PENDAHULUAN
perfileman. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya versi film horror yang berbeda
seperti film horor komedi, film horor percintaan, dan masih banyak lagi. Faktanya
film horor Indonesia masih didominasi dengan film horor yang menampilkan
unsur sensualitas dan pornografi yang ditayangkan secara jelas kepada
penontonnya.
Namun, Film Indonesia yang beredar tidak berjalan semestinya, Lembaga Sensor
Film (LSF)
menjadi ujung tombak revolusi film Indonesia. Salah satu bentuk tugas dari lembaga
sensor Indonesia adalah Pencegahan terhadap penyebarluasan film yang berbau
pornografi merupakan salah satu tugas penting dari Lembaga Sensor Film. Salah satu
pedoman penyensoran film berkaitan dengan pornografi adalah UU 44 Tahun 2008
Tentang Pornografi. Ketentuan pidana tentang pornografi di antaranya diatur dalam pasal
29 yang berbunyi: Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah).
BAB II
PEMBAHASAN
Film adalah salah satu media massa yang memiliki sifat dapat di lihat dan
di dengar (audio-visual) dan dapat dicapai oleh khalayak banyak. Peranan Film
dituangkan melalui UU No. 33 Tahun 2009 tentang perfilman yaitu , Film sebagai
komunikasi
massa
merupakan
sarana
pencerdasan
kehidupan
bangsa,
Pasal 7: Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha
perfilman disertai pencantuman penggolongan usia penonton film yang
meliputi film:
a. untuk penonton semua umur;
b. untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;
c. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih;
d. untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.
Pasal 31
a. Pertunjukan film untuk golongan penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d yang melalui
penyiaran televisi hanya dapat dilakukan dari pukul 23.00 sampai pukul
03.00 waktu setempat.
b. Pertunjukan film untuk golongan penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih kepada khalayak umum dilarang dilakukan di lapangan terbuka
atau di gedung pertunjukan nonbioskop kecuali kegiatan apresiasi film atau
pertunjukan film untuk tujuan pendidikan dan/atau penelitian.
2.5 Analisis Kasus
Charles Derry dalam bukunya Dark Dreams: A Psychological History of
The Modern Horror Film membagi genre horor ke dalam tiga subgenre, yaitu
horor psikologis, horor bencana dan horor hantu. Horor psikologis menurutnya
adalah horor yang tidak menciptakan tokoh-tokoh mitos seperti vampir, iblis dan
moster sebagai tokoh utamanya. Namun kita akan berhadapan dengan manusia
biasa yang memperlihat sisi iblis dalam dirinya. Biasanya mereka adalah individu
yang sakit secara jiwa atau terasing secara sosial. Kedua, horor bencana. Biasanya
mengangkat ketakutan manusia pada kehancuran dunia atau hari kiamat, serangan
makhluk asing, binatang atau kombinasi semua faktor. Ketiga, horor hantu
sebagai horor yang lazim kita saksikan di layar lebar Indonesia.
Film horor Indonesia mulai berjaya di era 70-80an. Suzana Martha
Frederika Van Osch atau yang lebih dikenal dengan nama Suzana disebut sebagai
ratunya pada saat itu. Deretan judul seperti Malam Satu Suro, Sundel Bolong dan
Pengabdi Setan membuat biografinya tercatat oleh Pete Tombs dalam Mondo
Macabrio Weird and Wonderful Cinema Around The World (1998).
Di era yang baru ini, dapat dilihat intensitas kemunculan hantu dalam satu
film tersaingi oleh kemunculan wanita beradegan panas atau berpose erotis.
Apabila eksploitasi hantu dalam kemunculan film horor mampu kita maklumi,
bagaimana dengan eksploitasi perempuan di horor indonesia?
Suster Keramas, adalah salah satu judul film horor Indonesia yang
menyajikan adegan vulgar di setiap adegannya. Bumbu erotisme dalam film
horor Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak era perfilman orde baru, dalam
buku Indonesian Cinema : National Culture On Screen film horor Indonesia era
Orde Baru mengandung tiga hal yaitu komedi, seks dan religi (Heider, 1991:41).
Namun, dalam perjalanannya bumbu seks semakin menjadi di wajah horor
Indonesia.
Pornografi dalam film adalah jenis kekerasan lain terhadap perempuan.
Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecehan terhadap kaum
perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seorang.
Suster Keramas hanyalah salah satu contoh dari sekian banyaknya film horor
dengan kasus yang sama. Tanpa disadari, kemolekan tubuh perempuan dijadikan
daya tarik tersendiri oleh para penikmat film horor demi mencari keuntungan
semata. Terdapat standar ganda dalam nilai-nilai dan sikap moral kehidupan
pribadi dan masyarakat yakni mengenai serbuan film-film yang mengandalkan
moral
dan
keagamaan
akan
mudah
disingkirkan
serta
Film tersebut telah melanggar beberapa pasal dari UU No. 44 tahun 2008
tentang Pornografi, diantaranya:
1. Pasal 4
1) Setiap
orang
dilarang
memproduksi,
membuat, memperbanyak,
memperjualbelikan,
menyewakan,
atau
menyediakan
secara
eksplisit
ketelanjangan
atau
tampilan
yang
mengesankan ketelanjangan;
b. Menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. Menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung
layanan seksual.
2. Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam
pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan,
eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
SANKSI
Berdasarkan pelanggaran yang telah disebutkan di atas, Film Suster
Keramas 2 dapat dikenakan sanksi sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal
berikut.
1. Pasal 29
Setiap
orang
yang
memproduksi,
membuat,
menawarkan,
memperjualbelikan,
menyewakan,
atau
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Saat ini Film masih menjadi sarana hiburan yang paling diminati
masyarakat Indonesia. Namun kenyataannya masih banyak ditemukan oknumoknum industri film yang memproduksi film yang tidak berkualitas bahkan
melanggar ketentuan yang telah diatur didalam etika dan undang-undang
perfilman. Sebagaimana yang diatur UU No. 33 Tahun 2009 tentang perfilman
yaitu , Film sebagai komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan
bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan
kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional,
sehingga film dan perfileman Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi.
Saran :