adanya
IgE spesifik. Reaksi yang tidak dimediasi oleh IgE terjadi karena adanya respon
imun, respon ini sulit dibuktikan dengan pemeriksaan yang spesifik.8Manifestasinya:
1. Manifestasi berat
a. Traktus gastrointestinal : gagal tumbuh, defisiensi besi, dan enterophaty
b. Kulit : dermatitis atopic berat/ eksudatif
c. Traktus Respiratory : edema laring
d. Lain-lain : reaksi anafilaksis
2. Manifestasi ringan-sedang
a. Traktus gastrointestinal : regurgitasi dan muntah, diare, konstipasi, colitis,
kolik/ nyeri abdomen
b. Kulit : dermatitis atopi, angioedem, urtikaria, pembengkakan bibir
c. Traktus respiratorius : Rinitis, konjungtivitis, dan wheezing
d. Lain-lain : iritabilitas8
2.7 Diagnosis
Diagnosis ASS ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang.9
2.7.1 Anamnesis :
1. Jangka waktu timbulnya gejala setelah minum susu sapi atau makanan yang
mengandung susu sapi
2. Jumlah susu yang diminum/makanan mengandung susu sapi
3. Penyakit atopi seperti asma, rinitis alergi, dermatitis atopik, urtikaria, alergi
makanan, dan alergi obat pada keluarga (orang tua, saudara, kakek, nenek dari
orang tua), dan pasien sendiri.
4. Gejala klinis pada kulit seperti urtikaria, dermatitis atopik, rash
5. Saluran napas: batuk berulang terutama pada malam hari, setelah latihan,
asma, rinitis alergi
6. Saluran cerna : muntah, diare, kolik dan obstipasi.9
2.7.2 Pemeriksaan fisis :
Pada kulit tampak kekeringan kulit, urtikaria, dermatitis atopik allergic
shiners, Siemen grease, geographic tongue, mukosa hidung pucat, dan mengi.9

Gambar 2.3 Nasal crease19

Gambar 2.4 Geographic tongue19

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang


Untuk mendiagnosis adanya alergi susu sapi pada anak dapat dilakukan
beberapa tes penunjang atau tes diagnostik. Berikut ini adalah tes untuk menilai alergi
terhadap susu sapi, yaitu:
a. Penentuan IgE spesifik danSkin Prick Test (SPT)
Penentuan IgE spesifik dalam sampel darah dan Skin Prick Test (SPT) sangat
bermanfaat dalam mendiagnosis ASS pada usia berapa pun, tetapi kombinasi
keduanya tidak begitu diperlukan untuk menddiagnosis suatu alergi susu
sapi.10Adanya IgE spesifik susu sapi atau positifnya uji SPT menandakan telah
terjadinya sensitisasi dan proses imunologi yang dimediasi IgE telah ada, hanya saja
hasil dari pemeriksaan ini harus mempertimbangkan riwayat medis dan prosedur food
challenge.11Semakin tinggi titer antibodi dan semakin luas reaksi SPT, semakin tinggi
pula kemungkinan seseorang individu terkena ASS.12,14 Meskipun begitu tes secara
oral tetap diperlukan untuk mengkonfirmasi ASS pada beberapa kasus. Anak dengan
manifestasi gastrointestinal biasanya mendapatkan hasil tes negative pada IgE
spesifiknya dibandingkan dengan manifestasi di kulitnya, hal ini membuat hasil
negatif pada kasus ini tidak dapat menyingkirkan diagnosis ASS.13,14
b. Uji Eliminasi dan Provokasi
Double blind placebo controlled food challenge (DBPFCs) merupakan uji
baku emas untuk mendiagnosis alergi makanan. Uji ini dilakukan berdasarkan

10

riwayat alergi makanan, dan hasil positif uji tusuk kulit atau uji RAST.Uji ini
memerlukan waktu dan biaya. Jika gejala alergi menghilang setelah dilakukan
eliminasi diet selam 2-4 minggu, maka sebaiknya dilanjutkan dengan memberikan
formula dengan bahan dasar susu sapi (uji provokasi). 15 Uji provokasi dilakukan
dibawah pengawasan dokter dan dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas resusitasi
yag lengkap. Pada uji tusuk kulot dan uji RAST negative akan mengurangi reaksi
akut berat pada saat uji provokasi.16
Uji provokasi dinyatakan positif jika gejala alergi susu sap I muncul kembali,
maka diagnosis alergi susu sapi bisa ditegakkan. Uji provokasi dinyatakan negative
bila tidak timbul gejala alergi susu sapi saat uji provokasi dan setelah satu minggu
kemudian, maka bayi tersebut diperbolehkan minum formula susu sapi. Meskipun
demikan, orang tua dianjurkan untuk tetap mengawai kemungkinan terjadinya reaksi
tipe lambat yang bisa terjadi beberapa hari setelah uji provokasi.16
c. Pemeriksaan darah tinja
Pada keadaan buang air besar dengan darah yang tidak nyata kadang sulit untuk
dinilai secara klinis, sehingga perlu pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan seperti
chromium-51 labelled erythrocites pada fece dan reaksi orthodolin mempunyai
sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik dibanding uji guaiac/ benzidin. Uji guaiac
hasilnya diperngaruhi oleh berbagai substrat non-hemoglobin sehingga memberikan
sensitivitas yang rendah (30-70%), spesifitas (88-98%) dengan nilai duga postif palsu
yang tinggi. 10

2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding untuk alergi susu sapi amatlah banyak termasuk infeksi virus
berulang dan transient lactose intolerance. Regurgitasi menjadi salah satu manifestasi
yang terjadi pad 20% bayi baik dengan atau tanpa alergi protein susu sapi. Refluks
gastro-esofageal disebutkan menjadi salah satu manifestasi pada alergi susu
sapi.Alergi susu sapi juga dihubungkan dengan kolik infantil, di mana alergi susu sapi
berkontribusi sebesar 10% pada kejadian kolik infantil.8

11

Reaksi terhadap makanan lain seperti telur, soya, gandum, atau pun kacang
sering terjadi bersamaan dengan alergi susu sapi. Sehingga semua makanan yang
dapat merancukan diagnosis harus dihindari selama diagnostik dengan elimination
diet.8
2.9Tatalaksana
Prinsip utama terapi untuk alergi susu sapi adalah menghindari (complete
avoidance) segala bentuk produk susu sapi, tetapi harus memberikan nutrisi yang
seimbang dan sesuai untuk tumbuh kembang bayi/anak.2
2.9.1. Nutrisi
Bayi dengan ASI eksklusif yang alergi susu sapi, ibu dapat melanjutkan
pemberian ASI dengan menghindari protein susu sapi dan produk turunannya pada
makanan sehari-hari. ASI tetap merupakan pilihan terbaik pada bayi dengan alergi
susu sapi. Suplementasi kalsium perlu dipertimbangkan pada ibu menyusui yang
membatasi protein susu sapi dan produk turunannya.2
Bayi yang mengonsumsi susu formula, pilihan utama susu formula pada bayi
dengan alergi susu sapi adalah susu hipoalergenik. Susu hipoalergenik adalah susu
yang tidak menimbulkan reaksi alergi pada 90% bayi/anak dengan diagnosis alergi
susu sapi bila dilakukan uji klinis tersamar ganda dengan interval kepercayaan 95%.
Susu tersebut mempunyai peptida dengan berat molekul < 1500 kDa. Susu yang
memenuhi kriteria tersebut ialah susu terhidrolisat ekstensif dan susu formula asam
amino. Sedangkan susu terhidrolisat parsial tidak termasuk dalam kelompok ini dan
bukan merupakan pilihan untuk terapi alergi susu sapi.2
Formula susu terhidrolisat ekstensif merupakan susu yang dianjurkan pada alergi
susu sapi dengan gejala klinis ringan atau sedang. Pada alergi susu sapi berat yang
tidak membaik dengan susu formula terhidrolisat ekstensif maka perlu diberikan susu
formula asam amino.2
Eliminasi diet menggunakan formula susuterhidrolisat ekstensif atau formula
asam amino diberikan sampai usia bayi 9 atau 12 bulan, atau paling tidak selama 6
bulan. Setelah itu uji provokasi diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali

12

berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila gejala
timbul kembali maka eliminasi diet dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan
seterusnya.2
Pada bayi dengan alergi susu sapi, pemberian makanan padat perlu menghindari
adanya protein susu sapi dalam bubur susu atau biskuit bayi.2
Apabila susu formula terhidrolisat ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala
biaya, maka pada bayi di atas 6 bulan dapat diberikan susu formula kedelai dengan
penjelasan kepada orangtua mengenai kemungkinan reaksi silang alergi terhadap
protein kedelai. Angka kejadian alergi kedelai pada pasien dengan alergi susu sapi
berkisar 10-35% % (tipe IgE 12-18%, tipe non IgE 30-60%).2
Susu mamalia lain selain sapi bukan merupakan alternatif karena berisiko
terjadinya reaksi silang. Selain itu, susu kambing, susu domba dan sebagainya tidak
boleh diberikan pada bayi di bawah usia 1 tahun kecuali telah dibuat menjadi susu
formula bayi. Saat ini belum tersedia susu formula berbahan dasarsusu mamalia
selain sapi di Indonesia. Selain itu perlu diingat pula adanya risiko terjadinya reaksi
silang.2
Rekomendasi diagnosis dan tata laksana alergi susu sapi:
1. Untuk bayi dengan ASI eksklusif
Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi pada diet ibu
selama 2-4 minggu.8 Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia Bila gejala
menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein susu sapi. Bila
gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis susu sapi. Bila gejala tidak
menghilang setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan diagnosis lain.2
Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian ASI dapat
diteruskan dan Ibu harus menghindari susu sapi dan produk turunannya pada
makanan sehari-harinya sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah
kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul
kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila

13

gejala timbul kembali maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan
seterusnya. 2
2. Untuk bayi yang mengkonsumsi susu formula
Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi yaitu dengan
mengganti susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula hidrolisat
ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau susu formula
asam amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Eliminasi dilakukan selama
2-4 minggu.2
Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein
susu sapi. Bila gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis susu sapi.
Bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan
diagnosis lain.2
Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian susu formula
berbahan dasar susu sapi dengan susu formula terhidrolisat ekstensif (untuk
kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau susu formula asam amino
(untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Penggunaan formula khusus ini
dilakukan sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu
tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti
anak sudah toleran dan susu sapi dapat diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali
maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.2
3.

Pada bayi yang sudah mendapatkan makanan padat, maka perlu penghindaran

protein susu sapi dalam bubur atau biskuit bayi.


4.

Apabila susu formula terhidrolisat ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala

biaya maka susu formula kedelai dapat diberikan pada bayi berusia di atas 6 bulan
dengan penjelasan kepada orangtua mengenai kemungkinan reaksi alergi terhadap
kedelai. Pemberian susu kedelai tidak dianjurkan untuk bayi di bawah usia 6 bulan.
5.

Pemeriksaan IgE spesifik (uji tusuk kulit/IgE RAST) untuk mendukung

penegakan diagnosis dapat dilakukan pada alergi susu sapi yang diperantarai IgE.2
2.9.2. Medikamentosa

14

Gejala yang ditimbulkan alergi susu sapi diobati sesuai gejala yang
terjadi.Antagonis reseptor H1 (antihistamin) generasi satu dan generasi kedua dapat
digunakan dalam penanganan alergi. Antihistamin H1 generasi 2 bisa digunakan pada
anak mulai umur 6 bulan.2
Jika didapatkan riwayat reaksi alergi cepat, anafilaksis, asma, atau dengan alergi
makanan yang berhubungan dengan reaksi alergi yang berat, epinefrin harus
dipersiapkan.2

15

Gambar 2.5 Alur Diagnosis dan Tatalaksana ASS pada Bayi dengan ASI Eksklusif 6
bulan2

16

Gambar2.6 Alur Diagnosis dan Tatalaksana ASS pada Bayi dengan Makanan PASI
(Susu Formula)2

17

2.10. Pencegahan
Pencegahan terjadinya alergi susu sapi harus dilakukan sejak dini. Hal ini
terjadi saat sebelum timbul sensitisasi terhadap protein susu sapi, yaitu sejak
intrauterin. Penghindaran harus dilakukan dengan pemberian susu sapi hipoalergenik
yaitu susu sapi yang dihidrolisis parsial untuk merangsang timbulnya toleransi susu
sapi di kemudian hari. Bila sudah terjadi sensitisasi terhadap protein susu sapi atau
sudah terjadi manifestasi penyakit alergi, maka harus diberikan susu sapi yang
dihidrolisis sempurna atau pengganti susu sapi misalnya susu kacang kedele.
Tindakan pencegahan alergi susu sapi juga hampir sama seperti yang dilakukan pada
alergi lainnya. Secara umum tindakan pencegahan alergi susu sapi dilakukan dalam 3
tahap yaitu:
a.Pencegahan primer
Dilakukan sebelum terjadi sensitisasi. Saat penghindaran dilakukan sejak
pranatalpada

janin

dari

keluarga

yang

mempunyai

bakat

atopik.

Penghindaran susu sapi berupa pemberian susu sapi hipoalergenik, yaitu susu sapi
yang terhidrolisi secara parsial supaya dapat merangsang timbulnya tolerasi susu sapi
di kemudian hari karena masih mengandung sedikit partikel susu sapi, misalnya
dengan merangsang timbulnya IgG blocking agent . Tindakan pencegahan ini juga
dilakukan terhadap makanan penyebab alergilain serta penghindaran asap rokok.
Meskipun demikian AAAI hanya merekomendasikan penghindaran pemberian
kacang-kacangan selama kehamilan.
b.Pencegahan sekunder
Dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi belum timbul manifestasi penyakit
alergi.Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara pemeriksaan IgE spesifik
dalam serum ataudarah talipusat, atau dengan uji kulit. Saat tindakan yang
optimal adalah usia 0 sampai 3 tahun. Penghindaran susu sapi dengan cara
pemberian susu sapi non alergenik, yaitu sususapi yang dihidrolisis sempurna,
atau pengganti susu sapi misalnya susu kedele supaya tidak terjadi sensitisasi
lebih lanjut hingga terjadi manifestasi penyakit alergi. Pemberian ASI eksklusif

18

terbukti dapat mengurangi risiko alergi, tetapi harus diperhatikan diet ibu saat
menyusui

Selain

itu

juga disertai

tindakan

lain

misalnya

pemberian

imunomodulator ,Th1-immunoajuvant.
c.Pencegahan tersier
Dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan telah
menunjukkan

manifestasi

penyakit

alergi yang

masih dini misalnya

dermatitis atopik atau rinitis tetapibelum menunjukkan gejala alergi yang lebih
berat seperti asma. Saat tindakan yang optimal adalah pada usia 6 bulan sampai 4
tahun. Penghindaran juga dengan pemberian susu sapi yang dihidrolisis sempurna
atau pengganti susu sapi. Pemberian obat pencegahan, seperti : seftirizin,
imunoterapi, imunomodulator tidak direkomendasikan karena secara klinis belum
terbukti bermanfaat.
2.11 Komplikasi
Gangguan pertumbuhanmeliputi malnutrisi, berat badan sulit naik.Dampak
terhambatnya pertumbuhan terhadap perkembangan antara laingangguan belajar,
gangguan pemusatan perhatian, gangguan emosi, agresif, keterlambatan bicara, dapat
memicu atau memperparah autisme.2
2.12 Prognosis
Prognosis bayi dengan alergi susu sapi umumnya baik, dengan angka
remisi 45-55% pada tahun pertama, 60-75% pada tahun kedua, dan 90% pada tahun
ketiga. Namun, terjadinya alergi terhadap makanan lain juga meningkat hingga 50%
terutama pada jenis ; telur, kedelai, kacang, ikan, dan sereal serta alergi inhalan
meningkat 50-80% sebelum pubertas.2
\

BAB 3

19

KESIMPULAN
Penyakit alergi susu sapi sering merupakan penyakit atopik pertama pada
seorang anak. Pada beberapa tahun terakhir ini terdapat peningkatan prevalens alergi
susu sapi pada bayi dan anak dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari ringan
sampai berat.Prevalens alergi susu sapi sekitar 2-7,5% dan reaksi alergi terhadap susu
sapi masih mungkin terjadi pada 0,5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif.
Sebagian besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan prevalens 1.5%,
sedangkan sisanya adalah tipe non-IgE.
Tatalaksana alergi susu sapi dapat berupa tatalaksana nutrisi dan
medikamentosa. Pencegahan alergi susu sapi dapat berupa pencegahan primer,
sekunder atau tersier. Rekomendasi pencegahan primer cukup bermakna dilakukan
pada bayi baru lahir yang memiliki risiko tinggi alergi yaitu ibu memiliki riwayat
atopi atau saudara kandung dengan riwayat penyakit alergi yang jelas dan/atau
terbukti dengan pemeriksaan IgE total tali pusat yang tinggi.
Prognosis bayi dengan alergi susu sapi umumnya baik, dengan angka
remisi 45-55% pada tahun pertama, 60-75% pada tahun kedua, dan 90% pada tahun
ketiga.

20

DAFTAR PUSTAKA
1. Akib, Arwin AP, Munasir Z, Kurniati N. 2. Alergi Susu Sapi, dalam Buku Ajar
Alergi Imunologi Anak Edisi kedua. Jakarta: IDAI. 2008, hal 284-5.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia:
Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2009.
3. Munasir Z, Sjawitri PS, Nasar SS, Kurniati N. Pemberian Bubur Formula
Protein Hidrosilat dan Bubur Soya dalam Pencegahan Alergi Susu Sapi. Sari
Pediatri. 2007; 8(4): 282-88.
4. Venter C, Brown T, Shah N, Walsh J, Fox AT. Diagnosis and Management of
Non IgE Mediated Cows Milk Allergy in Infancy- a UK Primary Care Practical
Guide. 2013; 3(23): 1-11.
5. Vitaliti G dkk. The immunopathogenesis of cows milk protein allergy (CMPA).
Italian Journal of Pediatrics. 2012;38(35):1-5.
6. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi. Edisi ke-7. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. Hlm113-27.
7. Lifschitz C, Szajewska H. Cows milk allergy : evidence-based diagnosis and
management for the practitioner. Eur J Pediatr. 2014. 174 : 141-150.
8. Greef ED, Wauters GV, Devreker T, Hauser B, and Vandenplas Y. Diagnosis
and management of cows milk protein allergy in infants. InTech, Available
from:http://www.intechopen.com/books/allergic-diseases-highlights-in-theclinic-mechanisms-andtreatment/diagnosis-and-management-of-cows-milkprotein-allergy-in-infants. 2012
9. Bishop MJ, Hasting. Natural history of cows milk allergy : Clinical outcome. J
Pediatr. 1990; 116:862-7.
10. Boyce JA, Assaad A, Burks AW, et al. Guidelines for the diagnosis and
management of food allergy in the United States: report of the NIAIDsponsored
expert panel. J Allergy Clin Immunol 2010;126:S158.
11. Rance F, Juchet A, Bremont F, et al. Correlations between skin prick tests using
commercial extracts and fresh foods, specific IgE, and food challenges. Allergy
1997;52:10315.
12. Skripak JM, Matsui EC, Mudd K, et al. The natural history of IgEmediated
cows milk allergy. J Allergy Clin Immunol 2007;120:11727.
13. Sampson HA. Utility of food-specific IgE concentrations in predicting
symptomatic food allergy. J Allergy Clin Immunol 2001;107:8916.
14. Verstege A, Mehl A, Rolinck-Werninghaus C, et al. The predictive value of the
skin prick test weal size for the outcome of oral food challenges. Clin Exp
Allergy 2005;35:12206.
15. Eggesbo M, Botten G, Halvorsen R, et al. The prevalence of CMA/ CMPI in
young children: the validity of parentally perceived reactions in a populationbased study. Allergy 2001;56:393402.
16. Vandenplas Y, dkk. Arch Dis Child. 2007;92;902-8
17. Nowak - Wegrzyn A, Sampson HA. Med Clin N Am. 2006;90:97-127.

21

18. Scurlock AM, dkk. Immunol Allergy Clin Am.2005; 25:369-88.


19. Soepardi E, Iskandar N. Telinga hidung tenggorokan kepala leher edisi ke
enam. 2004. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

22

Anda mungkin juga menyukai