Anda di halaman 1dari 19

GANGGUAN PSIKOSOMATIK

I.

PENDAHULUAN
Hubungan antara psikis (jiwa) dan soma (badan) telah menjadi perhatian

para ahli dan para peneliti sejak dahulu. Keduanya (psikis dan soma) saling terkait
secara erat dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Kedua aspek
saling mempengaruhi yang selanjutnya tercermin dengan jelas dalam ilmu
kedokteran psikosomatik. 1
Dalam perkembangannya tidak hanya aspek fisis dan psikis saja yang
menjadi titik perhatian, tetapi juga aspek spiritual (agama) dan lingkungan
merupakan faktor yang harus diperhatikan untuk mencapai keadaan kesehatan
yang optimal. Hal ini sesuai dengan definisi WHO tentang pengertian sehat yang
meliputi kesehatan fisis, psikologis, sosial, dan spiritual. Jadi mempunyai 4
dimensi yaitu bio-psiko-sosio-spiritual.1,2
Dalam pengertian kedokteran psikosomatik secara luas, aspek bio-psikososio-spiritual tersebut sangat perlu dipahami untuk melakukan pendekatan dan
pengobatan terhadap pasien secara holistic (menyeluruh) dan rinci yaitu
pendekatan psikosomatik.1,2
II.

DEFINISI
Gangguan psikosomatik ialah gangguan atau penyakit dengan gejala-

gejala yang menyerupai penyakit fisis dan diyakini adanya hubungan yang erat
antara suatu peristiwa psikososial tertentu dengan timbulnya gejala-gejala
tersebut. Ada juga yang memberikan batasan bahwa gangguan psikosomatik
merupakan suatu kelainan fungsional suatu alat atau sistem organ yang dapat
dinyatakan secara obyektif, misalnya adanya spasme, hipo atau hipersekresi,
perubahan konduksi saraf dan lain-lain. Keadaan ini dapat disertai adanya
organik/struktural sebagai akibat gangguan fungsional yang sudah berlangsung
lama.1
Menurut JC. Heinroth yang dimaksud dengan gangguan psikosomatik
ialah adanya gangguan psikis dan somatik yang menonjol dan tumpang tindih.
Berdasarkan pengertian dan kenyataan diatas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan gangguan psikosomatik adalah gangguan atau penyakit yang
ditandai oleh keluhan-keluhan psikis dan somatik yang dapat merupakan kelainan

fungsional suatu organ dengan ataupun tanpa gejala objektif dan dapat pula
bersamaan dengan kelainan organik/ struktural yang berkaitan dengan stressor
atau peristiwa psikososial tertentu.2
Gangguan fungsional yang ditemukan bersamaan dengan gangguan
struktural organis dapat berhubungan sebagai berikut:
Gangguan fungsional yang lama dapat menyebabkan atau
mempengaruhi timbulnya gangguan struktural seperti asma
bronchial,

hipertensi,

penyakit

jantung

koroner,

arthritis

rheumatoid dan lain-lain


Gangguan atau kelainan struktural dapat menyebabkan gangguan
psikis dan menimbulkan gejala-gejala gangguan fungsional seperti
pada pasien penyakit jantung, penyakit kanker, gagal ginjal dan

lain-lain.
gangguan fungsional dan struktural organik berada bersamaan oleh
sebab yang berbeda.1

Dalam kenyataannya, di klinik jarang sekali faktor psikis/emosi seperti


frustasi, konflik, ketegangan dan sebagainya dikemukakan sebagai keluhan utama
oleh pasien. Justru keluhan keluhan fisis yang beraneka ragam yang selalu
ditonjolkan oleh pasien. Keluhan-keluhan yang dirasakan pasien umumnya
terletak di bidang penyakit dalam seperti keluhan sitem kardiovaskuler, sistem
pernapasan, saluran cerna, saluran urogenital, dan sebagainya.
Keluhan-keluhan tersebut adalah manifestasi adanya ketidak seimbangan
sistem saraf otonom vegetatif, seperti sakit kepala, pusing, serasa mabuk,
cenderung untuk pingsan, banyak keringat, jantung berdebar-debar, sesak napas,
gangguan pada lambung, dan usus, diare, anoreksia, kaki dan tangan dingin,
kesemutan, merasa panas atau dingin seluruh tubuh dan banyak lagi gejala
lainnya.1
III.

PATOMEKANISME
Patofisiologi timbulnya kelainan fisis yang berhubungan dengan gangguan

psikis/emosi belum seluruhnya dapat diterangkan namun sudah terdapat banyak


bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan. Gangguan
psikis/konflik emosi yang menimbulkan gangguan psikosomatik ternyata diikuti
oleh perubahan-perubahan fisiologis dan biokimia pada tubuh seseorang.
2

Perubahan fisiologi ini berkaitan erat dengan adanya gangguan pada sistem saraf
autonom vegetatif, sistem endokrin dan sistem imun.1
Patofisiologi gangguan psikosomatik dapat diterangkan melalui beberapa
teori sebagai berikut:
a. Gangguan Keseimbangan Saraf Autonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks
serebri ke sistem limbik kemudian hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf
autonom vegetatif. Gejala klinis yang timbul dapat berupa hipertoni parasimpatik,
ataksi vegetatif yaitu bila koordinasi antara simpatik dan parasimpatik sudah tidak
ada lagi dan amfotoni bila gejala hipertoni simpatik dan parasimpatik terjadi silih
berganti.1
b. Gangguan Konduksi Impuls Melalui Neurotransmitter
Gangguan konduksi ini disebabkan adanya kelebihan atau kekurangan
neurotransmitter di presinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptorreseptor postsinaps. Beberapa neurotransmitter yang telah diketahui berupa amin
biogenik antara lain noradrenalin, dopamine, dan serotonin.1
c. Hiperalgesia Alat Viseral
Meyer dan Gebhart (1994) mengemukakan konsep dasar terjadinya
gangguan fungsional pada organ visceral yaitu adanya visceral hyperalgesia.
Keadaan ini mengakibatkan respon reflex yang berlebihan pada beberapa bagian
alat visceral tadi. Konsep ini telah dibuktikan pada kasus-kasus non-cardiac chest
pain, non-ulcer dyspepsia dan irritable bowel syndrome.1
d. Gangguan Sistem Endokrin/Hormonal
Perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang disebabkan adanya stress dapat
terjadi akibat gangguan sistem hormonal. Perubahan tersebut terjadi melalui
hypothalamic-pitutary-adrenal

axis

(jalur

hipotalamus-pituitari-adrenal).

Hormone yang berperan pada jalur ini antara lain: hormon pertumbuhan (growth
hormone), prolactin, ACTH, katekolamin.1
e. Perubahan dalam Sistem Imun
Perubahan tingkah laku dan stress selain dapat mengaktifkan sistem
endokrin melalui hypothalamus-pituitary axis (HPA) juga dapat mempengaruhi
imunitas seseorang sehingga mempermudah timbulnya infeksi dan penyakit
neoplastik. Fungsi imun menjadi terganggu karena sel-sel imunitas merupakan
immunotransmitter mengalami berbagai perubahan. 1
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi imunitas adalah sebagai berikut:
Kualitas dan kuantitas stress yang timbul

IV.

Kamampuan individu dalam mengatasi suatu stress secara efektif


Kualitas dan kuantitas rangsang imunitas
Lamanya stress
Latar belakang lingkungan sosio-kultural pasien
Faktor pasien sendiri (umur, jenis kelamin, status gizi)1

DIAGNOSIS
Menegakkan diagnosis pasien dengan gangguan psikosomatik tidak

berbeda dengan menegakkan diagnosis penyakit lain pada umumnya yaitu dengan
cara anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan

laboratorium

atau

pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan. Pada umumnya pasien dengan


gangguan psikosomatik datang ke dokter dengan keluhan somatiknya. Jarang
sekali keluhan psikis atau konfliknya dikeluhkan secara spontan. Keluhan psikis
yang menjadi stressornya baru akan muncul setelah dilakukan anamnesis yang
baik dan mendalam. Keluhan somatisnya sangat beraneka ragam dan sering
berpindah-pindah dari satu sistem organ ke organ lain.1
Gangguan psikosomatik pada orang yang tidak stabil, dapat disebabkan
bukan saja oleh stress yang luar biasa, tetapi juga oleh kejadian-kejadian dan
keadaan sehari-hari, umpamanya rumah tangga yang sibuk, terlalu banyak orang
di dalam satu rumah, suami atau isteri yang tidak dapat menyesuaikan diri atau
tidak mengindahkan keinginan satu sama lain.2
Untuk itu, penting ditanyakan beberapa pertanyaan berikut dalam
proses anamnesis:
- Faktor sosial dan ekonomi: kepuasan dalam pekerjaan; kesukaran
ekonomi; pekerjaan yang tidak tentu; hubungan dengan keluarga dan
-

orang lain; minatnya; pekerjaan yang terburu-buru; kurang terbiasa


Faktor perkawinan: perselisihan, perceraian, dan kekecewaan dalam

hubungan sexual; anak-anak yang nakal dan menyusahkan.


Faktor kesehatan: penyakit-penyakit yang menahun; pernah masuk
rumah sakit; pernah dioperasi; adiksi terhadap obat-obatan, tembakau,

dan lain-lain
Faktor psikologik: stress psikologik; keadaan jiwa waktu operasi;
status dalam keluarga.2

Untuk menentukan gangguan fungsional, maka anmnesa penting sekali.


Bila kita sudah menentukan bahwa penderita itu mempunyai gangguan
fungsional, maka selanjutnya kita harus menetapkan apakah sebabnya itu

gangguan psikogenik atau non-psikogenik. Apabila kita sudah menduga bahwa


hal itu merupakan gangguan psikogenik, sebaiknya harus dicari juga korelasi
antara gejala-gejala dan stress psikologik.2
Lewis

memberikan beberapa kriteria untuk diagnosa gangguan

psikomatik:
1. Gejala-gejala yang didapat mempunyai permulaan, akibat, manifestasi
dan jalannya yang sangat mencurigakan akan adanya gangguan
psikosomatik
2. Dengan pemeriksaan fisis dan laboratorium tidak didapati penyakit
organik yang dapat menyebabkan gejala-gejala (atau sebagian gejalagejala)
3. Adanya suatu stress atau konflik yang menyukarkan penderita
4. Reaksi penderita terhadap stress ini banyak hubungannya dengan
gejala-gejala yang dikeluhkannya, yaitu bahwa gejala-gejala itu secara
psikosomatik merupakan manifestasi badaniah dari konflik atau
penyelesaian masalah yang tidak memuaskan
5. Terjadinya stress itu harus mempunyai korelasi antara waktu dan
timbulnya keluhan, dan bertambah beratnya penyakit yang ada.2
Tidak semua kriteria harus ada, tetapi apabila terdapat beberapa
kriteria yang sesuai sudah merupakan indikasi kearah gangguan
psikosomatik.1
V.

JENIS GANGGUAN PSIKOSOMATIK


Untuk klasifikasi jenis gangguan psikosomatik, maka jenis gangguan

dibagi menurut organ yang paling sering terkena, yaitu gangguan gastrointestinal,
gangguan kardiovaskular, gangguan pernapasan, gangguan endokrin, gangguan
kulit, gangguan muskuloskeletal, psiko-onkologi.
a. Gangguan Gastrointestinal
1. Dispepsia Fungsional
Sindroma dispepsia merupakan keluhan yang sering didapatkan pada
populasi umum. Merupakan perasaan tidak enak dan sakit pada daerah
epigastrium, sering disebabkan karena kelainan fungsi lambung: sekresi asam
lambung yang berlebihan, motilitas dan tonus yang meninggi pada otot-otot
dinding lambung.2 Legarde dan Spiro (1984) mengatakan bahwa keluhan tidak
enak pada perut bagian atas yang bersifat intermitten sedangkan pada pemeriksaan

tidak didapatkan kelainan organis. Gejala-gejala yang sering dikeluhkan pasien


berupa rasa penuh pada ulu hati sesudah makan, kembung, sering bersendawa,
cepat kenyang, anoreksia, nausea, vomitus, rasa terbakar pada daerah ulu hati dan
regurgitasi.3
Untuk meyakinkan bahwa sindroma dispepsia yang dialami seseorang
merupakan pengaruh dari gangguan psikosomatik yang dikenal dengan dispepsia
fungsional (DF), maka perlu dipastikan tidak adanya keterlibatan kelainan organik
di lambung.
Peran faktor psikososial pada dispepsia fungsional sangat penting karena
dapat menyebabkan hal-hal di bawah ini:
- Menimbulkan perubahan fisiologi saluran cerna
- Perubahan penyesuaian terhadap gejala-gejala yang timbul
- Mempengaruhi karakter dan perjalanan penyakitnya
- Mempengaruhi prognosis
Rangsangan psikis/emosi sendiri secara fisiologi dapat mempengaruhi lambung
dengan dua cara:
- Jalur Neurogen: rangsangan konflik emosi pada korteks serebri
mempengaruhi kerja hipotalamus anterior dan selanjutnya ke
-

nucleus vagus, dan kemudian ke lambung


Jalur Neurohormonal: rangsangan pada korteks serebri
diteruskan ke hipotalamus anterior selanjutnya ke hipofisis
anterior yang

mengeluarkan kortikotropin. Hormon ini

merangsang korteks adrenal dan kemudian menghasilkan


hormon adrenal yang selanjutnya merangsang produksi asam
lambung.3
Pengobatan melalui pendekatan psikosomatis yaitu dengan memperhatikan
aspek-aspek fisik, psikososial, dan lingkungan. Terhadap keluhan-keluhan
dispepsia dapat diberikan pengobatan simptomatis seperti antasida, obat-obat H2
antagonis seperti Cimetidin, ranitidine. Obat inhibitor pompa proton seperti
omeprazole, lansoprazole. Yang tidak kalah pentingnya ialah melakukan
psikoterapi dengan beberapa edukasi dan saran agar dapat mengatasi atau
mengurangi stress dan konflik psikososial.3
2. Konstipasi Psikogenik
Buang air besar biasanya terjadi setelah timbul rangsangan di hipotalamus
yang diteruskan ke kolon dan sfingter ani melalui susunan saraf autonom. Pada
waktu tertentu kemungkinan rangsangan tersebut tidak timbul. Hal ini dapat
6

terjadi pada seseorang yang sedang murung, kecewa, putus asa, dan gangguan
jiwa lain. Pasien sering mempunyai keluhan tidak dapat atau mengalami kesulitan
buang air besar. Akibat kelainan tersebut, rangsangan di hipotalamus ikut
menurun sampai tidak ada, sehingga rangsangan di usus besar pun sangat
berkurang. Bila berlangsung terus-menerus akan terjadi atoni kolon dan konstipasi
kronik yang selanjutnya disebut konstipasi psikogenik. 1
Pengelolaan pasien konstipasi psikogenik lebih menitikberatkan pada
psikoterapi. Perlu pendekatan psikomatik dengan memperdulikan faktor-faktor
psikis sebagai penyebabnya. 1
3. Diare Psikogenik
Seseorang yang sedang mengalami ketegangan jiwa, sedang emosi, atau
sedang dalam keadaan stress , hidupnya tidak teratur. Keadaan demikian akan
menyebabkan terangsangnya hipotalamus terus-menerus secara tidak teratur.
Rangsangan di hipotalamus ini akan diteruskan ke susunan saraf autonom.
Susunan saraf yang berulang kali terangsang ini akan menyebabkan timbulnya
hiperperistaltik kolon, sehingga bolus makanan terlalu cepat dikeluarkan karena
hiperperistaltik tersebut, reabsorpsi air di kolon terganggu, dan timbullah diare.
Bila terjadi berulang kali, timbul diare kronik. Keadaan demikian disebut diare
psikogenik kronik. 1
Sifat diare psikogenik pada umumnya memperlihatkan sering buang air
besar yang bersifat lembek, hampir tidak pernah bersifat cair, jarang disertai
lender dan darah, dan tidak pernah disertai demam. Diare yang timbul biasanya
berlangsung beberapa hari, selama masih ada gangguan psikis. 1
4. Obesitas
Pada obesitas yang hebat sering didapati faktor psikologik. Tidak dapat
diterangkan secara memuaskan dengan teori: efisiensi otot-otot yang tinggi,
respiratory quotient yang rendah, specific dynamic action dari makanan atau
penyimpanan yang abnormal oleh orang gemuk itu. 2
Faktor psikologik, mulai dari ketegangan yang ringan sampai dengan suatu
nerosa yang hebat dapat menyebabkan makan berlebihan. Kadang-kadang orang
yang merasa tidak bahagia mencari kesenangan dalam makanan. Mungkin bila ia
mengalami banyak kekecewaan dalam pekerjaan atau kehidupan seksual,

makanan bukan saja dapat merupakan pembelaan atau hiburan, tetapi juga dapat
merupakan substitusi. 2
Pengobatan ialah meyakinkan penderita bahwa berat badan itu perlu
diturunkan, mengatur tabiat makanan, diet yang pantas, dan psikoterapi bila
terdapat konflik; dapat juga diberikan obat-obat untuk menekan nafsu makan
beserta vitamin supaya tidak kekurangan bila makan berkurang. 2
b. Gangguan Kardiovaskular
1. Hipertensi
Hipertensi oleh banyak peneliti dianggap sebagai suatu penyakit yang
multifaktorial. Selain faktor psikis yang menstimulasi efek simpatikotonik,
pengaruh lingkungan sekitar dan sosio-kultural juga ikut berperan. Faktor-faktor
psikis situasional yang menyebabkan kenaikan tekanan darah, merupakan model
outlet yang aman sebagai reaksi normal fisiologis. 4
Menurut Groen, mekanisme utama perkembanghan menjadi hipertensi
yaitu perubahan suatu reaksi fisiologis yang dihubungkan dengan behavior
readiness, oleh suatu reaksi neuroviseral; sebagai ganti aktivitas neuromuscular
yang kuat dan volume semenit jantung yang meningkat, serta resistensi pembuluh
darah yang meningkat pula.4
Karena sifat etiologi

yang

multifaktorial,

kebanyakan

pasien

membutuhkan terapi kombinasi. Terapi dengan obat seringkali perlu diberikan,


namun efek samping harus diperhatikan. Reserpine, misalnya, juga mempunyai
efek samping depresif. Latihan autogen (autogenic training) sebagai latihan rileks
pada hakikatnya sangat baik, namun seringkali menambah rasa takut dan
kegelisahan, karena aktivitas defense yang menutup-nutupi rasa takut dihilangkan,
sehingga konflik internal malah dialami lebih jelas. 4
2. Gangguan Irama Jantung
Mekanisme regulasi jantung mudah bereaksi terhadap rangsangan pikis
dan penilaiannya dalam hal khayalan dan pengalaman merupakan faktor-faktor
yang menentukan dalam terjadinya penyakit. Faktor-faktor emosional dapat
bekerja dengan 3 cara:
a.

Afek seperti rasa takut, sedih, gembira atau ketegangan jiwa


mempengaruhi fungsi somatik secara tidak khas.emosi agresif

mempercepat frekuensi jantung. Pengalaman depresif menekan dan


b.

memperlambatnya.
Bila dalam keadaan normal, jantung berdenyut teratur, maka
persepsi gangguan irama dapat menimbulkan kecemasan atau

ketidakseimbangan vegetatif.4
Faktor-faktor psikis berpengaruh pada timbulnya gangguan frekuensi
denyut dan disaritmia jantung. Pada gangguan frekuensi jantung, pengaruh fisis,
toksik, infeksi dan degenerasi, juga faktor piskis.4
Aritmia psikogenik tanpa adanya gangguan struktural pada umumnya
tidak akan menyebabkan kematian, namun dapat memberikan impilkasi yang
buruk terhadap kondisi ppsikis pasien. Maka psikoterapi suportif dan pemberian
ansiolitik dapat mencegah perburukan kondisi psikis dan menghilangkan ritma.4
c. Gangguan Pernapasan
1. Sindrom Hiperventilasi
Sindrom hiperventilasi didefinisikan sebagai suatu keadaan ventilasi
berlebihan yang menyebabkan perubahan hemodinamik dan kimia sehingga
menimbulkan berbagai gejala. Mekanisme yang mendasari hingga terjadi sindrom
hiperventilasi belim jelas diketahui.5
Menurut Arautigam (1973) secara psikologis penyebab yang mencetuskan
penyakit ini ialah perubahan pernapasan, yang ia namakan sindrom pernapasan
nervous yang biasanya disebabkan oleh faktor emosional/stress psikis. Terapat 2
jenis pernapasan yang dapat ditemukan, yaitu: 5
a. Pernapasan yang tidak teratur yang dianggap sebagai
pengutaraan rasa takut yang khas.
b. Pernapasan yang dangkal yang diselingi dengan penarikan
napas dalam sebagai pengutaraan situasi pribadi yang bersifat
keletihan dan pasrah, yaitu pertanda tujuan tidak dapat dicapai
kendati sudah diusahakan.
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien adalah napas sesak, napas
pendek, dada tertekan, nyeri pada epigastrium, pusing, sakit kepala,mulut dan
tenggorokan kering, disfagi, dan rasa penuh pada lambung.penyebab paling sering
untuk hiperventilasi ialah emosi rasa takut dan kegelisahan. 5
Terapi untuk pasien dengan sindrom hiperventilasi:
a. Pasien disuruh bernapas (inspirasi dan ekspirasi) ke dalam
sungkup kantong plastic bila didapatkan tanda alkalosis agar
PCO2 dalam darah naik.
9

b. Suntikkan 10 cc larutan kalsium glukonas 10% intravena


mempunyai efek placebo. Pasien merasa hangat dan enak,
tetapi kadar ion kalsium tidak akan naik.
c. Belajar bernapas torako-abdominal dengan menggerakkan
diafragma.
d. Psikoterapi:

membantu

menyelesaikan

problem-problem

emosional pada pasien, termasuk melakukan terapi pelaku


(Cogntive Behavioral Teraphy)
e. Karena hiperventilasi sering merupakan bagian dari serangan
panic (panic disorder), maka pemberian obat yang tepat adalah
golongan

benzodizepin

atau

golongan

SSRI

(Selective

Serotonin Reuptake Inhibitor)


2. Asma Bronkial
Asma merupakan suatu gangguan karena hiperaktivitas yang diikuti
bronkokontriksi yang reversible serta adanya reaksi inflamasi kronik serta
kerusakan epitel. Dalam perkembangannya, pathogenesis asam dipengaruhi oleh 3
faktor, yaitu faktor genetik , permusuhan, kejengkel(atopi dan hiperaktivitas
bronkus pada keluarga), faktor lingkungan, allergen seperti debu rumah, serbuk
sari bunga, virus dan bakteri, polusi udara; faktor individu, adanya stressor dan
kemampuan untuk mengatasi asma.6
Beberapa keadaan yang merupakan stressor psikososial, sebagai berikut:
- Pengalaman luar biasa: permulaan masuk sekolah, ujian,
pertama masuk kerja, menderita penyakit, berpisah dengan
-

orang tua, dll


Kejadian-kejadian traumatic: perkelahian/pertentangan dengan

orang tua, permusuhan, kejengkelan dalam kerja.


Pengalaman yang menyedihkan: kematian orang tua, atau anak,

kehilangan harta benda, dan musibah lainnya6


Terhadap gejala asma secara fisik diberikan pengobatan standar
yang sudah baku sesuai dengan tingkat beratnya penyakit (bronkodilator,
kortikosteroid). Sedangkan untuk gangguan psikosomatik seperti adanya
anxietas atau depresi secara bersamaan dilakukan psikoterapi dan
psikoedukasi serta psiokfarmaka yang sesuai. Pada gangguan anxietas
yang menyertai atau mencetuskan asma dapat diberikan golongan
benzodiazepine seperti alprazolam, klobazam. Bila dijumpai adanya presi,

10

maka dapat diberikan antidepresan yang aman misalnya golongan SRI


seperti sertraline, fluoksetin.6
Cara pengobatan psikosomatik yang khusus pada asma memang
belum ada standar, namun pada umumnya pengobatan meliputi psikoterapi
superfisial, edukasi, instruksi.
- Psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok. Mereka
diberikan edukasi mengenai perjalanan penyakit asma,
mekanisme timbul, faktor resiko, pengobatan dan pencegahan.
Psikoterapi ini diberikan untuk meningkatkan daya adaptasi
dan kemampuan untuk menyelesaikan atau menghilangkan
-

stressor psikososial yang dialami pasien.2,6


Instruksi tentang penatalaksanaan mandiri dengan monitoring

PEFR (Peak Expiratory Flow Rate) di rumah.


Autogrnic training yaitu latihan untuk dapat bersantai dengan
memahami bahwa faktor psikis dapat menimbulkan reaksi

bronkospasme.
Cara sugestif yaitu mengalihkan atau mencurahkan perhatian

diri sendiri kepada hal-hal yang bermanfaat.


Psikoterapi analisis yang sederhana.6

d. Gangguan Endokrin
1. Kelainan Tiroid
Pasien tirotoksikosis umumnya datang dengan keluhan yang dianggap
bersifat psiksi belaka. Misalnya rasa cemas, mudah marah, paranoid, rasa seperti
leher tercekik atau terikat, rasa takut tanpa sebab yang jelas, insomnia dengan
mimpi buruk, dan gugup. Keluhan ini sering diikuti dengan hiperaktivitas saraf
otonom seperti keringat banyak, mulut kering, pupil lebar, kulit pucat, nadi cepat,
dan sebagainya.1
Pengobatan ialah usaha untuk mengendalikan metabolism dengan obatobat dan bila perlu dioperasi. Transquilaizer dapat sangat membantu. Psikoterapi
perlu, terutama pada penderita dengan konflik yang mendalam dan yang tidak
dapat menyesuaikan diri.2
2. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit meabolik yang ditandai
dengan adanya defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.
Hipetglikemia kronik pada pasien diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
11

panjang, disfungsi atau kegagalan berbagai organ seperti mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah serta mempengaruhi kondisi psikis. Gangguan psikis
yang biasa terjadi pada penderita diabetes mellitus adalah depresi. 8
Depresi terjadi akibat faktor psikologis dan psikososial yang berhubungan
dengan penyakit atau terapinya. Depresi pada diabetes terjadi akibat
meningkatnya tekanan pasien yang dialami dari penyakitnya yang kronik.
Hubungan ketidakmampuan adaptasi dengan gejala depresi ditentukan oleh
beberapa faktor, yaitu:8
a. Pandangan terhadap penyakit yang diderita.
b. Dukungan sosial yang kurang baik
c. Coping strategy, mencegah pikiran untuk lari dari kenyataan
dan

adaptasi

psikologis

menjadi

lebih

baik

sehingga

mengurangi kemungkinan gejala depresi.


Pengobatan depresi dan diabetes dilakukan bersama-sama dengan
psikoterapi, psikoedukasi, psikofarmaka secara serentak. Cognitive Behavioral
Theraphy (CBT) sangat bermanfaat diberikan pada pasien depresi dengan diabetes
mellitus dan dikombinasikan dengan edukasi diabetes. Teknik CBT tersebut
adalah:9
a. Merubah perilaku dengan mengembalikan aktuvitas fisik dan
kehidupan sosial yang menyenangkan pasien.
b. Upaya pemecahan masalah atau stress yang dihadapi.
c. Teknik kognitif dengan mengidentifikasi adanya maldaptasi
dan menggantinya dengan pandangan yang akurat, adaptif dan
akurat.
Beberapa golongan obat anti depresan yang biasa diberikan untuk
penderita diabetes melitus adalah golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake
Inhibitor) dapat mengurangi resistensi insulin sehingga gula darah dapat lebih
terkontrol. Beberapa golongan obat SSRI seperti fluoksetin memiliki efek
menurunkan berat badan sehingga baik diberikan pada penderita diabetes yang
gemuk. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya
hipoglikemia, disfungsi seksual dan pasien yang disertai gangguan ginjal.8
e. Gangguan Muskuloskeletal
Arthritis rheumatoid adalah penyakit

inflamasi

kronik

dengan

pathogenesis autoimun dan etiologi yang multikompleks. Berbagai faktor yang


dapat berperan penting seperti immunogenetik, kelamin, umur dan stress.

12

Hubungan stress dengan AR masih belum jelas, meskipun pada berbagai


penelitian terdapat perkembangan bahwa faktor stressor lingkungan, psikologis,
dan biologis menjadi faktor predisposisi.1
Sebelum timbulnya penyakit AR, pasien menunjukkan ciri-ciri psikodinaik
dan kepribadian yang khas, yaitu:
- Ketelitian yang berlebihan, perfeksionisme, kepatuhan, dengan
-

kecenderungan menekan semua dorongan agresi dan permusuhan.


Ciri mesokistis-depresif dengan tendensi pengorbanan diri, sifat
menolong yang berlebihan, bermoral tinggi dan cenderung

depresif.
Kebutuhan aktivitas badaniah seperti olahraga, kerja di rumah dan
berkebun sebagai penyaluran agresi.1,2

Kepribadian, stressor psikologis, ancaman terserang AR, kemampuan


menanggulangi nyeri dan menanggulagi ketidak mampuan serta dukungan sosial
telah terbukti berhubungan dengan derajat nyeri, disabilitas dan aktivitas penyakit
AR. Faktor psikososial seperti stress psikologis, penyesuaian, depresi, keyakinan
dalam kemampuan menanggulangi penyakit dan dukungan sosial berperan pada
keadaan sakit dengan mempengaruhi pelepasan hormone stress, yang selanjutnya
berpengaruh pada mekanisme dalam tubuh termasuk kerentanan dan kekambuhan
penyakit AR.1
f. Gangguan Urologi
Irritable bladder, yang bukan disebabkan oleh kelainan organik terutama
pada wanita hingga klimakterium, jarang pada pria. Secara psikofisiologis yang
mendasari terjadinya irritable bladder ialah sensibilitas fungsi kandung kemih
yang berlebihan atau ambang rangsang yang rendah yang bersifat psikovegetatif,
yang dapat ditemukan dengan pengukuran tegangan intravesikal. Dengan
demikian perubahan-perubahan pengisian kandung kemih yang berlebihan. Secara
psikodinamik hal ini dapat terjadi pada situasi konflik seksual, rasa malu dan takut
pada percobaan koitus, rasa segan terhadap pasangan.9
Beberapa contoh lain gangguan psikosomatik saluran kemih:
- Fobia mengenai buang air kecil yang tak diinginkan
- Polakisuria tanpa ada kelainan organ
- Retensio urin tidak organik yang sepintas lalu atau residivans
- Bercampur aduknya fungsi berkemih dengan fungsi seksual11
VI.

PENATALAKSANAAN
13

Di Amerika Serikat 1/3 penderita yang datang berobat pada dokter umum
tidak mempunyai gangguan organik, 1/3 yang lain mempunyai gangguan organik
tetapi keluhannya berlebihan.2
Dengan kesabaran dan simpati banyak penderita dengan gangguan
psikosomatik dapat ditolong. Kita dapat menerangkan kepada penderita tidak
dapat sesuatu dalam tubuhnya yang rusak atau yang kurang, tidak terdapat infeksi
dan kanker, hanya anggota tubuhnya bekerja tidak teratur. Untuk menerangkan
bagaimana emosi dapat mengganggu tubuh dapat diambil contoh sehari-hari
seperti orang yang malu mukanya akan menjadi merah, orang yang takut menjadi
bergemetar dan pucat. Dapat dipakai perumpamaan menurut pendidikan dan
pengetahuan penderita.2
Setelah dibuat diagnosis gangguan psikosomatis, terdapat 3 fase terapi
yaitu: 2
Fase 1 : ialah fase pemeriksaan dan pemberian ketenangan, penderita dan dokter
bersama-sama berusaha dan saling membantu melalui anamnesis yang baik,
pemeriksaan fisik yang teliti dan tes laboratorium bila perlu. Diusahakan
membuktikan bahwa tidak terdapat penyakit organik dan dijelaskan kepada
penderita tentang mekanisme fisiologik serta keterangan tentang gejala-gejala.
Berikan kesempatan kepada penderita untuk bertanya.1,3,13
Fase 2 : merupakan fase pendidikan, fase ini dokter lebih banyak bicara. Untuk
memberi keterangan tentang keluhan, meyakinkan serta menenangkan pasien,
dapat dikatakan antara lain :

Bahwa gejala-gejalanya benar ada, dapat dimengerti kalau ia mengeluh


dan menderita

Bahwa gejala-gejalanya sering terdapat juga pada orang lain yang


sudah kita obati

Bahwa tidak ada kanker atau penyakit berbahaya lain

Bahwa gejala-gejala itu timbul karena ketegangan sehari-hari dan


gangguan emosional

Bahwa gejala itu tidak akan segera hilang, diperlukan beberapa waktu,
tetapi akan hilang atau

berkurang bila diobati dengan baik

14

Bahwa kita semua mengalami ketegangan, kekecewaan, godaan dan


kecemasan

Bahwa kelelahan fisik atau jiwa dapat mengurangi daya tahan tubuh
sehingga timbul gejala

Bahwa kita apabila terlalu terburu-buru akan timbul ketegangan jiwa

Bahwa tubuh kita bereaksi terhadap ketegangan yang terlalu berat.


Sering gejala merupakan pekerjaan alat tubuh yang bekerja berlebihan

Bahwa ini akan lebih baik bila pasien mengerti akan penyebab gejala.

Fase 3 : ialah fase keinsafan intelektual dan emosional. Pada fase ini pasien yang
lebih banyak bicara. Terjadi pengakuan, katarsis dan wawancara psikiatrik. Hal ini
harus berjalan sangat pribadi, rahasia, tanpa sering terganggu dan dalam suasana
penuh kepercayaaan dan pengertian. Dokter menjelaskan saja agar pembicaraan
berjalan dengan baik, tidak terlalu menyimpang dari pokok pembicaraan. Terdapat
3 golongan senyawa psikofarmaka.2
1. Obat tidur (hipnotik)
Diberikan dalam jangka waktu pendek 2-4 minggu. Obat yang
dianjurkan adalah senyawa benzodiazepine berkhasiat pendek seperti
nitrazepam, flurazepam, dan triazolam. Pada insomnia dengan
kegelisahan dapat diberikan senyawa fenotiazin seperti tioridazin,
prometazin.2,9
2. Obat penenang minor dan mayor

Obat penenang minor


Diazepam merupakan obat yang efektif yang dapat digunakan pada
anxietas,agitasi, spasme otot, delirium, epilepsi. Benzodiazepine
hanya diberikan pada anxietas hebat maksimal 2 bulan sebelum
dicoba dihentikan secara perlahan (tapering off) untuk menghindari
toleransi dan adiksi.2

Obat penenang mayor


Yang paling sering digunakan adalah senyawa fenotiazin dan
butirofenon seperti clorpromazin, tioridazin dan haloperidol.

15

Diberikan hanya pada kasus gejala agitasi , kegelisahan yang


berlebihan, agresi dan kegaduhan.2
3. Antidepresan
Yang biasa digunakan adalah senyawa trisiklik dan tetrasiklik seperti
amitriptilin, imipramin, mianserin dan maprotilin yang dimulai dengan
dosis kecil yang kemudian ditingkatkan. Saat ini, golongan trisiklik
sudah jarang digunakan karena efek samping yang banyak akibat kerja
anti kolinergiknya. Antidepresan baru dengan efek samping yang
minimal adalah golongan:
- SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor): sertalin, paroksetin,

VII.

fluoksetin, fluvoksamin
SSRE (Selective Serotonin Reuptake Enhancer): Tianeptin
SNRI (Serotonin Nor Epinephrin Reuptake Inhibitor): Venlafaksin
RIMA (Reversible Inhibitory Monoamine Oxidose type A):

Moklobemid
NaSSA (Nor-adrenalin ang Serotonin Anti Depressant): Mitrazapin
Atipik: Trazodon, Nefazodon

KESIMPULAN

Gangguan psikosomatik merupakan gangguan yang melibatkan antara


pikiran dan tubuh. Hal ini berarti bahwa adanya faktor psikologis yang
mempengaruhi kondisi medis.14

Komponen emosional memainkan peranan penting pada gangguan


psikosomatik.

Manifestasi penyakit fisik juga sering diturunkan dan kepribadian


seseorang.

Gangguan psikosomatik dapat rnelibatkan berbagai sistem organ di


dalam tubuh sehingga memerlukan penanganan secara terintegrasi dari
ahli medis dan ahli psikiatri.

Pengobatan gangguan psikosomatik dari sudut pandang psikiatrik


adalah tugas yang sulit.

Tujuan terapi haruslah mengerti motivasi dan mekanisme gangguan


fungsi dan untuk membantu pasien mengerti sifat penyakitnya.

16

Tilikan tersebut harus menghasilkan pola perilaku yang berubah dan


lebih sehat.

17

DAFTAR PUSTAKA
1. Mudjaddid, E. Shatri, Hamzah. Gangguan Psikosomatik. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006.
p896-8
2. S.Tyrer. Psychosomatic pain. British Journal Of Psychiatry (2006),188,91-93.
Edited by Sidney Crown, Femi oyebode and Rosalind Ramsay. Diunduh dari
www. bjp.rcpsych.org 09 Februari 2016.
3. Maramis, W.F. Gangguan Psikosomatik. Dalam Catatan Ilmu Kedokteran
Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press. p339-72
4. Elvira, Sylvia D., Hadisukanto, Gitayanti. Faktor Psikologik Yang
Mempengaruhi Kondisi Medis (d/h Gangguan Psikosomatik). Dalam Buku
Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2010.p287-93
5. Andri. Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan. J Indon
Med Assoc, Volume : 61, Nomor : 9, September 2011. Konsep Biopsikososial
pada Keluhan Psikosomatik. Diunduhdari : www.indonesia.digitaljournals.org
09 Februari 2016.
6. Hadi, Sujeno. Psikosomatik Pada Saluran Cerna Bagian Bawah. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI.
2006. p907-9
7. Halim, S. Budi, dkk. Aspek Psikosomatik Hipertensi. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p913-4
8. Putranto, Rudi. Mudjaddid, E. shatri, Hamzah. Sindrom Hiperventilasi. Dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan
FKUI. 2006. p920-1
9. Djokomoeljanto, R. Psikosomatik Pada Kelainan Tirod. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006.
p937-8
10. Sukatman, D. Budihalim, S. Putranto, Rudi. Gangguan Psikosomatik Pada
Penyakit Reumatik dan Sistem Muskuloskeletal. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p924-5

18

11. Budihalim, S. Sukatman, D. Mudjaddid, E. Gangguan Psikosomatik Saluran


Kemih. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p953.
12. Lippincott Williams & Wilkins. Psychosomatic Medicine, by Michael
Blumenfield and James J. Strain. Don R. Lipsitt. Psychosomatic Medicine:
History of a New Specialty. Diunduh dari: www.turkpsikiyatri.org. 09
Februari 2016.
13. M. Nakao, A. J Barsky. BioPsychoSocial Medicine. Clinical application of
somatosensory amplification in psychosomatic medicine. Diunduh dari :
www.bpsmedicine.com 09 Februari 2016.
14. American Psychiatric Publishing. Highlights of Changes from DSM-IV-TR to
DSM-5. Hal 10. Diunduh dari : www.dsm5.org 09 Februari 2016.

19

Anda mungkin juga menyukai