Anda di halaman 1dari 16

PENENTUAN HILAL DENGAN RUYAH DAN HISAB

Ada beberapa istilah yang sering disebutkan ketika menjelang datangnya bulan Ramadhan,
Syawwal dan Dzulhijjah, yaitu istilah ruyah dan hisab. Memang banyak yang menyebutkan istilah
tersebut, tetapi tidak banyak yang menjelaskan seluk beluk istilah tersebut, padahal masih banyak
umat Islam yang belum mengetahuinya.
Tulisan ini membahas beberapa hal yang berkaitan dengan ruyah dan hisab. Tujuan dibuatnya
tulisan ini adalah semoga dapat menjadi satu dari banyak sumber referensi dalam memahami
penentuan Hilal, sehingga semakin banyak umat Islam yang lebih memahami tentang ruyah dan
hisab. Sama halnya dengan produk-produk buatan manusia yang tidak sempurna, tulisan ini juga
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik, komentar, dan saran dari para pembaca untuk
penulis sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua.
Beberapa istilah yang berkaitan dengan penentuan Hilal serta pengertian dan penjelasannya
Beberapa istilah yang akan dibahas pada bab ini adalah Hilal, mathla, ruyah, ijtima`, hisab, falak,
dan irtifa`. Berikut ini rinciannya :
1. Hilal ( = )(Awal Bulan
Bulan yang mengitari Bumi memiliki fase tersendiri dalam setiap putarannya selama 29-30
hari/bulan. Setiap fase memiliki tanda/bentuk tersendiri, seperti bulan baru, bulan sabit, setengah
purnama, 3/4 purnama, purnama, bulan tua, bulan mati. Hilal termasuk suatu fase awal bulan
yang dapat dilihat oleh seseorang, secara singkatnya Hilal adalah bulan sabit yang pertama.
Pengertian secara lebih detilnya, Hilal adalah bulan sabit pertama yang dapat teramati/terlihat di
ufuk barat beberapa saat setelah maghrib/matahari terbenam1. Waktu Hilal muncul dan terlihat
berkisar antara 10-40 menit2, setelah itu bulan terbenam.
Hilal ini ada pada setiap bulan Qamariyah3, jadi istilah Hilal tidak hanya dipakai ketika
bulan Ramadhan, Syawwal, Dzulhijjah saja. Bila Hilal terlihat, maka sejak malam itulah awal
bulan (tanggal 1) dari suatu bulan Qamariyah bermulai. (Contoh : jika Hilal terlihat pada saat
setelah maghrib pada hari Kamis, maka malam Jum`at dan hari Jum`at adalah tanggal 1). Dan
karena itulah awal hari dalam kalender Hijriyah dimulai dari saat maghrib atau sejak matahari
terbenam4, bukan dari jam 00.00 seperti dalam perhitungan kalender Masehi. Istilah seperti
malam Ahad, malam Senin, malam Selasa dan seterusnya sudah familiar di masyarakat kita
(walau sebagian orang menyebut Ahad malam, Senin malam, Selasa malam dan seterusnya), dan
secara tidak langsung, sadar atau tidak sadar, itu merupakan penerapan hari pada kalender
Hijriyah, walaupun masyarakat kita banyak yang belum terbiasa dengan penggunaaan kalender
Hijriyah secara sepenuhnya.
Secara umum Hilal memang identik dengan bulan sabit yang merupakan satu dari beberapa
fase bulan, tapi jika dibahas lebih detil maka ada beberapa perbedaan, hal ini dikarenakan bulan
sabit terdiri dari dua jenis yaitu :
a. Bulan sabit awal (waxing crescent).
Fase bulan ini dapat dilihat pada beberapa malam awal di suatu bulan Qamariyah, tapi yang
dimaksud sebagai Hilal dalam konteks penentuan awal bulan Qamariyah adalah seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu bulan sabit pertama yang dapat teramati/terlihat di ufuk

Barat beberapa saat setelah maghrib/matahari terbenam. Dari sisi bentuk, fase ini berbentuk
seperti huruf C yang terbalik atau C yang diputar 180 derajat, sedangkan bulan sabit yang
pertama yang dapat dilihat juga berbentuk sama seperti itu (walau terkadang terlihat seperti
bentuk huruf C yang diputar 270 derajat yang juga mirip-mirip dengan huruf U) yang
cahayanya masih sangat tipis dan belum terlalu terang (hanya sekitar 1% dari cahaya saat fase
purnama), warnanya kuning keputihan atau kuning keemasan. Pada bulan sabit selanjutnya
(yaitu mulai hari ke-2 suatu bulan Qamariyah) cahayanya akan semakin terang dan irtifa`-nya
juga akan semakin naik/tinggi.
b. Bulan sabit akhir (waning crescent)
Fase ini disebut juga bulan tua, Hilal akhir, atau Hilal ats-Tsani. Bulan sabit ini bukanlah Hilal
yang dimaksud sebagai Hilal dalam penentuan awal bulan Qamariyah. Dari sisi bentuk, bulan
tua berbentuk seperti huruf C (walau terkadang terlihat seperti bentuk huruf C yang diputar
270 derajat yang juga mirip-mirip dengan huruf U).
Berbeda dengan bulan sabit awal, bulan tua ini sudah dapat teramati/terlihat di ufuk Timur
sebelum shubuh / matahari terbit pada beberapa hari terakhir pada suatu bulan Qamariyah.
Ketika matahari terbit dan langit semakin cerah, bulan tua perlahan-lahan memudar hingga
akhirnya cahaya matahari menghilangkan bulan tua dari pandangan manusia, meskipun
sebenarnya Hilal tua masih ada di langit. Bulan tua terbenam beberapa jam atau beberapa saat
sebelum matahari terbenam di ufuk Barat, dan hal ini dapat mengecoh orang yang kurang
paham tentang Hilal sehingga dapat mengira bulan tua yang terlihat di akhir bulan sebagai
bulan sabit awal (Hilal).
Sebagian orang berpendapat bahwa Hilal itu harus dapat terlihat mata, jika itu tidak dapat dilihat
maka itu bukan Hilal namanya. Tapi sebagian yang lain (orang-orang yang menggunakan hisab dalam
menentukan kalender Hijriyah) berpendapat dengan pendapat yang berbeda, yaitu Hilal terbagi
menjadi 3 jenis5 :
1.
Hilal telah wujud (ada), tapi tidak mungkin dapat dilihat dengan mata
2.
Hilal telah wujud, dan dapat dilihat dengan mata
3.
Hilal telah wujud, dan ada kemungkinan dapat dilihat dengan mata
Hilal telah wujud dipahami dengan beberapa pemahaman yang berbeda oleh ahli hisab, yaitu :
1.
Hilal telah wujud ketika terjadi ijtima`
Dari pemahaman ini metode hisab ijtima` muncul.
2.
Hilal telah wujud pada saat matahari terbenam
Dari pemahaman ini metode hisab wujudul Hilal muncul.
3.
Hilal mungkin terlihat pada kondisi normal
Dari pemahaman ini metode hisab imkanur ruyah muncul.
1. Mathla` ( = )Tempat muncul/terbit benda angkasa
Dalam konteks bulan Qamariyah atau dalam konteks penentuan Hilal yang dimaksud dengan
mathla` (dapat pula dibaca mathli`) adalah tempat muncul/terbit bulan (Hilal).
2. Ruyah ( = )Penglihatan

Dalam konteks bulan Qamariyah atau dalam konteks penentuan Hilal yang dimaksud
dengan ruyah adalah ruyah Hilal yaitu melihat Hilal dengan cara melihatnya dengan mata
langsung atau melalui alat bantu (kamera, teropong, teleskop, binokuler, theodolite, dan alat-alat
lainnya)6. Ruyah dapat pula ditransliterasikan dengan kata ruyat. Dan kegiatan melihat Hilal
ini dikenal juga dengan istilah ruyah Hilal bil fi`li.
Catatan : Harap bedakan antara ruyah ( )dengan Ruqyah ( )dan ruyaa ( ).
Ruqyah secara bahasa adalah jampi-jampi/ucapan/mantra. Ruqyah terbagi menjadi dua, Ruqyah
syar`iyyah (ruqyah yang sesuai syari`at Islam) dan ruqyah yang bukan syar`i (ruqyah yang tidak
sesuai dengan syari`at Islam). Sedangkan ruyaa adalah mimpi (lebih khusus mimpi yang baik).
Pembahasan ruqyah dan ruyaa yang lebih detil sebaiknya dijelaskan secara terpisah dari
pembahasan ini (ruyah).
3. Ijtima` ( = )Pertemuan (Konjungsi astronomis)
Yaitu bertemunya posisi bulan dan matahari dalam satu garis edar (bertemu pada bujur
eliptik yang sama/ segarisnya bulan dan matahari). Pengertian dari sisi fase bulan : ijtima` adalah
bulan baru, dan dapat disebut juga bulan mati. Disebut demikian karena pada saat ijtima` bulan
lalu telah berakhir dan bulan baru telah muncul/dimulai.
Pada waktu tertentu, pada saat terjadi ijtima` ditandai dengan gerhana matahari, sehingga
dapat dikatakan gerhana matahari (yang pada saat itu posisi bulan dan matahari bertemu pada
bujur eliptik dan lintang eliptik yang sama) adalah ijtima` yang dapat terlihat/teramati. Periode
dari satu ijtima` ke ijtima` berikutnya disebut sebagai periode sinodis bulan yang lamanya 29
hari 12 jam, 44 menit 2.8 detik atau 29.53059 hari. Sehingga sangat beralasan secara ilmiah jika
dalam satu bulan Qamariyah lama harinya adalah 29 atau 30 hari.
4.

Hisab ( = )Perhitungan
Dalam konteks bulan/tahun/kalender Hijriyah yang dimaksud dengan hisab adalah suatu
metode perhitungan untuk menentukan tanggalan (termasuk awal dan akhir bulan Qamariyah)
kalender Hijriyah, entah secara perhitungan matematis maupun perhitungan secara ilmu
falak/astronomi. Perhitungan dalam penentuan Hilal atau dalam pembuatan kalender Hijriyah
dikenal juga dengan istilah hisab taqwim.

5. Falak ( = )Lintasan atau orbit (garis/tempat perjalanan/peredaran benda-benda langit)


Ilmu falak adalah ilmu yang mempelajari tempat peredaran benda-benda langit, termasuk
menghitung posisi benda-benda langit tersebut, terutama posisi bulan dan matahari dilihat dari sisi
pengamat
di
bumi.
Ilmu
falak
yang
lebih
mengkhususkan
untuk
mengkaji/menghitung/menentukan Hilal, gerhana, waktu shalat, dan arah kiblat disebut sebagai
ilmu falak syar`i atau ilmu falak ibadah. Terdapat perbedaaan antara ilmu falak dengan dengan
astronomi, yaitu astronomi lebih umum dalam mempelajari tentang benda-benda langit, tidak
hanya lintasannya saja.
Persamaan ilmu falak untuk mengkaji/menghitung/menentukan Hilal/kalender Hijriyah,
waktu shalat, dan gerhana adalah sama-sama mengkaji/menghitung posisi benda langit.
Sedangkan perbedaannya adalah Hilal/kalender Hijriyah yang dihitung adalah posisi bulan; waktu

shalat yang dihitung adalah posisi matahari; sedangkan gerhana yang dihitung adalah posisi bulan
dan matahari.
6. Irtifa` ( = )ketinggian
Dari sisi penentuan Hilal yang dimaksud irtifa` adalah ketinggian Hilal (sudut elevasi Hilal) di
atas ufuk.
Cara Menentukan Hilal
Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa cara menentukan Hilal, yang pembahasan cara tersebut
akan dibahas cukup detil pada sub bab ini. Ada beberapa cara dalam menentukan Hilal, berikut ini
beberapa caranya :
1.
Ruyah
Ruyah Hilal dilakukan pada hari ke 29 (yaitu pada sore harinya menjelang/setelah maghrib)
suatu bulan Qamariyah.
2.
Ikmal ( = penyempurnaan)
Jika Hilal tidak terlihat pada proses ruyah, maka bulan Qamariyah tersebut
disempurnakan/digenapkan menjadi 30 hari. Cara ini dikenal juga dan dapat pula disebut dengan
istilah istikmal ().
3.
Hisab
Ahli hisab membuat suatu metode perhitungan sehingga terbuatlah suatu jadwal/kalender Hijriyah
dalam setiap bulan/tahunnya.
Ruyah dan Ikmal merupakan istilah yang berhubungan, karena jika ruyah tidak dapat dilakukan
maka ikmal 30 hari akan dilakukan. Dengan alasan itu maka wajar saja jika seolah-olah hanya ada
dua cara menentukan Hilal, yaitu ruyah dan hisab7.
1. Ruyah
Ruyah Hilal dilakukan pada hari ke 29 (yaitu pada sore harinya menjelang/setelah maghrib)
suatu bulan Qamariyah. Jika Hilal tidak terlihat pada proses ruyah Hilal, maka bulan Qamariyah
tersebut disempurnakan/digenapkan menjadi 30 hari.
Pada zaman Rasulullah, orang-orang (para shahabat) berusaha bersama-sama untuk melihat
Hilal, sebagaimana yang pernah diceritakan oleh Ibnu Umar Radiyallahu Anhuma ketika dia dan
para shahabat Rasulullah lainnya berusaha untuk melihat Hilal Ramadhan :
Ibnu Umar berkata, Orang-orang berusaha melihat Hilal, maka aku mengabarkan kepada
Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam bahwa aku telah melihatnya. Maka beliau shaum karena
hal itu, dan beliau memerintahkan orang-orang untuk shaum. <<< Hadits Riwayat Abu Dawud
nomor : 1995 (MSV2) >>>.
Berdasarkan atsar tersebut, umat Islam sebaiknya dapat lebih memperhatikan tentang ruyah
Hilal ini sehingga sebagian kaum Muslimin dapat meluangkan waktunya untuk berusaha melihat
Hilal pada akhir bulan, terutama pada 3 bulan penting. Dengan begitu, umat Islam akan semakin
banyak yang mengetahui dan memahami tentang ruyah Hilal, bagaimana bentuk Hilal dalam
praktek, susah atau mudahnya dalam melihat Hilal, dan sebagainya. Walaupun pada zaman
sekarang ini perkembangan hisab, terutama hisab astronomi, sudah sangat maju, tradisi para
shahabat dalam berusaha melihat Hilal pada akhir bulan tetap dapat dipraktekkan dan dibiasakan

kembali pada zaman ini, entah dipraktekkan oleh pengguna ruyah murni maupun dipraktekkan
oleh pengguna ruyah dengan memakai bantuan hisab (ruyah tergantung/ terpandu dengan hisab).
Dari sisi penerapan ruyah Hilal, ruyah dapat dibagi menjadi dua bagian :
a.
Ruyah murni
Orang yang memakai ruyah murni ini sama sekali tidak memakai hisab untuk melihat Hilal. Jika
suatu Hilal dapat terlihat menurut pengguna ruyah murni sedangkan menurut pengguna hisab
astronomi Hilal tidak mungkin dapat terlihat, maka pengguna ruyah murni akan tetap
menyatakan Hilal telah terlihat dan menolak pernyataan pengguna hisab astronomi. Di antara
alasan mereka adalah : ruyah Hilal adalah sunnah, ruyah Hilal adalah ibadah, bahkan ada
sebagian dari mereka yang sampai berpendapat bahwa hisab adalah bid`ah sehingga sangat alergi
dan benci dengan penggunaan hisab, terutama hisab untuk penentuan Hilal.
b.
Ruyah dengan memakai bantuan hisab (ruyah tergantung/terpandu dengan hisab).
Orang yang memakai penerapan ini tetap berpendapat bahwa ruyah Hilal adalah cara terbaik
dalam menentukan Hilal, tetapi mereka tidak menolak penggunaan hisab, mereka tetap memakai
hisab sebagai alat bantu/panduan dalam menentukan Hilal. Hasil hisab dalam penentuan Hilal
dibuktikan kebenarannya dengan ruyah Hilal dalam praktek. Hasil ruyah dalam praktek
dibuktikan kebenarannya dengan hisab astronomi. Jika dalam praktek ruyah Hilal suatu bulan
Qamariyah dapat terlihat oleh pengamat Hilal tapi menurut ahli hisab astronomi bahwa itu tidak
mungkin Hilal (Hilal tidak mungkin terlihat pada saat itu) berdasarkan kriteria hisab yang dipakai,
maka kesaksian pengamat Hilal tersebut dapat ditolak dan tidak dipakai.
Dalam praktek ruyah Hilal, berhasil atau tidaknya suatu Hilal dapat terlihat, tergantung dari
beberapa faktor, yaitu :
1. Tingkat pengamatan (baik atau buruk) orang yang melihat Hilal
Ini adalah faktor dari sisi manusia. Pengetahuan dan pemahaman tentang Hilal yang bagus,
tingkat pengamatan yang baik serta pekanya mata orang yang melihat Hilal bahkan faktor
psikologis pengamat akan menjadi faktor keberhasilan Hilal dapat terlihat. Alat bantu yang
digunakan dalam melihat Hilal juga termasuk dalam faktor ini.
2. Ukuran dan cahaya Hilal
Ini adalah faktor dari sisi Hilal. Semakin besar maka akan semakin mungkin Hilal dapat
terlihat. Faktor ini juga berkaitan erat dengan faktor berikutnya.
3. Cuaca
Ini adalah faktor dari sisi alam. Cuaca, transparansi udara mempengaruhi terlihat atau
tidaknya Hilal. Cuaca yang tidak mendung atau hujan, tingkat penyerapan cahaya Hilal oleh
atmosfir, tingkat penyebaran cahaya di dalam atmosfir, transparansi udara yang bersih akan
menjadi beberapa faktor keberhasilan Hilal dapat terlihat.
4. Lokasi / Geografis
Suatu lokasi pengamatan yang sedang turun hujan, pada lokasi pengamatan yang lain belum
tentu turun hujan. Faktor keberhasilan melihat Hilal di lokasi yang lapang dan tidak ada
gangguan cahaya (dari benda alami maupun buatan) jelas jauh lebih tinggi daripada di lokasi
di tengah kota yang penuh bangunan tinggi dan siraman cahaya lampu.
Empat faktor tersebut sangat berperan bagi orang yang ingin melihat Hilal, entah orang itu
menggunakan ruyah murni maupun ruyah dengan memakai bantuan hisab (ruyah

tergantung/terpandu dengan hisab). Hanya saja bagi orang yang menggunakan ruyah dengan
memakai bantuan hisab masih terdapat satu faktor utama lagi, yaitu :
5. Faktor Astronomi
Hilal harus mungkin terlihat secara astronomi, misalnya posisi Hilal minimal harus mencapai
ketinggian beberapa derajat, lebar Hilal, umur bulan minimal beberapa jam, dan sebagainya8.
Jika Hilal dapat terlihat dalam suatu ruyah, maka hasil ruyah tersebut dilaporkan kepada
pemimpin kaum Muslimin. Hasil ruyah tersebut dilaporkan dengan suatu kesaksian (disertai
dengan sumpah) dari saksi (orang yang telah melihat Hilal). Syarat utama suatu kesaksian
dapat diterima adalah :
Muslim yang adil,
kesaksiannya yang menyatakan bahwa dia telah melihat Hilal.
Jika kesaksian tersebut diterima, maka pemimpin mengumumkan bahwa pada saat itu
(malam ketika Hilal telah terlihat) sudah memasuki bulan baru Qamariyah, jika pada bulan
Ramadhan maka pengumuman dapat disertai perintah shaum, jika pada bulan Syawwal
dapat disertai perintah berbuka.
Menurut fuqaha (para ahli fiqh), kesaksian melihat Hilal terdapat batas minimumnya :
1.
Hilal bulan Ramadhan :
Kesaksian satu orang laki-laki (Muslim dan adil) yang telah melihat Hilal dapat diterima. Ini
adalah pendapat Ibnul Mubarak, Imam Asy-Syafi`i, dan Ahmad.
2.
Hilal bulan Syawwal :
a.
Kesaksian minimal dua orang laik-laki (Muslim dan adil) yang telah melihat Hilal
dapat diterima. Ini adalah pendapat umumnya fuqaha.
b.
Kesaksian satu orang laik-laki (Muslim dan adil) yang telah melihat Hilal dapat
diterima. Ini adalah pendapat Abu Tsaur, dan madzhab Zhahiri, dan ini adalah pendapat yang
dirajihkan (dianggap pendapat yang paling benar) oleh Asy-Syaukani. Hadits Ibnu Umar yang
sudah disebutkan sebelumnya dapat menjadi dalil tentang ke-rajih-an pendapat ini.
Dalam prakteknya, terkadang sumpah kesaksian lebih kuat daripada hasil hisab Hilal (misal : banyak
atau sebagian ahli hisab menyatakan bahwa Hilal tidak mungkin dapat dilihat pada hari K), dan
terkadang kesaksian ditolak bila bertentangan dengan hasil hisab Hilal (misal : bila sangat banyak
atau semua ahli hisab menyatakan bahwa Hilal tidak mungkin dapat dilihat pada hari L). Hal tersebut
tergantung dari penerapan metode dan kriteria ruyah atau hisab yang dipakai.
Penentuan Hilal melalui ruyah memiliki beberapa perbedaan pendapat dari sisi penerapan mathla`,
yaitu :
1.
Satu ruyah untuk semua negeri (ruyah global)
Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat (ruyah) Hilal dengan terpercaya
dan terbukti, maka negeri lain wajib mengikutinya walaupun negeri tersebut tidak melihat Hilal di
negerinya sendiri.
Contoh penerapan pada zaman sekarang adalah : Jika Arab Saudi telah menyatakan telah melihat
Hilal pada suatu waktu (misal : malam Jum`at untuk penentuan bulan Ramadhan 2000 H), negaranegara lain di seluruh dunia yang belum melihat Hilal harus mengikuti hasil ruyah Arab Saudi
(yakni pada saat itu di setiap negara malam Jum`at dan hari Jum`at adalah tanggal 1 Ramadhan
2000 H).

Pendapat satu ruyah untuk semua negeri ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama,
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Sayyid Sabiq rahimahullah :
Jumhur berpendapat : Tidak ada perbedaan mathla`, maka penduduk negeri apa saja yang telah
melihat Hilal, maka seluruh negeri wajib shaum sebagaimana hadits Rasulullah, Shaumlah
kalian karena melihat Hilal (awal Ramadhan), dan berbukalah kalian karena melihat Hilal (awal
Syawwal). Ucapan tersebut adalah umum untuk semua umat, maka barangsiapa di antara
mereka yang telah melihat Hilal di tempat mana saja, maka itu adalah ruyah bagi mereka
semua (Fiqhu as-Sunnah Juz 1 halaman 436 (MSV2)).
2.
Satu ruyah untuk satu negeri dan negeri yang berdekatan.
Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat (ruyah) Hilal dengan terpercaya
dan terbukti, maka negeri yang berdekatan wajib mengikutinya walaupun negeri tersebut tidak
melihat Hilal di negerinya sendiri. Sedangkan negeri yang berjauhan tidak wajib mengikuti Hilal
negeri tersebut.
Bagaimana cara menentukan suatu negeri dengan negeri lain itu dekat atau jauh? Ulama yang
berpendapat dengan pendapat mathla` ini berbeda pendapat dalam menentukan dekat atau jauhnya
suatu negeri, ada yang berpendapat berdasarkan jarak (jarak qashar shalat atau jarak perjalanan),
perbedaan iklim, perbedaan wilayah, dan lain-lain.
Contoh penerapan pada zaman sekarang adalah : Jika Indonesia telah menyatakan telah melihat
Hilal, negara-negara tetangga Indonesia (Malaysia, Brunei, Filipina, Thailand, dsj) yang belum
melihat Hilal harus mengikuti hasil ruyah Indonesia.
Pendapat ini adalah pendapat sebagian ulama Syafiiyyah.
3.
Setiap negeri memiliki ruyah masing-masing (ruyah lokal).
Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat (ruyah) Hilal dengan terpercaya
dan terbukti maka negeri lain tidak wajib mengikutinya jika mereka tidak melihat Hilal di
negerinya sendiri.
Contoh penerapan pada zaman sekarang adalah : Jika Arab Saudi telah menyatakan telah melihat
Hilal, negara-negara lain di seluruh dunia yang belum melihat Hilal tidak harus mengikuti hasil
ruyah Arab Saudi, melainkan mengandalkan hasil ruyah di negerinya sendiri.
Pendapat ini adalah pendapat Ikrimah, Qasim bin Muhammad, Salim, Ishaq rahimahumullah, dan
pendapat yang dipilih oleh sebagian ulama Syafiiyyah.
Ketiga pendapat dalam masalah ruyah Hilal tersebut memiliki dalil/argumen yang sama (dengan
pemahaman yang berbeda), yaitu suatu hadits riwayat Bukhari dan Muslim :

Rasulullah bersabda, Shaumlah kalian karena melihat Hilal (awal Ramadhan), dan berbukalah
kalian karena melihat Hilal (awal Syawwal). Jika (Hilal) tertutup atas kalian, maka
sempurnakanlah jumlah Syaban menjadi 30 hari. <<Bukhari [nomor : 1909], Muslim
[nomor : 1809 (MSV2)] dari Abu Hurairah. Redaksi hadits ini adalah riwayat
Bukhari>>. (Dalil ini juga memiliki beberapa sanad lain dengan matan yang agak berbeda dari
Abu Hurairah dan Ibnu Umar).

Sedangkan pendapat setiap negeri memiliki ruyah masing-masing memiliki tambahan dalil dari
hadits Kuraib / Ibnu Abbas :













Kuraib berkata : Ummu Al-Fadhl binti Al-Harits pernah mengutus Kuraib pergi ke Mu`awiyah di
Syam.Aku tiba di Syam, lalu aku menyelesaikan urusan Ummu Al-Fadhl. Lalu Hilal Ramadhan
diumumkan ketika aku masih berada di Syam. Aku melihat Hilal pada malam Jumat. Lalu aku tiba
di Madinah pada akhir bulan (Ramadhan), lalu Ibnu Abbas menanyakanku lalu dia menyebut
Hilal. Ibnu Abbas bertanya, Kapan kalian melihat Hilal? Aku menjawab, Kami melihat Hilal
pada malam Jumat. Ibnu Abbas bertanya, Kamu melihat Hilal? Aku menjawab, Ya, dan orangorang melihat Hilal, lalu mereka shaum, dan Muawiyah juga shaum. Ibnu Abbas berkata, Tapi
kami melihatnya pada malam Sabtu, maka kami tidak berhenti shaum hingga kami menyempurnakan
30 hari atau kami melihat Hilal. Aku bertanya, Apakah tidak cukup bagimu ruyah Muawiyah
dan shaumnya? Ibnu Abbas menjawab, Tidak, begitulah Rasulullah telah memerintahkan
kami. << Hadits Riwayat Abu Dawud [nomor : 1985 (MSV2)], Muslim [nomor : 1819 (MSV2)],
dan At-Tirmidzi. Tirmidizi berkata : Hasan, Shahih, Gharib >>
L.2. Hisab
Walaupun ruyah merupakan cara asli dalam menentukan awal/akhir bulan Qamariyah, seiring
dengan perkembangan zaman dan kemajuan pengetahuan, para ulama yang memahami ilmu falak dan
para ahli falak dapat menentukan awal/akhir bulan Qamariyah dengan ilmu hisab secara matematis
dan atau dengan ilmu falak/astronomi, yaitu dengan memperhitungkan gerak Bulan mengitari Bumi,
bahkan saat ini sudah didukung dengan alat-alat astronomi dengan teknologi yang canggih, sehingga
pada akhirnya metode hisab menjadi termasuk cara atau metode dalam menentukan Hilal / awal akhir
bulan Qamariyah dan juga kalender Hijriyah.
Dalil diperbolehkannya hisab dipakai dalam menentukan awal/akhir bulan adalah :
1.
Menentukan awal bulan Qamariyah (secara umum : semua bulan Qamariyah) pada dasarnya
termasuk dalam permasalahan dunia.
Kaidah dalam permasalahan dunia adalah segala sesuatu adalah boleh kecuali jika ada dalil yang
melarangnya. Apalagi dengan ilmu hisab ini dapat membantu umat Muslim di seluruh dunia, baik
dalam permasalahan dunia bahkan juga dalam beberapa permasalahan agama (seperti waktu shalat
dan hisab awal Ramadhan/Syawwal/Dzulhijjah).
2.
Terdapat beberapa Al-Quran yang mengisyaratkan memerintah umat Muslim untuk
mempelajari ilmu hisab, antara lain adalah :
((()))
((( Mereka bertanya tentang Hilal-Hilal, katakanlah itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi
(ibadah) haji [Al-Baqarah (2): 189] )))
((( Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilahmanzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan

perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. [Yunus
(10) : 5] )))
((( Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan
Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu dan supaya kamu
mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. [ Al-Israa (17) :12] )))
((( Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari
dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui. [Al-Anam (6) : 96] )))
3.
Dalil dari hadits. Hadits yang digunakan sebagai dalil ruyah oleh pengguna ruyah juga
dipakai sebagai dalil oleh pengguna hisab, hanya saja yang dipakai adalah versi sanad yang lain
dengan matan yang agak berbeda dari dalil yang digunakan sebagai dalil ruyah.
Dalilnya adalah :


Rasulullah bersabda, Jika kalian melihat Hilal, maka shaumlah kalian. Dan jika kalian melihat Hilal
(Syawwal), maka berbukalah kalian. Jika awan menyelimuti kalian, maka hendaklah kalian
menghitungnya! <<Bukhari [nomor : 1900], Muslim [nomor : 1797 (MSV2)] dari Ibnu Umar.
Redaksi hadits ini adalah riwayat Bukhari, dan masih ada beberapa sanad lain di kedua kitab
tersebut yang matannya menyebutkan faqdiruu lahu>>.
4.

Beberapa ulama menyatakan bolehnya memakai hisab antara lain : Ibnu Qutaibah, Abul
Abbas Ahmad bin Amr bin Suraij asy-Syafii, Ibnu Hazm, Ibnu Daqiq al-Iid, Taqiyuddin al-Subki,
Muhammad Rasyid Ridha, Asy-Syarwani, Asy-Syarqawi, Al-`Abbadi, Al-Qalyubi, Ar-Ramli, Ahmad
Muhammad Syakir, Syaraf al-Qudah, Yusuf Al-Qaradhawi, Musthafa Ahmad Az-Zarqa, dan lain-lain.
Ulama-ulama Indonesia juga cukup banyak yang menyatakan bolehnya menggunakan hisab,
beberapa di antara mereka adalah Ahmad Dahlan dan A. Hassan9 rahimahumallahdsb).
Penentuan Hilal dengan hisab dapat dilakukan dengan metode matematis maupun astronomis, mulai
dari metode yang sederhana hingga yang rumit. Berikut ini adalah dua sistem hisab utama dalam
penentuan Hilal/kalender Hijriyah :
a. Hisab `Urf : Hisab berdasarkan kebiasaan.
Dalam konteks kalender Hijriyah, pengertiannya adalah metode perhitungan bulan
Qamariyah dengan cara yang masih sederhana, yaitu membagi jumlah hari dalam satu tahun
ke dalam bulan-bulan hijriah berdasarkan pematokan usia bulan-bulan tersebut. Sedangkan
pengertiannya menurut ilmu falak adalah metode perhitungan yang ditentukan berdasarkan
waktu peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi (rata-rata jumlah hari dalam satu bulan dan
juga dalam satu tahun).
Pematokan jumlah hari/usia bulan-bulan Qamariyah dalam hisab `urf misalnya : pasti 30
hari untuk bulan ganjil, dan pasti 29 hari untuk bulan genap (selang seling) dengan
pengecualian bulan terakhir (bulan ke-12) pada tahun kabisat. Dalam tahunan, jumlah hari
dalam satu tahun basitat adalah 354 hari, sedangkan dalam satu tahun kabisat jumlah harinya
adalah 355.
Kalender Hijriyah yang beredar di Indonesia ini banyak yang dibuat dan disusun
berdasarkan hisab `urf.

b. Hisab Haqiqi : Hisab yang sebenarnya, yaitu hisab yang ditentukan berdasarkan waktu
peredaran bulan mengelilingi bumi yang sebenarnya.
Tidak seperti hisab `urf, umur bulan dengan hisab ini tidak dapat dipatokkan, bahkan
bisa terjadi umur/jumlah hari pada suatu bulan ganjil dan bulan genap adalah 29 atau 30 hari
secara berurutan. Hisab yang menggunakan pendekatan matematis dan astronomis modern
hingga hisab yang menggunakan software rumus-rumus algoritma termasuk dalam hisab
haqiqi. Pada zaman ini, hisab hakiki-lah hisab yang banyak dipakai dan diterima oleh kaum
Muslimin, tidak hanya hisab Hilal tetapi juga hisab lainnya seperti hisab jadwal shalat 5
waktu.
Berikut ini beberapa metode atau perbedaan pendapat tentang kriteria yang tepat untuk
pergantian bulan Qamariyah dalam ilmu hisab astronomi/falak hakiki :
1.

Ijtima`
Metode hisab yang menggunakan ijtima` sebagai kriteria utama. Jika terjadi ijtima` pada hari
terakhir bulan Qamariyah, maka keesokan harinya adalah awal bulan baru (tanggal 1). Metode ini
terbagi menjadi beberapa macam, di antaranya adalah :

Ijtima` qabla ghurub : Ijtima` sebelum maghrib/matahari terbenam.


Metode hisab ini menganggap jika di suatu tempat telah terjadi ijtima` pada suatu hari
sebelum maghrib/matahari terbenam, maka hari berikutnya telah bulan baru.
Contoh kasus : Telah terjadi ijtima` pada hari Jum`at 1 menit sebelum maghrib di Makkah,
maka malam Sabtu dan hari Sabtu adalah awal bulan baru (tanggal 1).
Dalam prakteknya, metode hisab ini dapat dipadukan dengan kriteria lain, misalnya dengan
dipadukan kriteria bulan terbenam setelah matahari terbenam10, paduan kriteria ini dipakai
oleh Arab Saudi (kalender Ummul Qura saat ini) dalam penentuan Hilal bulan-bulan
Qamariyah selain bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dengan patokan mathla` di
Makkah, yang metode hisab ini juga dipilih/diikuti oleh Islamic Society of North America
(versi 1), dan European Council for Fatwa and Research. Mesir juga mengikutinya dengan
menambah ketentuan : bulan terbenam minimal 5 menit setelah matahari terbenam.

Ijtima` qabla fajar : Ijtima` sebelum fajar/matahari terbit.


Metode hisab ini menganggap jika di suatu tempat telah terjadi ijtima` pada suatu hari
sebelum fajar berikut, maka hari berikutnya itu telah bulan baru.
Contoh kasus : Telah terjadi ijtima` pada hari Sabtu jam 02.06 am (sebelum fajar), maka hari
Jumat dan malam Jum`at yang telah berlalu adalah hari terakhir bulan Qamariyah sedangkan
hari Sabtu adalah awal bulan baru (tanggal 1). Jadi, metode ini tidak menerapkan awal hari
dalam kalender Hijriyah dimulai dari saat maghrib, tapi menerapkan awal hari dalam kalender
Hijriyah dimulai dari saat fajar11.
Metode ini mungkin tidak begitu dikenal di Indonesia, tetapi metode ini ada dan dipakai di
beberapa negeri lain, contohnya adalah Libya.

Ijtima` sebelum jam 12 waktu Universal (UTC/GMT)


Metode hisab ini menganggap jika di suatu tempat telah terjadi ijtima` pada suatu hari
sebelum jam 12 waktu Universal (0.00 12.00 GMT), maka maghrib hari itu adalah malam
pertama bulan baru Qamariyah, berlaku untuk seluruh dunia. Jika terjadi setelah jam 12 waktu
Universal (12.00 23.59 GMT), maka maghrib hari berikutnya adalah malam pertama bulan
baru Qamariyah, berlaku untuk seluruh dunia.
Contoh kasus : Telah terjadi ijtima` pada hari Kamis 11 September pada jam 11 GMT, maka
malam Jum`at dan hari Jum`at 12 Setember adalah awal bulan baru (tanggal 1) Qamariyah
berlaku untuk seluruh dunia.
Ini adalah metode hisab yang diusulkan sebagai kelender Islam global oleh Khalid AsySyaukat (ISNA versi 2, USA), diikuti pula oleh Fiqh Council of North America (FCNA), yang
terinspirasi dari metode hisab yang diusulkan Jamaluddin Abdurrazaq (Moroko) sebagai
kalender Qamariah Islam Unifikasi (at-Taqwim al-Qamari al-Islami al-Muwahhhad).12
Dan masih ada beberapa macam metode hisab` ijtima lain yang pernah digunakan atau
diusulkan selain yang sudah disebutkan di atas 13, tapi hal itu tidak dibahas secara detil pada
tulisan ini.

1. Wujudul Hilal
Metode hisab yang menggunakan wujudul Hilal sebagai kriteria utama, yang Hilal dikatakan
wujud (ada) jika bulan terbenam setelah matahari terbenam. Metode ini menganggap jika bulan
terbenam setelah matahari terbenam pada suatu hari terakhir bulan Qamariyah, maka maghrib hari
itu dan esok hari adalah awal bulan baru (tanggal 1). Jika pada hari itu matahari terbenam setelah
bulan terbenam, maka Hilal belum wujud, sehingga maghrib hari itu dan esok hari adalah hari
terakhir bulan Qamariyah tersebut (tanggal 30).
Pada saat bulan terbenam setelah matahari terbenam, Hilal telah berada tepat di ufuk atau di atas
ufuk (dalam kalimat lain : irtifa`nya adalah 0 derajat atau lebih), oleh karena itu metode hisab
wujudul Hilal dapat diartikan dengan kriteria Hilal di atas ufuk. Walaupun begitu, metode hisab
ini tidak menetapkan kriteria irtifa` minimal dan tidak mempertimbangkan kemungkinan Hilal
untuk diruyah sebagaimana metode hisab imkanur ruyah yang akan dijelaskan pada sub bab
selanjutnya.
Contoh kasus : Pada sore hari Jum`at 29 Sya`ban, bulan terbenam satu menit setelah matahari
terbenam, maka malam Sabtu dan hari Sabtu adalah awal bulan baru (tanggal 1 Ramadhan).
Dalam prakteknya, metode hisab ini dapat dipadukan dengan kriteria lain, misalnya dengan
dipadukan dengan metode ijtima` qabla ghurub, perpaduan ini penting karena dalam faktanya
terkadang Hilal telah wujud tapi belum terjadi ijtima`.
Di Indonesia, Muhammadiyah pernah menggunakan metode wujudul Hilal sebelum akhirnya
menggunakan metode wujudul Hilal + ijtima` qabla ghurub. Metode gabungan ini juga pernah
diterapkan oleh Persatuan Islam (PERSIS). Walaupun kedua organisasi Islam itu menggunakan
metode hisab yang sama, keduanya memiliki perbedaaan dalam penerapan metode ini, yaitu :

Muhammadiyah menambahkan ketentuan wilayatul hukmi, yaitu berlaku untuk seluruh daerah
dalam satu wilayah hukum suatu negeri. Berbeda dengan Muhammadiyah, PERSIS tidak
memakai ketentuan wilayatul hukmi, tetapi memakai tambahan ketentuan : kriteria metode ini
harus terpenuhi di seluruh wilayah Indonesia.
Contoh kasus : Jika menurut hasil hisab Muhamadiyah Hilal di sebagian tempat di Indonesia pada
Jum`at sore telah terjadi ijtima` sebelum maghrib dan telah wujud (Hilal berada di atas ufuk),
maka malam Sabtu dan hari Sabtu di seluruh tempat di Indonesia dianggap telah memasuki awal
bulan baru. Kondisi seperti itu, menurut PERSIS belum memenuhi kriteria hisab yang dipakai
oleh PERSIS, sehingga malam Sabtu dan hari Sabtu menjadi hari terakhir pada suatu bulan
Qamariyah (yaitu tanggal 30), malam Ahad dan hari Ahad adalah awal bulan baru (tanggal 1).
Metode wujudul Hilal + ijtima` qabla ghurub ini sama seperti kriteria Ijtima` qabla ghurub +
wujudul Hilal. Sebagai contoh, metode wujudul Hilal + ijtima` qabla ghurub yang dipakai
Muhammadiyah di Indonesia serupa dengan metode ijtima` qabla ghurub + wujudul Hilal yang
diterapkan pada kalender Ummul Qura di Arab Saudi.
2. Imkanur Ruyah (Kemungkinan Hilal dapat dilihat / visibilitas Hilal)
Metode hisab ini menggunakan suatu kriteria yang mempertimbangkan kemungkinan untuk
ruyah Hilal. Kriteria itu dapat berupa irtifa`, sudut elongasi 14, umur Hilal, lebar Hilal, dan
sebagainya. Metode ini menganggap bahwa jika posisi Hilal sudah memenuhi syarat suatu kriteria
imkanur ruyah yang dipakai (sebagai contoh : irtifa`), maka dalam kondisi normal (cuaca cerah,
tidak hujan, dan sejenisnya) Hilal sudah dapat dipastikan dapat terlihat meskipun pada
kenyataannya belum tentu dapat benar-benar terlihat, maghrib hari itu dan esok hari adalah
awal bulan baru (tanggal 1). Jika belum memenuhi syarat kriteria imkanur ruyah (sebagai
contoh : irtifa`), maka maghrib hari itu dan esok hari adalah hari terakhir bulan Qamariyah
tersebut (tanggal 30).
Catatan penting : Walaupun dalam namanya terdapat kata ruyah, imkanur ruyah bukanlah suatu
metode atau bagian dari ruyah itu sendiri melainkan berupa suatu metode atau kriteria hisab Hilal
astronomi sebagaimana metode hisab Hilal astronomi lainnya.
Imkanur ruyah yang digunakan oleh sebagian kaum Muslimin terdiri dari beberapa kriteria yang
berbeda, di antaranya adalah :

Imkanur Ruyah dengan kriteria irtifa` minimal 2 derajat. Kriteria ini dipilih/dapat
diterima oleh NU (NU menggunakan hisab sebagai alat bantu). Kriteria ini juga dipakai
pemerintah Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) dengan
tambahan kriteria : (1) umur Hilal minimal 8 jam, dan (2) sudut elongasi minimal 3 derajat.
Kriteria ini juga masih dipakai saat ini oleh PERSIS15.

Imkanur Ruyah dengan kriteria (1) irtifa` minimal 5 derajat, (2) sudut elongasi
minimal 8 derajat. Kriteria ini ditetapkan sebagai kesepakatan Istambul oleh beberapa ahli hisab
pada saat terjadinya konferensi kalender Islam di Turki pada tahun 1978.

Imkanur Ruyah dengan kriteria sudut elongasi minimal 5 derajat. Kriteria ini
diusulkan oleh Derek McNally pada tahun 1983.

Imkanur Ruyah dengan kriteria sudut elongasi minimal 6.4 derajat ditambah kriteria
irtifa` minimal 4 derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN) Bandung. Kriteria sudut elongasi minimal 6.4 derajat merupakan kriteria yang
lebih dahulu diusulkan Odeh / Muhammad Syaukat Audah16.

Imkanur Ruyah dengan kriteria sudut elongasi minimal 7 derajat dan umur Hilal
minimal 12 jam. Kriteria ini diusulkan oleh Andre Danjon, direktur Observatorium Starsbourg
dari Prancis, pada tahun 1936. Kriteria ini dikenal pula dengan istilah Limit Danjon. Kriteria ini
juga diterima oleh Bradley E. Schaefer dari USA pada tahun 1991.

Imkanur Ruyah dengan kriteria sudut elongasi minimal 7.5 derajat. Kriteria ini
diusulkan oleh Louay F. Fatoohi, F. Richard Stephenson & Shetha S. Al-Dargazelli pada tahun
1998. Kriteria ini dikenal kriteria Fatoohi.
Dan masih ada beberapa macam kriteria yang dipakai pada metode hisab` imkanur ruyah yang
digunakan atau diusulkan selain yang sudah disebutkan di atas 17, tapi hal itu tidak dibahas secara detil
pada tulisan ini.
Dalam prakteknya, kriteria-kriteria imkanur ruyah tersebut dapat dipadukan dengan kriteria
lain dalam menentukan Hilal bulan Qamariyah atau dalam membuat kalender Hijriyah, misalnya
ditambah kriteria pembagian dunia menjadi beberapa zona dengan menerapkan garis tanggal Hijriyah
atau garis tanggal Qamariyah atau Khat at-Tarikh al-Qamari atau Lunar Date atau International Lunar
Date Lines (ILDL)18.
Ketiga metode hisab itulah metode hisab falak/astronomi hakiki yang masyhur, yang
kesemuanya dapat dipelajari oleh orang-orang yang berminat terhadap ilmu hisab falak/astronomi,
khususnya oleh kaum Muslimin. Pada faktanya, para ahli hisab falak/astronomi masih berbeda
pendapat tentang metode apa dari ketiga metode tersebut yang paling tepat dalam menentukan Hilal.
Ada sebagian ahli hisab falak/astronomi yang menggabungkan beberapa metode hisab tersebut,
misalnya menggabungkan metode ijtima` qabla ghurub dan metode wujudul Hilal. Di sisi lain, ada
juga sebagian ahli hisab falak/astronomi ada yang mempermasalahkan beberapa metode tersebut,
entah dari sisi metodenya atau dari sisi rincian metodenya, bahkan ada yang sampai menolak keras
beberapa metode hisab yang dianggap bermasalah/tidak ilmiah menurut mereka.
M. Pendapat yang Ideal Tentang ruyah19
Dalam masalah ruyah, kaum Muslimin saling berbeda pendapat tentang pendapat manakah yang
paling kuat dalam penentuan ruyah, apakah pendapat pertama (satu ruyah untuk semua negeri),
pendapat kedua (satu ruyah untuk satu negeri dan negeri yang berdekatan), atau pendapat ketiga
(setiap negeri memiliki ruyah masing-masing)? Menurut penulis, pendapat yang paling kuat /
mendekati kebenaran adalah pendapat yang pertama, Insya Allah, pendapat yang paling ideal, dan
juga merupakan pendapat mayoritas ulama. Hal ini memiliki beberapa alasan antara lain :
1.
Kata kalian pada hadits ruyah berlaku umum untuk semua orang Islam. Jika ada yang
melihat Hilal, jujur, terpercaya dan terbukti tanpa memandang perbedaan mathla` (tempat
munculnya Hilal), maka persaksian itu harus diterima.
2.
Umat Islam itu satu, karena itu perlu penyeragaman dalam penentuan Hilal bulan Qamariyah.
Sebagian kalangan meyakini bahwa pendapat ketiga (setiap negeri memiliki ruyah masingmasing) adalah pendapat yang lebih kuat dengan dalil hadits Kuraib yang sudah disebut

sebelumnya dan menyatakan bahwa jika pendapat pertama (satu ruyah untuk semua negeri) lebih
kuat, maka hadits umum tentang ruyah itu bertentangan/bentrok dengan hadits Kuraib.
Jika direnungkan lagi, sebenarnya hadits Kuraib tidak bertentangan dengan hadits umum tentang
ruyah. Beberapa alasannya adalah :
1.
Pada saat itu negeri-negeri berjauhan dan belum memiliki suatu sistem komunikasi yang
canggih dan cepat.
2.

[Ibnu Abbas bertanya, Kapan mereka melihat Hilal?] Hal ini menandakan bahwa Ibnu
Abbas tidak tahu kapan Mu`awiyah yang merupakan seorang khalifah memulai shaum Ramadhan
di Syam, dan Ibnu Abbas baru mengetahui hal itu saat Kuraib mengabarinya. Dengan alasan ini
pula menandakan bahwa sekalipun Mu`awiyah mengumumkan berita ruyah di negerinya, tetapi
dia tidak menyebarkannya ke negeri yang lain karena pada saat itu belum adanya suatu sistem
komunikasi yang cepat (pada saat itu informasi disampaikan melalui utusan yang waktu
tempuhnya dapat berhari-hari sehingga tidak efektif untuk urusan seperti Hilal ini).

3.

[ Aku tiba di Syam, lalu aku menyelesaikan urusan Ummu Al-Fadhl. Lalu Hilal Ramadhan
diumumkan ketika aku masih berada di Syam. Aku melihat Hilal pada malam Jumat. Lalu aku
tiba di Madinah pada akhir bulan (Ramadhan), lalu Ibnu Abbas menanyakanku lalu dia
menyebut Hilal. Ibnu Abbas bertanya, Kapan kalian melihat Hilal? ] Kuraib menyampaikan
berita Hilal Ramadhan di Syam pada Ibnu Abbas di Madinah pada akhir bulan Ramadhan.
Kesimpulannya berita Hilal itu sangat telat datang (tapi masih dapat dimaklumi jika melihat
kondisi pada saat itu) pada saat shaum sudah berjalan beberapa pekan (hampir sebulan), oleh
karena itu Ibnu Abbas menyatakan bahwa mereka (penduduk Madinah) akan meneruskan shaum
mereka hingga mereka melihat Hilal Syawwal atau ikmal. Seandainya berita Hilal Ramadhan di
Syam bisa tiba tepat waktu di Madinah (dan kondisi seperti ini pada saat itu sangat sulit tercapai),
maka belum tentu Ibnu Abbas akan berkata seperti itu.

4.

[Tidak, begitulah Rasulullah telah memerintahkan kami] Perkataan Ibnu Abbas ini bisa
ditafsirkan dalam beberapa penafsiran, apakah maksudnya adalah :
(a) Rasulullah memerintahkan ruyah Hilal Ramadhan berlaku di masing-masing negeri >
atau
(b) Rasulullah memerintahkan jika berita Hilal Ramadhan dari negeri lain sampai dengan telat
pada saat negeri itu sedang shaum beberapa pekan, maka penduduk negeri itu sebaiknya
melanjutkan shaum mereka.
Pendapat 4b lebih baik, Insya Allah, daripada 4a sehingga hadits Kuraib ini tidak bentrok dengan
hadits Hilal secara umum. Seandainya berita Hilal Ramadhan di Syam bisa tiba tepat waktu di
Madinah (dan kondisi seperti ini pada saat itu sangat sulit tercapai), maka belum tentu Ibnu Abbas
akan berkata seperti itu dan Ibnu Abbas sangat mungkin akan mengikuti kesaksian orang-orang
yang telah menyatakan melihat Hilal Ramadhan di negeri lain.

5.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saja menerima persaksian orang-orang yang melihat
Hilal tanpa menanyakan di mana mereka melihat Hilal. Berikut ini hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas pula :





Seorang Arab Badui pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam dan berkata,
Sesungguhnya aku telah melihat Hilal. Rasulullah bertanya, Apakah kamu bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah?
Orang Arab Badui menjawab, Ya. Rasulullah bersabda, Wahai Bilal, umumkanlah kepada manusia
supaya mereka shaum esok hari! << Hadits Riwayat Abu Dawud (No:1993[MSV2]), At-Tirmidzi
(No:627[MSV2]), An-Nasai (No:2085), Ibnu Majah (No:1642(MSV2), matan ini adalah versi AtTirmidzi>>
N. Menuju Penyatuan Kalender Hijriyah
Bagaimana cara supaya umat Islam dapat memiliki kalender Hijriyah yang sama, terutama supaya
umat Islam memiliki hari Idul Fithri dan Idul Adh-ha yang sama? Caranya adalah dengan membuat
kesepakatan bersama dalam menggunakan suatu metode penentuan Hilal.
Siapa yang membuat kesepakatan? Menurut penulis mereka adalah perwakilan para ulama, ahli hisab,
dan pemimpin kaum Muslimin dari berbagai negeri, tentu tidak mudah karena mereka semua harus
bermusyawarah untuk mencapai suatu kesepakatan, harus rela membuang egoisme masing-masing,
dan harus mengutamakan persatuan dan persaudaraan umat Islam. Jika ada khilafah Islamiyah, tentu
saja sang khalifah yang akan menjadi orang yang menentukan keputusan metode penentuan Hilal apa
yang akan dipakai, yang sebelum memutuskan hal itu sang khalifah dapat mempertimbangkan dan
mempelajari berbagai metode penentuan Hilal serta dapat mengajak musyawarah/minta pendapat
dengan para ulama dan ahli hisab.
Metode apakah yang dipilih, ruyah atau hisab? Jika memilih ruyah murni, maka satu-satunya cara
untuk menuju hal itu adalah dengan memilih pendapat satu ruyah untuk semua negeri, karena jika
bukan pendapat itu yang dipilih, maka akan sangat mungkin terjadi dua tanggal Hijriyah yang
berbeda (atau bahkan lebih dari dua) pada satu hari yang sama, misalnya sebagian negeri hari Jum`at
adalah tanggal 1 Ramadhan karena melihat Hilal, sedangkan sebagian negeri yang lain hari Jum`at
masih tanggal 30 Sya`ban karena tidak melihat Hilal.
Kelemahan metode ruyah murni adalah akan terjadi kesulitan yang sangat (jika tidak mau dikatakan
sebagai hal yang mustahil) dalam pembuatan suatu kalender Hijriyah tahunan. Bayangkan saja, awal
bulan Qamariyah selanjutnya tidak dapat dipastikan kecuali setelah tanggal 29 bulan Qamariyah tiba
tanggal untuk melihat ruyah pada saat matahari terbenam, jika Hilal terlihat, maka keesokan
harinya adalah tanggal 1 bulan baru Qamariyah, sedangkan jika Hilal tidak terlihat, maka keesokan
harinya adalah hari terakhir bulan tersebut (tanggal 30).
Bagaimana jika memilih suatu metode hisab murni yang disepakati bersama, misalnya kriteria ijtima`
qabla ghurub + wujudul Hilal? Menggunakan suatu metode hisab murni tersebut adalah sangat
mungkin diterapkan dalam pembuatan kalender Hijriyah tahunan, termasuk dalam penentuan awal
Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, dan jika ini dapat terjadi maka umat Islam sama sekali tidak
akan pusing lagi ketika ketiga bulan tersebut akan tiba karena tanggal yang ada pada kalender
tersebut adalah pasti, kecuali jika ada perubahan hasil hisab dalam kasus tertentu.

Kelemahan metode hisab murni ini adalah akan terjadi kesulitan yang sangat ketika proses
musyawarah untuk mencapai suatu kesepakatan, karena masih banyak orang, khususnya para ulama
yang berpendapat bahwa metode terbaik dalam penentuan Hilal terutama pada bulan Ramadhan,
Syawwal, dan Dzulhijjah adalah metode ruyah, ada juga sebagian ulama yang sangat menolak keras
penggunaan hisab bahkan hingga mengganggap hisab adalah bid`ah20.
Cara terakhir untuk mewujudkan penyatuan kalender Hijriyah adalah dengan memadukan metode
ruyah dengan metode hisab. Pada faktanya, ternyata sudah banyak negeri yang memakai perpaduan
metode ruyah dengan metode hisab, termasuk pemerintah Indonesia (metode satu ruyah untuk
masing-masing negeri dengan metode hisab imkanur ruyah MABIMS), pemerintah Arab Saudi
(metode satu ruyah untuk masing-masing negeri untuk bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah;
dengan metode hisab ijtima` qabla ghurub + wujudul Hilal untuk selain tiga bulan tersebut), dan lainlain. Hanya saja belum ada kesepakatan kriteria perpaduan metode ruyah dan metode hisab yang
akan dipakai bersama-sama di berbagai negeri karena memang belum ada musyawarah antar wakil
negeri-negeri tentang hal tersebut yang berhasil (mencapai kesepakatan).
Menurut penulis kriteria yang ideal dalam perpaduan metode ruyah dengan metode hisab adalah :
1.
Menggunakan pendapat satu ruyah untuk semua negeri
2.
Menggunakan satu kriteria hisab yang disepakati, yaitu menggunakan :
a. Ijtima`
Dengan menggunakan metode hisab ijtima`, misalnya ijtima` sebelum jam 12 waktu universal atau
kriteria perpaduan qabla ghurub + wujudul Hilal, maka umat Islam dapat mempunyai satu kalender
Hijriyah yang berlaku untuk seluruh kaum Muslimin di dunia.
atau
b. Imkanur ruyah
Dengan menggunakan perpaduan hal ini, maka ini bisa menjadi bukti bahwa sebenarnya hisab dan
ruyah tidak bertentangan, malah sebaliknya hisab bisa menjadi pendukung ruyah. Dengan imkanur
ruyah, bisa ditentukan apakah Hilal kemungkinan besar akan terlihat atau tidak. Jika hasil hisab
kriteria imkanur ruyah tertentu menyatakan ruyah dapat terlihat di suatu tempat, maka hanya perlu
pembuktian dengan ruyah. Jika hasil hisabnya menyatakan bahwa Hilal kemungkinan tidak akan
terlihat, maka itu juga dapat dibuktikan dengan ruyah. Pembuktian ini bisa dilakukan pada semua
bulan jika diinginkan, termasuk pada bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah. Dan jika pada suatu
waktu terdapat kasus hasil ruyah berbeda dengan hasil imkanur ruyah, maka jika hasil ruyah itu
terbukti benar, hasil hisab imkanur ruyah harus diubah disesuaikan dengan hasil ruyah itu,
sedangkan jika ada laporan ruyah tapi tidak terbukti kebenarannya serta mustahil menurut
kesepakatan ilmu hisab, maka hasil ruyah itu dapat ditolak.
Oleh karena itu, dengan tidak meninggalkan ilmu hisab dalam penentuan bulan Qamariyah pada
kalender Hijriyah, termasuk penentuan Hilal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, maka Insya Allah
persatuan umat Islam di dunia dalam masalah tanggal atau kalender Hijriyah dapat tercapai. Tidak
akan ada lagi perbedaan waktu shaum, Idul Fitri dan Idul Adha di seluruh dunia. Alangkah indahnya
jika hal tersebut bisa terwujud. Jika orang non-muslim saja dapat merayakan suatu hari besar mereka
pada satu hari yang sama, kita sebagai Muslim lebih berhak untuk bisa bersatu dalam shaum
(Ramadhan), Idul Fitri (Syawwal), dan Idul Adha (Dzulhijjah)

Anda mungkin juga menyukai