Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Film merupakan salah satu komunikasi massa, pada dasarnya film di buat
untuk tujuan menghibur para penontonnya. Film sangat berbeda dengan seni
sastra, seni rupa, seni suara, seni musik, dan arsitektur yang muncul sebelumnya.
Seni film mengandalkan teknologi, baik sebagai bahan baku produksi maupun
dalam hal penyampaian terhadap penontonya. Film merupakan penjelmaan
terpadu antara berbagai unsur yakni sastra, teater, seni rupa, dengan teknologi
canggih dan modern serta sarana publikasi.
Dewasa ini film menjadi suatu hiburan yang diminati oleh masyarakat
Indonesia. Berbagai jenis film

mulai dari komedi , aksi, drama, dan horor

menjadi sarana hiburan bagi banyak orang. Namun perkembangan perfileman


tidak berjalan sesuai dengan fungsinya, saat ini Indonesia masih didominasi
dengan produksi film yang kurang berkualitas khususnya pada film dengan genre
horror.
Peminat film horor di Indonesia masih terbilang tinggi, hal ini dibuktikan
hampir di setiap bioskop film horor masih menjadi tayangan favorit. Film horror
menjadi primadona bagi setiap kalangan, tidak hanya oleh orang dewasa saja,
namun film horor di gemari oleh remaja, dewasa, orang tua bahkan anak anak.

Berdasarkan fenomena diatas, para pebisnis film atau rumah produksi


bersaing untuk menciptakan film horror yang dapat diminati oleh setiap kalangan.
Berbagai versi horror

yang berbeda diciptakan untuk menguasai pasar

perfileman. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya versi film horror yang berbeda
seperti film horor komedi, film horor percintaan, dan masih banyak lagi. Faktanya
film horor Indonesia masih didominasi dengan film horor yang menampilkan
unsur sensualitas dan pornografi yang ditayangkan secara jelas kepada
penontonnya.
Namun, Film Indonesia yang beredar tidak berjalan semestinya, Lembaga Sensor
Film (LSF)

yang bertugas menetapkan status edar film-film di Indonesia seharusnya

menjadi ujung tombak revolusi film Indonesia. Salah satu bentuk tugas dari lembaga
sensor Indonesia adalah Pencegahan terhadap penyebarluasan film yang berbau
pornografi merupakan salah satu tugas penting dari Lembaga Sensor Film. Salah satu
pedoman penyensoran film berkaitan dengan pornografi adalah UU 44 Tahun 2008
Tentang Pornografi. Ketentuan pidana tentang pornografi di antaranya diatur dalam pasal
29 yang berbunyi: Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah).

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Film

Film adalah salah satu media massa yang memiliki sifat dapat di lihat dan
di dengar (audio-visual) dan dapat dicapai oleh khalayak banyak. Peranan Film
dituangkan melalui UU No. 33 Tahun 2009 tentang perfilman yaitu , Film sebagai
komunikasi

massa

merupakan

sarana

pencerdasan

kehidupan

bangsa,

pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan


masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional, sehingga film
dan perfileman Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi.
Film sebagai karya seni budaya yang dapat dipertunjukkan dengan atau
tanpa suara juga bermakna bahwa film merupakan media komunikasi massa yang
membawa pesan yang berisi gagasan penting yang ditujukan kepada publik
(khalayak) dengan daya pengaruh yang besar. Itulah sebabnya film mempunyai
fungsi pendidikan, hiburan, informasi, dan pendorong ide kreatif. Film juga dapat
berfungsi di dalam ekonomi yang mampu memajukan kesejahteraan masyarakat
dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Dengan demikian film menyentuh
berbagai segi kehidupan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2.2 Asas, Tujuan, dan Fungsi Film


Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2009 Bab dua tentang perfilman, film
mempunyai asas, tujuan, dan fungsi sebagai berikut, Terbinanya akhlak mulia;
Terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa; Terpeliharanya persatuan dan
kesatuan bangsa; Meningkatnya harkat dan martabat bangsa; Berkembangnya dan
lestarinya nilai budaya bangsa; Dikenalnya budaya bangsa oleh dunia
internasional; Meningkatnya kesejahteraan masyarakat; dan Berkembangnya film
berbasis budaya bangsa yang hidup dan berkelanjutan. Budaya;Pendidikan;
Hiburan; Informasi; Pendorong karya kreatif; dan Ekonomi

2.3 Kegiatan Perfilman dan Usaha Perfilman


Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 33 Tahun 2009 :
Pasal 5: Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan
kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilainilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.
Pasal 6 : kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang
dilarang:
a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
b. menonjolkan pornografi;
c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras,
dan/atau antargolongan;
d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama;

e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum dan/atau;


f. merendahkan harkat dan martabat manusia.

Pasal 7: Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha
perfilman disertai pencantuman penggolongan usia penonton film yang
meliputi film:
a. untuk penonton semua umur;
b. untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;
c. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih;
d. untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.

Pasal 31
a. Pertunjukan film untuk golongan penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d yang melalui
penyiaran televisi hanya dapat dilakukan dari pukul 23.00 sampai pukul
03.00 waktu setempat.
b. Pertunjukan film untuk golongan penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih kepada khalayak umum dilarang dilakukan di lapangan terbuka
atau di gedung pertunjukan nonbioskop kecuali kegiatan apresiasi film atau
pertunjukan film untuk tujuan pendidikan dan/atau penelitian.
2.5 Analisis Kasus
Charles Derry dalam bukunya Dark Dreams: A Psychological History of
The Modern Horror Film membagi genre horor ke dalam tiga subgenre, yaitu
horor psikologis, horor bencana dan horor hantu. Horor psikologis menurutnya
adalah horor yang tidak menciptakan tokoh-tokoh mitos seperti vampir, iblis dan
moster sebagai tokoh utamanya. Namun kita akan berhadapan dengan manusia

biasa yang memperlihat sisi iblis dalam dirinya. Biasanya mereka adalah individu
yang sakit secara jiwa atau terasing secara sosial. Kedua, horor bencana. Biasanya
mengangkat ketakutan manusia pada kehancuran dunia atau hari kiamat, serangan
makhluk asing, binatang atau kombinasi semua faktor. Ketiga, horor hantu
sebagai horor yang lazim kita saksikan di layar lebar Indonesia.
Film horor Indonesia mulai berjaya di era 70-80an. Suzana Martha
Frederika Van Osch atau yang lebih dikenal dengan nama Suzana disebut sebagai
ratunya pada saat itu. Deretan judul seperti Malam Satu Suro, Sundel Bolong dan
Pengabdi Setan membuat biografinya tercatat oleh Pete Tombs dalam Mondo
Macabrio Weird and Wonderful Cinema Around The World (1998).
Di era yang baru ini, dapat dilihat intensitas kemunculan hantu dalam satu
film tersaingi oleh kemunculan wanita beradegan panas atau berpose erotis.
Apabila eksploitasi hantu dalam kemunculan film horor mampu kita maklumi,
bagaimana dengan eksploitasi perempuan di horor indonesia?
Suster Keramas, adalah salah satu judul film horor Indonesia yang
menyajikan adegan vulgar di setiap adegannya. Bumbu erotisme dalam film
horor Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak era perfilman orde baru, dalam
buku Indonesian Cinema : National Culture On Screen film horor Indonesia era
Orde Baru mengandung tiga hal yaitu komedi, seks dan religi (Heider, 1991:41).
Namun, dalam perjalanannya bumbu seks semakin menjadi di wajah horor
Indonesia.
Pornografi dalam film adalah jenis kekerasan lain terhadap perempuan.
Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecehan terhadap kaum
perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seorang.
Suster Keramas hanyalah salah satu contoh dari sekian banyaknya film horor
dengan kasus yang sama. Tanpa disadari, kemolekan tubuh perempuan dijadikan
daya tarik tersendiri oleh para penikmat film horor demi mencari keuntungan
semata. Terdapat standar ganda dalam nilai-nilai dan sikap moral kehidupan
pribadi dan masyarakat yakni mengenai serbuan film-film yang mengandalkan

daya tariknya pada rangsangan seksual, tari-tarian vulgar, ketelanjangan dan


pornografi tersama.
Tubuh perempuan secara keseluruhan memiliki daya tarik dan penuh
seksualitas lebih daripada laki-laki, keindahan perempuan itulah yang lebih sering
dijadikan komoditi dalam industri perfilman. Dalam film horor Indonesia, tubuh
para pemeran perempuan dijadikan daya tarik dan dikomersialisasi. Adanya
penyusupan nilai-nilai komersialisasi maka kendala-kendala yang dibangun oleh
standar-standar

moral

dan

keagamaan

akan

mudah

disingkirkan

serta

komersialisasi tubuh perempuan adalah komoditi penting sekaligus sumber


keuntungan yang luar biasa.
Adapun kasus yang menjadi bahan analisis kelompok kami adalah film
Suster Keramas 2 yang tayang pada 21 April 2011. Film ini berkisah mengenai
tiga anak muda (Jack, Tando, dan Shelly) yang gemar berbalap motor di jalan,
sehingga suatu malam Shelly mengalami kecelakaan. Kedua sahabatnya segera
membawa Shelly ke rumah sakit terdekat. Di rumah sakit tersebutlah adeganadegan yang tidak layak tayang akhirnya muncul.
Film Suster Keramas 2 ini banyak mengumbar tubuh perempuan. Adeganadegan di rumah sakit tersebut, kebanyakan menampilkan belahan dada
perempuan. Selain itu, saat adegan Sora Aoi yang berperan sebagai Sachiko, di
toilet rumah sakit, disana memuat tampilan yang mengesankan ketelanjangan
(topless).

Film tersebut telah melanggar beberapa pasal dari UU No. 44 tahun 2008
tentang Pornografi, diantaranya:

1. Pasal 4
1) Setiap

orang

dilarang

memproduksi,

membuat, memperbanyak,

menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,


menawarkan,

memperjualbelikan,

menyewakan,

atau

menyediakan

pornografi yang secara eksplisit memuat :


a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. Kekerasan seksual;
c. Masturbasi atau onani;
d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. Alat kelamin; atau
f. Pornografi anak.

2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang :


a. Menyajikan

secara

eksplisit

ketelanjangan

atau

tampilan

yang

mengesankan ketelanjangan;
b. Menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. Menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung
layanan seksual.

2. Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam
pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan,
eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
SANKSI
Berdasarkan pelanggaran yang telah disebutkan di atas, Film Suster
Keramas 2 dapat dikenakan sanksi sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal
berikut.
1. Pasal 29
Setiap

orang

yang

memproduksi,

membuat,

memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor,


mengekspor,

menawarkan,

memperjualbelikan,

menyewakan,

atau

menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)


dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling

lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit


Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
2. Pasal 33
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda
paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp. 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
3. Pasal 34
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi
objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pada dasarnya film merupakan salah satu media komunikasi. Sebagai


media komunikasi yang baik film harus memberikan informasi yang sebaiknya
tidak menyesatkan atau berdampak negatif bagi penikmatnya. Karena penikmat
film tidak hanya berasal dari kalangan dewasa saja, namun juga dari remaja dan
anak-anak.
Salah satu dasar dibuatnya UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi ialah
Pasal 28 B ayat (2) yang berbunyi, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Oleh sebab itu kita harus menjaga tayangan yang dinikmati oleh
anak-anak agar moralnya tetap terjaga. Namun pada kasus film ini, distribusi film
ini masih dilakukan sehingga banyak terjadi kontroversi di masyarakat. Salah
satunya adalah pencekalan dari Majelis Ulama Indonesia terkait dengan peredaran

film bergenre horror ini. Seharusnya sineas Indonesia memberikan suguhan


tontonan yang mengedukasi untuk masyarakat, yang memberikan efek positif bagi
lingkungan masyarakat. Sayangnya film bergenre horror yang menampilkan
kemolekan tubuh perempuan masih banyak beredar di pangsa pasar perfilman di
Indonesia.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
Saat ini Film masih menjadi sarana hiburan yang paling diminati
masyarakat Indonesia. Namun kenyataannya masih banyak ditemukan oknumoknum industri film yang memproduksi film yang tidak berkualitas bahkan
melanggar ketentuan yang telah diatur didalam etika dan undang-undang
perfilman. Sebagaimana yang diatur UU No. 33 Tahun 2009 tentang perfilman
yaitu , Film sebagai komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan
bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan
kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional,
sehingga film dan perfileman Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi.
Saran :

Untuk Menyelamatkan perfilman Indonesia dibutuhkan kerjasama antar


pihak terkait. Dalam hal ini Lembaga Sensor Film mempunyai peranan penting
dalam menyeleksi berbagai film yang akan ditayangkan. Sebagaimana dituangkan
dalam UU No 33 Tahun 2009 Pasal 57, Ayat 1; Setiap film dan iklan film yang
akan diedarkan dan atau dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus
sensor. Lembaga sensor film Indonesia harus lebih ketat dalam penyeleksian film
yang akan ditayangkan. LSF perlu menimbang-nimbang lagi sebuah film yang
akan ditayangkan, apakah mendidik atau tidak, cenderung memberikan dampak
positif atau negatif.
Daftar Pustaka
Derry, Charles. 1977. Dark Dreams: A Psychological History of the Modern
Horror Film. Ohio : A.S Barnes Noble
Heider, Karl G. 1991. Indonesia Cinema : Nationali Culture on Screen.
Honolulu : University of Hawaii Press
Lesmana, Tjipta. 1995. Pornografi dalam Media Massa. Jakarta : Puspa Swara.
UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
Buku Pedoman Etika Perfilman

Anda mungkin juga menyukai