BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tahun 2001 China mengusulkan atas perdagangan bebas antar kawasan ASEAN dan
China. China menginginkan suatu kawasan perdagangan bebas yang akhirnya dikenal dengan
ACFTA (ASEAN China Free Trade Area). Kesepakatan ACFTA ini di tandatangani pada tahun
2001 pada KTT ASEAN di Vietnam, Laos.
diberlangsungkan maka hambatan tarif dan non-tarif akan di tarik dari negara-negara tersebut.,
Rencana ASEAN China Free Trade Area (ACFTA ) ini di prioritaskan pada bidangbidang pertanian, teknologi informasi dan investasi. Salah satu contoh nyata dari kerjasam
ACFTA ini adalah dalam bidang ekspor dan impor produk khususnya produk pertanian, yaitu
jika tarif lebih dari 600 produk yang meliputi dari 10 % dari seluruh produk yang
diperdagangkan diantara kedua belah pihak telah diturunkan hingga 0 %. Hal ini dilakukan Cina
beberapa tahun sebelum Negara ASEAN melakukan hal yang sama dan membuka pasar mereka
bagi produk ekspor Cina.1
Menurut Rudolfo Soverno mantan Sekjen ASEAN, ACFTA akan memberikan dampak
secara keseluruhan bagi kedua belah pihak. Apabila liberalisasi perdagangan atas barang dan jasa
yang direncanakan akan terwujud pada tahun 2012, maka area ini akan menjadi sebuah kawasan
perdagangan bebas terbesar di dunia denganperkiraan total 1,23 Triliun dolar.2
Perkembangan ekonomi Cina tampaknya tidak terbendung untuk menjadi perekonomian
terbesar di dunia dalam dua atau tiga dekade ke depan. Harga produk yang murah dan jenis
produk yang bervariasi serta dukungan penuh pemerintah Cina membuat produk Negara lain
sangat sulit untuk bersaing. Pemerintah Amerika Serikat pun pada mulanya berupaya melindungi
perekonomian dalam negerinya dan berusaha menekan Cina, antara lain untuk membiarkan mata
uang renminbi menguat dan mengurangi surplus perdagangan. Dalam perkembangannya,
1 Akbar,T.Rahardian,Ekonomi Politik Kemitraan
Sama,Pustaka Pelajar,Jakarta:2010.hal.146
2 Ibid.hal.147
Asean:Sebuah
Potret
Kerja
Amerika Serikat harus realistis bahwa Cina tidak dapat lagi ditekan dan lebih baik bekerjasama
dalam memulihkan perekonomian dunia dari krisis global.
1.2.Rumusan Masalah
1. Organisasi apakah ACFTA itu?
2. Bagaimana Kebijakan Indonesia dalam menghadapi ACFTA?
3. Apa dampak negative dan Positif bagi Indonesia dengan adanya ACFTA ?
1.3.Tujuan
1. Mengetahui Organisasi ACFTA itu.
2. Mengetahui bagaimana Kebijakan Indonesia dalam menghadapi ACFTA.
3. Mengetahui dampak negative dan Positif bagi Indonesia dengan adanya ACFTA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA)
Dalam masalah perdagangan, di ASEAN berlaku zona perdagangan bebas (AFTA) yang
secara terus menerus melakukan berbagai pengurangan tarif terhadap berbagai komoditas. Untuk
mendorong ekspor, ASEAN membuka ASEAN Trade Promotion Center di Rotterdam dan Tokyo.
Pada dasarnya ke sepuluh Negara ASEAN ini memiliki tingkat ekonomi, Sumber Daya
Manusia dan perkembangan teknologi yang berbeda. Hal inilah yang mendasari ASEAN pada
akhirnya membentuk ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1992, dengan penurunan tarif
perdagangan hingga mencapai 0-5% pada tahun 2002. Selain itu, ASEAN juga membentuk Free
Trade Area (FTA) secara bilateral dengan Negara-negara di Asia Pasifik lainnya.
ASEAN lalu melihat potensi perdagangan pada Cina. Perekenomian Cina bisa dikatakan
sebagai salah satu yang terkuat dan berpengaruh di dunia. Hal ini terlihat dari masih stabilnya
perekonomian Cina walaupun dimasa krisis global yang melanda dunia saat itu. Dengan
pertimbangan inilah ASEAN akhirnya memutuskan untuk bekerja sama dengan Cina dalam
bidang perdagangan dengan harapan bahwa kekuatan ekonomi Cina bisa memberikan manfaat
bagi Negara-negara ASEAN dan nantinya juga akan membuat perekonomian di Negara-negara
ASEAN ikut berkembang.
Cina pun melihat dan menyadari bahwa ASEAN merupakan sebuah pasar besar yang
sangat potensial, sehingga Cina yang bisa dikatakan sangat aktif dalam memproduksi barang,
melihat sebuah peluang bahwa dengan adanya perjanjian kerjasama dalam perdagangan ini akan
memudahkan Cina untuk mengekspor barang-barangnya ke Negara-negara ASEAN karena tarif
biaya masuk bisa mencapai 0% sehingga akan sangat mudah bagi ASEAN-Cina untuk
melakukan ekspor dan impor.
ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan suatu bentuk kesepakatan atau
perjanjian kerjasama antara Negara-negara anggota ASEAN dengan Cina untuk mewujudkan
kawasan perdagangan bebas yaitu dengan cara mengurangi atau menghilangkan hambatanhambatan perdagangan barang, baik dalam bentuk tarif maupun non-tarif, peningkatan dalam
bidang pasar jasa, investasi sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi dalam rangka
mendorong dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Cina.
Perjanjian Perdagangan Bebas antara Negara ASEAN dengan Cina ini mulai berlaku
sejak 1 Januari 2010, walaupun sebenarnya perjanjian ini telah ditandatangani sejak 20023.
Tujuan dibentuknya ACFTA ini sendiri adalah untuk meliberalisasi secara progresif
perdagangan barang dan jasa yang ada dikawasan ASEAN dan Cina. Mereka ingin menciptakan
suatu sistem yang transparan dimana nantinya akan memudahkan Negara-negara anggota untuk
berinvestasi di Negara lain. Tujuan lain dari dibentuknya ACFTA sendiri adalah untuk
memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif antara Negara-negara ASEAN4.
Tetapi, sebenarnya perjanjian ini juga mempunyai manfaat bagi Indonesia sendiri.
Dengan perjanjian ini, akses pasar produk pertanian dari Indonesia ke Cina terbuka pada tahun
3 Anon. Pengaruh Asean-China Free Trade Area (ACFTA) pada Cina dan Indonesia.
[online]
4 Direktorat Kerjasama Regional. Asean-China FTA.
2004. Selain itu, Indonesia juga mendapatkan 40% dari Normal Track yang diturunkan sesuai
dengan perjanjian kerjasama ini5.
Dilain pihak, perjanjian ini bertujuan untuk membuat Negara yang masuk dalam
perjanjian ini akan saling mendapatkan keuntungan sehingga nantinya akan terjadi siklus atau
gejala simbiosis mutualisme dimana nantinya akan muncul saling ketergantungan atau
interdependensi antara Negara-negara anggota dalam perjanjian ini. Ditambah lagi perjanjian ini
dilaksanakan disaat krisi global, sehingga dengan dilakukan pasar bebas ini diharapkan mampu
memulihkan keadaan ekonomi di Negara-negara ASEAN yang pada saat itu terkena dampak dari
krisis global.
ASEAN-China FTA sendiri memiliki dampak positif, dimana akan terbangun blok
perekonomian regional yang kuat sebagai balance of power bagi blok Uni Eropa dan Amerika
Utara dimana Indonesia berada dalam kekuatan tersebut. Lalu akan terjadi peningkatan output di
Negara-negara ASEAN yang pada akhirnya akan mendorong peningkatakan daya saing industri
dalam negeri lewat efisiensi dan pembenahan struktur biaya.
2.2.Kebijakan Pemerintah Indonesia Menghadapi ASEAN-China Free Trade Area
Sebenarnya kesepakatan untuk menerapkan ASEAN-China Free Trade Area atau ACFTA
tersebut telah dirancang sejak lama dan ditandatangani 8 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal
4 November 2002. Sedangkan jauh sebelumnya juga sudah dirancang dan disepakati Common
Effective Preferential Tariff dalam rangka ASEAN Free Trade Agreement (CEPT-AFTA), dan
perjanjian tersebut telah ditandatangani 18 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 28 Januari
1992.
Sebagaimana diutarakan diatas bahwa ACFTA mulai berlaku efektif sejak tanggal 1
Januari 2010. Setelah berlakunya ACFTA, sejumlah kalangan, terutama kalangan pengusaha
meminta pemberlakuannya ditunda sampai pengusaha domestik benar-benar siap menghadapi
ACFTA. Golongan yang meminta penundaan tersebut khawatir jika liberalisasi perdagangan
diterapkan mulai saat ini akan menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dari
sejumlah perusahaan karena produknya kalah bersaing di pasaran. Jika terjadi PHK besarbesaran maka tingkat pengangguran akan semakin tinggi, dampaknya tingkat kemiskinan akan
semakin tinggi pula.
5 Ibid
Sejumlah pakar memperkirakan produk dalam negeri yang akan terkena dampak ACFTA
yang cukup signifikan antara lain tekstil dan produk tekstil, makanan dan minuman, pertokimia,
alat-alat dan hasil pertanian, elektronik, industri komponen manufaktor otomotif dan lain-lain.
Sehubungan dengan keberatan tersebut, Pemerintah bersama pihak dunia usaha telah
melakukan kajian bersama secara mendalam untuk mengindentifikasi sektor-sektor mana yang
diperkirakan akan mengalami pelemahan daya saing. Kajian tersebut telah berhasil
mengidentifikasi sebanyak 228 pos tarif produk dalam kerangka ACFTA dan sebanyak 227 pos
tarif produk dalam kerangka CEPT-AFTA. Pos-pos tarif dimaksud diupayakan untuk
dinegosiasikan kembali dengan negara mitra dalam perjanjian tersebut.
Upaya lain yang juga sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, misalnya pada tanggal
31 Desember 2009 Kementerian Perdagangan telah menyampaikan pemberitahuan kepada
Sekretaris Jenderal ASEAN mengenai kekhawatiran industri di dalam negeri atas pelaksanaan
ACFTA dan CEPT-AFTA secara penuh, dan meminta pelaksanaan perjanjian dimaksud dapat
ditinjau kembali. Disamping itu, Pemerintah juga telah membentuk Tim Koordinasi yang
bertugas menyelesaikan hambatan industri dan perdagangan dalam rangka memperkuat daya
saing industri nasional dalam menghadapi perdagangan global. Langkah-langkah yang sudah
dilakukan oleh Tim tersebut antara lain :
1. Meningkatkan efektivitas pengamanan pasar dalam negeri dari penyelundupan dan
pengawasan peredaran barang dalam negeri melalui peningkatan pemberlakukan
sejumlah instrumen yang sesuai dengan disiplin perjanjian internasional, seperti standar
mutu, HaKI dan perlindungan konsumen, serta mencegah dumping dan lain-lain.
2. Meningkatkan efektivitas pengawasan terhadap penerbitan dan pemanfaatan dokumen
surat keterangan asal (SKA) untuk ekspor dan impor.
3. Melakukan penguatan pasar ekspor, seperti Trade Promotion Center.
4. Peningkatan promosi penggunaan produk dalam negeri.
5. Penanganan issue domestik lainnya, seperti pembenahan tata ruang dan pemanfaatan
lahan, infrastuktur dan energi, perluasan akses pembiayaan, perbaikan pelayanan publik,
dan lain-lain.
2.3.Dampak ACFTA Terhadap Indonesia
Segala sesuatu memang akan memberi dampak positif dan negatif. Begitu juga dengan
ACFTA. Dampak kesepakatan ini memang memiliki implikasi yang cukup luas di bidang
ekonomi, industri dan perdagangan.
yang
diserbu.
Padahal
sebelum
tahun
2009
saja
Indonesia
telah
bergantung pada asing. Bahkan produk tetek bengek seperti jarum sajaharus diimpor.
Datamenunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak
2004hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke
Indonesiamencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mung
kin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki
nilaitambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina
yangmemang sedang haus bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan
ekonominya.
Peranan produksi
terutama
sektor
industri
manufaktur
dan
IKM
dalam
pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangan
kerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari
2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka
diIndonesia mencapai 8,96 juta orang.
Masalah yang paling dikhawatirkan adalah pengaruh ACFTA terhadap keberlangsungan
Usaha Kecil Menengah (UKM) yang berkonsentrasi pada pasar dalam negeri. Tentu UKM
tersebutlah yang paling parah terkena imbas dengan membanjirnya produk-produk China.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berbagai kebijakan memang harus dibuat agar dampak ACFTA tidak menggerus
perekonomian Indonesia. Hal yang paling krusial adalah dalam menekan harga produk lokal
sehingga dapat bersaing dengan produk-produk murah dari China. Inilah mengapa perlunya
menciptakan biaya produksi rendah.
Biaya produksi rendah bagi industri dalam negeri dapat diciptakan dengan pertama,
menurunkan suku bunga pinjaman bank. Suku bunga pinjaman yang diterapkan di Indonesia
adalah sebesar 13,6 persen. Suku bunga tersebut dianggap terlalu tinggi dan membebani para
pengusaha, terutama pengusaha UKM. Bunga yang relatif tinggi memberikan keengganan bagi
perusahaan maupun perorangan untuk meminjam uang karena biayanya dianggap masih mahal.
Implikasi bunga pinjaman yang tinggi lainnya adalah akan menyebabkan sektor manufaktur sulit
bersaing. Bunga pinjaman tersebut akan membebani ongkos kapital sehingga menaikkan biaya
produksi. Dan selanjutnya seperti yang telah disebutkan di atas yakni membuat biaya produksi
tinggi dan memaksa harga produk pun menjadi lebih mahal. Dengan demikian diperlukan
penurunan suku bunga pinjaman agar meringankan beban biaya produksi dan juga mendorong
pembukaan usaha-usaha baru agar terbuka kesempatan kerja yang lebih luas.
Kedua, memperbaiki infrastruktur. Infrastruktur memang tak dipungkiri merupakan
variabel yang sangat krusial dalam memacu roda perekonomian. Bahkan Kwiek Kian Gie
mengatakan,
secara
ekonomi
makro
ketersediaan
dari
jasa
pelayanan
infrastruktur
10
DAFTAR PUSTAKA
Nuraeni S, Deasy Silvya, Arfin Sudirman. 2010. Regionalisme Dalam Studi Hubungan
Interasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
11
for
Cooperation,22
Maret
2012<
http://vijai-indo-
fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-43701-Teori%20Hubungan%20Internasional-Liberalism
%20:%20Perspective%20for%20Cooperation.html>