Anda di halaman 1dari 10

A.

Pengertian Belajar Menurut Behaviorisme


Menurut teori behaviorisme, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat
dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan
bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku
dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang
dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya.
[1] Misalnya, seorang guru mengajari siswanya membaca, dalam proses pembelajaran
guru dan siswa benar-benar dalam situasi belajar yang diinginkan, walaupun pada
akhirnya hasil yang dicapai belum maksimal. Namun, jika terjadi perubahan terhadap
siswa yang awalnya tidak bisa membaca menjadi membaca tetapi masih terbata-bata,
maka perubahan inilah yang dimaksud dengan belajar. Contoh lain misalnya, anak belum
dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat, dan gurunyapun sudah
mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekkan
perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat
menunjukkan prilaku sebagai hasil belajar.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus
dan keluaran atau output yang berupa respons. Dalam contoh di atas, stimulus adalah apa
saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman
kerja atau cara-cara tertentu, untuk membantu belajar siswa, sedangkan respons adalah
reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru
tersebut. [2] Dalam teori ini tingkah laku dalam belajar akan berubah apabila ada stimulus
dan respons. Stimulus dapat berupa perlakuan yang diberikan kepada siswa, sedangkan
respons berupa tingkah laku yang terjadi pada siswa.[3]
Menurut teori behaviorisme, apa yang terjadi diantara stimulus dan respons dianggap
tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan dan tidak dapat diukur. Yang
dapat diamati hanyalah stimulus dan respons. Oleh karena itu, apa saja yang diberikan
guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respons), semuanya harus dapat
diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan
suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavior adalah faktor pengutan
(reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon bila
pengutan ditambahkan maka respon semakin kuat. Begitu juga bila pengutan dikurangi
responpun akan tetap dikuatkan. Misalnya, ketika peserta didik diberi tugas oleh guru,
ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin giat belajarnya. Maka penambahan
tugas tersebut merupakan penguat positif (positive reinforcement) dalam brlajar. Bila
tugas-tugas dikurangi dan pengurangan itu justru meningkatkan aktifitas belajarnya, maka
pengurangan tugas merupakan penguatan negatif (negative reinforcement) dalam belajar.
Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan atau dikurangi
untuk memungkinkan terjadinya respon.[4]
B. Tokoh-tokoh Behaviorisme

Tokoh aliran behaviorisme diantaranya adalah Ivan Petrovich Pavlov, Thorndike,


Waston, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skiner.
1. Ivan Petrovich Pavlov
Ivan Petrovich Pavlo atau lebih dikenal dengan nama singkat Pavlov, adalah seorang
lulusan sekolah kependetaan dan melanjutkan belajar ilmu kedokteran di Militery Medical
Acadeny, St. Petersburg. Pada tahun 1879, ia mendapatkan gelar ahli ilmu pengetahuan
alam.[5]
Akhir tahun 1800-an, Ivan Pavlov, ahli fisika Rusia, mempelopori munculnya proses
kondisioning responden (respondent conditioning) atau kondisioning klasik (clasical
conditionig), karena itu disebut kondisioning Ivan Pavlov. Dari penelitian bersama
kolegnya, Ivan Pavlov mendapat Nobel.
Ivan Pavlov melakukan eksperimen terhadap anjing, Pavlov melihat selama
penelitian ada perubahan dalam waktu dan rata-rata keluarnya air liur pada anjing
(salivation). Pavlov mengamati, jika daging diletakkan dekat mulut anjing yang lapar,
anjing akan mengeluarkan air liur. Hal ini terjadi karena daging telah menyebabkan
rangsangan pada anjing, sehingga secara otomatis ia mengeluarkan air liur. Walau pun
tanpa latihan atau dikondisikan sebelumnya, anjing pasti akan mengeluarkan air liur jika
dihadapkan pada daging. Dalm percobaan ini, daging disebut dengan stimulus yang tidak
dikondisikan (unconditionied stimulus). Dan karena salvia itu terjadi secara otomatis pada
saat daging diletakkan di dekat anjing tanpa latihan atau pengkondisian, maka
keluarnya salvia pada anjing tersebut dinamakan sebagai respon yang tidak dikondisikan
(unresponse conditioning).
Kalau daging dapat menimbulkan salvia pada anjing tanpa latihan atau pengalaman
sebelumnya, maka stimulus lain, seperti bel, tidak dapat menghasilkan selvia. Karena
stimulus tersebut tidak menghasilkan respon, maka stimulus (bel) tersebut disebut dengan
stimulus netral (neutral stimulus). Menurut eksperimen Palvo, jika stimulus netral (bel)
dipasngkan dengan daging dan dilakukan secara berulang, maka stimulus netral akan
berubah menjadi stimulus yang dikondisikan (conditioning stimulus) dan memiliki
kekuatan yang sama untuk mengarahkan respon anjing seperti ketika ia melihat daging.
Oleh karena itu, bunyi bel sendiri akan dapat menyebabkan anjing akan mengeluarkan
selvia. Proses ini dinamakan classical conditioning.[6]
Bila ditelusuri, Pavlov yang pada saat ini meneliti anjingnya sendiri, melihat bahwa
bubuk daging membuat seekor anjing mengeluarkan air liur. Maka yang dilakukan pavlvo
adalah sebelum memberikan bubuk daging itu ada membunyikan bel terlebih dahulu.
Setelah dilakukan beberapa kali pengulangan, maka anjing itu akan mengeluarkan air
liurnya setelah mendengar bel berbunyi, meski tidak diberikan daging lagi.
Dari percobaan yang dilakukan oleh Pavlov, dapat disimpulkan bahwa:
Anjing belajar dari kebiasaan.
Dengan pengulangan bunyi bel sehingga mengeluarkan air liur.
Bunyi bel merupakan stimulus yang akhirnya akan menghasilkan respon bersyarat.
Bunyi bel yang pada mulanya netral tetapi setelah disertai mediasi berupa bubuk daging,
lama-kelamaan berubah menjadi daya yang mampu membangkitkan respon.

1.

2.

3.

Berdasarkan hasil eksperimen itu Pavlov menyimpulkan bahwa hasil eksperimennya


juga dapat diterapkan pada manusia untuk belajar. Impilkasi hasil eksperimen tersebut
pada belajar manusia adalah:[7]
Belajar adalah membentuk asosiasi antara stimulus respon secara selektif.
Proses belajar akan berlangsung apabila diberi stimulus bersyarat.
Prinsip belajar pada dasarnya merupakan untaian stimulus-respon.
Menyangkal adanya kemampuan bawaan.
Adanya clasical conditioning.
Eksperimen Pavlov tersebut kemudian dikembangkan oleh pengikutnya yaitu BF.
Skinner (1933) dan hasilnya dipublikasikan dengan judul Behavior Organism. Prinsipprinsip kondisioning klasik ini dapat diterapkan di dalam kelas. Woolfolk dalam
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2007), menyatakan sebagai berikut:
Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugas-tugas belajar,
misalnya menekankan kepada kerja sama, dan kompitisi antar kelompok individu.
Membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan dengan menciptakan ruang baca
yang nyaman dan enak serta menarik dan lain sebagainya.
Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang mencemaskan
atau menekan, misalnya: mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain
cara memahami materi pelajaran, membuat tahap jangka pendek untuk mencapai tujuan
jangka panjang, misalnya dengan memberikan tes harian, mingguan, agar siswa dapat
menyimpan apa yang dipelajari dengan baik.
Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan persamaan terhadap situasi-situasi
sehingga mereka dapat membedakan dan menggeneralisasikan secara tepat. Misalnya,
meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi ujian masuk sekolah yang lebih tinggi
tingkatannya atau perguruan tiggi, bahwa tes tersebut sama dengan tes-tes akademik
lainnya yang pernah mereka lakukan.

2.

a.
b.

c.

Edward LeeThorndike
Edward Lee Thorndike adalah seorang pendidik dan sekaligus psikolog
berkebangsaan Amerika. Edward awalnya melakukan penelitian tentang prilaku binatang
sebelum tertarik pada psikologi manusia.[8] dan pertama kali mengadakan eksperimen
hubungan stimulus dan respon dengan hewan kucing melalui prosedur yang sistematis.
Ekseperimennya yaitu:
Kucing yang lapar dimasukkan ke dalam kotak kerangkeng (puzzle box) yang dilengkapi
pembuka bila disentuh.
Di luar diletakkan daging. Kucing dalam kerangkang bergerak kesana kemari mencari
jalan keluar, tetapi gagal. Kucing terus melakukan usaha dan gagal, keadaan ini
berlangsung terus-menerus.
Tak lama kemudian kucing tanpa sengaja menekan tombol sehingga tanpa sengaja pintu
kotak kerangkeng terbuka dan kucing dapat memakan daging di depannya.

Percobaan Thorndike tersebut diulang-ulang dan pola gerakan kucing sama saja
namun makin lama kucing dapat membuka pintunya. Gerakan usahanya makin sedikit dan
efisien. Pada kucing tadi terlihat ada kemajuan-kemajuan tingkah lakunya. Dan akhirnya
kucing dimasukkan dalam box terus dpat menyentuh tombol pembuka (sekali usaha,
sekali terbuka), hingga pintu terbuka.
Thorndike menyatakan bahwa prilaku belajar manusia ditentukan oleh stimulus yang
ada di lingkungan sehingga menimbulkan respon secara refleks. Stimulus yang terjadi
setelah sebuah prilaku terjadi akan mempengaruhi prilaku selanjutnya. Dari eksperimen
ini Thorndike telah mengembangkan hukum Law Effect. Ini berarti jika sebuah tindakan
diikuti oleh sebuah perubahan yang memuskan dalam lingkungan, maka kemungkinan
tindakan itu akan diulang kembali akan semakin meningkat. Sebaliknya jika sebuah
tindakan diikuti oleh perubahan yang tidak memuaskan, maka tindakan itu menurun atau
tidak dilakukan sama sekali. Dengan kata lain, konsekuen-konsekuen dari prilaku
sesorang akan memainkan peran penting bagi terjadinya prilaku-prilaku yang akan
datang.[9]
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon
yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa
pikiran, perasaan, atau gerakan dan tindakan. Dari definisi belajar tersebut maka menurut
Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat brwujud kongkrit
yaitu yang dapat diamati, atau yang tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati. [10]
3.

Burrhus Frederic Skinner


Skinner dilahirkan pada 20 Mei 1904 di Susquehanna Pennylvania, Amerika Serikat.
Masa kanak-kanaknya dilalui dengan kehidupan yang penuh dengan kehangatan namun,
cukup ketat dan disiplin.meraih sarjana muda di Hamilton Colladge, New York, dalam
bidang sastra Inggris. Pada tahun 1928, Skinner mulai memasuki kuliah psikologi di
Universitas Harvard dengan mengkhususkan diri pada bidang tingkah laku hewan dan
meraih doktor pada tahun 1931.
Dari tahun 1931 hingga1936, Skinner bekerja di Harvard. Penelitian yang
dilakukannya difokuskan pada penelitian menegenai sistem syaraf hewan. Pada tahun
1936 sampai 1945, Skinner meneliti karirnya sebagai tenaga pengajar pada universitas
Mingoesta. Dalam karirnya Skinner menunjukkan produktivitasnya yang tinggi sehingga
ia dikukuhkan sebagai pemimpin Brhaviorisme yang terkemuka di Amerika Serikat.[11]
Skinner merupakan seorang tokoh behavioris yang meyakini bahwa perilaku individu
dikontrol melalui proses operant conditioning dimana seseorang dapat mengontrol
tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam
lingkungan yang relatif besar.
Menagement kelas menurut skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku
antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang
diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat. Operant

1.
2.
3.
4

Conditioningadalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif atau negatif) yang
dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai
dengan keinginan.
Teori belajar behaviorisme ini telah lama dianut oleh para guru dan pendidik, namun
dari semua pendukuung teori ini, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya
terhadap perkembangan teori belajar Behaviorisme. Program-program pembelajaran
seperti Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul dan program-program
pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta
mementingkan faktor-faktor penguat merupakan program-program pembelajaran yang
menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh skinner.[12]
Menurut skinner berdasarkan percobaanya terhadap tikus dan burung merpati
unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah penguatan yang
terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan
( penguatan positif dan penguatan negatif).
Bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Sedangkan
bentuk penguatan negatif adalah antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan,
memberikan tugas tambahan, atau menunjukkan perilaku tidak senang.
Skinner tidak sependapat pada asumsi yang dikemukakan Guthrie bahwa hukuman
memegang peranan penting dalam proses pelajar. Hal tersebut dikarenakan menurut
skinner :
Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari
jiwa
terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
Hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia
terbebas dari hukuman.
Hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang
kadangkala lebih
buruk dari pada kesalahan pertama yang diperbuatnya.[13]
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat
negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus
diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang akan muncul berbeda dengan respon yang
sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon
yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seseorang siswa perlu dihukum karena
melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka
hukumannya harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu yang tidak mengenakkan siswa
(sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan
ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahnnya, maka inilah yang disebut penganut
negatif. Lawan dari penganut negatif adalah penguat positif (positive reinforcement).
Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah bahwa penguat
positif itu ditambah, sedangkan penganut negatif adalah dikurangi untuk memperkuat
respon.[14]
4.

Edwin Ray Guthrie

Edwin Ray Guthrie adalah seorang penemu teori kontinguiti yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung
akan diikuti oleh gerakan yang sama. Guthrie juga menggunakan variabel hubungan
stimulus respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena
gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon
lain yang dapat terjadi. Penguatan hanya sekedar melindungi hasil belajar yang baru agar
tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru.
Teori guthrie ini mengatakan bahwa hubungan stimulus dan respon bersifat
sementara, oleh karenanya dalam kegiatan belajar, peserta didik perlu sesering mungkin
diberi stimulus agar hubungan stumulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap.
Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam
proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah
tingkah laku seseorang.[15]
Salah asatu eksperimen Guthrie untuk mendukung teori kontiguitas adalah
percobaannya terhadap kucing yang dimasukkan ke dalam kotak puzle. Kemudian kucing
tersebut berusaha keluar. Kotak dilengkapai dengan alat yang bila disentuh dapat
membuka kotak puzle tersebut. Selain itu, kotak tersebut juga dilengkapi dengan alat
yang dapat merekam gerakan-gerakan kucing di dalam kotak. Alat tersebut menunjukkan
bahwa kucing telah belajar mengulang gerakan-gerakan sama yang diasosiasikan dengan
gerakan-gerakan sebelumnya ketika dia dapat keluar dari kotak tersebut. Dari hasil
eksperimen tersebut, muncul beberapa prinsip dalam teori kontiguitas, yaitu:
Agar terjadi pembiasaan, maka organisme selalu merespon atau melakukan sesuatau
Pada saat belajar melibatkan pembiasaan terhadap gerakan-gerakan tertentu, oleh karena
itu intruksi yang diberikan harus spesifik.
Keterbukaan terhadap berbagai stimulus yang ada merupakan keinginan untuk
menghasilkan respon secara umum.
Respon terakhir dalam belajar harus benar ketika itu menjadi sesuatu yang akan
diasosiasikan.
Asosiasi akan menjadi lebih kuat karena ada pengulangan.[16]
5.

Jhon Broadus Waston


Waston adalah seorang tokoh aliran behaviorisme yang datang setelah Thorndike.
Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus
dan respo yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati ( observabel)
dan dapat diukur. Dengan kata lain, walupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan
mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut
sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahanperubahan mental dalam benak siswa itu penting. Namun semua itu tidak dapat
menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati. [17]
Waston adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar
disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi
pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh dapat diamati dan diukur. Asumsinya

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

bahwa, hanya dengan cara demikianlah maka akan dapat diramalkan perubahanperubahan apa yang bakal terjadi setelah seseorang melakukan tindakan belajar. Para
tokoh aliran behaviorisme cenderung untuk tidak memperhatikan hal-hal yang tidak dapat
diukur dan tidak dapat diamati, seperti perubahan-perubahan mental yang terjadi ketika
belajar, walaupun demikian mereka tetap mengakui hal itu penting.[18]
6. Clark Hull
Hull berpendirian bahwa tinkah laku itu berfungsi menjaga agar oranisasi tetap
bertahan hidup. Konsep sentral dalam teorinya berkisar pada kebutuhan biologis dan
pemuas kebutuhan, hal yang penting bagi kelangsungan hidup. Oleh Hull, kebutuhan
ddikonsepkan sebagai dorongan (drive) seperti lapar, haus, tidur, hilangnya rasa nyeri,
dan sebagainya. Stimulus yang disebut stimulus dorongan dikaitkan dengan dorongan
primer dan karena itu mendorong timbulnya tigkah laku. Sebagai contoh, stimulus yang
dikaitkan dengan rasa nyeri, seperti bunyi alat pengebor gigi, dapat menimbulkan rasa
takut, dan takut itu mendorong timbulnya tingkah laku.[19]
Teori Hull ini, memiliki beberapa prinsip, yaitu
Dorongan merupakan hal yang penting agar terjadi respon (siswa harus memiliki
keinginan untuk belajar).
Stimulus dan respon harus dapat diketahui oleh organisme agar pembiasaan dapat terjadi
(siswa harus mempunyai perhatian).

Respon harus dibuat agar terjadi pembiasaan (siswa harus aktif).


Pembiasaan hanya terjadi jika reinforcement dapat melalui kebutuhan (belajar harus
dapat memenuhi keinginan siswa).[20]
Secara ringkas teori behaviorisme yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat
disempulkan bahwa:
Belajar adalah perubahan tingkah laku
Tingkah laku tersebut harus dapat diamati
Mengikuti pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output
yang berupa respon.
Fungsi mind atau fikiran adalah untuk menciplak struktur pengetahuan yang sudah ada
melalui proses berfikir yang dapat dianalisis dan dipilah.
Pembiasaan dan latihan menjadi esensial dalam belajar.
Apa yang terjadi antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena
tidak dapat diamati.
Yang dapat diamati hanyalah stimulus respon.
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahauan dikatagorikan
sebagai kegagalan yang perlu dihukum
Aplikasi teori ini menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang
sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis atau tes. Penyajian materi pelajaran
mengikuti urutan dari bagian-bagian keseluruhan. Pembelajaran dan evalusi menekan
pada hasil, dan evaluasi menuntut jawaban yang benar. Jawaban yang benar menunjukkan
bahwa siswa telah menyelesaikan belajaranya.[21]

10. Proses belajar sangat bergantung kepada faktor yang berada di luar dirinya, sehingga ia
memerlukan stimulus dari pengajarnya.
11. Hasil belajar banyak ditentukan oleh proses peniruan, pengulanagn dan pengutan
(reinforcement).
12. Belajar harus melalui tahap-tahap tertentu, sedikit demi sedikit, yang mudah mendahului
yang lebih sulit.[22]
C. Kelebihan dan Kekurangan dalam Teori Pembelajaran Behaviorisme
Kelebihan, kekurangan dan permasalahan yang muncul dalam pembelajaran
Sesuai dengan teori ini, guru dapat menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah
siap sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh
oleh guru. Guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi intruksi singkat yang diikuti
contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun
secara hirarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan
pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat
diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan
digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.
a. Kelebihan
Dalam teknik pembelajaran yang merujuk ke teori behaviourisme terdapat beberapa
kelebihan di antaranya :
1. Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi belajar.
2. Metode behavioristik ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang menbutuhkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas,
kelenturan, refleksi, daya tahan, dan sebagainya.
3. Guru tidak banyak memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri. Jika
menemukan kesulitan baru ditanyakan kepada guru yang bersangkutan.
4. Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi
peran orang dewasa , suka mengulangi dan harus dibiasakan , suka meniru dan senang
dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.[23]
b. kekurangan.
1. Memandang belajar sebagai kegiatan yang dialami langsung, padahal belajar adalah
kegiatan yang ada dalam sistem syaraf manusia yang tidak terlihat kecuali melalu
gejalanya.
2. Proses belajar dipandang bersifat otomatis-mekanis sehingga terkesan seperti mesin atau
robot, padahal manusia mempunyai kemampuan self control yang bersifat kognitif,
sehingga, dengan kemampuan ini, manusia mampu menolak kebiasaan yang tidak sesuai
dengan dirinya.
3. Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan hewan sangat sulit diterima,
mengingat ada perbedaan yang cukup mencolok antara hewan dan manusia.[24]
D.

Penerapan Teori Behaviorisme dalam Pembelajaran Bahasa Arab

b.
c.
d.
e.

a.
b.
c.
d.
e.

1.

2.
3.

Para pakar Psikologi belajar bahasa penganut faham Behaviorisme berpendapat


bahwa belajar bahasa berlangsung dalam lima tahap, yaitu:
a.
Trial and error
Mengingat-ingat
Menirukan
Mengasosiasikan
Menganalogikan
Dari kelima langkah tersebut dapat disimpulkan bahwa berbahasa pada dasarnya
merupakan proses pembentukan kebiasaan.[25]
Dalam teori ini Behaviorisme, segala tingkah laku manusia menjadi suatu prilaku
berbahsa yang menjadi manifestasi stimulus dan respon yang dilakukan terus-menerus
menjadi suatu kebiasaan. Berdasarkan teori ini, pembelajaran bahasa dilakukan dengan
mendahulukan pengenalan keterampilan mendengar dan berbicara daripada keterampilan
lainnya, pemberian latihan-latihan dan penggunaan bahasa secara aktif dan terus menerus,
penciptaan lingkungan berbahasa yang kondusif, penggunaan media pembelajaran yang
memungkinkan siswa mendengar dan berinteraksi dengan penutur asli, pembiasaan
motivasi sehingga berbahsa asing menjadi sebuah prilaku kebiasaan.[26]
Ada beberapa kegiatan pembelajaran bahasa Arab yang dapat dikembangkan
berdasarkan teori ini, diantara yang penting adalah:
Pengenalan ketrampilan mendengar dan berbicara sebagai awal dalam pembelajaran
sebelum ketrampilan membaca dan menulis.
Latihan dan penggunaan bahasa secara aaktif dan terus menerus agar pembelajar
memiliki ketrampilan berbahasa dan berbentuk kebiasaan menggunakan bahasa.
Penciptaan lingkungan berbahsa yang kondusif agar mendukung proses pembiasaan
berbahasa secara efektif.
Penggunaan media pembelajaran yang memungkinkan pembelajar mendebgar dan
berinteraksi dengan penutur asli.
Memotivasi guru bahasa untuk tampil berbahsa secara baik dan benar, sehingga dapat
menjadi teladan yang baik bagi para siswanya dalam berbahasa.[27]
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan menentukan keberhasilan dalam
proses pembelajaran bahasa arab adalah lingkungan (biah, einvironment), tak terkecuali
lingkungan berbahasa. Dan tujuan penciptaan lingkungan berbahasa Arab, tak lain adalah:
Untuk membiasakan dalam memanfaatkan bahasa Arab secara komunikatif, melalui
praktek percakapan (muhadatsah), diskusi (munaqasyah), seminar (nadwah), ceramah
dan berekpresi melalui tulisan (tabir dan tahriry)
Memberikan penguatan (reinforcement) pemerolehan baha yang sudah dipelajari di
kelas.
Menumbuhkan kreativitas dan aktivitas berbahasa Arab yang terpadu antara teori dan
praktik dalam suasana informal yang santai dan menyenangkan.

BAB III
PENUTUP
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun
dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan
teori
belajar
behavioristik.
Program-program
pembelajaran
sepertiTeaching Machine, pembelajaran berprogram, modul dan program-program
pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta
mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran
yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Karakteristik teori behaviorisme terhadap pembelajaran bahasa diantaranya adalah:
penyajian materi lebih banyak dengan hiwar, lebih banyak melakukan peniruan dan
menghafal idiom-idiom, menyajikan satu kalimat dalam satu situasi, tidak menyajikan
strukstur nahwu secara terpisah, dan lebih baik dengan sistem deduktif, lebih menitik
beratkan pada ujaran, lebih banyak menggunakan bahasa dalam komunikasi dan banyak
menggunakan lab bahasa, memberikan reward bagi respon positif, mensuport untuk
berbahasa, perhatian lebih pada bahasa bukan isi bahasa.
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan menentukan keberhasilan proses
pembelajaran bahasa adalah lingkungan (bi'ah, environment), tak terkecuali lingkungan
berbahasa. Dan tujuan penciptaan lingkungan berbahasa Arab , tidak lain adalah (1) untuk
membiasakan dan membiasakan dalam memanfaatkan bahasa Arab secara komunikatif,
melalui praktik percakapan (muhadatsah), diskusi (munaqasyah), seminar (nadwah),
ceramah dan berekspresi melalui tulisan (ta'bir tahriry); (2) memberikan penguatan
(reinforcement) pemerolehan bahasa yang sudah dipelajari di kelas; dan (3)
menumbuhkan kreativitas dan aktivitas berbahasa Arab yang terpadu anatara teori dan
praktik dalam suasana informal yang santai dan menyenangkan.

Anda mungkin juga menyukai