Anda di halaman 1dari 118

BAHAN AJAR KETENTUAN UMUM

DAN TATA CARA PERPAJAKAN

PROGRAM DIPLOMA I KEUANGAN

SPESIALISASI PAJAK
HANDAYANTO TP

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA


TAHUN 2012

|Page

KATA PENGANTAR
Segala puji kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
karunianya kami dapat menyelesaikan bahan ajar Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagai salah satu materi yang akan diajarkan kepada mahasiswa STAN.
Materi ini sengaja disusun secara sederhana berdasarkan silabus yang telah
ada, dengan beberapa penyesuaian sesuai dengan kebutuhan mendasar yang
diperlukan oleh mahasiswa Diploma I STAN agar memperoleh pemahaman yang baik
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Penyusunan dilakukan dengan
mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 74
Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban
Perpajakan. Hal ini mengingat bahwa Peraturan Pemerintah tersebut merupakan
komplemen yang tidak dapat dipisahkan dari Undang-Undang KUP.
Bersama ini pula kami menyampaikan rasa terima kasih yang setinggitingginya
kepada Direktur STAN yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk
menyusun materi ini, demikian pula kepada rekan-rekan sekretariat STAN yang telah
membantu kami untuk menyempurnakannya.
Besar harapan kami bahwa buku ini dapat memberikan manfaat bagi
mahasiswa STAN, para pengajar maupun mereka yang ingin mengetahui lebih baik
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Dengan menyadari segala keterbatasan dan jauh dari kesempurnaan, kami
menghargai setiap saran dan kritik yang disampaikan demi penyempurnaan di masa
yang akan datang. Semoga bahan ajar ini bermanfaat bagi kita semua, amin.
Jakarta,

Agustus 2011

(Handayanto TP)

i
i|Page

DAFTAR ISI

BAB 1 SISTEMATIKA UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM


DAN TATA CARA PERPAJAKAN ................................................
A.

Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal .........................


1. Hukum Pajak Material .............................................................
2. Hukum Pajak Formal ...............................................................
3. Perbedaan Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal .
Reformasi Perpajakan Tahun 1983 ..............................................
1. Sistem official assessment ......................................................
2. Sistem self assessment ...........................................................
3. Latar Belakang Reformasi Perpajakan Tahun 1983 ...............
Perkembangan Undang-Undang KUP ..........................................
Sistematika Undang-Undang KUP ................................................
Siklus Pajak ...................................................................................
1. Fase self assessment ..............................................................
2. Fase Pengawasan ...................................................................
3. Fase Sengketa .........................................................................
4. Fase Penyelesaian Sengketa ..................................................

1
1
2
2
3
4
4
4
9
11
13
13
13
14
15

BAB 2 KEWAJIBAN MENDAFTARKAN DIRI DAN MELAPORKAN


USAHA ..........................................................................................

16

B.

C.
D.
E.

A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.

Kewajiban Mendaftarkan Diri .........................................................


16
Jangka Waktu Mendaftarkan Diri ..................................................
17
Kewajiban Melaporkan Kegiatan Usaha .......................................
17
Jangka Waktu Melaporkan Kegiatan Usaha .................................
19
Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan
Pengusaha
Kena Pajak Secara Jabatan ...................................... .
20
Tempat Mendaftarkan Diri dan Melaporkan Kegiatan Usaha ........
20
Kewajiban Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang
Pribadi Pengusaha Tertentu ..........................................................
22
Sanksi
Berkaitan
Dengan
Kewajiban
Mendaftarkan
Diri
dan
Melaporkan Kegiatan Usaha ..........................................................
22
Pemindahan Wajib Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib
Pajak
dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak .......
23
1. Pemindahan Wajib Pajak .........................................................
23
2. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak ................................
23
3. Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak ..................
25

BAB 3 PEMBUKUAN DAN PENCATATAN ............................................... 27


A. Pengertian Pembukuan dan Pencatatan ....................................... 27 B. Yang
Wajib Menyelenggarakan Pembukuan dan Pencatatan ...... 28
C. Ketentuan Mengenai Pembukuan dan Pencatatan .......................
29
D. Sanksi Berkaitan Dengan Pembukuan dan Pencatatan ...............
34

i
ii | P a g ei

Bab 4 SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) ................................................ 36


A.
B.
C.
D.

E.

F.

Pengertian dan Jenis Surat Pemberitahuan ..................................


Kewajiban Menyampaikan Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak
Kelengkapan Surat Pemberitahuan ...............................................
Cara Penyampaian dan Batas Waktu Penyampaian SPT .............
1. Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan ................................
2. Batas Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan ...................
Sanksi Berkaitan Dengan Penyampaian SPT ................................
1. Sanksi Administrasi Berupa Denda ..........................................
2. Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan .....................................
3. Sanski Pidana Kealpaan ..........................................................
4. Sanksi Pidana Kesengajaan ....................................................
Hak Wajib Pajak Berkaitan Dengan Penyampaian SPT ................
1. Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian Surat
Pemberitahuan .........................................................................
2. Pembetulan Surat Pemberitahuan ...........................................
3. Pengungkapan Ketidakbenaran Pengisian Surat Pemberitahuan
4. Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan .............................

36
39
41
43
43
44
45
45
46
46
47
47
47
49
50
51

BAB 5 PEMBAYARAN PAJAK DENGAN SURAT SETORAN PAJAK (SSP) 53


A.
B.

C.

Pengertian Surat Setoran Pajak .....................................................


53
Jatuh Tempo Pembayaran Pajak ...................................................
54
1. Jatuh Tempo Pembayaran untuk Surat Pemberitahuan Tahunan
54
2. Jatuh Tempo Pembayaran untuk Surat Pemberitahuan Masa
55
3. Jatuh Tempo Pembayaran Surat Tagihan Pajak, Surat
Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan,
Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah ...........................................................
57
4. Penundaan dan Pengangsuran Pembayaran Pajak .................
58
Sanksi Berkaitan Dengan Pembayaran Pajak ................................
59

BAB 6 PEMERIKSAAN PAJAK ................................................................. 61


A.
B.
E.
F.

Pengertian Pemeriksaan dan Kewenangan Pemeriksa Pajak .......


61
1. Pengertian Pemeriksaan ...........................................................
61
2. Kewenangan Pemeriksa Pajak .................................................
62
Tujuan Pemeriksaan Pajak ............................................................. 65 C.
Ruang Lingkup Pemeriksaan Pajak ................................................ 65 D.
Kewajiban Wajib Pajak Dalam Hal Dilakukan Pemeriksaan ........... 66
Produk Pemeriksaan Pajak .............................................................
67
Pemeriksaan Bukti Permulaan ........................................................
68

BAB 7 PENETAPAN DAN KETETAPAN ................................................... 71


A. Self Assessmet ............................................................................... 71 B.
Pengertian Penetapan dan Ketetapan Pajak ................................. 73
1. Penetapan Pajak ......................................................................
73
2. Ketetapan Pajak .......................................................................
73

i
iii | P a g ei

C.

D.

Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak ..........................


1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ......................................
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ....................
3. Surat Ketetapan Pajak Nihil .....................................................
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar .........................................
5. Surat Tagihan Pajak ................................................................
Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
(restitusi) ........................................................................................
1. Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Dari Wajib
Dengan Kriteria Tertentu ................................................
81
2. Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Dari Wajib Pajak
Memenuhi Persyaratan Tertentu ....................................
83
3. Pengembalian Pajak Pertambahan Nilai Kepada Turis Asing ..

73
74
76
77
78
79
80
Pajak
Yang
84

BAB 8 PENAGIHAN PAJAK ...................................................................... 85


A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.

Dasar Penagihan Pajak ..................................................................


Dasar Hukum Penagihan Pajak .....................................................
Bunga Penagihan ...........................................................................
Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak ......................
Hak Mendahulu ...............................................................................
Daluwarsa Penagihan Pajak ...........................................................
Hapusnya Piutang Pajak .................................................................

85
86
86
87
89
90
91

BAB 9 SENGKETA PAJAK ........................................................................


A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.

93

Ketentuan Mengenai Pembetulan dan Persyaratannya ..................


93
Ketentuan Mengenai Pengurangan atau Penghapusan Sanksi
Administrasi dan Persyaratannya ....................................................
94
Ketentuan Mengenai Pengurangan atau Pembatalan Surat
Ketetapan
Pajak atau Surat Tagihan Pajak dan Persyaratannya .. 95
Ketentuan Keberatan dan Persyaratannya .....................................
97
Ketentuan Banding dan Persyaratannya ........................................
99
Ketentuan Mengenai Gugatan dan Persyaratannya ......................
100
Ketentuan Tentang Peninjauan Kembali dan Persyaratannya ......
100

BAB 10 IMBALAN BUNGA ......................................................................... 103


A.
B.
C.
D.

E.

Umum ............................................................................................
103
Imbalan Bunga Akibat Keterlambatan Pengembalian Kelebihan
Pembayaran Pajak ........................................................................
104
Imbalan Bunga Akibat Keterlambatan penerbitan Surat
Ketetapan
Pajak Lebih Bayar ........................................................ 105
Imbalan Bunga Akibat Kelebihan Pembayaran Pajak Karena
Pengajuan Keberatan, Permohonan Banding, atau Permohonan
Peninjauan Kembali Dikabulkan Sebagian atau Seluruh
Permohonan Wajib Pajak .............................................................
107
Imbalan Bunga Akibat Kelebihan Pembayaran Pajak Karena
Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan
Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan
Pajak Mengabulkan Sebagian atau Seluruh Permohonan

i
iv | P a g ev

Wajib Pajak ...................................................................................


110
Imbalan Bunga Akibat Kelebihan Pembayaran Sanksi
Administrasi
Berupa Denda Pasal 14 Ayat (4) Undang-Undang
KUP dan/atau Bunga Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang KUP
Karena Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau
Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi Sebagai
Akibat Diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,
atau Putusan Peninjauan Kembali Yang Mengabulkan Sebagian
atau Seluruh Permohonan Wajib Pajak ..........................................
111
BAB 11 PENYIDIKAN DAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
114
F.

A. Umum .............................................................................................
B. Tindak Pidana di Bidang Perpajakan .............................................
1. Ketentuan Pidana Bagi Setiap Orang Selaku Wajib Pajak ......
2. Ketentuan Pidana Bagi Pejabat ...............................................
3. Ketentuan Pidana Bagi Pihak Ketiga ....................................... 4.
Ketentuan Pidana Bagi Setiap Orang yang Menghalangi
Penyidikan ................................................................................
C. Ketentuan Mengenai Penyidikan ...................................................
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................

114
115
115
118
119

BIODATA PENULIS .......................................................................................

125

120
120
124

DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Sistematika Undang-Undang KUP ............................................. 12
Tabel 5.1 Rincian Jatuh Tempo Pembayaran Masa ................................... 55

v
v|Page

PENDAHULUAN
Pajak dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Undang-Undang KUP)
didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan pengertian di atas, pajak memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. pungutan secara paksa oleh Negara;
b. yang bersangkutan tidak mendapatkan prestasi langsung; dan
c. digunakan untuk membiayai pengeluaran negara.
Pajak mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu fungsi anggaran (budgetair) dan fungsi
mengatur (reguleren). Fungsi anggaran (budgetair) adalah fungsi yang letaknya di
sektor publik, dan pajak-pajak di sini merupakan suatu alat (atau suatu sumber) untuk
memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara yang pada waktunya
akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Pajak-pajak ini terutama akan
digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan apabila setelah itu masih ada sisa
(yang lazim disebut surplus) maka surplus ini dapat digunakan untuk membiayai
investasi pemerintah.
Dengan fungsi mengaturnya (reguleren) pajak digunakan sebagai suatu alat
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan dan
fungsi mengatur ini banyak ditujukan terhadap sektor swasta. Esensi fungsi tambahan
dari pajak yaitu fungsinya untuk turut mengatur (reguleren) serta menciptakan iklim
yang sehat bagi perkembangan dunia usaha adalah demi terciptanya kesejahteraan
bangsa dan negara, serta tercapainya keseimbangan perekonomian dan politik.
Masyarakat yang mempunyai kekuatan membayar pajak yang semakin besar berarti
semakin besar pula perannya terhadap pembiayaan pembangunan. Selain itu,
masyarakat juga memiliki hak kontrol terhadap segala kebijakan pemerintah dalam
rangka menyejahterakan rakyatnya, apabila segala pengeluaran pembangunan negara
ini sebagian besar dibiayai dari penerimaan pajak.

v
vi | P a g ei

Hukum pajak terbagi menjadi 2 (dua) yaitu hukum pajak formal dan hukum
pajak material. Hukum pajak formal mengatur mengenai ketentuan-ketentuan yang
mendukung ketentuan hukum pajak material agar ketentuan hukum material dapat
dilaksanakan. Hukum pajak material ini mengatur mengenai subjek, objek, tarif, serta
apa yang dikecualikan dari pengenaan pajak.
Reformasi di bidang perpajakan yang dimulai tahun 1983 mengubah sistem
perpajakan di Indonesia, semula menganut sistem pemungutan official assessment
menjadi sistem self assessment. Direktorat Jenderal Pajak adalah lembaga yang
ditunjuk oleh undang-undang untuk melaksanakan fungsi pelayanan, pengawasan dan
penegakan hukum terhadap masyarakat Wajib Pajak. Pembahasan dalam bahan ajar
ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman terhadap hukum pajak formal yang
diatur dalam Undang-Undang KUP. Metode pembahasan tidak dilakukan sesuai
dengan urutan pasal dalam Undang-Undang KUP melainkan dilakukan sesuai dengan
urutan langkah yang dilaksanakan oleh Wajib Pajak dalam melaksanakan self
assessment. Hal ini dimaksudkan sekaligus agar mempermudah pemahaman
mengenai self assessment.
Sistematika penulisan bahan ajar ini meliputi uraian sebagai berikut:
Pendahuluan
Bab 1 Sistematika Undang-Undang KUP.
Bab 2 Kewajiban Mendaftarkan Diri Dan Melaporkan Usaha
Bab 3 Pembukuan dan Pencatatan
Bab 4 Surat Pemberitahuan
Bab 5 Pembayaran Pajak Dengan Surat Setoran Pajak
Bab 6 Pemeriksaan Pajak
Bab 7 Penetapan dan Ketetapan
Bab 8 Penagihan Pajak
Bab 9 Sengketa Pajak
Bab 10 Imbalan Bunga
Bab 11 Penyidikan Dan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan

v
vii | P a g ei

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa mampu memahami sistematika Undang-Undang KUP

A. Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal

BAB
SISTEMATIKA UNDANG-UNDANG
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

Dasar hukum pengenaan pajak di Indonesia adalah Pasal 23A UndangUndang Dasar 1945 yang mengatur bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Berdasarkan
amanat pasal tersebut maka diterbitkan berbagai undang-undang berkaitan dengan
pajak, antara lain Undang-Undang KUP, Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Undang-undang pajak tersebut dibagi
menjadi hukum pajak material dan hukum pajak formal.

1. Hukum pajak material.


Hukum

pajak

material

memuat

norma-norma

yang

menerangkan

keadaankeadaan, perbuatan-perbuatan, dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus


dikenakan pajak, siapa yang harus dikenakan pajak, berapa besar pajaknya. Oleh
karena itu hukum pajak material ini mengatur mengenai subjek, objek, tarif, serta apa
yang dikecualikan dari pengenaan pajak. Contoh hukum pajak material antara lain
Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Hukum pajak material dapat terpisah antara satu jenis pajak dengan jenis pajak
lainnya, misalnya antara Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Bea
Materai. Selain itu, untuk jenis pajak tertentu dapat diatur dalam suatu undangundang,

1
1|Page

misalnya Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan atas
Barang Mewah diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai.
2. Hukum pajak formal.
Hukum pajak formal memuat tata cara pengimplementasian hukum pajak
material. Pelaksanaan hukum pajak formal membuat pajak terutang dalam hukum
material dapat direalisasikan menjadi penerimaan negara. Ketiadaan hukum pajak
formal menyebabkan hukum pajak material tidak dapat dilaksanakan oleh Wajib Pajak
atau Fiskus tidak dapat melakukan pengawasan atau law enforcement.
Hukum pajak formal berfungsi untuk melindungi Wajib Pajak dan Fiskus
sehingga terdapat jaminan bahwa hukum pajak material dapat dilaksanakan dengan
tepat. Hukum pajak formal mengatur tata cara pemenuhan hak dan kewajiban
perpajakan serta sanksi bagi yang melanggar kewajiban perpajakan. Ketentuan dalam
hukum pajak formal mencantumkan juga hak-hak Wajib Pajak yang dimaksudkan
untuk melindungi Wajib Pajak terhadap tindakan sewenang-wenang dari Fiskus.
Selain mengatur Wajib Pajak dan Fiskus, hukum pajak formal juga mengatur hal-hal
yang berkenaan dengan kewajiban pihak ketiga. Contoh hukum pajak formal adalah
Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Hal-hal yang
diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
antara lain:
a. Tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
b. Tata cara pengukuhan dan pencabutan Pengusaha Kena Pajak.
c. Kewajiban melaksanakan pembukuan.
d. Tata cara penyetoran dan pelaporan pajak.
e. Penetapan pajak dan upaya keberatan.
f.

Sanksi serta hak dan kewajiban Wajib Pajak, Fiskus, dan pihak ketiga, berupa
sanksi administrasi maupun sanksi pidana.

2
2|Page

3. Perbedaan hukum pajak material dan hukum pajak formal.


Pada dasarnya hukum pajak formal tidak akan pernah menimbulkan suatu
utang pajak. Besarnya utang pajak ditentukan oleh hukum pajak material. Namun
demikian, adanya suatu hukum pajak formal tertentu dapat menyebabkan suatu pajak
yang telah ditentukan oleh hukum pajak material menjadi tidak mungkin dilaksanakan.
Contoh dalam hal ini adalah daluwarsa penetapan.
Undang-Undang Ketetentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menentukan
bahwa melalui sistem self assessment maka Wajib Pajak wajib membayar jumlah
pajak yang terutang tanpa menggantungkan pada adanya penetapan oleh Fiskus.
Perhitungan pajak terutang dan pembayarannya dipertanggungjawabkan oleh Wajib
Pajak melalui pelaporan Surat Pemberitahuan. Dalam hal perhitungan dan pelaporan
pajak terutang oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan tersebut tidak benar
maka Fiskus dapat menetapkan pajak yang sesungguhnya terutang dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun. Namun demikian, apabila jangka waktu 5 (lima) tahun telah
terlampaui maka meskipun secara material seorang Wajib Pajak harus dikenai pajak
lebih tinggi tetapi pengenaan pajak tersebut tidak dapat dilakukan karena
undangundang menjamin bahwa koreksi yang dapat dilakukan hanya dapat dilakukan
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dan Surat Pemberitahuan dari Wajib Pajak
dianggap benar.
B. Reformasi Perpajakan Tahun 1983
Reformasi perpajakan pertama kali dilakukan tahun 1983. Perubahan
mendasar dalam sistem perpajakan di Indonesia dalam reformasi perpajakan tahun
1983 adalah pemberlakuan sistem self assessment dimana sebelum adanya reformasi
perpajakan tahun 1983 Indonesia menganut sistem official assessment. Selain itu,
sistem perundang-undangan perpajakan di Indonesia sebelum reformasi perpajakan
tahun 1983 tidak membedakan antara hukum pajak material dengan hukum pajak
formal. Dalam ketentuan sebelumnya, hukum pajak material mengatur juga hukum
pajak formal. Sejak reformasi perpajakan tahun 1983 maka hukum pajak formal diatur
tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.

3
3|Page

Tujuan utama reformasi perpajakan adalah untuk lebih menegakkan


kemandirian

dalam

membiayai pembangunan

nasional dengan

jalan

lebih

mengerahkan segenap potensi dan kemampuan dari dalam negeri terutama dengan
cara meningkatkan penerimaan negara melalui perpajakan dan mengurangi
ketergantungan dari minyak bumi dan gas alam.
1. Sistem official assessment.
Dalam sistem ini yang berperan aktif dalam menghitung dan menetapkan pajak
terutang adalah Fiskus. Wajib Pajak hanya berkewajiban membayar pajak terutang
sesuai dengan perhitungan atau penetapan yang dibuat oleh Fiskus sehingga Wajib
Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan bersifat pasif.

2. Sistem self assessment.


Dalam sistem ini yang berperan aktif dalam menghitung dan menetapkan pajak
terutang adalah Wajib Pajak. Wajib pajak berkewajiban untuk menghitung,
memperhitungkan, melaporkan, dan membayar pajak yang terutang tanpa adanya
campur tangan dari Fiskus. Peran Fiskus adalah melakukan pembinaan, pengawasan
dan pemeriksaan kepatuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Sistem ini menuntut masyarakat atau Wajib Pajak harus benar-benar
mengetahui tata cara perhitungan pajak, pelunasan pajak, pelaporan pajak, hal yang
harus dilakukan jika terjadi kesalahan perhitungan, serta konsekuensi berupa sanksi
yang akan diterima apabila melanggar ketentuan perpajakan.
3. Latar belakang reformasi perpajakan tahun 1983.
Latar belakang reformasi perpajakan tahun 1983 tercermin dalam penjelasan
umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 yaitu:
1)

Peraturan

perundang-undangan

perpajakan

yang

merupakan

landasan

pemungutan pajak yang berlaku selama ini, sebagian besar merupakan warisan
kolonial, yang pada saat itu dibuat semata-mata hanya untuk menghimpun dana
bagi Pemerintah penjajahan dalam rangka mempertahankan dan memperbesar
kekuasaannya di tanah air kita.

4
4|Page

Oleh karenanya pemungutan pajak saat itu dirasakan oleh rakyat sebagai beban
yang berat, sebab baik penetapan jumlah pajak, jenis pajak maupun tata cara
pemungutannya dilaksanakan di luar rasa keadilan tanpa menghiraukan
kemampuan serta menambah beban penderitaan dan jauh dari pertimbangan dan
penghargaan kepada hak asasi rakyat.
Pajak hanyalah merupakan kewajiban semata-mata yang harus dilaksanakan
rakyat secara patuh.

Peraturan

perundang-undangan

perpajakan

yang

dibuat

pada

zaman

pemerintahan penjajahan Belanda adalah antara lain: Aturan Bea Meterai Tahun
1921, Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan tahun
1932, Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944.

Meskipun terhadap berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan

sisa-

sisa kolonial tersebut telah beberapa kali dilakukan upaya perubahan dan
penyesuaian, namun karena berbeda falsafah yang melatar belakanginya, serta
sistem yang melekat kepada undang-undang tersebut, maka sepanjang
perpajakan

dilandasi

ketentuan-ketentuan

perundang-undangan

tersebut,

belumlah bisa memenuhi fungsinya sebagai sarana yang dapat menunjang

cita-

cita Bangsa dan Pembangunan Nasional yang sedang dilaksanakan sekarang ini.
2) Memasuki alam kemerdekaan, sejak proklamasi 17 Agustus 1945, terhadap
berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan telah dilakukan
perubahan, tambahan dan penyesuaian sebagai upaya untuk menyesuaikan
terhadap keadaan dan tuntutan rakyat dari suatu negara yang telah memperoleh
kemerdekaannya. Namun perubahan-perubahan tersebut di masa lalu lebih
bersifat parsial, sedangkan perubahan yang agak mendasar baru dilakukan
melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan
Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan dan Pajak Perseroan, yang kemudian
pelaksanaan diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967 yang
selanjutnya terkenal dengan "sistem MPS dan MPO". Sistem tersebut merupakan
penyempurnaan sistem pajak sesuai dengan tingkat perkembangan sosial
ekonomi Indonesia.

5
5|Page

Meskipun demikian, upaya yang telah dilakukan untuk merubah berbagai


peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut, belumlah menjawab secara
fundamental tuntutan dan kebutuhan rakyat tentang perlunya seperangkat
peraturan perundang-undangan perpajakan yang secara mendasar.
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dilandasi falsafah Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, yang didalamnya tertuang ketentuan yang
menjunjung tinggi hak warganegara dan menempatkan kewajiban perpajakan
sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam
bidang kenegaraan.
Petunjuk akan perlunya perubahan yang mendasar sebenarnya telah tertuang
jelas sebagai amanat rakyat, seperti tersurat dan tersirat dalam Garis-garis Besar
Haluan

Negara

yang

antara

lain

berbunyi

"Sistem

perpajakan

terus

disempurnakan, pemungutan pajak diintensifkan dan aparat perpajakan harus


makin mampu dan bersih".
3) Oleh karena itu undang-undang ini sebagai suatu undang-undang di bidang
perpajakan yang dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
seharusnya berbeda dengan undang-undang perpajakan yang dibuat di zaman
kolonial.
Perbedaan tersebut akan nyata terlihat dalam sistem dan mekanisme serta cara
pandang terhadap Wajib Pajak, yang tidak dianggap sebagai "obyek", tetapi
merupakan subyek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu
memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan.
Di segi lain tuntutan masyarakat terhadap adanya "aparatur perpajakan yang
makin mampu dan bersih", dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat
pengawasan dalam undang-undang ini.
Perbedaan falsafah dan landasan yang menjadi latar belakang dan dasar
pembentukan undang-undang ini tercermin dalam ketentuan-ketentuan yang
mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak.

6
6|Page

Sistem dan mekanisme tersebut pada gilirannya akan menjadi ciri dan corak
tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia, karena kedudukan

undang-

undang ini yang akan menjadi "ketentuan umum" bagi peraturan perundangundangan perpajakan yang lain.
Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah :
a) bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban
dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan
negara dan pembangunan nasional;
b) tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan
kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak
sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya
berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap
pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang
digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
c) anggota

masyarakat

Wajib

Pajak

diberi

kepercayaan

untuk

dapat

melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung,


memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terhutang (self
assesment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan
diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan
mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.
Berdasarkan ketiga prinsip pemungutan pajak tersebut, Wajib Pajak diwajibkan
menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang
seharusnya terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terhutang
berada pada Wajib Pajak sendiri. Selain dari pada itu Wajib Pajak diwajibkan pula
melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terhutang dan telah dibayar
sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dengan sistem ini diharapkan pelaksanaan administrasi perpajakan yang berbelitbelit dan birokratis akan dihilangkan.

7
7|Page

Ciri dan corak sistem pemungutan pajak tersebut sangat berbeda dengan sistem
lama warisan zaman kolonial/ yang antara lain :
a) tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa
pemerintahan seperti yang tercermin dalam sistem penetapan pajak yang
keseluruhannya menjadi wewenang administrasi perpajakan;
b) pelaksanaan kewajiban perpajakan, dalam banyak hal sangat tergantung dari
pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan,
hal mana mengakibatkan anggota masyarakat Wajib Pajak kurang mendapat
pembinaan dan bimbingan terhadap kewajiban perpajakannya dan kurang ikut
berperan serta dalam memikul beban negara dalam mempertahankan
kelangsungan pembangunan nasional.
Jelaslah

bahwa sistem pemungutan pajak yang

ditentukan

menurut

undang-undang ini, memberi kepercayaan lebih besar kepada anggota


masyarakat Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Selain itu jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban perpajakan
bagi Wajib Pajak lebih diperhatikan, dengan demikian dapat merangsang
peningkatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan di masyarakat. Tugas
administrasi perpajakan tidak lagi seperti yang terjadi pada waktu yang lampau,
dimana

administrasi

perpajakan

meletakkan

kegiatannya

pada

tugas

merampungkan/menetapkan semua Surat Pemberitahuan guna menentukan


jumlah pajak yang terhutang dan jumlah pajak yang seharusnya dibayar, tetapi
menurut ketentuan undang-undang ini administrasi perpajakan, berperan aktif
dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi
tugas-tugas pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi
administrasi.
Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya,
antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media
masa maupun penerangan langsung dalam masyarakat.
4) Dengan landasan sebagaimana telah diuraikan di muka sebagai suatu uraian
yang utuh dan menyeluruh, serta sesuai dengan amanat yang tersurat dan

8
8|Page

tersirat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, maka diadakan pembaharuan


sistem dan hukum perpajakan di Indonesia, yang dituangkan dalam
Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Perubahan tersebut diharapkan dapat menunjang sepenuhnya laju pembangunan
dan mempercepat terwujudnya perataan pendapatan masyarakat, peningkatan
serta perluasan tingkat kesadaran kewajiban perpajakan, perataan dan perluasan
tingkat kesadaran kewajiban perpajakan, perataan dan perluasan obyek kena
pajak dan peningkatan penerimaan negara sejalan dengan perkembangan
Pembangunan Nasional sehingga mempercepat terwujudnya cita-cita Proklamasi
17 Agustus 1945.
C. Perkembangan Undang-Undang KUP
Sejak tahun 1983 hingga saat ini Undang-Undang KUP telah mengalami
beberapa kali perubahan. Perubahan tersebut dilakukan untuk mengakomodir adanya
perkembangan dalam dunia usaha dan dinamika dalam masyarakat yang meliputi
perkembangan ekonomi, teknologi informasi, sosial, dan politik. Oleh karena itu,
perubahan aturan perpajakan yang dinamis bukan dikarenakan adanya kesalahan
dalam aturan yang telah ditetapkan atau tidak dapat diterapkan. Perubahan ini
dimaksudkan untuk mengantisipasi dan menyesuaikan dengan perkembangan yang
terjadi di luar perpajakan serta perubahan ketentuan material di bidang perpajakan.
Perubahan yang terjadi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dapat berupa perubahan atas
bab, pasal-pasal, maupun ayat-ayat yang ada. Perubahan tersebut terdiri dari
perubahan yang bersifat redaksional, bersifat konseptual, menambah aturan baru
yang belum diatur sebelumnya, maupun menghapus peraturan yang ada sebelumnya
karena dipandang sudah tidak sesuai dengan kondisi pada saat perubahan undangundang dilakukan.
Perkembangan Undang-Undang KUP sejak tahun 1983 sampai dengan saat
ini dapat diuraikan sebagai berikut:

9
9|Page

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan.
2. Undang-Undang

Nomor

Tahun

1994

tentang

Perubahan

atas

UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan.
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan.
5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang.
Hingga saat ini Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan telah mengalami 4 (empat) kali perubahan. Sedikit perbedaan terjadi
dalam perubahan keempat dimana perubahan keempat tersebut merupakan
penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008
menjadi Undang-Undang. Dalam Undang-Undang yang terakhir ini, materi yang
diubah hanya 1 (satu) ayat yaitu Pasal 37A ayat (1). Oleh karena itu, secara substansi
materi perubahan terakhir Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
Hal penting yang perlu diingat terkait dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 adalah untuk pertama kalinya diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor
80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Peraturan Pemerintah ini merupakan
pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. Dalam pelaksanaan
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun

1
0
10 | P a g e

1983 hingga perubahan kedua berupa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000,


Peraturan Pemerintah semacam itu belum pernah diterbitkan. Sejak tanggal 1 Januari
2012, Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 telah digantikan oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Oleh karena itu, dalam memahami Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan saat ini kita harus membaca UndangUndang Nomor
28 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 sebagai satu
kesatuan. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 menjabarkan lebih lanjut
beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
D. Sistematika Undang-Undang KUP
Pada dasarnya Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan yang berlaku hingga saat ini adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983, namun karena telah mengalami beberapa kali perubahan maka UndangUndang
mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan harus dibaca secara kesatuan
antara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 dan Undang-Undang perubahannya.
Setelah

mengalami

beberapa

kali

perubahan

maka

sistematika

UndangUndang KUP saat ini dapat dijelaskan dalam tabel berikut:

.
Tabel I.1 Sistematika Undang-Undang KUP

JUMLAH
BAB

PASAL

TENTANG

PASAL

1
1
11 | P a g e

II

, 2A, 3, Nomor Pokok Wajib Pajak,


4, 5, 6,
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak,
7,
Surat Pemberitahuan, Dan Tata Cara
11
Pembayaran Pajak

11

12, 13,

13A, 14,

Penetapan dan Ketetapan Pajak

12

15, 16,

17, 17A,
C, 17D,

Penagihan Pajak

Keberatan dan Banding

Pembukuan dan Pemeriksaan

8, 9, 10,

III

Ketentuan Umum

17B, 17
17E
IV

18, 19, 20, 21, 22,


23, 24

25, 26, 26A, 27,


27A

VI

28, 29, 29A, 30, 31

VII

32, 33, 34, 35, 35A, Ketentuan Khusus

12

36, 36A, 36B,


36C, 36D, 37, 37A
VIII

38, 39, 39A, 40, 41, Ketentuan Pidana

11

41A, 41B, 41C,


42, 43, 43A
IX

44, 44A, 44B

Penyidikan

45, 46, 47

Ketentuan Peralihan

XI

48, 49, 50

Ketentuan Penutup

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui Undang-Undang KUP yang pada


tahun 1983 berjumlah 50 (lima puluh) pasal telah berkembang menjadi 73 pasal saat
ini.

1
2
12 | P a g e

E. Siklus Pajak
Untuk memudahkan dalam memahami pelaksanaan sistem self assessment
dan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, terdapat
empat fase yang mungkin akan dilalui Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya hingga pajak yang menjadi kewajibannya tersebut menjadi pasti
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

1. Fase self assessment.


Fase ini merupakan fase pertama dalam konsep perpajakan di Indonesia saat
ini. Fase ini dimulai dari kewajiban Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri guna
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak. Siklus ini diakhiri dengan pelaporan Surat Pemberitahuan oleh Wajib Pajak
yang merupakan sarana untuk melaporkan seluruh kewajiban perpajakannya dalam
suatu Masa Pajak atau Tahun Pajak. Agar dapat menghitung jumlah pajak yang
terutang

dalam

Surat

Pemberitahuan, Wajib

Pajak

terlebih

dahulu

harus

menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. Setelah pajak terutang diketahui


maka Wajib Pajak melakukan pembayaran pajak ke tempat pembayaran yang telah
ditentukan dan pada akhirnya menyampaikan Surat Pemberitahuan ke Kantor
Pelayanan Pajak.
Apabila dalam kurun waktu 5 (lima) tahun tidak terdapat penetapan oleh Fiskus
maka pajak terutang yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan tersebut
menjadi pasti berdasarkan hukum atau bersifat inkraacht dan kewajiban perpajakan
Wajib Pajak atas suatu jenis pajak dalam suatu periode dianggap benar. Dalam kondisi
ini maka kewajiban pajak Wajib Pajak berakhir dalam 1 (satu) fase saja.
2. Fase pengawasan.
Fase kedua ini berupa adanya pemeriksaan atau penetapan kepada Wajib
Pajak. Pemeriksaan tidak dilakukan terhadap semua Wajib Pajak. Pemeriksaan hanya
dilakukan jika terdapat data bawa Surat Pemberitahuan yang dilaporkan Wajib Pajak
tidak benar atau Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak.

1
3
13 | P a g e

Pemeriksaan pada hakikatnya adalah mencari bukti ketidakbenaran Surat


Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Jika dalam pemeriksaan ditemukan
bukti bahwa terdapat ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan maka pajak
terutang akan dihitung sesuai dengan hasil temuan pada saat pemeriksaan. Jika
dalam pemeriksaan tidak ditemukan bukti bahwa terdapat ketidakbenaran pengisian
Surat Pemberitahuan maka Surat Pemberitahuan tersebut dianggap benar dan pajak
terutang ditetapkan sesuai dengan yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
tersebut.
Selain itu, penetapan terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan tanpa melalui
proses pemeriksaan apabila berdasarkan keterangan lain diketahui pajak yang
terutang tidak atau kurang dibayar. Keterangan lain tersebut adalah data konkret yang
diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak.
Apabila Wajib Pajak dapat menerima hasil pemeriksaan atau penetapan oleh
Direktur Jenderal Pajak maka pajak terutang hasil pemeriksaan atau penetapan
tersebut menjadi pasti berdasarkan hukum atau bersifat inkraacht. Dalam kondisi ini
maka kewajiban pajak Wajib Pajak berakhir dalam 2 (dua) fase saja.
3. Fase sengketa.
Fase ketiga ini dapat terjadi apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan surat
ketetapan pajak yang telah diterbitkan. Dalam hal ini Wajib Pajak memiliki hak untuk
mengajukan keberatan dan mengeksekusi hak keberatan tersebut. Penyelesaian
keberatan diproses oleh Direktur Jenderal Pajak dan diakhiri dengan penerbitan Surat
Keputusan Keberatan. Prof. DR. H. Rochmat Soemitro, S.H. menyebut keberatan
sebagai peradilan semu sebab yang menyelesaikan sengketa adalah salah satu pihak
yang bersengketa yaitu fiskus.

1
4
14 | P a g e

Selain itu, sengketa pajak dapat terjadi dalam hal:


a. terdapat kekeliruan dalam penetapan pajak;
b. Wajib Pajak mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi adminitrasi;
c. Wajib Pajak mengajukan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau
Surat Tagihan Pajak.
Apabila Wajib Pajak dapat menerima hasil keputusan yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak maka pajak terutang hasil keputusan tersebut menjadi pasti
berdasarkan hukum atau bersifat inkraacht. Dalam kondisi ini maka kewajiban pajak
Wajib Pajak berakhir dalam 3 (tiga) fase saja.
4. Fase penyelesaian sengketa.
Fase ini merupakan fase terakhir dalam konsep perpajakan di Indonesia. Dalam
hal Wajib Pajak tidak puas atas keputusan keberatan yang telah diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum berupa banding
ke Pengadilan Pajak. Pada prinsipnya Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan
akhir serta berkekuatan hukum tetap dan Pengadilan Pajak merupakan institusi terakhir
yang akan memutuskan perkara sengketa pajak. Namun demikian dalam kondisi
tertentu, pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan upaya hukum luar biasa
atas Putusan hakim Pengadilan Pajak yaitu dengan mengajukan Peninjauan Kembali
yang perkaranya akan diputus oleh Mahkamah Agung.

RANGKUMAN

1) Hukum Pajak terdiri dari Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal.
2) Untuk dapat memahami Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan saat ini
maka kita harus membaca Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 dan
Undang-Undang perubahannya beserta Peraturan Pemerintah Nomor 74
Tahun 2011 sebagai satu kesatuan. Hal ini karena Peraturan Pemerintah
Nomor 74 Tahun 2011 menjabarkan lebih lanjut beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.

BAB

LATIHAN

1) Apakah sistem self assessment itu?


2) Kapan sistem self assessment berlaku?
3) Apakah fungsi hukum pajak formal?

15
15 | P a g e

KEWAJIBAN MENDAFTARKAN DIRI DAN MELAPORKAN


USAHA

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa mampu memahami kewajiban mendaftarkan diri dan
melaporkan usaha

A. Kewajiban Mendaftarkan Diri


Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif
sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

perundang-undangan

perpajakan

wajib

mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor
Pokok Wajib Pajak. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada
Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan
sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya.
Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan
sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak
untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok
Wajib Pajak.

16 | P

1
6

age

Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan


mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan
perubahannya.
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan
sesuai

dengan

ketentuan

Undang-Undang

Pajak

Penghasilan

1984

dan

perubahannya.
Pada prinsipnya sistem administrasi perpajakan di Indonesia menempatkan
keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, sehingga dalam satu keluarga hanya
terdapat satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Dengan demikian, pelaksanaan hak dan
pemenuhan kewajiban perpajakan wanita kawin digabungkan dengan pelaksanaan
hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suami sebagai kepala keluarga. Hal ini
berlaku juga bagi anak yang belum dewasa sebagaimana diatur dalam
UndangUndang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya, yaitu yang belum
berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah, pelaksanaan hak dan
pemenuhan kewajiban perpajakan anak yang belum dewasa tersebut digabung
dengan orangtuanya. Namun demikian, terhadap wanita kawin tertentu ada yang
dikenai pajak secara terpisah dari suami sehingga diwajibkan melakukan pelaksanaan
hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara terpisah dari suami, yaitu:
1. wanita kawin yang hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim; atau
2. wanita kawin yang menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan
penghasilan dan harta.
Selain 2 (dua) kelompok wanita kawin yang diwajibkan untuk melakukan pelaksanaan
hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara terpisah dari suami sebagaimana
uraian di atas, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 memberi kebebasan bagi
wanita kawin selain kedua kelompok tersebut jika ingin melakukan pelaksanaan hak
dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara terpisah dari suami. Bagi wanita kawin
yang sukarela memilih untuk melakukan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban
perpajakan secara terpisah dari suami maka kewajiban perpajakannya dipersamakan
dengan wanita kawin yang menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian
pemisahan penghasilan dan harta.
Nomor Pokok Wajib Pajak terdiri dari 15 (lima belas) digit, yaitu XX.XXX.XXX.XXXX.XXX. 9 (sembilan) digit pertama merupakan kode Wajib Pajak dan 6 (enam) digit
terakhir merupakan kode adminitrasi perpajakan. Kode adminitrasi perpajakan terbagi

17 | P

1
7

age

2 (dua) yaitu 3 (tiga) digit di depan menunjukkan kode Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar dan 3 (tiga) digit berikutnya menunjukkan status Wajib Pajak.
B. Jangka Waktu Mendaftarkan Diri
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan
pekerjaan bebas termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dan Wajib
Pajak badan, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
paling lama 1 (satu) bulan setelah saat usaha mulai dijalankan.
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau tidak
melakukan pekerjaan bebas, apabila jumlah penghasilannya sampai dengan suatu
bulan yang disetahunkan telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, wajib
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama pada akhir
bulan berikutnya.
C. Kewajiban Melaporkan Kegiatan Usaha
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan
usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan
untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa
dari luar daerah pabean.
Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
Namun demikian, terdapat pengecualian terhadap Pengusaha Kena Pajak tertentu
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya yang
mengatur bahwa Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi kriteria sebagai pengusaha
kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan tidak menjadi Pengusaha
Kena Pajak.

18 | P

1
8

age

D. Jangka Waktu Melaporkan Kegiatan Usaha


Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan
pekerjaan bebas termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dan Wajib
Pajak badan yang memenuhi ketentuan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebelum
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
Bagi Pengusaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, yang:
1. memilih sebagai Pengusaha Kena Pajak; atau
2. Tidak memilih sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi sampai dengan suatu bulan
dalam suatu tahun buku jumlah nilai peredaran bruto atas penyerahan Barang
Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak telah melampaui batasan yang
ditentukan sebagai Pengusaha Kecil, wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak paling lama akhir bulan berikutnya.
E. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak Secara Jabatan
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau
Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya untuk mendaftarkan diri
guna memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak secara sukarela atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak secara sukarela. Penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak
dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dapat dilakukan apabila
berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata
orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak.
Dalam hal terhadap Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan maka kewajiban
perpajakan dari Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak tersebut dimulai sejak
saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun
sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai
Pengusaha Kena Pajak. Hal ini dimaksudkan agar terhadap Wajib Pajak dan/atau
Pengusaha Kena Pajak yang ditetapkan secara jabatan tersebut tidak dikecualikan dari

19 | P

1
9

age

pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan dan memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun
Pemerintah berkaitan dengan kewajiban Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan hak
untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak
F. Tempat Mendaftarkan Diri dan Melaporkan Kegiatan Usaha
Tempat mendaftarkan diri bagi Wajib Pajak ditentukan sebagai berikut:
1. Bagi Wajib Pajak orang pribadi adalah pada Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak.
2. Bagi Wajib Pajak badan adalah pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat kedudukan Wajib Pajak.
3. Terhadap Wajib Pajak tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan
kantor Direktorat Jenderal Pajak selain Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, sebagai
tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
4. Bagi Wajib Pajak yang berstatus sebagai cabang adalah pada Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi Wajib Pajak. Selain
pada Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana diuraikan di atas, Wajib Pajak juga
dapat mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan atau sering disebut sebagai KP2KP yang berada dalam wilayah
Kantor Pelayanan Pajak di atas. Pendaftaran secara langsung ke Kantor
Pelayanan Pajak maupun Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan disebut juga pendaftaran secara manual. Untuk memudahkan
Wajib Pajak dan dalam rangka eGovernment, Direktorat Jenderal Pajak telah
memberikan sarana pendaftaran secara online melalui e-Registration.
Sepanjang Wajib Pajak dapat mengakses internet maka Wajib Pajak dapat
mendaftarkan diri melalui situs Direktorat Jenderal Pajak www.pajak.go.id.
Dalam struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak saat ini, Kantor Pelayanan
Pajak dibedakan berdasarkan ukuran Wajib Pajak yaitu:
1. Kantor Pelayanan Wajib Pajak Besar, yang terdiri dari Kantor Pelayanan Wajib
Pajak Besar I, Kantor Pelayanan Wajib Pajak Besar II, Kantor Pelayanan Badan
Usaha Milik Negara, dan Kantor Pelayanan Wajib Pajak Besar orang pribadi.
2. Kantor Pelayanan Pajak Madya, yang terdapat pada beberapa Kantor Wilayah
dan Kantor Pelayanan Pajak yang berada di bawah Kantor Wilayah Jakarta

20 | P

2
0

age

Khusus. Kantor Pelayanan Pajak di bawah Kantor Wilayah Jakarta Khusus


terdiri dari Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Satu, Dua, Tiga,
Empat, Lima, dan Enam, Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa,
Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing Satu, dan Dua.
3. Kantor Pelayanan Pajak Pratama.
Bagi Wajib Pajak tertentu, yang dimaksud dengan tempat pendaftaran untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak pada kantor Direktorat Jenderal Pajak
selain Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
atau tempat kedudukan Wajib Pajak adalah Kantor Pelayanan Wajib Pajak
Besar atau Kantor Pelayanan Pajak Madya yang ditentukan oleh Direktorat
Jenderal Pajak untuk Wajib Pajak tertentu tersebut.
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak atau
memenuhi kriteria sebagai pengusaha kecil tetapi memilih untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak harus melaporkan usahanya ke Kantor Pelayanan
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal, tempat kedudukan, tempat
kegiatan usaha Wajib Pajak atau ke Kantor Pelayanan Pajak tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
G. Kewajiban Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu
Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, selain mendaftarkan diri
pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib
Pajak juga mendaftarkan diri pada pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat-tempat usaha Wajib Pajak. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha
tertentu, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di
beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa
pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan
mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.
H. Sanksi Berkaitan Dengan Kewajiban Mendaftarkan Diri dan Melaporkan
Kegiatan Usaha
Sanksi terkait dengan kewajiban mendaftarkan diri dan melaporkan kegiatan
usaha diatur dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang KUP, bahwa setiap
orang yang dengan sengaja:

21 | P

2
1

age

1. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; atau
2. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling
banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Oleh karena itu, bagi Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri
untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan atas perbuatan tersebut menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara maka terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena
Pajak tersebut dapat dikenai sanksi pidana.
I.

Pemindahan Wajib Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan


Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

1. Pemindahan wajib pajak.


Pada prinsipnya Wajib Pajak terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayah kerjanya melputi tempat tinggal atau tempat kedudukannya atau Pengusaha
Kena Pajak terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat usaha Pengusaha Kena Pajak tersebut. Dalam hal Wajib Pajak pindah domisili
atau pindah tempat tinggal maka Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak harus
pindah Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan tempat tinggal, tempat kedudukan, atau
tempat usaha yang baru tersebut.
2. Penghapusan nomor pokok wajib pajak.
Pasal 2 ayat (6) Undang-Undang KUP mengatur bahwa penghapusan Nomor
Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
a. diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib
Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi
persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan;
b. Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
c. Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di
Indonesia; atau

22 | P

2
2

age

d. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor


Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan
subjektif

dan/atau

objektif

sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

perundangundangan perpajakan.
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan dalam hal :
a. Wajib Pajak orang pribadi meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
b. wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
c. warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak sudah
selesai dibagi;
d. Wajib Pajak badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. bentuk usaha tetap yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya sebagai
bentuk usaha tetap;
f.

Wajib Pajak orang pribadi lainnya selain yang dimaksud pada huruf a dan huruf
b yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai Wajib Pajak.
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dilakukan apabila utang

pajak telah dilunasi atau hak untuk melakukan penagihan telah daluwarsa, kecuali
dari hasil pemeriksaan pajak diketahui bahwa utang pajak tersebut tidak dapat atau
tidak mungkin ditagih lagi disebabkan karena:
a. Wajib Pajak orang pribadi meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta
warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat ditemukan;
b. Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi; atau
c. sebab lain sesuai dengan hasil pemeriksaan.
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak wanita kawin yang
sebelumnya telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan menikah tidak dengan
perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dapat dilakukan dengan ketentuan
bahwa suami telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan berlaku sejak awal tahun
berikutnya setelah tahun perkawinan dilaksanakan.
Permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak diproses melalui
pemeriksaan dan Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas
permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6
(enam) bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk
Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

23 | P

2
3

age

Penghapusan

Nomor Pokok Wajib

Pajak hanya

ditujukan untuk

kepentingan tata usaha perpajakan, tanpa menghilangkan kewajiban perpajakan


yang harus dilakukannya.
3. Pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak.
Pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dapat dilakukan dalam hal:
a. Pengusaha Kena Pajak pindah alamat ke wilayah kerja Kantor Pelayanan
Pajak lain;
b. Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi syarat lagi sebagai Pengusaha Kena
Pajak termasuk Pengusaha Kena Pajak yang jumlah peredaran dan/atau
penerimaan bruto untuk suatu tahun buku tidak melebihi batas jumlah
peredaran dan/atau penerimaan bruto untuk pengusaha kecil.
Dalam hal jumlah peredaran bruto untuk suatu tahun buku tidak melebihi batas
jumlah peredaran bruto untuk Pengusaha Kecil, maka Pengusaha Kena Pajak dapat
mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak
paling lambat 1 (satu) bulan setelah berakhirnya tahun buku yang bersangkutan.
Pencabutan

pengukuhan

Pengusaha

Kena

Pajak

diproses

melalui

pemeriksaan dan Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas


permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6
(enam) bulan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
Pencabutan Pengusaha Kena Pajak hanya ditujukan untuk kepentingan tata
usaha perpajakan, tanpa menghilangkan kewajiban perpajakan yang harus
dilakukannya.

RANGKUMAN

1) Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
-undangan perpajakan
wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak.
2) Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
3) Apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan
kewajibannya untuk mendaftarkan diri guna memperoleh Nomor Pokok
Wajib Pajak secara sukarela atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak secara sukarela maka Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan

24 | P

2
4

age

Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak


secara jabatan.

LATIHAN
1) Apakah kewajiban terkait dengan pendaftaran bagi Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu?
2) Bagaimana cara pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak atau pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak?
3) Berapa lama proses penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan
Pengusaha Kena Pajak?

BAB
PEMBUKUAN DAN PENCATATAN

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa mampu menjelaskan kewajiban pembukuan atau pencatatan
bagi Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak.

A. Pengertian Pembukuan dan Pencatatan


Kewajiban menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan melekat bagi setiap
Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri. Tujuan dilakukan pembukuan atau
pencatatan adalah untuk mendapatkan informasi yang benar dan lengkap tentang
penghasilan Wajib Pajak sehingga dapat dihitung pajak yang terutang.
1. Pengertian pembukuan.
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang
atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan
laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut. Sedikit berbeda dengan Standar
Akuntansi Keuangan, laporan keuangan menurut Undang-Undang KUP cukup berupa
neraca dan laporan laba rugi.

25 | P

2
5

age

Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus
dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus
mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai
ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari
luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
Pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim
dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali
peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
2. Pengertian pencatatan.
Pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang
peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk
menghitung jumlah pajak yang terutang termasuk penghasilan yang bukan objek pajak
dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan
pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan
penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima
penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai
penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak
Penghasilan.
B. Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan dan Pencatatan
1. Yang wajib menyelenggarakan pembukuan.
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa yang wajib
menyelengarakan pembukuan adalah: a. Wajib Pajak badan;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Namun demikian, berdasarkan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang KUP diatur
pengecualian dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan. Bagi Wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan

26 | P

2
6

age

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung


penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
tersebut dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib
melakukan pencatatan.
2. Yang wajib menyelenggarakan pencatatan.
Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang KUP mengatur bahwa yang wajib
menyelengarakan pencatatan adalah:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto; dan
b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas.
C. Ketentuan Mengenai Pembukuan dan Pencatatan
1. Ketentuan mengenai pembukuan.
a. Pembukuan harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
b. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan
menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun
dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri
Keuangan.
c. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel
akrual atau stelsel kas.
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode
pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran
laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam
penerapan:
1) stelsel pengakuan penghasilan;
2) tahun buku;
3) metode penilaian persediaan; atau

27 | P

2
7

age

4) metode penyusutan dan amortisasi.


Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan
biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada
waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan
kapan biaya itu dibayar secara tunai. Termasuk dalam pengertian stelsel akrual
adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat
penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam bidang konstruksi dan
metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build operate and
transfer (BOT) dan real estat.
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan
atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut
stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila
benarbenar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya
baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai
dalam suatu periode tertentu. Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan
kecil orang pribadi atau perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan
restoran yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan
pembayarannya tidak berlangsung lama.
Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa
ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biayabiaya
ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi lain dibayar. Dengan cara
ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang
mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke
tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran
kas. Oleh karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai
stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut.
1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh
penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga
pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.
2) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat
diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat
dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).
Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan
dapat juga dinamakan stelsel campuran.

28 | P

2
8

age

d. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat


persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu
harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan
metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode
penyusutan aktiva tetap, dan metode penilaian persediaan. Namun, perubahan
metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat telah mendapat
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode pembukuan harus
diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang
bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima
serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.
Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam
prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau
sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau
pengakuan biaya itu sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang
berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode
penyusutan tertentu.
Contoh:
Wajib Pajak dalam tahun 2008 menggunakan metode penyusutan garis lurus
atau straight line method. Jika dalam tahun 2009 Wajib Pajak bermaksud
mengubah metode penyusutan aktiva dengan menggunakan metode
penyusutan saldo menurun atau declining balance method, Wajib Pajak harus
minta persetujuan terlebih dahulu kepada Direktur Jenderal Pajak yang
diajukan sebelum dimulainya tahun buku 2009 dengan menyebutkan alasan
dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari perubahan
tersebut.
Selain itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat berubahnya
jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu, perubahan
tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender kecuali Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan
tahun kalender, penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan menggunakan
tahun yang di dalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih.
Contoh:

29 | P

2
9

age

a. Tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah Tahun Pajak
2008.
b. Tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009 adalah
Tahun Pajak 2009.
e. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian
sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
f.

Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah
dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri
Keuangan.

g. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan dokumen lain
termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10
(sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib
Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara
program aplikasi on-line dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi
dasar pembukuan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia. Hal
itu dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat
ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih
tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun
penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan
adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, catatan,
dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan dokumen lain termasuk
yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line harus dilakukan dengan
memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.
2. Ketentuan mengenai pencatatan.
a. Pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya

30 | P

3
0

age

b. Pencatatan harus diselenggarakan secara teratur dan mencerminkan


keadaan yang sebenarnya dengan menggunakan huruf latin, angka Arab,
satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia.
c. Pencatatan dalam satu tahun harus diselenggarakan secara kronologis.
d. pencatatan harus dapat menggambarkan antara lain:
1) Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto
yang diterima dan/atau diperoleh;
2) Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final.
e. Bagi Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau
tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas untuk
masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan.
f.

Catatan dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan harus disimpan di


tempat tinggal Wajib Pajak atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dilakukan selama 10 (sepuluh) tahun.

D. Sanksi Berkaitan Dengan Pembukuan dan Pencatatan


1. Sanksi administrasi.
Sanksi

administrasi

berkaitan

dengan

tidak

dipenuhinya

kewajiban

menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan terdapat dalam Pasal 13 ayat (1) dan
ayat (3) Undang-Undang KUP, bahwa apabila kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya
pajak yang terutang maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut ditagih dengan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar:
a. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar
dalam satu Tahun Pajak;
b. 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong,
tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau
dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
c. 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.

31 | P

3
1

age

2. Sanksi pidana.
Sanksi

pidana

berkaitan

dengan

tidak

dipenuhinya

kewajiban

menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan terdapat dalam Pasal 39 ayat (1)


huruf f, huruf g, dan huruf h serta ayat (2) Undang-Undang KUP, bahwa setiap orang
yang dengan sengaja:
a. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya;
b. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
c. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara
program aplikasi on- line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (11), sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar.
Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana
apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat
1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.

RANGKUMAN

1) Pada
prinsipnya
setiap Wajib Pajak wajib menyelenggarakan
pembukuan, namun bagi Wajib Pajak tertentu ada yang dikecualikan dari
kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib
menyelenggarakan pencatatan.
2) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan
iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang
sebenarnya.
3) Pelanggaran atas kewajiban menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan
dapat dikenai sanksi adminitrasi maupun sanksi pidana.

32 | P

3
2

age

LATIHAN
1) Apa perbedaan pembukuan menurut akuntansi dengan menurut pajak?

2) Siapa yang wajib menyelenggarakan pencatatan?


3) Sebutkan pokok-pokok ketentuan mengenai pembukuan dan mengenai
pencatatan!

BAB
SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa mampu menjelaskan ketentuan mengenai Surat Pemberitahuan

A. Pengertian dan Jenis Surat Pemberitahuan


Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan
objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Pada prinsipnya Surat Pemberitahuan merupakan sarana komunikasi utama
antara Wajib Pajak dengan Fiskus. Wajib Pajak mempertanggungkan perhitungan
pajak yang telah dilakukan dan dibayar dalam Surat Pemberitahuan. Perhitungan pajak
terutang dalam Surat Pemberitahuan wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Apabila terdapat kekeliruan dalam
perhitungan atau pelaporan dalam Surat Pemberitahuan maka Wajib Pajak
membetulkan Surat Pemberitahuan tersebut. Surat Pemberitahuan dalam sistem self
assessment pada hakikatnya merupakan penetapan oleh Wajib Pajak sendiri,
penetapan oleh Fiskus hanya dilakukan apabila Surat Pemberitahuan tidak benar.
1. Fungsi surat pemberitahuan.
a. Bagi Wajib Pajak Penghasilan

33 | P

3
3

age

Sebagai

sarana

Wajib Pajak untuk melaporkan

dan

mempertanggungjawabkan:
1) penghitungan jumlah Pajak Penghasilan yang sebenarnya terutang.
2) pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau
melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak lain dalam Tahun Pajak atau
Bagian Tahun Pajak.
3) penghitungan penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak.
4) harta dan kewajiban.
b. Bagi Pengusaha Kena Pajak
Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan:
1) Penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang sebenarnya terutang.
2) Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran.
3) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilakukan sendiri oleh
Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa pajak.
c. Bagi Pemungut Pajak
Sebagai

sarana

untuk melaporkan

dan

mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang telah dipotong


atau dipungut yang sebenarnya terutang dan dietorkan.
2. Jenis surat pemberitahuan.
Jenis Surat Pemberitahuan dilihat dari periode pelaporan terdiri dari Surat
Pemberitahuan Tahunan dan Surat Pemberitahuan Masa. a. Surat Pemberitahuan
Tahunan.
Surat Pemberitahuan Tahuan terbagi dalam beberapa bentuk formulir sesuai
dengan Wajib Pajak yang melaporkannya, yaitu:
1) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan (formulir 1771).
2) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan bagi Wajib Pajak.
yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam mata uang Dollar
Amerika Serikat (formulir 1771 $).
3) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (formulir
1770).
4) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Sederhana
(formulir 1770 S).

34 | P

3
4

age

5) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Sangat


Sederhana (formulir 1770 SS).

b. Surat Pemberitahuan Masa.


Surat Pemberitahuan Masa terbagi dalam beberapa bentuk formulir sesuai
dengan jenis pajak yang dilaporkan, yaitu:
1) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26
(formulir 1721).
2) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 22.
3) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau Pasal 26.
4) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25.
5) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2).
6) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 15.
7) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (formulir 1111).
8) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Bagi Pengusaha Kena
Pajak Yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak
Masukan (formulir 1111 DM).
9) SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
(formulir 1107 PUT).

3. Bentuk surat pemberitahuan.


Bentuk Surat Pemberitahuan dilihat dari fisik Surat Pemberitahuan terdiri dari
formulir kertas (hardcopy) dan e-SPT. a. Formulir kertas (hardcopy).
Merupakan formulir dalam bentuk kertas yang dapat diisi oleh Wajib Pajak
sebagaiman formulir pada umumnya.
b. e-SPT
Merupakan data Surat Pemberitahuan Wajib Pajak dalam bentuk elektronik
yang dibuat oleh Wajib Pajak dengan menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan
oleh Direktorat Jenderal Pajak.
4. Tempat dan Cara Pengambilan Formulir Surat Pemberitahuan.
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang KUP mengatur, bahwa Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) mengambil sendiri Surat
Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau

35 | P

3
5

age

mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pada prinsipnya Wajib Pajak harus mengambil sendiri formulir Surat
Pemberitahuan dan Direktur Jenderal Pajak tidak mempunyai kewajiban untuk
mengirimkan formulir Surat Pemberitahuan kepada Wajib Pajak. Apabila Direktur
Jenderal Pajak mengirimkan formulir Surat Pemberitahuan maka hal tersebut
dilaksanakan dalam rangka pelayanan kepada Wajib Pajak. Tempat pengambilan
Surat Pemberitahuan diatur sebagai berikut:
a. Untuk Surat Pemberitahuan berbentuk formulir kertas (hardcopy):
1) dapat diambil secara langsung di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak, yaitu Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan
Konsultasi Perpajakan.
2) format Surat Pemberitahuan dapat diunduh dari situs Direktorat Jenderal Pajak.
b. Untuk Surat Pemberitahuan berbentuk e-SPT:
1) dapat diambil secara langsung oleh Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak
atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan.
2) aplikasi e-SPT dapat diunduh dari situs Direktorat Jenderal Pajak.
B. Kewajiban Menyampaikan Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur, bahwa setiap Wajib Pajak
wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah,
dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir
Surat Pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan
benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi
Surat Pemberitahuan adalah:
a. benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;

36 | P

3
6

age

b. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak
dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan; dan
c. jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan
unsurunsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.
Surat Pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas tersebut
wajib disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar
atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan oleh pemotong atau pemungut
pajak dilakukan untuk setiap Masa Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang
selain Rupiah, Wajib Pajak yang bersangkutan wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang
selain Rupiah yang diizinkan. Saat ini izin yang diberikan oleh Menteri Keuangan
terbatas pada mata uang Dolar Amerika Serikat.
Wajib Pajak wajib menandatangani Surat Pemberitahuan sebelum disampaikan
kepada Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan mengenai penandatanganan Surat
Pemberitahuan diatur sebagai berikut:
1. Ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak
2. Penandatanganan Surat Pemberitahuan dilakukan dengan cara:
a. tanda tangan biasa;
b. tanda tangan stempel; atau
c. tanda tangan elektronik atau digital.
3. Tanda tangan stempel dan tanda tangan elektronik atau digital mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan biasa.
C. Kelengkapan Surat Pemberitahuan
Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib Pajak, antara
lain untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak dan
pembayarannya, dalam rangka keseragaman dan mempermudah pengisian serta
pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan, keterangan, dokumen
yang harus dilampirkan dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat
Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

37 | P

3
7

age

Undang-Undang KUP hanya mengatur kelengkapan Surat Pemberitahuan


Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan,
yaitu harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi
serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena
Pajak. Kelengkapan Surat Pemberitahuan lainnya diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan maupun Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Secara umum setiap Surat
Pemberitahuan yang menyatakan kurang bayar harus dilampiri dengan Surat Setoran
Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak. Lampiran beberapa
Surat Pemberitahuan sebagai kelengkapan Surat Pemberitahuan adalah sebagai
berikut:
1. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Badan:
a. Neraca dan Laporan Laba Rugi Tahun Pajak yang bersangkutan dari Wajib
Pajak itu sendiri (bukan Neraca dan Laporan Laba Rugi konsolidasi grup)
beserta rekonsiliasi laba rugi fiskal.
b. Daftar penghitungan penyusutan dan atau amortisasi fiskal.
c. Penghitungan kompensasi kerugian dalam hal terdapat sisa kerugian
tahuntahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan.
d. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 29 yang seharusnya dalam hal
terdapat kekurangan pajak yang terutang, kecuali ada izin untuk mengangsur
atau menunda pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29.
e. Surat Kuasa Khusus, dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan ditandatangani
oleh bukan Wajib Pajak.
f.

Lampiran-lampiran

lainnya

yang

dianggap

perlu

untuk

menjelaskan

Penghitungan besarnya penghasilan kena pajak atau besarnya Pajak


Penghasilan Pasal 25.
2. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang menyelenggarakan
pembukuan:
a. Neraca dan Laporan Laba Rugi Tahun Pajak yang bersangkutan dari Wajib
Pajak itu sendiri berserta rekonsiliasi fiskalnya.
b. Daftar penghitungan penyusutan dan atau amortisasi fiskal.
c. Penghitungan kompensasi kerugian dalam hal terdapat sisa kerugian
tahuntahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan.

38 | P

3
8

age

d. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 29 yang seharusnya dalam hal
terdapat kekurangan pajak yang terutang, kecuali ada izin untuk mengangsur
atau menunda pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29.
e. Surat Kuasa Khusus dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan ditandatangani
oleh bukan Wajib Pajak, atau Surat Keterangan Kematian dari Instansi yang
berwenang dalam hal ditandatangani oleh Ahli Waris.
f.

Fotokopi formulir 1721-A1 dan atau 1721-A2, dalam hal Wajib Pajak menerima
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang sudah dipotong pajaknya
oleh pemberi kerja.

g. Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang oleh masing-masing pihak bagi


Wajib Pajak yang kawin dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
h. Daftar susunan keluarga yang menjadi tanggungan Wajib Pajak.
i.

Bukti setoran zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk dan disahkan oleh Pemerintah.

j.

Lampiran-lampiran

lainnya

yang

dianggap

perlu

untuk

menjelaskan

penghitungan besarnya penghasilan kena pajak atau besarnya Pajak


Penghasilan Pasal 25.
3. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang menyelenggarakan
pencatatan:
a. Jumlah peredaran atau penerimaan bruto setiap bulan selama setahun.
b. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 29 yang seharusnya dalam hal
terdapat kekurangan pajak yang terutang, kecuali ada izin untuk mengangsur
atau menunda pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29.
c. Surat Kuasa Khusus dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan ditandatangani
oleh bukan Wajib Pajak, atau Surat Keterangan Kematian dari Instansi yang
berwenang dalam hal ditandatangani oleh Ahli Waris.
d. Fotokopi formulir 1721-A1 dan atau 1721-A2, dalam hal Wajib Pajak menerima
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang sudah dipotong pajaknya
oleh pemberi kerja.
e. Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang oleh masing-masing pihak bagi
Wajib Pajak yang kawin dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
f.

39 | P

Daftar susunan keluarga yang menjadi tanggungan Wajib Pajak.

3
9

age

g. Bukti setoran zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk dan disahkan oleh Pemerintah.
h. Lampiran-lampiran

lainnya

yang

dianggap

perlu

untuk

menjelaskan

penghitungan besarnya penghasilan kena pajak atau besarnya Pajak


Penghasilan Pasal 25.
D. Cara Penyampaian dan Batas Waktu Penyampaian SPT
1. Cara penyampaian surat pemberitahuan.
Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan kepada Direktorat
Jenderal Pajak dengan beberapa cara:
a. secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan,
Penyuluhan dan Konsultasi Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, atau tempat
lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak antara lain Mobil Pajak, Pojok
Pajak, Drop Box.
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat.
c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman
surat.
d. melalui e-Filing, yaitu secara online dan real time pada jaringan internet.
Pengiriman Surat Pemberitahuan secara langsung, melalui pos, maupun
melalui perusahan jasa ekspedisi dapat dilakukan untuk Surat Pemberitahuan yang
berbentuk formulir kertas maupun berbentuk e-SPT. Jika menggunakan e-SPT maka
Wajib Pajak tetap harus menyerahkan formulir induk Surat Pemberitahuan dalam
bentuk tercetak yang telah ditandatangani ditambah dengan data elektronik yang
disimpan dalam media elektronik.
Pengiriman Surat Pemberitahuan melalui e-Filing hanya dapat dilakukan untuk
Surat Pemberitahuan yang berbentuk e-SPT.
Atas penyampaian Surat Pemberitahuan secara langsung diberikan tanda
penerimaan surat dan atas penyampaian Surat Pemberitahuan melalui e-Filing
diberikan Bukti Penerimaan Elektronik. Bukti pengiriman surat dalam hal Surat
Pemberitahuan dikirim melalui pos dengan bukti pengiriman atau melalui perusahaan
jasa ekspedisi dan tanda penerimaan surat serta Bukti Penerimaan Elektronik menjadi
bukti penerimaan SPT.
2. Batas waktu penyampaian surat pemberitahuan.

40 | P

4
0

age

Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan berbeda-beda untuk

setiap

jenis Surat Pemberitahuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) UndangUndang KUP dan Pasal 15A ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai, yaitu:
a. untuk Surat Pemberitahuan Masa selain Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak.
b. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang
pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
c. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan,
paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
d. untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, paling lama akhir
bulan berikutnya setelah akhir Masa Pajak.
E. Sanksi Berkaitan Dengan Penyampaian SPT.
Apabila Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban menyampaikan SPT
maka Wajib Pajak dapat dikenai sanksi administrasi ataupun sanksi pidana. Sanksi
administrasi adalah berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UndangUndang
KUP atau berupa kenaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan
Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang KUP. Sanksi pidana dapat berupa kurungan atas
tindak pidana kealpaan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a UndangUndang KUP ataupun penjara atas tindak pidana kesengajaan sebagaimana diatur
dalam Pasal 39 ayat (1) huruf c dan ayat (2) Undang-Undang KUP.
1. Sanksi administrasi berupa denda.
Wajib Pajak dikenai Sanksi Administrasi Berupa Denda apabila terlambat
menyampaikan Surat Pemberitahuan sehingga melewati jangka waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat
Pemberitahuan, yaitu:
a. Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai.
b. Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya.
c. Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak badan.
d. Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
Pengenaan sanksi administrasi berupa denda di atas tidak dilakukan terhadap:

41 | P

4
1

age

a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;


b. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas;
c. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang
tidak tinggal lagi di Indonesia;
d. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
e. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum
dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
g. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan; atau
h. Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
2. Sanksi administrasi berupa kenaikan.
Dalam

hal terhadap Wajib

Pajak

yang

tidak

menyampaikan

Surat

Pemberitahuan dilakukan pemeriksaan dan berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat


kekurangan pembayaran pajak sehingga terhadap Wajib Pajak diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa
kenaikan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Sanksi kenaikan tersebut dapat
dikenakan apabila terhadap Wajib Pajak telah diterbitkan surat teguran dan Surat
Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam
Surat Teguran. Besar sanksi administrasi berupa kenaikan yaitu:
a. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar
dalam satu Tahun Pajak.
b. 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong,
tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau
dipungut tetapi tidak atau kurang disetor.
c. 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
3. Sanksi pidana kealpaan.
Setiap

orang

yang

karena

kealpaannya

tidak

menyampaikan

Surat

Pemberitahuan sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan


perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali

42 | P

4
2

age

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat
3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 38 huruf a
Undang-Undang KUP.

4. Sanksi pidana kesengajaan.


Setiap orang yang dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar
dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf c UndangUndang KUP.
Pidana sebagaimana dimaksud pada paragraf di atas ditambahkan 1 (satu) kali
menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di
bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani
pidana penjara yang dijatuhkan. Hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat (2) huruf c UndangUndang KUP.
F. Hak Wajib Pajak Berkaitan Dengan Penyampaian SPT.
Wajib Pajak memiliki beberapa hak sehubungan dengan penyampaian Surat
Pemberitahuan, yaitu:
1. Memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
2. Membetulkan Surat Pemberitahuan.
3. Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan.
Namun demikian, setiap penggunaan hak tersebut oleh Wajib Pajak memiliki
konsekuensi tersendiri.
1. Perpanjangan jangka waktu penyampaian surat pemberitahuan.
Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang KUP mengatur, bahwa Wajib Pajak dapat
memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan

43 | P

4
3

age

dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain
kepada Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan. Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan
ternyata tidak dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam jangka
waktu yang telah ditetapkan karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah
teknis penyusunan laporan keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit untuk
memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu
yang telah ditentukan, Wajib Pajak dapat memperpanjang penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dengan cara menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain misalnya dengan pemberitahuan
secara elektronik kepada Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang KUP mengatur, bahwa pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disertai dengan penghitungan sementara
pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti
pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Ketentuan dimaksudkan untuk
mencegah usaha penghindaran dan/atau perpanjangan waktu pembayaran pajak yang
terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang harus dibayar sebelum batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan persyaratan yang
berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi Wajib Pajak yang ingin
memperpanjang

waktu

penyampaian

Surat

Pemberitahuan

Tahunan

Pajak

Penghasilan. Persyaratan tersebut berupa keharusan menyampaikan pemberitahuan


sementara dengan menyebutkan besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan
penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat
Setoran

Pajak

sebagai

bukti

pelunasan,

sebagai

lampiran

pemberitahuan

perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak


Penghasilan.
Apabila Surat Pemberitahuan yang disampaikan melalui perpajangan tersebut
menyatakan kurang bayar maka atas kekurangan pembayaran tersebut dikenai sanksi
sesuai dengan Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang KUP mengatur, bahwa dalam hal
Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan
ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan
pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang
dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai
dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.
2. Pembetulan surat pemberitahuan.

44 | P

4
4

age

Pembetulan Surat Pemberitahuan dilakukan dalam hal terjadi kesalahan atau


kekeliruan pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1)
dan ayat (1a) Undang-Undang KUP atau dalam hal terdapat perubahan jumlah
kerugian yang telah dikompensasikan akibat

sebagai akibat diterbitkannya surat

ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan


Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat
(6) Undang-Undang KUP.
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur, bahwa Wajib Pajak dengan
kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan
dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak
belum melakukan tindakan pemeriksaan. Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat
Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk
melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak
belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan mulai
melakukan

tindakan

pemeriksaan adalah

pada

saat Surat Pemberitahuan

Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau
anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Pasal 8 ayat (1a) Undang-Undang KUP mengatur, bahwa dalam hal
pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan
rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama
2

(dua)

tahun

sebelum

daluwarsa

penetapan.

Apabila

pembetulan

Surat

Pemberitahuan menyatakan kurang bayar maka atas kekurangan pembayaran


tersebut dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (2a) UndangUndang
KUP.
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang KUP mengatur, bahwa dalam hal Wajib Pajak
membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak
menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat
penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Pasal 8 ayat (2a) Undang-Undang
KUP mengatur, bahwa dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat
Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar,
kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran
sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.

45 | P

4
5

age

3. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan.


Ketentuan ini diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KUP mengatur,
bahwa walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat
Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan
kesadaran

sendiri dapat mengungkapkan

dalam

laporan

tersendiri tentang

ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai


keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
c. jumlah harta menjadi lebih besar a`tau lebih kecil; atau
d. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses pemeriksaan tetap
dilanjutkan.
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi belum
menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang
belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk
mengungkapkan ketidakbenaran

pengisian

Surat Pemberitahuan

yang

telah

disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat


Pemberitahuan Masa untuk tahun atau masa yang diperiksa. Pengungkapan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan dalam laporan
tersendiri dan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya sehingga dapat
diketahui jumlah pajak yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan
kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan sampai
selesai.
Sanksi sehubungan dengan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat
Pemberitahuan diatur dalam Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP mengatur, bahwa
pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari
pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri
dimaksud disampaikan.
Atas kekurangan pajak sebagai akibat adanya pengungkapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50%
(lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, dan harus dilunasi oleh Wajib Pajak
sebelum laporan pengungkapan tersendiri disampaikan. Namun, pemeriksaan tetap
dilanjutkan. Apabila dari hasil pemeriksaan terbukti bahwa laporan pengungkapan
ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, atas ketidakbenaran
pengungkapan tersebut dapat diterbitkan surat ketetapan pajak.

46 | P

4
6

age

4. Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan.


Ketentuan ini diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP mengatur,
bahwa walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan
tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib
Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan
sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai
pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta
sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari
jumlah pajak yang kurang dibayar.
Wajib Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 selama belum dilakukan penyidikan, sekalipun telah dilakukan pemeriksaan dan
Wajib Pajak telah mengungkapkan kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlah pajak
yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150%
(seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar, terhadapnya tidak
akan dilakukan penyidikan.
Namun, apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan
tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, kesempatan untuk mengungkapkan
ketidakbenaran perbuatannya sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.

RANGKUMAN
1) Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau
bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
2) Surat Pemberitahuan terdiri dari Surat Pemberitahuan Masa dan Surat
Pemberitahuan Tahunan.
3) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar,
lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf
Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
4) Wajib Pajak memiliki beberapa hak sehubungan dengan penyampaian Surat
Pemberitahuan, yaitu:
1. Memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
2. Membetulkan Surat Pemberitahuan.
3. Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan.
Namun demikian, setiap penggunaan hak tersebut oleh Wajib Pajak memiliki
konsekuensi tersendiri..

47 | P

4
7

age

LATIHAN
1) Bagaimana cara memperoleh Surat Pemberitahuan?
2) Bagaimana cara menyampaikan Surat Pemberitahuan?
3) Sebutkan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan!
4) Jelaskan sanksi terkait keterlambatan penyampaian atau tidak menyampaikan
Surat Pemberitahuan!
5) Jelaskan syarat bagi Wajib Pajak untuk melakukan pembetulan Surat
Pemberitahuan dan sanksinya!

BAB
PEMBAYARAN PAJAK DENGAN SURAT
SETORAN PAJAK (SSP)

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa mampu menjelaskan ketentuan mengenai pembayaran pajak

A. Pengertian Surat Setoran Pajak


Sarana yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk membayar atau menyetor pajak
yang terutang berupa Surat Setoran Pajak. Surat Setoran Pajak adalah bukti
pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan
formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Pasal 10 ayat (1) UndangUndang
KUP mengatur, bahwa Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang
terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat
pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Peraturan
Menteri Keuangan tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan
Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran
Pajak, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan
Penundaan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 antara lain mengatur bahwa:

48 | P

4
8

age

a. Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan


Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan
Surat Setoran Pajak.
b. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain berfungsi sebagai bukti
pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima
pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi.
c. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila telah
divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
B. Jatuh Tempo Pembayaran Pajak
Jatuh tempo pembayaran pajak dapat dikelompokkan menjadi jatuh tempo
pembayaran Surat Pemberitahuan Tahunan, jatuh tempo pembayaran Surat
Pemberitahuan Masa, jatuh tempo pembayaran ketetapan pajak, serta jatuh
penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak.
1. Jatuh tempo pembayaran untuk Surat Pemberitahuan Tahunan.
Kekurangan pembayaran pajak yang terutang dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan harus dibayar lunas paling lambat sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan disampaikan. Oleh karena itu, jatuh tempo pembayaran Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi paling lama 3 (tiga) bulan
setelah Tahun Pajak berakhir dan jatuh tempo pembayaran Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Badan paling lama 4 (empat) bulan setelah Tahun Pajak
berakhir.
Apabila terdapat pembayaran atau penyetoran pajak berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dilakukan setelah tanggal jatuh
tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, atas keterlambatan tersebut
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang
dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (2b) Undang-Undang KUP.
2. Jatuh tempo pembayaran untuk Surat Pemberitahuan Masa.
Kekurangan pembayaran pajak yang terutang dalam Surat Pemberitahuan
Masa harus dibayar sebelum Surat Pemberitahuan Masa disampaikan dan jatuh tempo
pembayaran diatur untuk setiap jenis Surat Pemberitahuan Masa. Rincian jatuh tempo
pembayaran masa dapat dilihat pada Tabel 5.1

49 | P

4
9

age

Tabel 5.1 Rincian Jatuh Tempo Pembayaran Masa


No

1.

PPh Pasal 4 ayat (2) yang


dipotong oleh Pemotong Pajak

2.

PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus


dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
PPh Pasal 15 yang dipotong oleh
Pemotong Pajak
PPh Pasal 15 yang harus dibayar
sendiri

3.
4.

6.

PPh Pasal 21 yang dipotong oleh


Pemotong PPh
PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26
yang dipotong oleh Pemotong
PPh

7.

PPh Pasal 25

5.

8.

9.

10.

11.

No

12.

50 | P

Jenis pajak

Jatuh tempo
Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir
Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir
Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir
Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir
Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir
Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir

Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya


setelah Masa Pajak berakhir
PPh Pasal 22, PPN dan PPnBM
Dilunasi bersamaan dengan saat
atas impor
pembayaran Bea Masuk dan dalam hal
Bea Masuk ditunda atau dibebaskan,
harus dilunasi pada saat penyelesaian
dokumen pemberitahuan pabean impor
PPh Pasal 22, PPN dan PPnBM Jangka waktu 1 (satu hari kerja) setelah
atas impor yang dipungut Ditjen
dilakukan pemungutan pajak
Bea dan Cukai
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh
bendahara

Pada
hari
yang
sama
dengan
pelaksanaan
pembayaran
atas
penyerahan barang yang dibiayai dari
belanja Negara atau belanja Daerah,
dengan SSP atas nama rekanan dan
ditandatangani oleh bendahara
PPh Pasal 22 atas penyerahan Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya
bahan bakar minyak, gas, dan setelah Masa Pajak berakhir
pelumas kepada penyalur/agen
atau industri yang dipungut oleh
Jenis pajak
Jatuh tempo
WP badan yang bergerak dalam
bidang produksi bahan bakar
minyak, gas, dan pelumas
PPh
Pasal
22
yang Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya
pemungutannya dilakukan oleh WP setelah Masa Pajak berakhir
badan tertentu sebagai
Pemungut Pajak

5
0

age

13.

PPN yang terutang atas kegiatan Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya
membangun sendiri harus disetor setelah Masa Pajak berakhir
oleh orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan
membangun sendiri

14.

PPN
yang
terutang
atas Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya
pemanfaatan Barang Kena Pajak setelah Masa Pajak berakhir
tidak berwujud dan/atau Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean
harus disetor oleh orang pribadi
atau badan yang memanfaatkan
Barang Kena Pajak tidak berwujud
dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah
Pabean

15.

PPN atau PPN dan PPnBM yang Paling lama tanggal 7 bulan berikutnya
pemungutannya dilakukan oleh setelah Masa Pajak berakhir
Bendahara Pengeluaran sebagai
Pemungut PPN

16.

PPN atau PPN dan PPnBM yang


pemungutannya dilakukan oleh
Pejabat Penandatangan Surat
Perintah Membayar sebagai
Pemungut PPN

17.

PPN
dan
PPnBM
yang Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya
pemungutannya dilakukan oleh setelah Masa Pajak berakhir
Pemungut PPN selain Bendahara
Pemerintah atau instansi
Pemerintah yang ditunjuk

18.

PPh Pasal 25 bagi WP dengan Paling lama pada akhir Masa Pajak
kriteria
tertentu
sebagaimana berakhir
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b)
UU
KUP
yang
melaporkan
beberapa Masa Pajak dalam satu
SPT Masa

19.

Pembayaran Masa selain PPh


Pasal 25 bagi WP dengan kriteria
tertentu sebagaimana dimaksud
Jenis pajak
dalam Pasal 3 ayat (3b) UU KUP
yang melaporkan beberapa Masa
Pajak dalam satu SPT Masa
PPN atau PPN dan PPnBM yang
terutang dalam satu Masa Pajak

No

20.

Pada
hari
yang
sama
dengan
pelaksanaan
pembayaran
kepada
Pengusaha Kena Pajak Rekanan
Pemerintah melalui Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara

Paling lama sesuai dengan batas waktu


untuk masing-masing jenis pajak
Jatuh tempo

Paling lama akhir bulan berikutnya


setelah Masa Pajak berakhir dan
sebelum Surat Pemberitahuan Masa
PPN disampaikan
Apabila terdapat pembayaran atau penyetoran pajak berdasarkan Surat

Pemberitahuan Masa yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran

atau

penyetoran pajak, atas keterlambatan tersebut dikenai sanksi administrasi berupa


bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo

51 | P

5
1

age

pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2a) UndangUndang KUP.
3. Jatuh tempo pembayaran Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta
Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar bertambah.
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat
(3) Undang-Undang KUP.
Namun demikian, bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah
tertentu, jangka waktu pelunasan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah dapat
diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (3a)
Undang-Undang KUP.
Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan
jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan
tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh
masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau
tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan. Hal ini diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP.
4. Penundaan dan pengangsuran pembayaran pajak.
Terhadap Wajib Pajak dapat diberikan kemudahan pembayaran berupa
penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak atas:

52 | P

5
2

age

a. Kekurangan pembayaran pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan


Pajak Penghasilan.
b. Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan,
Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
Penundaan atau pengangsuran diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak atas
permohonan Wajib Pajak dan dapat diberikan untuk paling lama 12 (dua belas) bulan.
Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang KUP.
Persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang
terutang termasuk kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus
dibayar dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dapat diberikan oleh
Direktur Jenderal Pajak meskipun tanggal jatuh tempo pembayaran telah ditentukan,
apabila terdapat permohonan dari Wajib Pajak. Kelonggaran tersebut diberikan dengan
hati-hati untuk paling lama 12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang
benar-benar sedang mengalami kesulitan likuiditas.
Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran
pajak, Wajib Pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan. Hal ini diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang
KUP.
C. Sanksi Berkaitan Dengan Pembayaran Pajak.
Selain sanksi administrasi terkait pembayaran dan penyetoran pajak, terdapat
juga sanksi pidana terkait pembayaran dan penyetoran pajak yaitu setiap orang yang
dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan
paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Hal
ini diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang KUP.
Pidana sebagaimana dimaksud pada paragraf di atas ditambahkan 1 (satu) kali
menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di

53 | P

5
3

age

bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani
pidana penjara yang dijatuhkan. Hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat (2) huruf c UndangUndang KUP.
RANGKUMAN
1) Pembayaran atau penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak.
2) Jatuh tempo pembayaran pajak berbeda untuk setiap jenis pajak.
3) Wajib Pajak dikenai sanksi atas keterlambatan pembayaran.
4) Dalam kondisi tertentu Wajib Pajak dapat memperoleh izin mengangsur atau
menunda pembayaran pajak

LATIHAN
1) Jelaskan jatuh tempo pembayaran masa dan sanksinya!
2) Apakah Wajib Pajak menunda atau mengangsur pajak yang kurang dibayar
berdasarkan Surat Pemberitahuan Masa?

54 | P

5
4

age

BAB
PEMERIKSAAN PAJAK

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa mampu menjelaskan ketentuan mengenai pemeriksaan pajak

A. Pengertian Pemeriksaan dan Kewenangan Pemeriksa Pajak


1. Pengertian pemeriksaan.
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat
Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat
meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis pajak, baik untuk
tahun-tahun yang lalu maupun untuk tahun berjalan. Pemeriksaan Lapangan adalah
Pemeriksaan yang dilakukan di tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas, tempat tinggal Wajib Pajak, atau tempat lain yang ditentukan oleh
Direktur Jenderal Pajak. Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di
kantor Direktorat Jenderal Pajak.
Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap
instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak.
Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas identitasnya.
Oleh karena itu, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan
dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan, serta memperlihatkannya kepada
Wajib Pajak yang diperiksa. Petugas pemeriksa harus menjelaskan tujuan
dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak. Pemeriksa Pajak adalah Pegawai
Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh

55 | P

5
5

age

Direktur Jenderal Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk
melaksanakan Pemeriksaan.
Petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan
memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam menjalankan tugasnya,
petugas pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian,
sopan, dan objektif serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
Pendapat dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang
kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundangundangan
perpajakan.
Petugas pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam
memenuhi

kewajiban

perpajakannya

sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

perundangundangan perpajakan.
2. Kewenangan pemeriksa pajak.
Kewenangan Pemeriksa Pajak tergantung pada jenis pemeriksaan dan tujuan
pemeriksaan.
a. Kewenangan Pemeriksa Pajak dalam Pemeriksaan Lapangan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan:
1) melihat dan/atau meminjam buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak,
atau objek yang terutang pajak.
2) mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik.
3) memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak
bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau
catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen
lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan
yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang
terutang pajak.
4) meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran
Pemeriksaan, antara lain berupa:

56 | P

5
6

age

a) menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila


dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan
peralatan dan/atau keahlian khusus.
b) memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang
bergerak dan/atau tidak bergerak.
c) menyediakan

ruangan

khusus

tempat

dilakukannya

Pemeriksaan

Lapangan dalam hal jumlah buku, catatan, dan dokumen sangat banyak
sehingga sulit untuk dibawa ke kantor Direktorat Jenderal Pajak.
5) melakukan penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak
dan/atau tidak bergerak.
6) meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak.
7) meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang
mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit
pelaksana Pemeriksaan.
b. Kewenangan Pemeriksa Pajak dalam Pemeriksaan Kantor untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan:
1) memanggil Wajib Pajak untuk datang ke kantor Direktorat Jenderal Pajak
dengan menggunakan surat panggilan.
2) melihat dan/atau meminjam buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola
secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak.
3) meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran
Pemeriksaan.
4) meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak.
5) meminjam kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik melalui
Wajib Pajak.
6) meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang
mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit
pelaksana Pemeriksaan.
c. Kewenangan Pemeriksa Pajak dalam Pemeriksaan Lapangan untuk tujuan lain:

57 | P

5
7

age

1) meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain, yang berhubungan dengan
tujuan Pemeriksaan.
2) mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik.
3) memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak
bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau
catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen
lain, dan/atau barang, yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
4) meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak.
5) meminta keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang
mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit
pelaksana Pemeriksaan.
d. Kewenangan Pemeriksa Pajak dalam Pemeriksaan Lapangan untuk tujuan lain:
1) meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola
secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak.
2) meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak.
3) meminta keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang
mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit
pelaksana Pemeriksaan.
B. Tujuan Pemeriksaan Pajak
Tujuan Pemeriksaan Pajak terdiri dari:
1. Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
2. Untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban
perpajakan

Wajib

Pajak

dilakukan

dengan

menelusuri

kebenaran

Surat

Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan


lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib
Pajak.
Pemeriksaan untuk tujuan lain, di antaranya dilakukan dalam rangka:
1. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan.

58 | P

5
8

age

2. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.


3. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
4. Wajib Pajak mengajukan keberatan.
5. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto.
6. Pencocokan data dan/atau alat keterangan.
7. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil.
8. Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai.
9. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak.
10. Penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan.
11. Pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda.

C. Ruang Lingkup Pemeriksaan Pajak


Ruang lingkup pemeriksaan dibedakan sesuai dengan tujuan pemeriksaan.
Ruang lingkup Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu
atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak dalam tahuntahun
lalu maupun tahun berjalan.
Ruang lingkup Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan,
pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
D. Kewajiban Wajib Pajak Dalam Hal Dilakukan Pemeriksaan
Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a.

Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang


menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan
yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang
terutang pajak

b.

Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang


perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.

c.

Memberikan keterangan lain yang diperlukan.

Keterangan lain dapat berupa keterangan tertulis maupun keterangan lisan.


Keterangan tertulis misalnya:

59 | P

5
9

age

1. surat pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik;


2. keterangan bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan sesuai dengan aslinya;
3. surat pernyataan tentang kepemilikan harta; atau
4. surat pernyataan tentang perkiraan biaya hidup.
Keterangan lisan misalnya:
1. wawancara tentang proses pembukuan Wajib Pajak;
2. wawancara tentang proses produksi Wajib Pajak; atau
3. wawancara dengan manajemen tentang transaksi-transaksi yang bersifat
khusus.
Memenuhi permintaan pemeriksa berupa buku, catatan, dan dokumen, serta data,
informasi, dan keterangan lain dengan memberikan/memperlihatkan/meminjamkan
dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan.
Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta
keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk
merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan
untuk keperluan pemeriksaan. Hal ini untuk mencegah adanya dalih bahwa Wajib
Pajak yang sedang diperiksa terikat pada kerahasiaan sehingga pembukuan, catatan,
dokumen serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh
Wajib Pajak maka kewajiban merahasiakan itu ditiadakan berdasarkan UndangUndang KUP.
Apabila Wajib Pajak yang diperiksa tidak menyerahkan buku, catatan, dan
dokumen,

serta

data,

informasi,

dan

keterangan

lain

dengan

memberikan/memperlihatkan/meminjamkan dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan


sejak permintaan disampaikan sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan
kena pajak maka terhadap Wajib Pajak:
a. Penghasilan kena pajak tersebut dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, apabila pemeriksaan
dilakukan terhadap Wajib Pajak orang pribadi.
b. Ditingkatkan ke Pemeriksaan Bukti Permulaan, apabila pemeriksaan dilakukan
terhadap Wajib Pajak badan.
E. Produk Pemeriksaan Pajak
Setelah proses pemeriksaan selesai dilaksanakan maka sebelum diterbitkan
laporan hasil pemeriksaan dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan terlebih
dahulu antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak. Dalam pembahasan akhir

60 | P

6
0

age

pemeriksaan Wajib Pajak dapat menyatakan persetujuan atau tidak setuju atas temuan
Pemeriksa Pajak. Pembahasan akhir hasil pemeriksaan dituangkan dalam suatu berita
acara yang ditandatangi oleh kedua belah pihak.
Dalam hal pemeriksaan dilakukan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan maka produk hukum hasil pemeriksaan dapat berupa:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
3. Surat Ketetapan Pajak Nihil.
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
5. Surat Tagihan Pajak.
Apabila dalam proses pemeriksaan terdapat indikasi adanya tidandak pidana di bidang
perpajakan maka pemeriksaan tidak menghasilkan produk hukum tetapi pemeriksaan
dilanjutkan ke Pemeriksaan Bukti Permulaan.
F. Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk
mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di
bidang perpajakan.
Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan sebagai tindak lanjut atas
pengembangan dan analisis terhadap Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan yang
diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak baik secara langsung maupun tidak langsung,
dalam hal kriteria yang ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak telah
dipenuhi. Pengembangan dan analisis dapat dilakukan melalui kegiatan intelijen atau
pengamatan.
Informasi adalah keterangan baik yang disampaikan secara lisan maupun
tertulis yang dapat dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya bukti
permulaan tindak pidana di bidang perpajakan.
Data adalah kumpulan angka, huruf, kata, atau citra yang bentuknya dapat
berupa surat, dokumen, buku, atau catatan, baik dalam bentuk elektronik maupun
bukan elektronik, yang dapat dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada
tidaknya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, yang menjadi dasar
pelaporan yang belum dianalisis.
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang atau institusi
karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang

61 | P

6
1

age

berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya tindak pidana di
bidang perpajakan.
Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum
seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan di bidang perpajakan.
Ruang lingkup Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat meliputi satu, beberapa,
atau seluruh jenis pajak baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun
Pajak atau Tahun Pajak yang terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan.
Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan:
a. Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dalam hal ditemukan bukti
permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
b. pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak bahwa Wajib Pajak tidak
dilakukan

Penyidikan

dalam

hal Wajib

Pajak

telah

mengungkapkan

ketidakbenaran perbuatannya;
c. penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan Pasal 13A
Undang-Undang KUP;
d. penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal Wajib Pajak orang
pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia; atau
e. penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal tidak ditemukan adanya
bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan.

62 | P

6
2

age

RANGKUMAN
1) Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat
Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan).
2) Tujuan Pemeriksaan Pajak adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak atau untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3) Ruang lingkup Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik
untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak
dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
4) Produk hukum hasil pemeriksaan dapat berupa surat ketetapan pajak, Surat
Tagihan Pajak, atau pemeriksaan dilanjutkan ke Pemeriksaan Bukti
Permulaan apabila terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan.
5) Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk
mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak
pidana di bidang perpajakan.

LATIHAN
1) Sebutkan jenis pemeriksaan pajak!
2) Jelaskan tujuan pemeriksaan pajak!
3) Sebutkan kewajiban Wajib Pajak dalam pemeriksaan!
4) Bagaimanakah proses penyelesaian Pemeriksaan?
5) Jelaskan sebab dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan!

BAB
PENETAPAN DAN KETETAPAN

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswaserta menghitung mampu jumlah menjelaskan pajak ketentuanyang
harus mengenai dibayar penetapandan sanksi dan ketetapan administrasi dalam
surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak.

A. Self Assesment

63 | P

6
3

age

Dalam Undang-Undang KUP, sistem self assessment tercermin dalam Pasal


12 yang terdiri dari 3 (tiga) ayat, yaitu:
(1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan

peraturan

perundang-undangan

perpajakan,

dengan

tidak

menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.


(2) Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan
oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.
Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat
dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak
tersebut adalah:
a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja,
atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha
Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau
c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.
Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus
dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang KUP,
oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang KUP.
Berdasarkan Undang-Undang KUP, Direktorat Jenderal

Pajak tidak

berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat


Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak
hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam
pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak
dilaporkan oleh Wajib Pajak.

64 | P

6
4

age

Bagi Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang
terutang secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat
ketetapan pajak atau pun Surat Tagihan Pajak.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang
dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar,
misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal
Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
Berdasarkan batang tubuh dan penjelasan Pasal 12 tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa Wajib Pajak bertanggung jawab terhadap perhitungan pajak yang
terutang, baik Pajak Penghasilan maupun Pajak Pertambahan Nilai, pembayaran,
maupun pelaporannya.

B. Pengertian Penetapan dan Ketetapan Pajak


1. Penetapan pajak.
Pengertian penetapan dalam sistem self assessment berarti Wajib Pajak diberi
kewenangan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan dan membayar
sendiri pajak terutang yang menjadi kewajibannya. Jumlah pajak terutang yang
menjadi kewajiban Wajib Pajak tersebut tidak didasarkan pada suatu surat ketetapan
pajak yang diterbitkan oleh Fiskus tetapi didasarkan pada ketentuan Undang-Undang
Pajak Material yang mendasarinya dan dihitung sendiri oleh Wajib Pajak yang
bersangkutan serta dipertanggungjawabkan oleh Wajib Pajak dalam suatu Surat
Pemberitahuan. Perhitungan, pembayaran dan pelaporan yang dilakukan Wajib Pajak
tersebut dianggap benar sepanjang Direktur Jenderal Pajak tidak dapat membuktikan
atau memiliki data sebaliknya. Pada sistem self assessment, surat ketetapan pajak
hanya diterbitkan oleh Fiskus apabila berdasarkan data atau bukti yang dimiliki oleh
Fiskus ternyata perhitungan Wajib Pajak tersebut tidak benar.
2. Ketetapan pajak.
Pengertian ketetapan dalam sistem self assessment berarti beban pembuktian
untuk menyatakan bahwa pajak yang terutang dalam Surat Pemberitahuan adalah

65 | P

6
5

age

tidak benar berada pada pihak Fiskus. Proses pembuktian atau bukti yang diperoleh
dapat berasal dari pemeriksaan atau adanya keterangan lain. Apabila dari bukti
tersebut ternyata jumlah pajak yang terutang menurut Wajib Pajak sebagaimana
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan adalah tidak benar maka Dirjen Pajak
menetapkan jumlah pajak yang terutang dengan menerbitkan surat ketetapan pajak.
C. Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak
Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan
Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan
pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih
harus dibayar.
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur, bahwa dalam jangka waktu
5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
a. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang
terutang tidak atau kurang dibayar;
b. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara
tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam
Surat Teguran;
c. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak
seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai
tarif 0% (nol persen);
d. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak
dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau

66 | P

6
6

age

e. apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat diterbitkan berdasarkan kondisi
sebagaimana terdapat dalam huruf a sampai dengan huruf e. Sanksi adminitrasi yang
terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berupa:
a. bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
yang diterbitkan karena kondisi huruf a dan huruf e.
b. kenaikan sebesar:
1) 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang
dibayar dalam satu Tahun Pajak;
2) 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang
dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan
dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
3) 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar, untuk
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan karena kondisi huruf
b, huruf c, dan huruf d.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat diterbitkan melewati jangka waktu
5 (lima) tahun apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu tersebut dipidana karena
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sanksi administrasi dalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar ini berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan
persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.
Selain Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar di atas, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar juga dapat diterbitkan dalam hal Wajib Pajak dikenai pidana alpa yang
pertama kali. Apabila Wajib Pajak karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar
atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana

67 | P

6
7

age

apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak. Wajib Pajak wajib
melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang
kurang dibayar. Hal ini diatur dalam Pasal 13A Undang-Undang KUP.

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.


Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur, bahwa Direktur Jenderal
Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang
mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan
pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dapat diterbitkan apabila
terdapat data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang dan
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan melalui proses
pemeriksaan atau pemeriksaan ulang. Sanksi adminitrasi yang terdapat dalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari
jumlah kekurangan pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Yang dimaksud dengan data baru adalah data atau keterangan mengenai
segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang
terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula,
baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam
pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum
terungkap, yaitu data yang:
a.

tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta


lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau

b.

pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak


mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar,

68 | P

6
8

age

lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat


menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan
atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya
atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus
tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar
sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal
tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dapat diterbitkan melewati
jangka waktu 5 (lima) tahun apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu tersebut dipidana
karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sanksi administrasi dalam
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ini berupa bunga sebesar 48% (empat puluh
delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.
Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan apabila
ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang
dan terhadap Wajib Pajak sebelumnya telah dilakukan penerbitan surat ketetapan
pajak. Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan
berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat
Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, maka atas Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak dikenai sanksi administrasi.
3. Surat Ketetapan Pajak Nihil.
Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak.
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur, bahwa Direktur Jenderal
Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil
apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak
yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada
pembayaran pajak.

69 | P

6
9

age

4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.


Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih
besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
Ketentuan mengenai Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dalam

Undang-

Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diatur dalam Pasal 17 ayat (1),
ayat 2, dan Pasal 17B.
Pasal 17 ayat (1) mengatur, bahwa Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan
pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit
pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
Pasal 17 ayat (2) mengatur, bahwa Berdasarkan permohonan Wajib Pajak,
Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 17B ayat (2) mengatur, bahwa Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas)
bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
Secara singkat penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dilakukan
apabila:
1. hasil pemeriksaan menyatakan bahwa ternyata pajak terutang lebih kecil
daripada jumlah kredit atau jumlah pajak yang telah dibayar.
2. terdapat permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
ini melalui proses penelitian.
3. terdapat permohonan

pengembalian

kelebihan

pembayaran

pajak.

Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar ini melalui proses


pemeriksaan

dan

diterbitkan

apabila

ternyata

terdapat

kelebihan

pembayaran pajak. Penyelesaian permohonan Wajib Pajak ini harus

70 | P

7
0

age

diselesaikan dalam waktu paling lama 12 (dua belas) bulan. Dalam hal
terhadap Wajib Pajak yang permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak
pidana di bidang perpajakan maka batas waktu 12 (dua belas) bulan tidak
berlaku.

5. Surat Tagihan Pajak.


Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau
sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur, bahwa Direktur Jenderal
Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat
salah tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
d. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak
membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
e. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak
mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya,
selain:
1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau
2. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
f.

Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa
penerbitan faktur pajak; atau

g. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan


pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a)
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
Sanksi adminitrasi yang terdapat dalam Surat Tagihan Pajak berupa:

71 | P

7
1

age

a. bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya
Surat Tagihan Pajak, untuk Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena
kondisi huruf a dan huruf b.
b. denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak, untuk Surat
Tagihan Pajak yang diterbitkan karena kondisi huruf d, huruf e, dan huruf f.
c. bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih
kembali, dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian
Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal penerbitan Surat
Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, untuk Surat
Tagihan Pajak yang diterbitkan karena kondisi huruf g.
d. bunga atau denda yang besarnya sesuai dengan pasal yang menjadi dasar
pengenaan sanksi, untuk Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena kondisi
huruf c.

D. Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (Restitusi)


Pasal-Pasal

dalam

Undang-Undang

KUP

yang

berkaitan

dengan

pengembalian kelebihan pembyaran pajak:


1. Pasal 17 ayat (1) mengenai hasil pemeriksaan yang menyatakan bahwa
ternyata pajak terutang lebih kecil daripada jumlah kredit atau jumlah pajak
yang telah dibayar.
2. Pasal 17 ayat (2) mengenai pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang.
3. Pasal 17B mengenai permohonan kelebihan pembayaran pajak dari Wajib
Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D.
4. Pasal 17C mengenai permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu.
5. Pasal 17D mengenai permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu.
6. Pasal 17E mengenai pengembalian Pajak Pertambahan Nilai kepada turis
asing.

72 | P

7
2

age

Ketentuan mengenai pengembalian kelebihan pembayaran pajak terkait Pasal 17 ayat


(1), ayat (2), dan Pasal 17B tidak dibahas lebih lanjut mengingat telah dibahas secara
mendalam dalam pembahasan mengenai Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dalam
sub bab sebelumnya.
1. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari wajib pajak dengan kriteria
tertentu.
Pengembalian ini diproses melalui penelitian dan apabila terdapat kelebihan
pembayaran pajak diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak. Proses ini diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1
(satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan
Nilai.
Kriteria tertentu yang harus dipenuhi Wajib Pajak adalah:
a.

tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan:


1) tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
dalam 3 (tiga) tahun terakhir;
2) dalam Tahun Pajak terakhir, penyampaian Surat Pemberitahuan
Masa untuk Masa Pajak Januari sampai dengan November yang
terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak
dan tidak berturut-turut; dan
3) Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud
dalam angka 2) telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya.

b.

tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali


tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak. Bahwa Wajib Pajak tidak mempunyai
tunggakan pajak adalah keadaan pada tanggal 31 Desember. Utang pajak
yang belum melewati batas akhir pelunasan tidak termasuk dalam
pengertian tunggakan pajak.

c.

Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan


keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa
Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut.

73 | P

7
3

age

d.

tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang


perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dikenal dengan istilah Wajib Pajak Patuh
dan Wajib Pajak tersebut ditetapkan terlebih dahulu dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak pada setiap awal tahun.
Setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan pajak.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Terhadap Wajib Pajak tidak dapat diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak apabila:
a. terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan;
b. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak
tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut;
c. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak
tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; atau
d. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
2. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari wajib pajak yang memenuhi
persyaratan tertentu.
Pengembalian ini diproses melalui penelitian dan apabila terdapat kelebihan
pembayaran pajak diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak. Proses ini diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1
(satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan
Nilai.
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang dapat diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

74 | P

7
4

age

b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah
tertentu;
c. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar
sampai dengan jumlah tertentu; atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai
dengan jumlah tertentu.
Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan pajak.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
3. Pengembalian pajak pertambahan nilai kepada turis asing.
Terhadap orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan
pembelian Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di
daerah pabean dapat diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang telah
dibayar.

RANGKUMAN
1) Wajib Pajak dalam sistem self assessment diberi kewenangan penuh untuk
menghitung, memperhitungkan, melaporkan dan membayar sendiri pajak
terutang yang menjadi kewajibannya. Kewajiban membayar pajak yang
terutang tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak tanpa menggantungkan pada
adanya surat ketetapan pajak.
2) Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat
Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
3) Pengembalian kelebihan pembayaran dapat dilakukan melalui penerbitan
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar maupun melalui pengembalian
pendahuluan dengan penerbitan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak.

LATIHAN

75 | P

7
5

age

1) Jelaskan pasal-pasal yang berkaitan dengan pengembalian kelebihan


pembayaran pajak.
2) Jelaskan sanksi-sanksi yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar!
3) Jelaskan sanksi-sanksi yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan!
4) Jelaskan sanksi-sanksi yang terdapat dalam Surat Tagihan Pajak!
5) Apakah surat ketetapan pajak dapat diterbitkan tanpa melalui pemeriksaan?
Jelaskan.

BAB
PENAGIHAN PAJAK

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa mampu memahami ketentuan mengenai penagihan pajak

A. Dasar Penagihan Pajak


Pasal 18 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
mengatur, bahwa dasar penagihan berupa Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar
bertambah.
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
mengatur, bahwa Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi
administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat
ketetapan

pajak

atau

surat

sejenisnya

berdasarkan

ketentuan

peraturan

perundangundangan perpajakan.
Berdasarkan surat ketetapan pajak atau keputusan di atas terdapat satu
kesamaan yaitu adanya jumlah pajak yang masih harus di bayar. Jumlah yang masih
harus dibayar tersebut ditetapkan jatuh tempo pembayarannya. Jika sampai dengan
tanggal jatuh temponya jumlah pajak yang masih harus dibayar tersebut tidak dibayar

76 | P

7
6

age

oleh penanggung pajak, maka akan menjadi tunggakan pajak. Tunggakan pajak inilah
yang menjadi dasar pelaksanaan penagihan pajak.

B. Dasar Hukum Penagihan Pajak


Dasar

hukum

penagihan

pajak

adalah

Undang-Undang

KUP

dan

UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.
Undang-Undang KUP secara khusus mengenai penagihan pajak dalam BAB IV
yang terdiri dari Pasal 18 sampai dengan Pasal 24.
C. Bunga Penagihan
Pada prinsipnya Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus
dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan, kecuali dasar
penagihan pajak tersebut diterbitkan untuk Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di
daerah tertentu. Bagi kedua kelompok Wajib Pajak tersebut, jangka waktu pelunasan
dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (3) dan
ayat (3a) Undang-Undang KUP.
Apabila Wajib Pajak membayar dasar penagihan melebihi jangka waktu yang
telah ditentukan maka Wajib Pajak akan dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP
menyatakan bahwa:
Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak
yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau
kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa,
yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal
diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.
Penjelasan dari Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang KUP antara lain menyatakan
bahwa:

77 | P

7
7

age

Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga berdasarkan jumlah
pajak yang masih harus dibayar yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo
pelunasan atau terlambat dibayar.
Contoh penghitungan sanksi bunga penagihan:
a. Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar sebesar Rp10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008,
dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah pembayaran
sampai dengan tanggal 6 November 2008 Rp6.000.000,00. Pada tanggal 1
Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai
berikut:
Pajak yang masih harus dibayar

Rp10.000.000,00

Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan =

Rp 6.000.000,00(-)

Kurang dibayar

Rp 4.000.000,00

Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp4.000.000,00)

Rp

80.000,00

b. Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut
pada huruf a, Wajib Pajak membayar Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember
2008 dan pada tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi
administrasi berupa bunga dihitung sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar

Dibayar setelah jatuh tempo pelunasan =

Rp10.000.000,00

Kurang dibayar

Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp10.000.000,00)

Rp10.000.000,00

Rp
=

0,00
Rp

200.000,00 D.

Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.

Untuk memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak maka kepada Wajib Pajak
dapat diberikan kelonggaran untuk membayar pajak yang tercantum dalam dasar
penagihan pajak (termasuk Pajak Penghasilan Pasal 29) melebihi jangka waktu
pelunasan yang telah ditentukan dengan cara mengangsur atau menunda
pembayaran. Angsuran atau penundaan tersebut diberikan dengan jangka waktu
paling lama 12 (dua belas) bulan. Fasilitas ini diberikan atas permohonan Wajib Pajak
yang disetujui oleh Direktur Jenderal Pajak, terbatas bagi Wajib Pajak yang benarbenar sedang mengalami kesulitan likuiditas. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (4)
Undang-Undang KUP.

78 | P

7
8

age

Meskipun Wajib Pajak diperbolehkan untuk mengangsur atau menunda


pembayaran pajak, terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan juga dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan.
Sanksi administrasi akibat angsuran atau penundaan pembayaran pajak yang
tercantum dalam dasar penagihan pajak diatur dalam Pasal 19 ayat (2) UndangUndang
KUP yang menyatakan bahwa Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau
menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar
2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Contoh penghitungan sanksi administrasi akibat angsuran atau penundaan
pembayaran pajak yang tercantum dalam dasar penagihan pajak:
a. Wajib

Pajak

menerima

Surat

Ketetapan

Pajak

Kurang

Bayar

sebesar

Rp1.120.000,00 yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009 dengan batas akhir
pelunasan tanggal 1 Februari 2009. Wajib Pajak tersebut diperbolehkan untuk
mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah
yang tetap sebesar Rp224.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap
angsuran dihitung sebagai berikut:
angsuran ke-1 : 2% x Rp1.120.000,00 = Rp22.400,00.
angsuran ke-2 : 2% x Rp896.000,00 = Rp17.920,00.
angsuran ke-3 : 2% x Rp672.000,00 = Rp13.440,00.
angsuran ke-4 : 2% x Rp448.000,00 = Rp8.960,00.
angsuran ke-5 : 2% x Rp224.000,00 = Rp4.480,00.
b. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperbolehkan untuk menunda
pembayaran pajak sampai dengan tanggal 30 Juni 2009.
Sanksi administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar 5 x 2% x Rp1.120.000,00 = Rp112.000,00.
Sanksi administrasi akibat angsuran atau penundaan pembayaran Pajak
Penghasilan Pasal 29 diatur dalam Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang KUP yang
menyatakan bahwa:
Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang
atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen)
per bulan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan

79 | P

7
9

age

huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan


bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
E. Hak Mendahulu
Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang KUP menyatakan bahwa Negara
mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung
Pajak. Artinya kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan
mempunyai hak mendahulu atas barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang
di muka umum. Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak
dilunasi. Hak mendahulu utang pajak meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa
bunga, denda, kenaikan dan biaya penagihan pajak. Hak mendahulu untuk utang pajak
melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk
melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud dan/atau
c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu
warisan.
Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator,
likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang
membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada
pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk
membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang KUP hak mendahulu hilang
setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan:
a.

Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; atau


b.

Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,


serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang
masih harus dibayar bertambah.
Perhitungan jangka waktu 5 (lima) tahun hak mendahulu:

a. sejak Surat Paksa diberitahukan secara resmi; atau


b. sejak batas akhir penundaan diberikan atau sejak tanggal jatuh tempo
angsuran terakhir, dalam hal kepada Wajib Pajak dipebolehkan menunda atau
mengangsur.

80 | P

8
0

age

F. Daluwarsa Penagihan Pajak


Hak untuk melakukan penagihan pajak daluwarsa setelah melampaui waktu 5
(lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali. Hal ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang KUP.
Tujuan dari pengaturan daluwarsa penagihan adalah untuk memberikan
kepastian hukum kapan utang pajak tidak dapat ditagih lagi. Daluwarsa penagihan
pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan:
a. Surat Tagihan Pajak;
b. surat ketetapan pajak;
c. Surat Keputusan Pembetulan;
d. Surat Keputusan Keberatan;
e. Putusan Banding; atau
f.

Putusan Peninjauan Kembali.

Namun demikian, daluwarsa penagihan pajak dapat tertangguh apabila:


a. diterbitkan Surat Paksa;
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak
langsung;
c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
d. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Penangguhan daluwarsa penagihan diatur dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang
KUP.
G. Hapusnya Piutang Pajak
Pada prinsipnya piutang pajak hapus apabila dilunasi oleh Wajib Pajak.
Pelunasan tersebut dapat dilakukan oleh Wajib Pajak melalui pembayaran langsung
secara kas maupun melalui kompensasi dari kelebihan pembayaran pajak. Namun
demikian, dalam kondisi tertentu piutang pajak dapat dihapuskan oleh Menteri
Keuangan. Kondisi tersebut antara lain karena Wajib Pajak telah meninggal dunia dan
tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan, Wajib Pajak badan yang telah selesai
proses pailitnya, atau Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai subjek

81 | P

8
1

age

pajak dan hak untuk melakukan penagihan pajak telah daluwarsa. Tujuan dari
penghapusan piutang pajak adalah agar dapat diperkirakan secara efektif besarnya
saldo piutang pajak yang akan dapat ditagih atau dicairkan. Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penghapusan dan menentukan besarnya jumlah piutang pajak
yang tidak dapat ditagih lagi diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan dan aturan
pelaksanaan di bawahnya. Hal ini diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang KUP.

RANGKUMAN
1) Dasar penagihan pajak terdiri dari Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta
Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih
harus dibayar bertambah.
2) Ketentuan terkait penagihan pajak diatur dalam Undang-Undang KUP dan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2000.
3) Dasar penagihan harus dilunasi oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu yang telah
ditentukan. Apabila Wajib Pajak terlambat melunasi maka Wajib Pajak dikenai
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan.
4) Wajib Pajak diberi kelonggaran untuk melunasi dasar penagihan pajak melebihi
batas waktu yang ditentukan melalui pemberian fasilitas mengangsur atau
menunda pembayaran. Wajib Pajak yang diperbolehkan mengangsur atau
menunda pembayaran dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per
bulan.
5) Negara memiliki hak mendahulu atas barang milik Penanggung Pajak.
6) Daluwarsa penagihan pajak adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali.
7) Menteri Keuangan dapat melakukan penghapusan piutang pajak dengan
maksud agar dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak
yang akan dapat ditagih atau dicairkan.

BAB
SENGKETA PAJAK

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa mampu menjelaskan ketentuan administrasi, pengurangan mengenai
pembetulan, atau

82 | P

8
2

age

pengurangan atau penghapusan sanksi


pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, keberatan,
banding, dan gugatan.

A. Ketentuan Mengenai Pembetulan dan Persyaratannya


Ketentuan terkait dengan pembetulan diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang
KUP. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang KUP menyatakan bahwa:
Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat
membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan
Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis,
kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas
pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang
bersifat manusiawi perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau
kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak.
Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh fiskus maupun
berdasarkan permohonan Wajib Pajak, kesalahan atau kekeliruan tersebut harus
dibetulkan.
Pengertian membetulkan pada ayat ini, antara lain, menambahkan,
mengurangkan, atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan
kekeliruannya.
Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan
penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan,
Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal
Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan.
Ruang lingkup pembetulan terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagai
akibat dari:
a. kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor
Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa
Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo;
b. kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan
dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan;
atau

83 | P

8
3

age

c. kekeliruan

dalam

penerapan

ketentuan

tertentu

dalam

peraturan

perundangundangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif,


kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena
Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan
kekeliruan dalam pengkreditan pajak.
Pembetulan atas dasar permohonan Wajib Pajak harus diberi keputusan oleh
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
surat permohonan pembetulan diterima. Apabila jangka waktu 6 (enam) bulan tersebut
telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan
pembetulan yang diajukan oleh Wajib Pajak tersebut dianggap dikabulkan.
B. Ketentuan Mengenai Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
dan Persyaratannya
Ketentuan terkait dengan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
berupa bunga, denda, dan kenaikan diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a UndangUndang KUP. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak karena
jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan
sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.
Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan dapat diberikan dalam hal pengenaan sanksi tersebut sudah benar namun
pelanggaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang mengakibatkan pengenaan sanksi
dilakukan karena kekhilafan Wajib Pajak. Selain itu, dalam praktik dapat ditemukan
sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena
ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah
atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi
berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau
dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas dasar permohonan
Wajib Pajak harus diberi keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi diterima. Apabila jangka waktu 6 (enam) bulan
tersebut telah lewat tetapi direktur jenderal pajak tidak memberi suatu keputusan,
permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang diajukan oleh
Wajib Pajak tersebut dianggap dikabulkan.

84 | P

8
4

age

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan


sanksi administrasi maksimal sebanyak 2 (dua) kali.
C. Ketentuan Mengenai Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak
atau Surat Tagihan Pajak dan Persyaratannya
Ketentuan terkait dengan pengurangan atau pembatalan diatur dalam Pasal 36
ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d Undang-Undang KUP. Ketentuan tersebut
menyatakan bahwa:
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau
d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil
pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak
dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat
ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan
keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat
keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.
Demikian juga, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas
permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan
Pajak yang tidak benar.
Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur
Jenderal Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
membatalkan hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil
pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan,
permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan.
Pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak
atas dasar permohonan Wajib Pajak harus diberi keputusan oleh Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak
diterima. Apabila jangka waktu 6 (enam) bulan tersebut telah lewat tetapi direktur
jenderal pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengurangan atau

85 | P

8
5

age

pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang diajukan oleh Wajib
Pajak tersebut dianggap dikabulkan.
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan
surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang tidak benar maksimal sebanyak
2 (dua) kali. Terkait dengan pembatalan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan
pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan
Wajib Pajak, Wajib Pajak hanya dapat mengajukan permohonan sebanyak 1
(satu) kali.
D. Ketentuan Keberatan dan Persyaratannya
Ketentuan terkait dengan keberatan diatur dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal
26A Undang-Undang KUP.
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan
pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, Wajib Pajak dapat
mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.
Keberatan dapat diajukan oleh Wajib Pajak atas suatu:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak,
yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
jumlah besarnya pajak, atau pemotongan atau pemungutan pajak. Yang dimaksud
dengan "suatu" pada ayat ini adalah 1 (satu) keberatan harus diajukan terhadap 1
(satu) jenis pajak dan 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak.
Ketentuan mengenai pengajuan keberatan diatur sebagai berikut:
a. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan
jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau
jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang
menjadi dasar penghitungan
b. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat
ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat

86 | P

8
6

age

menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena


keadaan di luar kekuasaannya
c. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak,
Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
d. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, dan huruf c bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak
dipertimbangkan
e. Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat
Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda
pengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau
melalui cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan
f.

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) UndangUndang
KUP atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan,
tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat
Keputusan Keberatan.

g. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan
sebagaimana dimaksud pada huruf f tidak termasuk sebagai utang pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a) UndangUndang
KUP.
h. Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,
Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal
yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan
atau pemungutan pajak.
i.

Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari
jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang
telah dibayar sebelum mengajukan keberatan, kecuali Wajib Pajak mengajukan
permohonan banding.

j.

Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau


keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat
pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum
diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi,

87 | P

8
7

age

atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian


keberatannya.
k. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d
UndangUndang

KUP, Wajib

Pajak

yang

bersangkutan

harus

dapat

membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.


Permohonan keberatan harus diberi keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak
dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan
diterima. Apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut telah lewat tetapi direktur
jenderal pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan oleh Wajib
Pajak tersebut dianggap dikabulkan.
E. Ketentuan Banding dan Persyaratannya
Ketentuan terkait dengan banding diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang KUP.
Ketentuan mengenai pengajuan banding tersebut diatur sebagai berikut:
a. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan
peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang KUP.
b. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di
lingkungan peradilan tata usaha negara.
c. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan
diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
d. Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan
banding, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis
hal-hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan.
e. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat
(7) Undang-Undang KUP, atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat
pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal
penerbitan Putusan Banding.
f.

Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan
sebagaimana dimaksud pada huruf e tidak termasuk sebagai utang pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a) Undang-Undang
KUP.

88 | P

8
8

age

g. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding
belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding
diterbitkan.
h. Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari
jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran
pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
F. Ketentuan Mengenai Gugatan dan Persyaratannya
Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap keputusan
yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 UndangUndang Nomor 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Undang-Undang
Pengadilan Pajak).
Ketentuan mengenai gugatan diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang
KUP yang menyatakan bahwa:
Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau
Pengumuman Lelang;
b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang
ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam
penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
G. Ketentuan Tentang Peninjauan Kembali dan Persyaratannya
Upaya hukum terakhir yang merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat
dilakukan baik oleh Wajib Pajak maupun fiskus adalah peninjauan kembali ke
Mahkamah Agung.
Ketentuan mengenai Peninjauan Kembali yang diatur dalam Undang-Undang
Pengadilan Pajak, diatur sebagai berikut:
a. Pasal 77 ayat (3) menyatakan bahwa Pihak-pihak yang bersengketa dapat
mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada
Mahkamah Agung.
b. Pasal 91 menyatakan bahwa:

89 | P

8
9

age

Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan


alasanalasan sebagai berikut:
a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau
tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau
didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan
palsu;
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan,
yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan
menghasilkan putusan yang berbeda;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada
yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b
dan c;
d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

RANGKUMAN
1) Pembetulan berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang KUP dilaksanakan
dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga apabila
terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi perlu dibetulkan
sebagaimana mestinya. Pembetulan tersebut dilakukan karena jabatan atau
atas permohonan Wajib Pajak. Sifat kesalahan atau kekeliruan yang
dibetulkan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan
Wajib Pajak.
2) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak
dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa
bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.
3) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak
dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak atau Surat
Tagihan Pajak yang tidak benar.
RANGKUMAN
4) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak
apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan
pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya.
5) Apabila Wajib Pajak tidak puas terhadap hasil keberatan yang telah diajukan
sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Keberatan maka Wajib
Pajak dapat mengajukan banding ke badan peradilan pajak.
6) Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan upaya hukum
berupa Gugatan ke badan peradilan pajak terhadap pelaksanaan penagihan
Pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan.
7) Wajib Pajak maupun fiskus dapat melakukan upaya hukum terakhir yang
merupakan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali ke
Mahkamah Agung.

90 | P

9
0

age

LATIHAN
1) Sebutkan jenis surat ketetapan yang dapat dilakukan Pembetulan berdasarkan
kuasa Pasal 16 Undang-Undang KUP.
2) Jelaskan produk hukum yang sanksi administrasinya dapat dikurangkan atau
dihapuskan.
3) Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan
pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, Wajib Pajak
dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.
4) Sebutkan ketentuan mengenai keberatan.
5) Sebutkan ketentuan mengenai banding.

BAB
IMBALAN BUNGA

10

Tujuan Instruksional Khusus:


Mahasiswa mampu menjelaskan dan menghitung imbalan bunga

A. Umum
Imbalan bunga merupakan kompensasi yang diberikan oleh negara kepada
Wajib Pajak dalam hal terjadi :
a. keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
b. keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
c. kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan
banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau
seluruh permohonan Wajib Pajak;
d. kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan
Ketetapan Pajak atas surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan
Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak; atau
e. kelebihan pembayaran sanksi administrasi berupa denda Pasal 14 ayat (4)

91 | P

9
1

age

Undang-Undang KUP dan/atau bunga Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP


karena Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat
Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali
yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.
Kompensasi ini merupakan hak yang bersifat otomatis artinya dapat diperoleh
Wajib Pajak tanpa melalui permohonan ataupun pemberitahuan.
B. Imbalan Bunga Akibat Keterlambatan Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Pajak
Imbalan bunga ini diatur dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang KUP. Jika
Wajib Pajak memiliki kelebihan pembayaran pajak maka kelebihan pembayaran pajak
tersebut diperhitungkan terlebih dahulu utang pajak yang dimiliki oleh Wajib Pajak.
Apabila setelah diperhitungkan ternyata masih terdapat kelebihan pembayaran pajak
maka kelebihan tersebut dikembalikan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu 1
(satu) bulan.
Untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak melalui
pelayanan yang lebih baik, diatur bahwa setiap keterlambatan dalam pengembalian
kelebihan pembayaran pajak, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar
2% (dua persen) per bulan.
Penghitungan batas waktu 1 (satu) bulan:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (1) Undang-Undang KUP, dihitung sejak tanggal diterimanya
permohonan tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan;
c. untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D, dihitung sejak
tanggal penerbitan;
d. untuk Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan
Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan
Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan
Pemberian Imbalan Bunga, dihitung sejak tanggal penerbitan;

92 | P

9
2

age

e. untuk Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan Banding oleh


Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan
pengadilan; atau
f.

untuk Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak diterimanya Putusan


Peninjauan Kembali oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang
melaksanakan putusan pengadilan,

sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan


Pembayaran Pajak.
Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat
jangka waktu 1 (satu) bulan, terhadap Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar
2% (dua persen) per bulan dihitung sejak batas waktu berakhir sampai dengan saat
dilakukan pengembalian kelebihan.
C. Imbalan Bunga Akibat Keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar
Imbalan bunga ini diatur dalam Pasal 17B ayat (3) dan ayat (4) UndangUndang
KUP. Jika Wajib Pajak (selain Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D serta Pengusaha Kena Pajak kriteria berisiko
rendah) mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak,
terhadap permohonan Wajib Pajak tersebut harus dilakukan pemeriksaan dan
diterbitkan surat ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu
paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap
sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (1) UndangUndang KUP. Hasil pemeriksaan
tersebut dapat menghasilkan surat ketetapan pajak berupa Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Apabila setelah melampaui jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dari Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak
harus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dalam waktu paling lama 1
(satu) bulan setelah jangka waktu 12 (dua belas) bulan berakhir. Jumlah lebih bayar
dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut sesuai dengan yang tercantum
dalam permohonan Wajib Pajak.
Jika Direktur Jenderal Pajak terlambat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
per bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar sampai dengan saat Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan, dan

93 | P

9
3

age

bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan. Hal ini diatur dalam Pasal 17B ayat (3)
Undang-Undang KUP. Berdasarkan ketentuan ini maka imbalan bunga diberikan
apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan setelah melewati jangka waktu
13 (tiga belas) sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
Secara umum permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak harus
ditindaklajuti oleh Direktur Jenderal Pajak melalui pemeriksaan dan diterbitkan surat
ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua
belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap sebagaimana uraian di
atas. Namun demikian, dalam kondisi tertentu ketentuan tersebut tidak berlaku, yaitu
jika terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak
pidana di bidang perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (1a) UndangUndang KUP.
Pasal 17B ayat (4) mengatur bahwa terhadap Wajib Pajak yang mengajukan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan terhadap Wajib Pajak
dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan maka
kepada Wajib Pajak tersebut dapat diberikan imbalan bunga. Imbalan bunga diberikan
dengan syarat:
a. pemeriksaan bukti permulaan yang dilakukan:
1. tidak dilanjutkan dengan penyidikan;
2. dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan
tindak pidana di bidang perpajakan; atau
3. dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang
perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
dan
b. kepada Wajib Pajak tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Imbalan bunga tersebut sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama
24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas)
bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap sampai dengan saat diterbitkan
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.
D. Imbalan Bunga Akibat Kelebihan Pembayaran Pajak Karena Pengajuan
Keberatan, Permohonan Banding, atau Permohonan Peninjauan Kembali
Dikabulkan Sebagian atau Seluruh Permohonan Wajib Pajak

94 | P

9
4

age

Ketentuan yang berkaitan dengan imbalan bunga akibat kelebihan pembayaran


pajak karena pengajuan keberatan atau permohonan banding atau peninjauan kembali
diterima sebagian atau seluruhnya diatur dalam Pasal 27A ayat (1) Undang-Undang
KUP serta Pasal 43 dan Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban (PP
74).
Pasal 27A ayat (1) Undang-Undang KUP berbunyi:
Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan
kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar
sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak,
kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali; atau
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung
sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Pasal 43 ayat (1) PP 74 berbunyi:
Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan
kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar
dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A Undang-Undang, kelebihan pembayaran
dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Pasal 43 ayat (5) PP 74 berbunyi:
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan terhadap:
a. kelebihan pembayaran akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan kembali atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang disetujui dalam Pembahasan Akhir
Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, dan telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan; atau
b. kelebihan pembayaran akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali atas jumlah pajak yang tercantum dalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau
Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, namun dibayar sebelum pengajuan keberatan,
permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali, atau sebelum
diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali.
Pasal 44 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) PP 74 berbunyi:

95 | P

9
5

age

(1) Dalam hal Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 ayat (1) yang seluruhnya tidak disetujui oleh Wajib Pajak dalam
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang diterbitkan atas Surat Pemberitahuan
yang menyatakan lebih bayar, kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang
mengabulkan sebagian atau seluruhnya dikembalikan dengan ditambah imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan yang dihitung dari jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
(2) Dalam hal Surat Ketetapan Pajak Nihil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
ayat (2) yang tidak disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan yang diterbitkan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih
bayar, kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian
atau seluruhnya dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan yang dihitung dari
jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
(3) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dihitung sejak
tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan
Pajak Nihil sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Berdasarkan ketentuan di atas imbalan bunga tidak diberikan atas:
a. kelebihan pembayaran akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali atas jumlah pajak yang tercantum dalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir, namun
dibayar sebelum pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan
peninjauan kembali, atau sebelum diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
b. kelebihan pembayaran akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang disetujui Wajib Pajak dalam
pembahasan akhir, dan telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah adanya kemungkinan Wajib Pajak
memperoleh imbalan bunga yang seharusnya tidak diterima sehubungan dengan
pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali.
Imbalan bunga diberikan atas:
a. kelebihan pembayaran akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya atas Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang seluruhnya tidak disetujui oleh Wajib Pajak
dalam pembahasan akhir dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut

96 | P

9
6

age

diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar.


Imbalan bunga diberikan sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24
(dua puluh empat) bulan yang dihitung dari jumlah kelebihan pembayaran pajak
dalam Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan
Kembali. Imbalan bunga dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
b. kelebihan pembayaran akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya atas Surat
Ketetapan Pajak Nihil yang tidak disetujui oleh Wajib Pajak dalam pembahasan
akhir dan Surat Ketetapan Pajak Nihil tersebut diterbitkan berdasarkan Surat
Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar. Imbalan bunga diberikan sebesar
2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan yang
dihitung dari jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. Imbalan bunga
dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali.
Saat pemberian imbalan bunga diatur dalam Pasal 43 ayat (6) PP 74 yang
berbunyi:
Pelaksanaan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, imbalan bunga diberikan apabila
terhadap Surat Keputusan Keberatan tidak diajukan permohonan banding ke
Pengadilan Pajak;
b. dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, imbalan bunga diberikan
apabila terhadap Putusan Banding tidak diajukan permohonan
Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung; atau
c. dalam hal atas Putusan Banding diajukan permohonan Peninjauan Kembali,
imbalan bunga diberikan apabila Putusan Peninjauan Kembali telah diterima oleh
Direktur Jenderal Pajak dari Mahkamah Agung.
E. Imbalan Bunga Akibat Kelebihan Pembayaran Pajak Karena Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak atau
Surat Tagihan Pajak Mengabulkan Sebagian atau Seluruh Permohonan Wajib
Pajak
Ketentuan yang berkaitan dengan imbalan bunga akibat kelebihan pembayaran
pajak karena Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan
Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan
Pajak atau Surat Tagihan Pajak Mengabulkan Sebagian atau Seluruh Permohonan

97 | P

9
7

age

Wajib Pajak diatur dalam Pasal 27A ayat (1a) UndangUndang KUP serta Pasal 43 ayat
(3) PP 74.
Pasal 27A ayat (1a) Undang-Undang KUP berbunyi:
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung
sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
c. untuk Surat Tagihan Pajak dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
Pasal 43 ayat (3) PP 74 berbunyi:
Apabila terdapat Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang
mengabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (1a)
UndangUndang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah
imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan.

F. Imbalan Bunga Akibat Kelebihan Pembayaran Sanksi Administrasi Berupa


Denda Pasal 14 Ayat (4) Undang-Undang KUP dan/atau Bunga Pasal 19 Ayat
(1) Undang-Undang KUP Karena Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi
Sebagai Akibat Diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,
atau Putusan Peninjauan Kembali Yang Mengabulkan Sebagian atau Seluruh
Permohonan Wajib Pajak
Ketentuan yang berkaitan dengan hal ini diatur dalam Pasal 27A ayat (2)
Undang-Undang KUP serta Pasal 43 ayat (4) PP 74.
Pasal 27A ayat (2) Undang-Undang KUP berbunyi:
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas pembayaran
lebih sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(4) dan/atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berdasarkan Surat
Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan
Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan

98 | P

9
8

age

Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh
permohonan Wajib Pajak.
Pasal 43 ayat (4) PP 74 berbunyi:
Imbalan bunga juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi berupa
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang dan/atau
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang berdasarkan
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan
Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan
sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.
Sehubungan dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan maka kepada Wajib Pajak juga dapat
diterbitkan Surat Tagihan Pajak apabila Wajib Pajak juga dikenai sanksi administrasi:
a. Berupa denda 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP karena:
1. Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat faktur pajak, tetapi
tidak tepat waktu;
2. Pengusaha Kena Pajak tidak mengisi faktur pajak secara lengkap;
3. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa
penerbitan faktur pajak.
b. Berupa bunga penagihan sebesar 2% (dua persen) per bulan karena jumlah
pajak yang masih harus dibayar menurut surat ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP, pada saat jatuh tempo
tidak atau kurang dibayar.
Apabila terdapat kelebihan pembayaran sanksi administrasi Pasal 14 ayat (4)
dan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP karena diterbitkan Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi dimana pengurangan atau penghapusan sanksi adminitrasi tersebut
merupajan akibat penerbitan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh Permohonan
Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, maka kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga. Imbalan
bunga tersebut adalah sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah kelebihan
pembayaran pajak, dihitung sejak tanggal pembayaran pajak yang menyebabkan
kelebihan pembayaran sanksi administrasi sampai dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan
Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan

99 | P

9
9

age

Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan.
RANGKUMAN
1) Imbalan bunga dapat diberikan dalam hal terdapat:
a. keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
b. keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
c. kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan
banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian
atau seluruh permohonan Wajib Pajak;
d. kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak atas surat ketetapan pajak atau Surat
Tagihan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib
Pajak; atau
e. kelebihan pembayaran sanksi administrasi berupa denda Pasal 14 ayat
(4) Undang-Undang KUP dan/atau bunga Pasal 19 ayat (1) UndangUndang KUP karena Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi
sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan
sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak..
2) Imbalan bunga terkait kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan
keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali
dikabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak tidak diberikan
dalam hal .
a. kelebihan pembayaran terjadi atas jumlah pajak yang tercantum dalam
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan
akhir, namun dibayar sebelum pengajuan keberatan, permohonan banding,
atau permohonan peninjauan kembali, atau sebelum diterbitkan Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan
Kembali.
b. kelebihan pembayaran terjadi atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang disetujui Wajib
Pajak dalam pembahasan akhir, dan telah dibayar sebelum mengajukan
keberatan.

LATIHAN
1) Sebutkan ketentuan dalam Undang-Undang KUP dan PP 74 yang mengatur
pemberian imbalan bunga.
2) Jelaskan perbedaan pemberian imbalan bunga berdasarkan Pasal 17B ayat
(3) dan ayat (4) Undang-Undang KUP.

BAB

100 |
Pag

1
0

PENYIDIKAN DAN TINDAK PIDANA DI BIDANG


PERPAJAKAN

11
Tujuan Instruksional Khusus:
Mahasiswa mampu menjelaskan ketentuan mengenai Penyidikan dan tindak
pidana di bidang perpajakan

A. Umum
Suatu perbuatan termasuk dalam kategori tindak pidana apabila perbuatan
tersebut memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam undang-undang yang memuat
ketentuan mengenai pidana. Bab I Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana berbunyi Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Seseorang tidak dapat
dinyatakan melakukan tindak pidana sepanjang tindakannya itu tidak dapat dibuktikan
sebagai tindak pidana sesuai perumusan dalam ketentuan pidana.
Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam bukunya Asas dan Dasar Perpajakan 3,
menyatakan bahwa suatu tindak pidana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
umum atau tindak pidana khusus. Tindak pidana khusus diberikan pengertian sebagai
tindak pidana yang diatur tersendiri dalam undang-undang khusus, yang memberikan
peraturan khusus tentang cara penyidikannya, tuntutannya, pemeriksaannya maupun
sanksinya yang menyimpang dari ketentuan yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang lazimnya lebih ketat dan lebih berat. Definisi tersebut diberikan
dengan tambahan kalimat: jika tidak diberikan ketentuan yang menyimpang, maka
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana umum tetap berlaku. Pengertian
tersebut dan penjelasan selanjutnya dari buku itu memberikan penekanan pada tata
cara penyidikan, tuntutannya, pemeriksaannya yang khusus sebagai unsur suatu
tindak pidana merupakan tindak pidana khusus.
Apabila atas sangkaan suatu tindak pidana dilakukan penyidikan yang tata caranya
tidak mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maka tindak pidana
tersebut merupakan tindak pidana khusus.

101 |
Pag

1
0

Dengan demikian apabila suatu sangkaan tindak pidana dilakukan penyidikan


berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maka tindak pidana tersebut
merupakan tindak pidana umum meskipun rumusan tindak pidananya (ketentuan
pidana) tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tetapi dalam undangundang tersendiri. Tindak pidana perpajakan merupakan tindak pidana umum
meskipun rumusan mengenai tindak pidananya diatur dalam undang-undang
perpajakan sebab tata cara penyidikannya mengacu kepada Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Prof. Rochmat Soemitro menulis bahwa tindak pidana di bidang
perpajakan adalah tindak pidana umum yang sanksinya diatur dalam ketentuan khusus
dalam Undang-Undang di bidang perpajakan.
B. Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang KUP diatur dalam bab tersendiri,
yaitu dalam BAB VIII mengenai Ketentuan Pidana. Tindak pidana di bidang perpajakan
tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terhutangnya
pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya
Tahun Pajak yang bersangkutan. Untuk memudahkan memahami ketentuan pidana
dalam BAB VIII maka ketentuan pidana dalam BAB ini dapat dikelompokkan menjadi:
1. Bagi setiap orang selaku Wajib Pajak.
2. Bagi Pejabat.
3. Bagi pihak ketiga.
4. Bagi setiap orang yang menghalangi penyidikan.
1. Ketentuan pidana bagi setiap orang selaku wajib pajak.
Sanksi pidana bagi setiap orang selaku Wajib Pajak yang pertama diatur dalam
Pasal 38 Undang-Undang KUP, yaitu terkait kealpaan. Perbuatan kealpaan tersebut
berupa:
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar .
Apabila perbuatan kealpaan tersebut dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan
yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang KUP
maka dapat dikenai sanksi pidana berupa:

102 |
Pag

1
0

a. didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar, atau
b. dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
Sanksi pidana dalam Pasal 38 Undang-Undang KUP bersifat alternatif, yaitu
sanksi denda atau sanksi kurungan.
Sanksi pidana bagi setiap orang selaku Wajib Pajak yang kedua diatur dalam
Pasal 39 Undang-Undang KUP, yaitu terkait kesengajaan. Perbuatan kesengajaan
tersebut berupa:
a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap;
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 Undang-Undang KUP;
f.

memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau


dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya;

g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak


memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara
program aplikasi on- line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (11) Undang-Undang KUP; atau
i.

tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.


Apabila

perbuatan

kesengajaan

tersebut

dilakukan

sehingga

dapat

menimbulkan kerugian pada pendapatan negara maka dapat dikenai sanksi pidana
berupa:

103 |
Pag

1
0

a. pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun;
dan
b. denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.
Sanksi pidana dalam Pasal 39 Undang-Undang KUP bersifat kumulatif, yaitu
sanksi penjara dan sanksi denda. Apabila terdapat pengulangan perbuatan pidana
maka sanksi akan dilipatduakan, yaitu apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana
di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya
menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
Khusus pidana percobaan untuk kesengajaan yang dilakukan dalam rangka
mengajukan

permohonan

restitusi atau

melakukan

kompensasi pajak

atau

pengkreditan pajak tertentu diatur tersendiri, yaitu setiap orang yang melakukan
percobaan:
a. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap.
Sanksi pidana percobaan ini berupa:
a. pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun;
dan
b. denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali
jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan
yang dilakukan.
Sanksi pidana bagi setiap orang selaku Wajib Pajak yang ketiga diatur dalam
Pasal 39A Undang-Undang KUP, yaitu terkait faktur pajak, bukti pungut, bukti potong,
atau bukti setoran yang tidak didasarkan transaksi yang sebenarnya.
Perbuatan tersebut berupa kesengajaan:
a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak,
bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan
transaksi yang sebenarnya; atau

104 |
Pag

1
0

b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena


Pajak.
Sanksi pidana atas perbuatan ini berupa:
a. pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun;
serta
b. denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan
paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan
pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 39 dan Pasal 39A Undang-Undang KUP
berlaku pula bagi tindak pidana penyertaan, yaitu selain bagi setiap orang yang
melakukan berlaku pula bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain
yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau
yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
2. Ketentuan pidana bagi pejabat.
Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan
diberitahukan kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan
keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan,
perlu adanya sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan
terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut. Setiap pejabat, baik petugas pajak
maupun mereka yang yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang
mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan
sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang KUP dan apabila melanggar
dikenai sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang KUP.
Sanksi pidana Pasal 41 Undang-Undang KUP mengatur:
a. Dalam hal pelanggaran dilakukan pejabat karena kealpaan maka diancam
pidana berupa pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
b. Dalam hal pelanggaran dilakukan pejabat dengan sengaja maka diancam
pidana berupa pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

105 |
Pag

1
0

Sanksi pidana bagi pejabat merupakan delik aduan, yaitu penuntutan terhadap
tindak pidana tersebut hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya
dilanggar. Hal ini sesuai dengan sifatnya yang menyangkut kepentingan pribadi
seseorang atau badan selaku Wajib Pajak.
3. Ketentuan pidana bagi pihak ketiga.
Pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak seperti bank,
akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi wajib memberikan
keterangan atau bukti yang diminta dalam rangka pemeriksaan pajak, penagihan
pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana diatur dalam
Pasal 35 Undang-Undang KUP. Apabila kewajiban ini dilanggar maka merupakan
tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 41A
Undang-Undang KUP. Tindak pidana dalam Pasal ini berupa sengaja:
a. tidak memberi keterangan atau bukti, atau
b. memberi keterangan atau bukti yang tidak benar.
Sanksi pidana yang diatur berupa pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). Ketentuan
dalam Pasal 41A Undang-Undang KUP ini berlaku juga bagi yang menyuruh
melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan.
Selain kewajiban bagi pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib
Pajak, Undang-Undang KUP juga mengatur kewajiban bagi instansi pemerintah,
lembaga, asosiasi dan pihak lain. Instansi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak
lain wajib memberikan yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat
Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 35A ayat (1) dan ayat (2)
UndangUndang KUP.
Apabila kewajiban tersebut dilanggar maka diancam pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 41C Undang-Undang KUP yang berbunyi:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban
pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

106 |
Pag

1
0

(3) Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang
diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat
(2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda
paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi
perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
4. Ketentuan pidana bagi setiap orang yang menghalangi penyidikan.
Bagi setiap orang yang menghalangi penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan diancam sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). Ketentuan
mengenai hal ini diatur dalam Pasal 41B Undang-Undang KUP. Ketentuan dalam Pasal
41B Undang-Undang KUP ini berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang
menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

C. Ketentuan mengenai penyidikan.


Ketentuan penyidikan dalam Undang-Undang KUP diatur dalam bab tersendiri,
yaitu dalam BAB IX mengenai Penyidikan. Sebelum dilakukan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan
pemeriksaan bukti permulaan berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan.
Informasi, data, laporan, dan pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak
akan dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen atau pengamatan yang
hasilnya dapat ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan,
atau tidak ditindaklanjuti.
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang
diberi wewenang khusus sebagai Penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Wewenang Penyidik diatur dalam Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang KUP,
yaitu:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;

107 |
Pag

1
0

b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau


badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana
di bidang perpajakan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan
bukti tersebut;
f.

meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan


tindak pidana di bidang perpajakan;

g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau


tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas
orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
i.

memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai


tersangka atau saksi;

j.

menghentikan penyidikan; dan/atau

k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundangundangan.
Selain kewenangan tersebut, Penyidik dalam melaksanakan penyidikan dapat
meminta bantuan aparat penegak hukum lain sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat
(4) Undang-Undang KUP.
Dalam melaksanakan penyidikan, Penyidik memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui
penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Penghentian penyidikan dapat dilakukan karena:
a. Penyidik menghentikan penyidikan dalam hal tidak terdapat cukup bukti, atau
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau

108 |
Pag

1
0

penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka


meninggal dunia. Hal ini diatur dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP.
b. Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan,
Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat
permintaan. Hal ini diatur dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP. Penghentian
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dalam hal ini hanya dilakukan
setelah Wajib Pajak:
1. melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak
seharusnya dikembalikan; dan
2. membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah
pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya
dikembalikan.

RANGKUMAN
1) Ketentuan pidana dalam Undang-Undang KUP mengatur tindak pidana:
1. Bagi setiap orang selaku Wajib Pajak.
2. Bagi Pejabat.
3. Bagi pihak ketiga.
4. Bagi setiap orang yang menghalangi penyidikan
2) Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak.
3) Untuk tindak pidana bagi pejabat yang diatur dalam Undang-Undang KUP
merupakan delik aduan.

LATIHAN
1) Jelaskan pidana yang berkaitan dengan Wajib Pajak.
2) Jelaskan mengenai penghentian penyidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Soemitro, Rochmat, Asas dan Dasar Perpajakan 3, Bandung, Eresco, 1991.
Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

109 |
Pag

1
0

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5268).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi
UndangUndang (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2009 Nomor 62,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999).

BIODATA PENULIS
Nama
Alamat korespondensi
Unit Instansi

Telp./Faks
HP
E-mail

: Handayanto TP
: Jl. Sakti I Nomor 6, Kemanggisan, Jakarta Barat 11480
: Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak
Direktorat Peraturan Perpajakan I
Sub Direktorat Peraturan KUP dan PPSP
: 5251609 ext 50921 / 5251609
: 08161886153
: teetho.teetho@gmail.com

Riwayat Pendidikan

110 |
Pag

Tahun
Lulus
1993
2002

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara


Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

2005

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

PerguruanTinggi

Bidang Spesialisasi

D-III Perpajakan
D-III Akuntansi dengan
Kurikulum Khusus
D-IV Akuntansi

1
1

Anda mungkin juga menyukai