Judul : Diabetes Melitus tipe 2 dengan protein inflamasi fase akut pada elektroforesis protein
serum
Abstrak
Latar belakang: Timbulnya diabetes melitus tipe 2 (DMT2) berhubungan dengan sistem
inflamasi yang ringan. Keadaan inflamasi dapat diketahui dengan mengukur protein fase akut
(acute
phase
reactant)
seperti
hsCRP,
1-antitripsin,
1-acid
glycoprotein,
seruloplasmin,fibrinogen. Sebagian besar protein fase akut ini tergambar pada pita 1 dan 2
pada elektroferogram dari protein serum. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai keadaan
inflamasi pada DMT2 yang terkontrol dengan DMT2 yang tidak terkontrol, dengan
menggunakan elektroforesis asetat selulosa dan menganalisis pengaruh keadaan glukosa dengan
parameter HbA1c pada proses inflamasi.
Bahan dan metode: Pemeriksaan elektroforesis protein serum dilakukan pada 60 kasus dari
diabetes (terkontrol dan tidak terkontrol) menggunakan teknik kertas asetat selulosa. Gambaran
elektrofenogramnya terwarnai dengan Ponseu S dan dihitung dengan densitometer. Keadaan
glukosa dianalisis dengan kadar HbA1c. Kemudian menganalisis korelasi densitas dari pita 1
dan 2 dari elektroferogram dengan kadar HbA1c.
Hasil: Terdapat peningkatan persentase yang bermakna dari protein pita pita 1 dan 2 (0,765
dan 0,716,p<0,001) dengan peningkatan kadar HbA1c. Pada cut-off kadar HbA1c 7% (kadar
HbA1c yang direkomendasikan oleh American Diabetic Association), konsentrasi serum protein
1 dan 2 lebih tinggi pada DM tidak terkontrol dibandingkan dengan DM terkontrol dan
bermakna secara statistik (p=<001).
Simpulan: elektroforesis protein serum dengan menggunakan asetat selulosa dapat
menggambarkan keadaan inflamasi fase akut pada DMT2 yang tidak terkontrol. Proses
inflamasi sistemik lebih buruk pada kadar glukosa (HbA1c) yang tidak terkontrol. Harus
dipelajari lebih lanjut tentang keadaan inflamasi dengan keadaan glukosa.
Pendahuluan
Menurut International Diabetic Federation pada tahun 2011, diabetes melitus (DM) merupakan
pandemik global yang mengenai sekitar 8,3% populasi dewasa diseluruh dunia. Prevalensi DM
di Nepal diperkirakan sebanyak 3% pada tahun 2011. Hiperglikemia kronis memacu komplikasi
mikrovaskular seperti retinopati, nefropati, neuropati ataupun komplikasi makrovaskular seperti
Serum didapat dari sampel darah. Elektroforesis protein serum dilakukan pada kertas asetat
selulosa, menggunakan buffer barbitone (pH=8,6) pada 200V selama satu jam (Hospitex
Diagnostics). Electroferogram setelah kering diwarnai dengan Ponseu S dan pembacaan pita-pita
protein serumnya dilakukan dengan densitometer (Hospites Diagnostics).
Pemeriksaan HbA1c dilakukan pada darah EDTA menggunakan alat Nyocard dengan prinsip
pemeriksaan chromatography.
Analisis statistik menggunakan versi SPSS 17.0. Statistik yang dipakai adalah one way
ANNOVA untuk uji beda antara konsentrasi protein serum 1 dan 2 pada DM terkontrol dan
DM tidak terkontrol.
Elektroforesis protein serum diperiksa pada 60 subjek DM (terkontrol dan tidak terkontrol)
dengan menggunakan teknik kertas asetat selulosa. Elektroferogram diwarnai dengan Ponseu S
kemudian ditampilkan dengan densitometer. Keadaan kadar glukosa diperiksa dengan melihat
kadar HbA1c. perhitungan statistic yang dipakai adalah melihat korelasi antara densitas rantai
protein 1 dan 2 dengan kadar HbA1c
Hasil
Hasil HbA1c pada penelitian ini rentangnya 5,7-14,5%. Tabel 1 memperlihatkan bahwa rerata
dan standar deviasi dari pita-pita protein elektroferogram pada DMT2 yang terkontrol dan yang
tidak terkontrol.
Terdapat peningkatan bermakna pada persentase dari rantai protein 1 dan 2 (0.765 and 0.716,
p<0.001) seiring dengan peningkatan kadar HbA1c, dan menandakan adanya korelasi positif.
(gb 1A dan B). Pada gambaran pita terdapat penurunan persentase secara bermakna dengan
peningkatan kadar HbA1c sehingga menandakan adanya korelasi negatif (gb2).
Dengan cut-off HbA1c=7%, terdapat peningkatan konsentrasi protein serum 1 dan 2 yang
bermakna (p<0,001) pada DM yang tidak terkontrol dibandingkan dengan DM yang terkontrol.
Diskusi
Elektroforesis protein serum merupakan pemeriksaan yang banyak diminta di rumah sakit
pendidikan di Nepal. Pemeriksaan ini mengambarkan perbedaan gambaran pita-pita protein pada
inflamasi akut dan kronis, berbagai keganasan, kelainan hati atau gagal ginjal, dan kelainan
protein bawaan.
Pada penelitian ini, elektroforesis protein serum memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan
yang bermakna protein fase akut pada DM yang tidak terkontrol dibandingkan dengan DM yang
terkontrol. Adanya peningkatan protein fase akut ini menandakan bahwa peningkatan persentase
pita dari pita 1 dan 2 protein serum di elektroferogram ini sesuai dengan gambaran protein
fase akut dini (Gg.3). Begitu juga pada penurunan dari persentase pita pada DM yang tidak
terkontrol, sebenarnya pada DMT2 terjadi keadaan inflamasi sistemik ringan, pada gambaran ini
terlihat bahwa pada DMT2 yang tidak terkontrol terdapat kecenderungan adanya inflamasi akut
yang baru. Dengan kata lain, inflamasi sistemik pada pasien DM yang terkontrol akan berkurang
sehingga dapat mengurangi komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. Pernyataan sesuai
dengan penulis lainnya tentang protein fase akut pada DMT2.
Peningkatan protein fase akut pada DM yang tidak terkontrol memperlihatkan bahwa terdapat
perburukan keadaan inflamasi dengan peningkatan dari HbA1c. Hasil ini sesuai dengan peneliti
lainnya. Produk akhir dari glikasilasi atau Advanced glycated and products (AGEs) merupakan
pemacu terjadinya respons inflamasi. Peningkatan kadar glukosa dalam darah akan memicu
inflamasi oleh peningkatan stres oksidatif sehingga terbentuk AGEs dan terjadi peningkatan
TNF. Pada DM yang tidak terkontrol akan mempunyai lebih banyak molekul-molekul yang
terglikasilasi sehingga lebih memicu terjadinya inflamasi, keadaan ini menyebabkan peningkatan
dari protein fase akut. Pada penelitian lainya terdapat hanya peningkatan pita 2 saja dengan
populasi DM tahap lanjut. Peningkatan persentase dari pita 1 ini menandakan juga peningkatan
dari protein 1-antitripsin, 1-antichymotrypsin and 1 acid glycoprotein. Sedangkan pada
peningkatan persentase pita 2 menunjukkan terjadinya peningkatan dari protein seruloplasmin
dan haptoglobulin. Namun pada penelitian ini tidak dapat mendeteksi pita CRP, karena tertutupi
antara pita dan pita . CRP harus dianalisis dengan menggunakan pemeriksaan immunoassay.
Begitu juga dengan fibrinogen tidak dapat dianalisis dengan teknik ini. Pita pada penelitian ini
tidak meningkat, begitu juga penurunan transferin dan peningkatan C3. Transferin dan C3
tertutupi oleh pita . Pada penelitian ini menunjukkan bahwa keadaan inflamasi pada pasien DM
dapat dideteksi dengan pemeriksaan elektroforesis protein teknik asetat selulosa yaitu
terdapatnya keadaan inflamasi fase akut dini.
Simpulan
Pemeriksaan elektroforesis protein asetat selulosa dapat mrenggambarkan keadaan inflamasi fase
akut pada DM tipe 2 yang tidak terkontrol. Proses inflamasi sistemik diperparah dengan kadar
gula darah yang tidak terkontrol yang terlihat pada pemeriksaan HbA1c, sedangkan hubungan
keadaaan inflamasi dengan kadar glukosa darah pada pasien DM perlu diteliti lebih lanjut.