Anda di halaman 1dari 10

Yuk Kenali Metode Tafsir bil Ra'yi,

Penafsiran Al-Qur'an Menggunakan Rasio


(Akal)
Al Qur'an
Advertisement
Pengertian Tafsir bi al-Rayi
Kata al-Ray berarti pemikiran, pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut definisinya, tafsir bi alRayi adalah penafsiran al-Quran yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir, setelah
terlebih dahulu memahami bahasa dan adat istiadat bangsa Arab.[1]
Tafsir bi al-Rayi adalah antonim (lawan) nash dan riwayat. Oleh karena itu, ia dinamakan
dengan tafsir bi al-Dirayah (dengan rasio) sebagai antitesis tafsir bi al-Riwayah (dengan
riwayat). Dan makna al-Rayi adalah ijtihad dan olah pikir serta penelitian dalam memahami alQuran dalam batas pengetahuan tentang bahasa Arab dan dalam kerangka kewajiban yang harus
dipenuhi oleh penafsir al-Quran dari perangkat syarat keilmuwan dan akhlak.[2]
Berdasarkan pengertian etimologi, Rayi berarti keyakinan (itiqad), analogi (qiyas), dan ijtihad.
Dan rayi dalam terminologi tafsir adalah ijtihad. Dengan demikian, tafsir bi al-Rayi disebut
juga tafsir bi al-Dirayah. Sebagaimana di definisikan Husen Adz-Dzahabi adalah tafsir yang
penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir yang telah mengetahui bahasa
Arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab annuzul, nasikh-mansukh, dan sebagainya. Al-Farmawi mendefinisikan tafsir bi al-Rayi sebagai
penafsiran al-Quran dengan ijtihad setelah mufassir yang bersangkutan mengetahui metode
yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan ia pun mengetahui kosakata Arab beserta
muatan artinya.[3]
Menurut al-Shabuni, tafsir bi al-Dirayah berarti tafsir yang berdasarkan ijtihad dengan berpegang
kepada prinsip-prinsip yang benar dan kaidah-kaidah yang benar, yang umum berlaku, yang
wajib dimiliki kepada siapa saja yang mau terjun langsung ke dalam dunia menafsirkan alQuran, atau siapa saja yang mau menyingkap keterangan-keterangan arti ayat-ayat al-Quran.
Istilah rayun dekat maknanya dengan ijtihad (kebebasan penggunaan akal) yang didasarkan atas
prinsip-prinsip yang benar, menggunakan akal sehat dan persyaratan yang ketat. Wajib bagi
seseorang mufassir memperhatikan secara teliti tentang subyek penafsiran kitab suci. AlQurthubi menyatakan barangsiapa yang mengucapkan sesuatu berdasarkan pikiran dan kesannya
tentang al-Quran atau memberikan isyarat-isyarat dengan sengaja tentang prinsip dasar, ia patut
dicap telah melakukan kesalahan dan penyimpangan, dan kepribadian orang tersebut tidak dapat
dipercaya.

Perlu dicatat, hadis meyatakan: Barangsiapa sengaja berdusta kepadaku maka mereka adalah
tempat baginya, Barangsiapa menafsirkan al-Quran berdasarkan pikirannya, maka ia akan
menempati neraka (H.R Turmudzi): dan barangsiapa yang menafsirkan al-Quran dengan
pikirannya maka ia telah melakukan kesalahan.[4]
Dari definisi di atas, perlu ditekankan bahwa yang dimaksud ijtihad di sini, bukan hanya sematamata ijtihad, atau karena hobi, akan tetapi mempergunakan akal dalam mufassir tersebut sudah
dapat mengetahui ungkapan-ungkapan bahasa Arab dari berbagai aspeknya, seperti kebiasaankebiasaan orang-orang Arab mengungkapkannya, atau pemakaian kata tersebut, mengetahui
asbab an-nuzul, mengetahui nasikh-mansukh dari ayat-ayat al-Quran.[5]

Al-Qur'an (Foto: Abuzahra.org)

Sejarah Kemunculan Tafsir bi al-Rayi


Tafsir bi al-Rayi muncul sebagai corak penafsiran belakangan setelah tafsir bi al-Matsur
muncul walaupun sebelum itu rayu dalam pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika
menafsirkan al-Quran. Apalagi kalau kita melihat bahwa salah satu sumber penafsiran pada
masa sahabat adalah ijtihad.

Di antara sebab yang memicu kemunculan corak tafsir bi al-Rayi adalah semkain majunya ilmuilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama,
berbagai metode penafsiran, dan pakar-pakar di bidangnya masing-masing. Akibatnya, karya
tafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar belakang ilmu yang dikuasainya.
Di antara mereka, ada yang lebih menekankan telaah balaghah seperti az-Zamakhsyari, telaah
hukum-hukum syara seperti al-Qurthubi, telaah keistemewaan bahasa, seperti Abi As-Suud,
atau qiraah seperti An-Naisaburi dan An-Nasafi, telaah madzhab-madzhab kalam dan filsafat,
seperti Ar-Razi dan telaah lainnya. Hal ini dapat dipahami sebab di samping sebagai seorang
mufassir, seseorang dapat saja ahli dalam bidang fikih, bahasa filsafat, astronomi, kedokteran,
atau kalam.
Kemunculan tafsir bi al-Rayi dipicu oleh hasil interaksi umat Islam dengan peradaban Yunani
yang banyak menggunakan akal. Oleh karena itu, dalam tafsir bi al-Rayi, peranan akal sangat
dominan.[6]
Pendek kata, berbagai corak tafsir bi al-Rayi muncul dikalangan ulama-ulama mutaakhirin,
sehingga di abad modern lahir lagi tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sastra Arab seperti
Tafsir al-Manar, dan dalam bidang sains muncul pula karya Jawahir Thanthawi dengan judul
Tafsir al-Jawahir. Melihat, perkembangan tafsir bi al-Rayi yang demikian pesat, maka tepatlah
apa yang dikatakan Manna Al-Qaththan bahwa tafsir bi al-Rayi mengalahkan perkembangan almatsur.
Meskipun, tafsir bi al-Rayi berkembang dengan pesat, namun dalam menerimanya para ulama
terbagi dua, ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Tapi setelah diteliti,
ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat lafzhi (redaksional). Maksudnya
kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran yang berdasarkan rayi (pemikiran) semata
(hawa nafsu) tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria yang berlaku. Penafsiran serupa
inilah yang diharamkan oleh Ibn Taymiyah. Sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan
penafsiran al-Quran dengan ijtihad yang berdasarkan al-Quran dan sunnah Rasul serta kaedahkaedah yang mutabarat (diakui sah secara bersama).[7]

Pembagian Tafsir bi al-Rayi


Selanjutnya para ulama membagi corak tafsir bi al-Rayi kepada dua bagian, yaitu tafsir bi alRayi yang dapat diterima dan tafsir bi al-Rayi yang ditolak.[8]
1. Tafsir bi al-Rayi al-Mahmudah
Tafsir bi al-Rayi al-Mahmudah ialah tafsir al-Quran yang didasarkan dari ijtihad yang jauh dari
kebodohan dan penyimpangan. Tafsir ini sesuai dengan peraturan bahasa Arab. Karena tafsir ini
tergantung kepada metodologi yang tepat dalam memahami ayat-ayat al-Quran. Barangsiapa
yang menafsirkan al-Quran berdasarkan pikirannya, dengan memenuhi persyaratan dan
bersandarkan kepada makna-makna al-Quran, penafsiran seperti ini dibolehkan dan dapat
diterima. Tafsir semacam ini selayaknya disebut tafsir yang terpuji atau tafsir yang syah.[9]

Tafsir bi al-Rayi al-Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa
syarat di antaranya:
a. Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Quran dan As-Sunnah.
b...Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bi al-Matsur.
Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta perangkatperangkatnya. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini di antaranya:
Tafsir Al-Qurthuby, Tafsir Al-Jalalain, Tafsir Al-Baidhawy.
2. Tafsir bi al-Rayi al-Mazmumah
Tafsir bi al-Rayi al-Mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela/dilarang), karena bertumpu
pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pengambilan hukum)
hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam.
Kebanyakan metode ini digunakan oleh para bidah yang sengaja menafsirkan ayat al-Quran
sesuai dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak
dilakukan oleh ahli tafsir periode sekarang ini.
Di antara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah Tafsir Zamakhsyary, Tafsir
Syiah Itsna Asyariah, Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah. Di antara contoh digunakannya akal
fikiran dan pendapat bagi penafsiran al-Quran yaitu:
a) Golongan Mutazilah berkenaan dengan maksud kalimat maqaman mahmudan[10], .dijelaskan
dalam Q.S. al-Isra/17: 79. Terjemahnya: Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang
tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu
mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.[11]
Sementara ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan maqaman mahmudan (tempat
yang terpuji) ialah tempat di mana Allah swt akan mendudukkan Muhammad saw di atas arsy
sebagai ganjaran atas ketahajjudannya. Sedang ahli tafsir yang menggunakan pendapat (akal)
menafsirkan maqaman mahmudan sebagai martabat syafaat (kedudukan yang memiliki
wewenang untuk memberi pertolongan pada hari kiamat). Alasan mereka bersandar pada ucapan
at-Thabari yang mengatakan bahwa duduk di atas arsy adalah mustahil.[12]
b) Penafsiran sebagian mufassir terhadap Q.S. An-Nahl/16: 68. Terjemahnya: Dan Tuhanmu
mewahyukan kepada lebah: Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit di pohon-pohon kayu dan di
tempat-tempat yang dibikin manusia.[13]
Mereka berpendapat bahwa di antara lebah itu, ada yang diangkat sebagai Nabi yang diberi
wahyu Allah, dan mereka mengemukakan cerita bohong tentang kenabian lebah. Sementara itu,
sebagian berpendapat, bahwa ada tetesan lilin jatuh ke pohon, kemudian tetesan itu dipindahkan
oleh lebah untuk dijadikan sarang-sarang dan madu.[14]

c) Penafsiran sebagian orang terhadap Q.S. Ar-Rahman/ 55: 33. Terjemahnya: Hai jamaah jin
dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka
lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.[15]
Mereka menduga bahwa ayat di atas mengisyaratkan kemungkinan para ilmuwan mendarat di
bulan dan planet-planet lain, sedangkan konteks ayat sebelum dan sesudahnya tidak
memungkinkan ayat itu mengandung pengertian demikian.[16]
d) Penafsiran sebagin mufassir terhadap Q.S. Al-Humazah/104: 6-7. Terjemahnya: (yaitu) api
yang sediakan Allah yang dinyalakan, (7) yang membakar sampai ke hati.[17]
Mereka berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan macam-macam sinar yang berhasil ditemukan
pada abad XX dan mampu mendeteksi bagian dalam tubuh manusia. Mereka memaknai ayat di
atas dengan sesuatu yang tidak mungkin jika di hubungkan dengan ayat sebelum dan
sesudahnya.

Status Tafsir bi al-Rayi, Bagaimanakah Tanggapan Ulama?


Tidak bisa dipungkiri kemunculan madrasah-madrasah yang mengajarkan dan mengembangka
tafsir yang lebih mengedepankan akal telah menimbulkan kontroversi di kalangan ulama-ulama.
Dan secara garis besar, mereka terbagi ke dalam dua kelompok,[18] yaitu:
a. Kelompok yang menolak
Menjelang abad II H, corak penafsiran ini belum mendapatkan legitimasi yang luas dari para
ulama yang menolaknya. Ulama yang menolak penggunaan corak tafsir ini mengemukakan
argumentasi, seperti sebagai berikut: menafsirkan al-Quran berdasarkan rayi berarti
membicarakan firman Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian, hasil penafsirannya hanya
bersifat perkiraan semata. Padahal Allah berfirman dalam Q.S. Al-Isra/17: 36.
Terjemahnya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggunganjawabnya.[19]
Oleh karena itu, golongan salaf berkeberatan, enggan untuk menafsirkan al-Quran dengan
sesuatu yang tidak mereka ketahui. Dari Yahya ibn saId diriwayatkan, dari Said ibn alMusayyab, apabila ia ditanya tentang tafsir sesuatu ayat al-Quran maka ia menjawab: Kami
tidak akan mengatakan sesuatu pun tentang al-Quran.[20]
Ulama salaf yang paling keras menentang tafsir bi al-Rayi dalah Ibn Taimiyah. Ia tidak mau
mempergunakan ijtihad dalam soal tafsir. Menurutnya, tafsir dengan semata-mata ijtihad haram
hukumnya. Pendirian Ibn Taimiyah yang keras ini ialah pada masa itu timbul kaum bathiniyah
yang mempergunakan hawa nafsunya dalam menetapkan makna-makna al-Quran. Maka untuk
membendung aliran tersebut, beliau mempertahankan pokok pendiriannya.[21]

Lebih lanjut Ibn Taimiyah menegaskan siapapun yang beralih dari madzhab sahabat dari tabiin
serta penafsiran mereka ke sesuatu hal yang menyalahinya. Ia telah melakukan perbuatan salah
dan bahkan bidah, sebab merekalah yang paling mengetahui tentnag tafsir al-Quran dan
makna-maknanya sebagaimana mereka pulalah yag lebih mengerti akan kebenaran yang dibawa
oleh misi Rasullullah.[22] Rasulullah saw, Bersada, yang artinya sebagai berikut:
Siapa saja menafsirkan al-Quran atas dasar pikirannya semata, atau atas dasar sesuatu yang
belum diketahuinya, maka bersiap-siaplah mengambil tempat di neraka.[23]
1. Yang berhak menjelaskan al-Quran hanyalah Nabi, berdasarkan firman Allah dalam ..Q.S.
An-Nahl/16: 44. Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab, dan Kami turunkan
kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat menusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka [829] dan supaya mereka memikirkan.[24]
2. Adanya tradisi di kalangan para sahabat dan tabiin untuk berhati-hati ketika berbicara tentang
penafsiran al-Quran. Abu Bakar pernah berkata ketika ia ditanya penafsiran al-Quran tentang
maksud kata al-abb [25], Allah berfirman dalam Q.S. Abasa/80: 31. Terjemahnya: Dan buahbuahan serta rumput-rumputan.[26]
Ia menjawab, Langit manakah yang menaungiku dan bumi manakah yang akan menyanggaku,
jika aku mengatakan tentang Kalamullah sesuatu yang tidak aku ketahui?[27]
b. Kelompok yang menerima
Mereka mengemukakan argumentasi seperti berikut ini:
1. Di dalam al-Quran banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami
kandungan al-Quran. Umpamanya Allah berfirman dalam Q.S. Muhammad/47: 24.
Terjemahnya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati mereka
terkunci?[28]
2. Seandainya tafsir bi al-Rayi itu dilarang, lalu mengapa ijtihad itu diperbolehkan? Nabi tidak
menjelaskan setiap ayat al-Quran. Ini menunjukkan bahwa umatnya diizinkan berijtihad
terhadap ayat-ayat yang belum di jelaskan Nabi.
3....Para sahabat sering berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukkan
bahwa mereka pun menafsirkan al-Quran dengan Rayi-nya. Seandainya tafsir bi al-Rayi
dilarang, tentu tindakan para sahabat itu keliru.
4. .Rasullullah pernah berdoa untuk Ibn Abbas. Yaitu: Ya Allah, berilah pemahaman agama
kepada Ibn Abbas dan ajarilah ia takwil.
Seandainya cakupan takwil hanya mendengar dan menuqil riwayat saja, tentunya pengkhususan
doa di atas untuk Ibn Abbas tidak bermakna apa-apa. Dengan demikian, maka takwil yang
dimaksud dalam doa tersebut adalah sesuatu di luar penukilan, yakni ijtihad dan pemikiran.

Syarat-syarat Menjadi Mufassir bi al-Rayi


Seorang mufassir al-Quran perlu memiliki kualifikasi (syarat-syarat) dan berbagai bidang ilmu
pengetahuan secara mendalam. Untuk menjadi seorang mufassir yang diakui, maka ia harus
memiliki kemampuan dalam segala bidang. Al-Suyuthi menyebutkan syarat-syarat dasar sebelum
seseorang memulai tafsir al-Quran, sebagai berikut:
1. Pengetahuan bahasa Arab dan kaidah-kaidah bahasa
2. Ilmu Retorika, (ilmu maani, al-bayan, dan al-badiu)
3. Ilmu Ushul fiqh, (khas, aam, mujmal, dan mufashshal)
4. Ilmu asbab al-nuzul (latarbelakang dan hal-hal yang berkenaan dengan turunnya wahyu).
5. Ilmu nasikh dan mansukh.
6. Ilmu Qiraah Al-Quran.
7. Ilmu al-mauhibah (gifted Knowledge)[29]
Kriteria-kriteria diatas haruslah dipenuhi mufassir, agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam
menafsirkan al-Quran. Sementara itu Ali Hasan al-Aridh menambahkan mengenai enam hal
yang harus dihindari oleh mufassir bi al-Rayi yaitu:
1. Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki oleh Allah pada suatu ayat, sedangkan
ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
2...Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah (otoritas Allah
semata).
3. Menafsirkan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik sematamata berdasarkan persepsinya).
4. Menafsirkan ayat-ayat dengan makna-makna yang tidak dikandungnya.
5. Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab, dengan cara menjadikan faham
mazhab sebagai dasar, sedangkan penafsiran mengikuti paham mazhab tersebut.
6. Menafsirkan dengan disertai memastikan, bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah
demikian, tanpa didukung oleh dalil.
Selama mufassir bi al-Rayi memenuhi persyaratan dan menjauhi keenam hal tersebut, dibarengi
pula dengan niat dan tujuan yang ikhlas karena Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan
pendapatnya dikatakan rasional. Namun bila ia tidak memenuhi kriteria di atas berarti ia telah
menyimpang dan oleh karena itu penafsirannya ditolak.
Di samping persyaratan di atas, tafsir bi al-Rayi juga harus sesuai dengan tujuan syara, jauh
dari kesesatan dan kebodohan, serta bersandar pada sesuatu yang wajib dijadikan sandaran,
sebagaimana yang dikemukakan oleh as-Suyuthi bahwa sandaran yang harus dipedomani
tersebut yaitu:

a. Periwayatan dari Rasullullah, berpegang pada hadis-hadis yang bersumber dari Rasullullah
saw, dengan ketentuan ia harus waspada terhadap riwayat yag dhaif (lemah) dan maudhu
(palsu).
b. Perkataan sahabat, berpegang pada ucapan sahabat Nabi, karena yang mereka ucapkan
menurut peristilahan hadis, hukumnya mutlak marfu (shahih atau hasan), khususnya yang
berkaitan dengan asbab an nuzul dan hal-hal yang tidak dapat dicampuri oleh rayu.
c. Berpegang pada kaidah bahasa Arab, dan harus senantiasa berhati-hati untuk tidak
menafsirkan ayat-ayat yang meyimpang dari makna lafadz yang semestinya.
Dari uraian di atas terlihat jelas kompleksnya kualifikasi yang harus dimiliki oleh para mufassir
bi al-Rayi, sehingga bisa dikatakan bahwa mereka harus memiliki nilai lebih dari mufassir
biasa, karena selain harus memiliki keahlian di bidang ilmu tafsir mereka juga harus memiliki
daya nalar yang tinggi.[30]

Karya-karya Tafsir bi al-Rayi dan Tokoh-tokohnya


Di antara karya tafsir bi al-Rayi adalah sebagai berikut:
1. Mafatih al-Ghayb, karya Muhammad bin Umar bin al-Husayn al-Razy, wafat pada tahun 606,
terkenal dengan Tafsir al-Razi.
2. Anwar al-Tanzil wa asrar al-Tawil, karya Abd Allah bin Umar al-Baydhawi, wafat pada
tahun 685, terkenal dengan Tafsir al-Baydhawi.
3. Lubab al-Tawil fi Maani al-Tanzil, karya Abd Allah bin Muhammad al-Maruf, wafat pada
tahun 741, terkenal dengan Tafsir al-Khazin.
4. Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Tawil, karya Abd Allah bin Ahmad al-Nasafi, wafat pada
tahun 701, terkenal dengan Tafsir al-Nasafi.
5. Gharaib Al-Quran wa Raghaib al-Furqan, karya Nizam al-Din al-Hasan Muhammad alNisaburi, wafat pada tahun 728, terkenal dengan Tafsir al-Nisaburi.
6. Irshad al-aql al-Salim, karya Muhammad bin Muhammad bin Mustafa al-Tahawi, wafat pada
tahun 952, terkenal dengan Tafsir Abi al-Suudi.
7. Al-Bahr al-Muhith, karya Muhammad bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusi, wafat pada tahun
745, trekenal dnegan Tafsir Abu Hayyan.
8. Ruuh al-Maani, karya Shahabuddin Muhammad al-Aluusi al-Baghdadi, wafat pada tahun
1270, terkenal dengan Tafsir al-Aluusi.
9. Al-Siraj al-Munir, karya Muhammad al-Sharbini al-Khatib, wafat pada tahun 977, terkenal
dengan Tafsir al-Khatib.

10. Tafsir al-Jalaalayn, karya I. Jalal al-Din al-Mahali, wafat pada tahun 764, dan II Jalal al-Din
al-Suyuti, yang wafat pada tahun 911, terkenal dengan Tafsir al-Jalalayn.[31]
Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai tafsir bi al-rayi pada bab sebelumnya penulis menarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Tafsir bi al-Rayi ialah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya mufassir hanya berpegang
pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbath) yang di dasarkan pada rayu semata yakni
bukan pemahaman yang sesuai dengan ruh syariah.
2. Sebab yang memicu kemunculan corak tafsir bi al-Rayi adalah semakin majunya disiplin
ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam displin ilmu, karya-karya para
ulama, berbagai metode penafsiran, dan pakar-pakar di bidangnya masing-masing. Dan dipicu
pula oleh hasil interaksi umat Islam dengan peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal.
Oleh karena itu, peranan akal sangat dominan.
3. Para ulama membagi corak tafsir bi al-Rayi ini kepada dua bagian, yaitu:
a. Tafsir bi al-Rayi al Mahmudah
b. Tafsir bi al-Rayi al-Mazmumah
4. Secara garis besar, tafsir bi al-Rayi terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu:
a. Kelompok yang menerima
b. Kelompok yang menolak
5. Seorang mufassir ia harus memiliki kemampuan dalam segala bidang, untuk itu diperlukan
syarat-syarat dasar sebelum seorang mufassir memulai tafsir al-Quran. Dan mengkaji ilmu-ilmu
al-Quran memiliki banyak manfaat salah satunya adalah tafsir bi al-Rayi.
Daftar Pustaka
Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran al-Quran. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Mashuri, sirojuddin Iqbal, dkk. Pengantar Ilmu Tafsir. Cet. I; Bandung: Angkasa, 1993.
Mudzakir AS. Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Cet. VI; Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2001.
____________Manna Khalil Al-Qattan: Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Cet. VIII; Jakarta: PT.
Mitra Kerjaya Indonesia, 2004.
Muhammad Ali Ash-Shabuniy. At-Tibyan fi Ulum Al-Quran. Cet. I; Alim al-Kutub: Makkah alMukarramah, 1985.

Mardan. Al-Quran: Sebuah Pengantar Memahami Al-Quran Secara Utuh. Cet. I; Jakarta:
Pustaka Mapan, 2009.
Muhammad Hafrinda, Metode Tafsir Bi Al-Rayi,
http://hafrinda212.wordpress.com/2009/05/27/metode-tafsir-bi-al-ra%E2%80%99yi/, diakses
pada tanggal 13 November 2011, pukul 20.00 wita.
Qardhawi, Yusuf. Berinteraksi dengan Al-Quran. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Rosihon, Anwar. Ulumul Quran, Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Thameem, Ushama. Methodologies of the Quranic Exegesis, diterjemahkan oleh Hasan Basri
dan Amroeni dengan judul Metodologi Tafsir Al-Quran: Kajian Kritis, Objektif dan
Komprehensif. Cet. I; Jakarta: Riora Cipta, 2000.
Tulisan Tafsir bil Ra'yi telah dipresentasikan oleh Beti Yanuri Pada seminar Mata Kuliah
Ulumul Quran Program Magister (S2) UIN Alauddin Makassar.
Gunakan UC Browser Versi Terbaru untuk Internetan Lebih lancar,
9x lebih cepat dan hemat kuota / pulsa.
Download UC Browser
Cantumkan Sumber: http://www.tongkronganislami.net/2016/03/tafsir-bil-rayi-atau-biddiroyah.html#ixzz495cJc9Jw

Anda mungkin juga menyukai