Lapsus Praya Fix
Lapsus Praya Fix
Oleh :
Komang Septian Trisna Jaya
(H1A012028)
(H1A212062)
Pembimbing :
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
SEPSIS NEONATORUM
Definisi & Epidemiologi
Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai bakteremia yang terjadi
pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. Angka kejadian sepsis neonatal adalah 1-10 per
1000 kelahiran hidup, dan mencapai 13-27 per 1000 kelahiran hidup pada bayi dengan berat
<1500 gram. Angka kematian 13-50 %, terutama pada bayi premature (5-10 kali kejadian pada
neonatus cukup bulan) dan neonatus dengan penyakit berat dini. Infeksi nosokomial pada bayi
berat lahir sangat rendah, merupakan penyebab utama tingginya kematian pada umur setelah 5
hari kehidupan (Titut 2002).
Patofisiologi
Sesuai dengan patogenesis, secara klinik sepsis neonatal dapat dikategorikan dalam:
-
Sepsis dini, terjadi pada 5-7 hari pertama, tanda distres pernapasan lebih mencolok,
organisme penyebab penyakit didapat dari intrapartum, atau melalui saluran genital ibu.
Pada keadaan ini kolonisasi patogen terjadi pada periode perinatal. Beberapa
mikroorganisme penyebab, seperti treponema, virus, listeria dan candida, transmisi ke
janin melalui plasenta secara hematogenik. Cara lain masuknya mikroorganisme, dapat
melalui proses persalinan. Dengan pecahnya selaput ketuban, mikroorganisme dalam
flora vagina atau bakteri pathogen lainnya secara asenden dapat mencapai cairan amnion
dan janin. Hal ini memungkinkan terjadinya khorioamnionitis atau cairan amnion yang
telah terinfeksi teraspirasi oleh janin atau neonatus, yang kemudian berperan sebagai
penyebab kelainan pernapasan. Adanya vernix atau mekoneum merusak peran alami
bakteriostatik cairan amnion. Akhirnya bayi dapat terpapar flora vagina waktu melalui
jalan lahir. Kolonisasi terutama terjadi pada kulit, nasofaring, orofaring, konjungtiva, dan
tali pusat. Trauma pada permukaan ini mempercepat proses infeksi. Penyakit dini
ditandai dengan kejadian yang mendadak dan berat, yang berkembang dengan cepat
menjadi syok sepsis dengan angka kematian tinggi. Insidens syok septik 0,1- 0,4%
dengan mortalitas 15-45% dan morbiditas kecacatan saraf. Umumnya terjadi setelah bayi
berumur 7 hari atau lebih (Titut 2002; AIIM 2014).
Sepsis lambat mudah menjadi berat, tersering menjadi meningitis. Bakteri penyebab
sepsis dan meningitis, termasuk yang timbul sesudah lahir yang berasal dari saluran
genital ibu, kontak antar manusia atau dari alat-alat yang terkontaminasi. Di sini transmisi
horisontal memegang peran. Insiden sepsis lambat sekitar 5-25%, sedangkan mortalitas
10-20% namun pada bayi kurang bulan mempunyai risiko lebih mudah terinfeksi,
disebabkan penyakit utama dan imunitas yang imatur (Titut 2002; AIIM 2014).
sebelumnya. Secara kuantitatif, jumlah IgG jelas kurang pada bayi berat lahir sangat
rendah, karenasebagian besar IgG ditransfer melalui plasenta sesudah 32 minggu
kehamilan; maka jumlah IgG pada bayi kurang bulan sangat rendah disbanding bayi
cukup bulan. Jumlah ini berkurang pada beberapa bulan pertama sesudah lahir, keadaan
ini disebut hipoimunoglobinemia fisiologis pascanatal. Hal inilah yang merupakan faktor
risiko terjadinya infeksi nosokomial pada masa neonatal, terutama untuk bayi berat lahir
sangat rendah atau bayi kurang bulan.
Diagnosis
Dalam menentukan diagnosis, diperlukan berbagai informasi mengenai:
a. Faktor resiko
b. Gambaran klinik
c. Pemeriksaan penunjang
Tabel faktor risiko sepsis neonatorum
Faktor risiko mayor
Faktor risiko minor
Ketuban pecah > 24 jam
Ketuban pecah > 12 jam
Ibu demam saat intrapartum Ibu demam saat intrapartum suhu
suhu > 38 C
> 37,5 C
Korioamnionitis
Nilai Apgar rendah ( menit ke-1 <
Denyut jantung janin menetap >
5 , menit ke-5 < 7 )
Bayi
berat lahir sangat rendah
160x/menit
Ketuban berbau
( BBLSR ) < 1500 gram
Pada tabel berikut terlihat berbagai gambaran klinis dan laboratoris yang bisa terlihat pada
disfungsi multiorgan pada bayi :
Gangguan Organ
Kardiovaskular
Gambaran Klinis
Tekanan darah sistolik < 40 mmHg
Denyut jantung < 50 atau >220/menit
Saluran nafas
Sistem hematologik
SSP
Gangguan Ginjal
Gastoenterologi
disertai
untuk
dengan
Hepar
Pemeriksaan Penunjang
a. Septic Marker
1
Usia
1 hari
3 hari
7 hari
14 hari 1 bulan
IT Ratio
0,16
0,12
0,12
0,12
0,12
CRP (N 1,0 mg/dL atau 10 mg/L). CRP timbul pada fase akut kerusakan jaringan,
menigkat pada 50-90% pasien sepsis neonatal.Peningkatan kadar CRP terjadi pada 24
jam setelah terjadi sepsis, meningkat pada hari ke 2-3 sakit dan menetap tinggi sampai
infeksi teratasi (Hansen, 1998).
b. Pemeriksaan Urin
Urine dikumpulkan secara pungsi buli-buli. Dicurigai adanya infeksi bila(Hansen, 1998):
-
c. Cairan serebrospinal
Diduga adanya meningitis bila terdapat (Hansen, 1998) :
-
sel darah putih > 20/mm3 (usia <7 hari) atau > 10/mm3 (usia >7 hari)
d. Foto thorax
Dikerjakan jika terdapat tanda distres pernapasan. Pada foto thoraks mungkin
didapatkan(Hansen, 1998) :
Pneumonia kongenital berupa konsolidasi bilateral atau efusi pleura
Pneumonia karena infeksi intrapartum berupa infiltrasi dan destruksi jaringan
bronkopulmoner, atelektasis, segmental atau lobaris, gambaran retikuloglanural difus,
dan efusi pleura.
Pada pneumonia karena infeksi pascanatal gambarannya sesuai dengan kuman setempat.
e. Kultur
Darah, cairan serebrospinal, urine dan feses
f. Pemeriksaan penunjang lain
Pemeriksaan IL-6
Interleukin-6 adalah sitokin yang diproduksi oleh berbagai sel dalam tubuh dan berperan
dalam respons imunologik terhadap infeksi. Satu penelitian menunjukkan pada SNAD
kadar interleukin-6 meningkat > 100 pg/mL bila diperiksa pada usia 0-12 jam pertama,
dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 89%. Namun demikian teknik pemeriksaan
sulit dan perlu biaya tinggi sehingga masih memerlukan penelitian lebih lanjut
Latex Particle Agglutination (LPA) dan Countercurrent immunoelectrophoresis (CIE)
Metode ini dilakukan untuk pemeriksaan terhadap Streptococcus grup B dan E. coli.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan bila hasil kultur negatif atau dikhawatirkan negatif
karena pemberian antibiotika maternal intrapartum (Hansen, 1998 & Barnett, 2001).
Tatalaksana
1. Pencegahan dilakukan dengan memperhatikan pemakaian jarum atau alat tajam lainnya
sekali pakai. Pemakaian proteksi di setiap tindakan, termasuk sarung tangan, masker,
baju, kacamata debu. Tangan dan kulit yang terkena darah atau cairan tubuh lainnya
segera dicuci.
2. Pengobatan
Penisilin atau derivat biasanya ampisilin 100mg/ kg/24jam intravena tiap 12 jam, apabila
terjadi meningitis untuk umur 0-7 hari 100-200mg/kg/24 jam intravena/intramuskular
tiap 12 jam, umur >7 hari 200-300mg/kg/24jam intravena/ intramuskular tiap 6-8 jam,
maksimum 400mg/kg/24jam Ampisilin sodium/sulbaktam sodium (Unasyn), dosis sama
dengan ampisilin ditambah aminoglikosid 5mg/kg/24jam intravena diberikan tiap 12 jam.
Pada sepsis nosokomial, sebaiknya diberikan vankomisin dengan dosis tergantung umur
dan berat badan:
<1,2kg umur 0-4 minggu: 15mg/kg/kali tiap 24jam
1,2-2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12- 18jam
1,2-2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8-12jam
>2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12jam
>2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8jam ditambah aminoglikosid atau
sefalosporin generasi ketiga
dianggap sebagai penyebab kerusakan otak. kejang berulang akan menyebabkan berkurangnya
oksigenasi, ventilasi, dan nutrisi di otak. Kejang pada neonatus secara klinis dapat diartikan
sebagai perubahan paroksimal dari fungsi neurologik seperti perubahan perilaku, sensorik,
motorik, dan fungsi autonom sistem saraf yang terjadi pada bayi berumur sampai dengan 28 hari
(Kosim 2010; Effendi 2013).
Angka kejadian kejang neonatus yang sebenarnya tidak diketahui secara pasti karena
sulitnya mengelai tanda bangkitan kejang pada neonatus. gambaran klinis kejang sangat
bervariasi bahkan sangat sulit membedakan gerakan normal bayi itu sendiri. Meskipun demikian,
angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0,8-1,2 setiap 1000 bayi lahir hidup setiap
tahunnya. Sumber pustaka lain menyebutkan angka kejadian pada umumnya berkisar antara 1,5
per 1000 kelahiran sampai 14 per 1000 kelahiran. Di ruang perawatan intensif, pada bayi berat
lahir rendah yang sakit, frekuensi kejang meningkat sampai 25%. Kejang pada bayi baru lahir
85% terjadi pada 15 hari pertama kehidupan dan 65% terjadi pada hari kedua dan kelima
kehidupan (Kosim 2010; Effendi 2013).
Etiologi
Menemukan etiologi dari kejang neonatus sangatlah penting. Hal ini berguna untuk
melakukan penanganan secara spesifik dan juga untuk mengetahui prognosis. Berdasarkan
literatur, didapatkan beberapa etiologi dari kejang neonatus yaitu (Kosim 2010):
a. Asfiksia
Asfiksia perinatal menyebabkan terjadinya ensefalopati hipoksik-iskemik dan
merupakan masalah neurologis yang penting pada masa neonatal, dan menimbulkan
gejala sisa neurologis di kemudian hari. Asfiksia intrauterin adalah penyebab terbanyak
ensefalopati hipoksik-iskemik. Hal ini karena terjadi hipoksemia, kurangnya kadar
oksigen ke jaringan otak. Kedua keadaan tersebut dapat terjadi secara bersama-sama,
yang satu dapat lebih dominan tetapi faktor iskemia merupaka faktor yang paling penting
dibandingkan hipoksemia.
b. Trauma dan Perdarahan Intrakranial
Trauma dan perdarahan intrakranial biasanya terjadi pada bayi yang besar yang
dilahirkan oleh ibu dengan kehamilan primipara. Hal ini terjadi pada partus lama,
persalinan yang sulit disebabkan oleh kelainan kedudukan janin dalam rahim atau
kelahiran presipitatus sebelum serviks uteri membuka cukup lebar. Pada bayi berat lahir
rendah dengan berat badan <1500 gram biasanya perdarahan terjadi didahului oleh
keadaan asfiksia. Perdarahan intrakranial dapat terjadi di ruang subarachnoid, subdural,
dan intraventrikular atau parenkim otak.
c. Infeksi
Pada bayi baru lahir infeksi dapat terjadi di dalam rahim, selama persalinan, atau segera
sesudah lahir. Infeksi dalam rahim terjadi karena infeksi primer dari ibu seperti
toxoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, dan herpes. Selama persalinan atau segera
sesudah lahir, bayi dapat terinfeksi oleh virus herpes simpleks, virus Coxsackie, E. Colli,
dan Streptococcus B yang dapat menyebabkan ensefalitis dan meningitis.
d. Gangguan Metabolik
Gangguan metabolik yang menyebabkan kejang pada bayi baru lahir adalah gangguan
metabolisme glukosa, kalsium, magnenisum, elektrolit, dan asam amino. Gangguan
metabolik ini terdapat pada 73% bayi baru lahir dengan kerusakan otak. Berbagai
keadaan gangguan metabolik yang berhubungan dengan kejang pada neonatus adalah:
Hipoglikemia
Hipoglikemia pada bayi baru lahir adalah bila dalam tiga hari pertama
sesudah lahir, kadar gula darah kurang dari 20mg% pada bayi kurang bulan atau
kurang dari 30mg% pada bayi cukup bulan pada pemeriksaan kadar gula darah 2
kali berturut-turut, dan kurang dari 40mg% pada bayi berumur lebih dari 3 hari.
Hipoglikemia sering terjadi pada bayi kecil masa kehamilan, bayi dari ibu
penderita diabetes, atau bayi dengan penyakit berat seperti asfiksia dan sepsis.
Hipokalsemia
Hipokalsemia jarang menjadi penyebab tunggal kejang pada neonatus.
biasanya hipokalsemia disertai dengan gangguan lain, misalnya hipoglikemia,
hipomagnersemia, atau hipofosfatemia. Diagnosis hipokalsemia adalah bila kadar
kalsium dalam darah kurang dari 7 mg%. Hipokalsemia terjadi pada masa dini
dijumpai pada bayi berat lahir rendah, ensefalopati hipoksik-iskemik, bayi dari
ibu dengan diabetes melitus, bayi yang lahir akibat komplikasi berat terutama
karena asfiksia.
e. Gangguan Elektrolit
acid
(AMPA)
dan
N-methyl-D-aspartate
(NMDA). Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap tikus yang memiliki otak homolog
dengan otak manusia, didapatkna bahwa reseptor NMDA meningkat tajam pada dua minggu
awal kelahiran untuk membantu sinaps yang bergantung pada aktivitasnya. Selain itu, pada
periode ini merupakan saat dimana sensitivitas terhadap magnesium berada di titik terendah.
Magnesium merupakan penghalang reseptor endogen alamiah, sehingga berdampak pada
meningkatnya eksitabilitas neuronal. Literatur lain menjelaskan mengenai mekanisme penting
sehubungan dengan terjadinya kejang pada neonatus adalah (Effendi 2013):
a. Penurunan efektifitas inhibisi neurotransmitter pada otak imatur
Fungsi inhibisi dari reseptor GABA agonis terbentuk dan berkembang secara
perlahan-lahan. Penelitian terhadap tikus menunjukkan fungsi pengikatan reseptor
GABA, pembentukan enzim dan ekspresi dari reseptor lebih rendah pada masa-masa
awal kehidupan. Hal ini mendukung terjadinya kejang sehubungannya dengan
aktivitas sel saraf pada neonatus yang lebih mengakomodasi aktivitas eksitabilitas.
b. Konfigurasi kanal ion lebih mengarah ke depolarisasi pada fase awal kehidupan
Regulasi kanal ion mengatur eksitabilitas neuron dan seperti reseptor neurotransmiter,
regulasinya terbentuk serta berkembang perlahan seperti yang terjadi pada mutasi
kanal ion kalium (KCNQ2 dan KCNQ3) yang berhubungan dengan terjadinya kejang
neonatus familial, menyebabkan proses hiperpolarisasi kalium yang berakibat
terjadinya penembakan potensial aksi yang berulang secara cepat. Otak imatur
memiliki ekspresi yang relatif lebih rendah terhadap HCN1 isoform yang berfungsi
untuk menurunkan eksitabilitas dendritik pada otak dewasa. Mutasi kanal ion daoat
juga berkontribusi dalam hipereksitabilitas pada otak imatur dan dapat memiliki efek
kumulatif.
c. Peranan neuropeptida dalam terjadinya hipereksitabilitas pada otak imatur
Sistem neuropeptida berfluktuasi secara dinamis pada periode perinatal seperti yang
terjadi pada Corticotropin Releasing Hormone (CRH) yang memicu terjadinya
potensi eksitasi pada neuron. Jika dibandingkan dengan fase kehidupan selanjutnya,
CRH dikeluarkan lebih tinggi pada dua minggu awal kehidupan seperti yang terlihat
pada tikus percobaan. CRH juga meningkat pada keadaan stres seperti halnya saat
terjadi kejang pada otak yang imatur akan memicu kejadian kejang yang berulang.
Klasifikasi Kejang
Banyak klasifikasi mengenai kejang pada neonatus, tapi sebagian besar literatur
menggunakan klasifikasi Volpe sebagai acuan. Volpe mengklasifikasikan kejang sesuai dengan
gejala klinisnya, yaitu (Kosim 2010; Effendi 2013):
a. Subtle
Merupakan tipe kejang tersering yang terjadi pada bayi kurang bulan. Bentuk
kejang ini hampir tidak terlihat, biasanya berupa pergerakan muka, mulut, atau lidah
berupa menyeringai, terkejat-kejat, mengisap, menguyang, menelan, atau menguap.
Manifestasi kejang subtle pada mata adalah pergerakan bola mata berkedip-kedip, deviasi
bola mata horisontal, dan pergerakan bola mata yang cepat (nystagmus jerk). Pada
anggota gerak didapatkan pergerakan mengayuh atau seperti berenang. Manifestasi pada
pernafasan berbentuk serangan apne yang biasanya didahului atau disertai gejala subtle
misalnya gerakan kelopak mata yang berkedip-kedip. Gerakan apne saja terutama pada
bayi berat lahir rendah sering disebabkan oleh mekanisme yang lain. Kadang bentuk
kejang dapat berupa hiperapnea atau pernafasan seperti mengorok. Mengetahui gerakan
subtle termasuk serangan kejang dapat dibuktikan dengan pemeriksaan EEG dengan
kelainan berbentuk aktivias epileptik yang menyebar.
b. Klonik
Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1-3 detik, terlokalisasi dengan
baik, tidak disertai gangguan kesadaran, dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik.
Bentuk kejang ini sebagai manifestasi akibat trauma fokal pada kontusio cerebri pada
bayi besar atau bayi cukup bulan, atau pada kelainan ensefalopati metabolik. Kejang
klonik multifokal adalah bentuk kejang yang sering ddapat pada bayi baru lahir, terutama
pada bayi cukup bulan dengan berat badan lebih dari 2500 gram. Bentuk kejang
merupakan gerakan klonik dari salah satu atau lebih anggota gerak yang berpindahpindah atau terpisah secara teratur. Kadang-kadang karena kejang yang satu dan yang lain
sering berkesinambungan, seolah-olah memberi kesan sebagai kejang umum. Biasanya
bentuk kejang ini terdapat pada gangguan metabolik.
c. Tonik
Kejang tonik biasa didapatkan pada bayi berat lahir rendah dengan masa
kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi-bayi dengan komplikasi perinatal berat
seperti perdarahan intraventrikuler. Bentuk klinis kejang ini yaitu pergerakan tungkai
yang menyerupai sikap deserberasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan
bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus dibedakan
dengan sikap opisititonus yang disebabkan oleh rangsang meningeal karena infeksi
selaput otak atau kernikterus.
d. Mioklonik
Manifestasi klinisk kejang mioklonik yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan
fleksi dari lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadi dengan cepat.
Gerakan tersebut seperti gerak refleks Moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan
susunan saraf pusat yang luas dan hebat, seperti pada bayi baru lahir yang dilahirkan dari
ibu kecanduan obat. Gambaran EEG kejang mioklonik pada bayi baru lahir tidak spesifik.
Faktor yang Berhubungan
1. Faktor ibu
Status paritas ibu
Penelitian yang dilakukan Glass, dkk (2009) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
risiko kejang neonatus pada bayi yang lahir dari ibu primipara dibandingkan bayi yang lahir dari
ibu multipara. Hal ini ditunjang oleh pendapat dari literatur lain yang menjelaskan bahwa bayi
yang lahir dari ibu primipara memiliki faktor risiko lebih tinggi terkena trauma dan perdarahan
intrakranial yang diakibatkan oleh partus lama, persalinan yang sulit disebabkan oleh kelainan
kedudukan janin dalam rahim, ataupun kelahiran presipitatus sebelum serviks uteri membuka
cukup lebar. Pada bayi lahir dari ibu primipara juga memiliki faktor risiko terjadinya gangguan
pernafasan saat kelahiran yang diakibatkan oleh persalinan lama. Pada persalinan lama, bayi
akan mengalami gangguan nafas yang bila tidak ditangani segera akan menimbulkan asfiksia
yang akan menyebabkan timbulnya ensefalopati hipoksik-iskemik. Hal ini timbul karena terjadi
hipoksemia, berkurangnya kadar oksigen dalam peredaran darah, serta iskemia dan berkurangnya
perfusi oksigen ke jaringan otak. Perdarahan subarachnoid sering dijumpai akibat robekan vena
superficial akibat partus lama yang sering dialami pada ibu primipara. Dalam keadaan ini biasa
disertai dengan ensefalopati hipoksik-iskemik ringan yang akan menimbulkan manifestasi kejang
pada hari pertama atau kedua meskipun awalnya menunjukkan keadaan baik. Perdaharan
subdural terjadi akibat robekan tentorium di dekat falks serebri. Hal ini disebabkan karena
molase kepala yang berlebihan pada letak verteks, letak muka, dan partus lama yang sering
dialami ibu primipara. Darah terkumpul di fossa posterior dan dapat menekan batang otak.
Manifestasi klinis hampir sama dengan ensefalopati hipoksik-iskemik ringan sampai sedang
yang bisa berkembang menjadi kejang pada neonates (Kosim 2010).
Infeksi intrauterin
Pada bayi baru lahir infeksi dapat terjadi di dalam rahim, selama persalinan, atau
segera sesudah lahir. Infeksi dalam rahim terjadi karena infeksi primer dari ibu seperti
toxoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, dan herpes. Selama persalinan atau segera
sesudah lahir, bayi dapat terinfeksi oleh virus herpes simpleks, virus Coxsackie, E. Colli,
dan Streptococcus B yang dapat menyebabkan ensefalitis dan meningitis.
Meningitis bakterial dapat timbul dalam 48 jam pertama sesudah kelahiran, tetapi
biasanya timbul sesudah hari kelima. Manifestasi klasik meningitis seperti yang terdapat
pada bayi yang besar atau anak jarang terlihat pada bayi baru lahir. Gejala kejang
biasanya terjadi pada separuh dari bayi baru lahir yang menderita meningitis. Tanda dan
gejala infeksi bakteri pada masa kehamilan yaitu demam pada ibu dimana suhu tubuh
lebih dari 37,9C sebelum dan saat persalinan berlangsung, pecahnya ketuban lebih dari
24 jam sebelum kelahiran janin, cairan amnion yang berbau busuk, tanda ikterik pada ibu,
distensi abdomen ibu yang berat, dan tanda-tanda lokal lainnya seperti nyeri pada sendi,
pembengkakan sendi, keterbatasan ibu dalam bergerak, dan iritabilitas. Infeksi intrauterin
dapat didiagnosa dengan adanya demam pada ibu, nyeri rahim, cairan ketuban berbau
busuk, atau visualisasi nanah pada saat pemeriksaan spekulum, dan denyut jantung ibu
100 kali per menit atau denyut jantung janin 160 kali per menit. Infeksi intrauterin
dapat menyebabkan persalinan preterm dengan tanda ditemukannya leukositosis darah
tepi ibu. Persalinan preterm akan mengakibatkan organ-organ pada bayi belum tumbuh
dengan sempurna yang akan mengakibatkan rentannya bayi preterm terkena gangguan
penyakit, salah satunya adalah kejang pada neonatus. Hal ini ditunjang oleh penelitian
yang dilakukan oleh Lieberman yang menyebutkan bahwa ibu dengan demam diatas
101F sebelum dan saat persalinan berlangsung memiliki hubungan dengan bayi yang
dilahirkannya mengalami kejang pada neonates (Kosim, 2010) .
Cara persalinan
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Minchom dkk mennyatakan
bahwa terdapat hubungan antara sectio cesarean dengan terjadinya kejang pada neonatus.
Hal ini ditunjang oleh literatur yang menyatakan bahwa cara persalinan dengan sectio
caesarean dapat meningkatkan risiko terjadinya trauma kepala dan perdarahan
intrakranial yang dapat berakibat terjadinya kejang pada neonatus. Perdarahan
subarachnoid sering dijumpai akibat robekan vena superficial akibat komplikasi dari
persalinan sectio cesarean. Dalam keadaan ini biasa disertai dengan ensefalopati
hipoksik-iskemik ringan yang akan menimbulkan manifestasi kejang pada hari pertama
atau kedua meskipun awalnya menunjukkan keadaan baik (Kosim, 2010).
2. Faktor bayi
Tindakan resusitasi
Setelah dilakukannya penjepitan tali pusat yang menghentikan penyaluran
oksigen dari plasenta, bayi akan beradaptasi untuk bernafas spontan. Bila bayi depresi
dan tidak mampu memulai nafas spontan yang memadai, bayi akan dengan segera
mengalami hipoksia berat yang akan berjalan progresif menjadi asfiksia. Tujuan
diberikannya resusitasi adalah memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen
dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen ke otak, jantung, dan alat vital
lainnya. Bila resusitasi tidak dilakukan secara adekuat, bayi akan mengalami asfiksia.
Asfiksia adalah penyebab kejang pada neonatus tersering. Hal ini disebabkan karena
asfiksia akan menyebabkan ensefalopati hipoksik-iskemik dan merupakan masalah
neurologis yang penting pada masa neonatal dan menimbulkan gejala sisa neurologis di
kemudian hari. Ensefalopati hipoksik-iskemik akan mengurangi kadar oksigen menuju
otak dan mengurangi perfusi jaringan ke otak sehingga dapat terjadi kejang pada neonates
(Kosim, 2010).
Gawat janin
Gawat janin adalah keadaan dimana janin tidak memperoleh pasokan oksigen
yang cukup. Ciri-ciri yang timbul pada janin dengan kegawatan adalah frekuensi denyut
jantung janin kurang dari 120 kali per menit atau lebih dari 160 kali per menit,
berkurangnya gerakan dari janin, dan air ketuban yang bercampur mekonium dan
berwarna kehijauan. Janin yang mengalami kegawatan karena berkurangnya pasokan
oksigen dapat terkena asfiksia intrauterin dan menjadi penyebab tersering terjadinya
ensefalopati hipoksik-iskemik. Hal ini timbul karena terjadu hipoksemia, yaitu kurangnya
kadar oksigen dalam peredaran darah dan iskemia, serta berkurangnya perfusi oksigen ke
jaringan otak. Keadaan ini merupakan penyebab tersering kejang pada neonates (Kosim,
2010).
Masa gestasi
Masa gestasi dikatakan cukup bulan ketika janin berusia lebih dari 37 minggu dan
kurang dari 42 minggu. Bayi yang dilahirkan pada kehamilan sampai usia 37 minggu
disebut dengan bayi prematur. Bayi yang dilahirkan secara prematur belum memiliki
organ-organ yang tumbuh dan berkembang secara lengkap dibandingkan dengan bayi
yang dilahirkan cukup bulan. Oleh sebab itu, bayi prematur akan mengalami lebih banyak
kesulitan untuk hidup normal di luar uterus ibunya. Makin pendek usia kehamilannya
semakin kurang sempurna pertumbuhan dan perkembangan organ tubuh bayi tersebut,
sehingga angka mortalitas serta komplikasi setelah lahir meningkat dibanding bayi cukup
bulan. Pada bayi prematur akan didapatkan komplikasi baik secara anatomik maupun
fisioligik seperti perdarahan bawah kulit, perdarahan intrakranial, anemia, gangguan
keseimbangan asam basa, serta asfiksia. Diantara komplikasi yang timbul akibat bayi
lahir prematur, perdarahan intrakranial, asfiksia, dan gangguan keseimbangan asam basa
yang dapat mengakibatkan kejang pada neonates (Kosim, 2010).
Perdarahan intrakranial yang terjadi pada bayi prematur dan berat badan lahir
rendah akan menimbulkan gejala dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam
sebagai gangguan respirasi, kejang tonik umum, pupil terfiksasi, kuadriparesis flaksid,
deserebrasi, dan stupor atau koma dalam (Kosim, 2010).
Diagnosis
1. Anamnesis
-
riwayat keluarga
Riwayat persalinan
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum dan khusus neurologi
3. Laboratorium : disesuaikan dengan kecurigaan penyebabnya
-
Cairan serebrospinal
Tata laksana
1. Oksigenasi yang baik
2. Atasi kejang (lihat bagan). Lama pemberian anti kejang tergantung: Hasil pemeriksaan
neurologi, penyebab kejang, dan pemeriksaan EEG, cari etiologi segera mungkin.
BAGAN TATALAKSANA KEJANG NEONATORUM
ASFIKSIA NEONATORUM
Definisi
Menurut AAG dan ACOG (2004), asfiksia perinatal pada seorang bayi menunjukkan
karakteristik sebagai berikut :
a. Asidemia metabolik atau campuran ( metabolik dan respiratorik) pH < 7 pada sampel
darah yang diambil dari vena umbilikus
Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, (c). Hipertensi pada penyakit
akiomsia dan lain-lain.
2. Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksia
janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio
plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.
3. Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pcmbuluh darah
umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini
dapat ditemukan pada keadaan: tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher kompresi tali
pusat antar janin dan jalan lahir dan lain-lain.
4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu : (a).
Pemakaian obat anestesia/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat
menimbulkan depresi pusat pernafasan janin. (b). Trauma yang terjadi pada persalinan,
misalnya perdarahan intrakranial. (c). Belum matangnya organ tubuh pada kelahiran
preterm.
(d).
Kelainan
konginental
pada
bayi,
misalnya
hernia
diafrakmatika
Faktor Risiko
Antepatum
Intrapartum
- Diabetes pada ibu
- Seksio sesaria darurat
- Hipertensi dalam kehamilan
- Kelahiran dengan ekstraksi vakum atau
- Hipertensi kronik
forcep
- Anemia janin atau isoimunisasi
- Letak
sungsang
atau
presentasi
- Riwayat kematian janin atau
abnormal
neonatus
- Kelahiran kurang bulan
- Perdarahan pada trimester dua
- Partus presipitatus
- Korioamnitis
dan tiga
- Infeksi ibu
- Ketuban pecah lama > 18 jam sebelum
- Ibu dengan penyakit jantung,
persalinan
ginjal, paru, tiroid atau kelainan - Partus lama >24 jam
neurologi
Polihodramnion
Oligohidramnion
Ketuban pecah dini
Hidrops fetalis
Kehamilan lewat waktu
Kehamilan ganda
Berat janin tidak sesuai masa
kehamilan
Terapi obat
seperti
kalsium
berarturan
Penggunaan anestesi umum
Hiperstimulus uterus
Penggunaan obat narkotika pada ibu 4
Patofisiologi
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk
mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan
konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung
kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan
melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke
aorta (Hasan, 1985).
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama oksigen.
Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan alveoli akan berisi udara.
Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di
sekitar alveoli (Kosim, 2010).
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada sirkulasi
plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar
oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap
aliran darah bekurang (Hasan, 1985).
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan tekanan
pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru
meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli
oleh pembuluh darah divena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke
bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan
keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru.
Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus
mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru,
akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh (Hasan, 1985).
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paru-parunya
untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dantarikan napas yang dalam akan mendorong
cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang utama
relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna
kulit bayiakan berubah dari abu-abu atau biru menjadi kemerahan (Hasan, 1985).
Bila terdapat gangguaan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selamakehamilan persalinan
akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akanmempengaruhi fugsi sel tubuh dan bila
tidak teratasi akan menyebabkankematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversibel
atau tidak tergantungkepada berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai dengan
suatuperiode apnu (primany apnea) disertai dengan penurunan frekuensi jantungselanjutnya bayi
akan memperlihatkan usaha bernafas (gasping) yang kemudian diikuti oleh pernafasan teratur.
Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas initidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam
periode apnu kedua (secondary apnea). Pada tingkat ini ditemukan bradikardi dan penurunan
tekanan darah (Kosim, 2010).
Pada tingkat pertama hanya menimbulkan asidoris respiratorik, bila berlanjut maka dalam
tubuh bayi akan terjadi metabolisme anaerobik yang berupaglikolisis glikogen tubuh, sehingga
glikogen tubuh terutama pada jantung danhati akan berkuang.Asamorganik terjadi akibat
metabolisme ini akanmenyebabkan tumbuhnya asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya
akanterjadi perubahan kardiovaskuler yang disebabkan oleh beberapa keadaandiantaranya
hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung terjadinya asidosis
metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung sehinga
menimbulkan kelemahan jantung danpengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan
menyebabkan akan tingginyaresistensinya pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru
dan kesistemtubuh lain akan mengalami gangguan. Asidosis dan gangguan kardiovaskuleryang
terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang terjadi
menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayiselanjutnya (Kosim, 2010).
Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir kurang bulan yang menunjukkan kesukaran bernafas yang terjadi beberapa
saat setelah lahir (4-6 jam post natal), yakni pernapasan cuping hidung, tipe pernapasan
dispnea (40-60x/menit) atau takipnea (>60x/menit), retraksi dinding dada (interkostal,
subkostal, suprasternal), retraksi epigastrik, grunting ekspirasi (merintih) disertai sianosis
pada udara kamar yang menetap atau menjadi progresif setelah 48-96 jam pertama kehidupan.
Pada perjalanan klinis neonatus mengalami hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema
paru. Pada auskultasi terdengar ronkhi halus inspiratoir. Dalam perjalanan klinis dapat timbul
infeksi dan pirau PDA.
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto thoraks : gambaran khas adanya retikulogranular yang uniform dan air bronkhogram
2. Laboratorium
- Tes Pematangan Paru
- Pemeriksaan darah
o Darah tepi : kadar hemoglobin, hematokrit, gambaran darah tepi tidak menunjukkan
tanda-tanda infeksi.
o Analisis gas darah (AGD) : Menunjukkan adanya hipoksemia (PaO2 < 50 mmHg),
asidemia (pH < 7,25), ketoasidosis metabolik, respiratorik atau kombinasi.
o Kultur darah : streptokokus negatif.
Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan gangguan atau kesulitan bernapas waktu lahir dan lahir tidak
bernafas atau menangis. Pada anamnesis juga diarahkan untuk mencari faktor resiko.
Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis, skor apgar dipakai untuk menentukan derajat berat ringannya
asfiksia(Kosim, 2010)
Klinis
Warna Kulit
Biru pucat
Tubuh
2
merah, Merah
ekstremitas biru
tubuh
seluruh
Frekuensi jantung
Tidak ada
Rangsangan
Tidak ada
Gerakan sedikit
Tonus otot
Lunglai
Fleksi ekstremitas
Gerakan aktif
Pernafasan
Tidak ada
Menangis
refleks
Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Polos dada
b. Laboratorium : Darah rutin, analisa gas darah
c. Pada pemeriksaan analisa gas darah, menunjukkan hasil :
i. Pa O2 < 50 mm H2O
ii. PaCO2> 55 mm H2O
iii. pH < 7,30 (Kosim, 2010).
Penatalaksanaan
Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan
membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul dikemudian hari. Tindakan yang
dikerjakan pada bayi, lazim disebut resusitasi bayi baru lahir. Algoritma resusitasi pada bayi baru
lahir dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Penilaian Awal
Penilaian pada bayi yang terkait dengan penatalaksanaan resusitasi, dibuat berdasarkan
keadaan klinis. Penilaian awal harus dilakukan pada semua BBL. Penatalaksanaan selanjutnya
dilakukan menurut hasil penilaian tersebut. Penilaian berkala setelah setelah setiap langkah
resusitasi harus dilakukan setiap 30 detik. Penatalaksanaan dilakukan terus menerus
Bila semua jawaban diatas ya berarti bayi baik dan tidak memerlukan tindakan resusitasi. Pada
bayi ini segera dilakukan asuhan bayi normal. Bila salah satu pertanyaan jawabannya tidak
bayi memerlukan resusitasi segera dimulai dengan langkah awal resusitasi.
Apnu
Frekuensi jantung < 100 kali/menit
Tetap sianosis sentral walaupun telah diberikan oksigen aliran bebas.
Posisi kepala yang benar untuk membuka saluran napas
Sebelum VTP diberikan pastikan posisi kepala dalam keadaan setengah tengadah.
Pilihlah ukuran
berat lahir rendah (BBLR). Sungkup harus menutupi hidung dan mulut, tidak menekan
mata dan tidak menggantung di dagu.
6. Tekan sungkup dengan jari tangan. Jika terdengar udara keluar dari sungkup, perbaiki
perlekatan sungkup.Kebocoran yang paling umum adalah antara hidung dan pipi (lihat
gambar).
7. VTP menggunakan balon sungkup diberikan selama 30 detik dengan kecepatan 40-60
kali/menit ~ 20-30 kali/30 detik.
8. Pastikanlah bahwa dada bergerak naik turun tidak terlalu tinggi secara simetris.
9. Lakukan penilaian setelah VTP 30 detik
VTP dan Kompresi Dada
Apabila setelah tindakan VTP selama 30 detik, frekuensi jantung < 60 detik maka lakukan
kompresi dada yang terkoordinasi dengan ventilasi selama 30 detik dengankecepatan kompresi :
1 ventilasi selama 2 detik. Kompresi dilakukan dengan dua ibu jari atau jari tengah
telunjuk/tengah manis. Lokasi kompresi ditentukan dengan menggerakkan jari sepanjang tepi iga
terbawah menyusuri ke atas sampai mendapatkan sifoid, letakkan ibu jari atau jari-jari pada
tulang dada sedikit di atas sifoid. Berikan topangan pada bagian belakang bayi. Tekan sedalam
1/3 diameter anteroposterior dada (WHO, 2009)
Pemberian obat-obatan
1. Epinefrin
Pemakaian epinefrin adalah frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah dilakukan VTP
dan kompresi dada secara terkoordinasi selama 30 detik. Epinefrin tidak boleh diberikan
sebelum melakukan ventilasi adekuat karena epinefrin akan meningkatkan beban dan
konsumsi oksigen otot jantung.Dosis yang diberikan 0,1-0,3 ml/kgBB larutan1:10.000 (setara
dengan 0,01-0,03mg/kgBB) intravena. Dosis dapat diulang 3-5 menit secara intravena bila
frekuensi jantung tidak meningkat. Dosis maksimal diberikan jika pemberian dilakukan
melalui selang endotrakeal.
2. Volume Ekspander
Volume ekspander diberikan dengan indikasi sebagai berikut: bayi baru lahir yang dilakukan
resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respondengan resusitasi, hipovolemia
kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya pucat, perfusi
buruk, nadi kecil atau lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang adekuat.
Dosis awal 10 ml/kgBB IV perlahan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan
respon klinis. Jenis cairan yang diberikan dapat berupa larutan kristaloid isotonis (NaCl
0,9%, Ringer Laktat) atau tranfusi golongan darah O negatif jika diduga kehilangan darah
banyak.
3. Bikarbonat
Indikasi penggunaan bikarbonat adalah asidosis metabolik pada bayi baru lahir yang
mendapatkan resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik. Penggunaan
bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan
pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi. Dosis yang digunakan adalah 2 mEq/kg BB atau
4 ml/kg BB BicNat yang konsentrasinya 4,2%. Bila hanya terdapat BicNat dengan konsetrasi
7,4% maka diencerkan dengan aquabides atau dekstrosa 5% sama banyak. Pemberian secara
intra vena dengan kecepatan tidak melebihi dari 1 mEq/kgBB/menit1.
4. Nalokson hidroklorida
Diberikan dengan indikasi depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya
menggunakan narkotik dalam waktu 4 jam sebelum melahirkan. Sebelum diberikan nalokson
ventilasi harus adekuat dan stabil. Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya
dicurigai sebagai pecandu obat narkotika, sebab akan menyebabkan gejala putus obat pada
sebagian bayi. Cara pemberian intravena atau melalui selang endotrakeal. Bila perfusi baik
dapat diberikan melalui intramuskuler atau subkutan. Dosis yang diberikan 0,1 mg/kg BB,
perlu diperhatikan bahwa obat ini tersedia dalam 2 konsentrasi yaitu 0,4 mg/ml dan 1
mg/ml(Hasan, 1985).
Komplikasi
Asfiksia neonatorum dapat menyebabkan berbagai macam gangguan organ. Pada sistem
saraf dapat menyebabkan ensefalopati hipoksik-iskemik, infark,perdarahan intrakranial, kejangkejang, edema otak, hipotonia, hipertonia. Pada kardiovaskular dapat menyebabkan iskemia
miokardium, kontraktilitas jelek, bising jantung, insufisiensi trikuspidalis, hipotensi pulmonal,
sirkulasi janin persisten, perdarahan paru, sindrom kegawatan pernapasan. Ginjal dapat
meneyebabkan nekrosis tubular akut atau korteks adrenal, perdarahan adrenal. Saluran cerna
dapat berakibat perforasi, ulserasi, nekrosis(Hasan, 1985).
Prognosis
Hasil akhir asfiksia perinatal bergantung pada apakah komplikasimetabolik dan
kardiopulmonalnya (hipoksia, hipoglikemia, syok) dapat diobati,pada umur kehamilan bayi
(hasil akhir paling jelek jika bayi preterm), dan padatingkat keparahan ensefalopati hipoksikiskemik. Prognosis tergantung pada kekurangan O2 dan luasnya perdarahan dalamotak. Bayi
yang dalam keadaan asfiksia dan pulih kembali harus dipikirkankemungkinannya menderita
cacat mental seperti epilepsi dan penurunan prestasi belajar pada masamendatang(Rohsiswatmo,
2010).
RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
Definisi
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak napas
berat (dyspnea), frekuensi napas meningkat (tachypnea), sianosis yang menetap dengan terapi
oksigen, penurunan daya pengembangan paru, adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata
pada foto thorak dan adanyaatelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya
hyalinemembran pada saat otopsi. Sedangkan menurut Murray et.al (1988) disebut RDS bila
ditemukan adanya kerusakan paru secara langsung dan tidak langsung,kerusakan paru ringan
sampai sedang atau kerusakan yang berat dan adanyadisfungsi organ non pulmonar.Definisi
menurut Bernard et.al (1994) bila onset akut,ada infiltrat bilateral pada foto thorak, tekanan arteri
pulmonal = 18mmHg dan tidakada bukti secara klinik adanya hipertensi atrium kiri, adanya
kerusakan paru akutdengan PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 300, adanya sindrom gawat
napasakut yang ditandai PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 200, menyokong suatuRDS .
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia
perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria. Respiratory DistressSyndrome (RDS) disebut juga
Hyaline Membran Disease (HMD) didapatkan pada 10% bayi prematur, yang disebabkan
defisiensi surfaktan pada bayi yang lahirdengan masa gestasi kurang. Surfaktan biasanya
didapatkan pada paru yangmatur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap
berkembang danberisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum
berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas.
Gejala tersebut biasanya tampak segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel
dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveolisehingga menghambat
fungsi surfaktan.Gejala klinis yang timbul yaitu : adanyasesak napas pada bayi prematur segera
setelah lahir, yang ditandai dengantakipnea (> 60 x/menit), pernapasan cuping hidung, grunting,
retraksi dinding dada,dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir.
Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :Stadium 1.
Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara,Stadium 2. Bercak
retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dangambaran airbronchogram udara terlihat
lebih jelas dan meluas sampai ke perifermenutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi
paru. Stadium 3. Kumpulanalveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat
lebih opaquedan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas. Stadium
4.Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapatdilihat.
Patofisiologi Respiratory Distress Syndrome
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh
alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan kurang sempurna karena dinding
thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan
kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan
fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal,
pernafasan menjadiberat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat,
hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik..
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap
mengembang. Secara makroskopik, paru-paru tampak tidak berisi udara dan berwarna
kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tingg
iuntuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bagian
distal menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan
desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik
karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan
barotrauma atau volutrauma dantoksisitas oksigen, menyebabkan kerusakan pada endothelial dan
epithelial sel jalannapas bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang
berasaldari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengahjam
setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36-72 jam setelah
lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit
yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu denganchorioamnionitis sering berlanjut menjadi
Bronchopulmonal Displasia (BPD).
Gambaran
radiologi
tampak
adanya
retikulogranular
karena
atelektasis,dan
paru pada umur 36-48 jam. Gejala dapatmemburuk secara bertahap pada 24-36 jam pertama.
Selanjutnya bila kondisi stabildalam 24 jam maka akan membaik dalam 60-72 jam. Dan sembuh
pada akhirminggu pertama.
Komplikasi
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :
1
Ruptur
alveoli
Bila
dicurigai
terjadi
kebocoran
udara
pneumothorak,
ventilasi mekanik.
PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayidengan
RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.
CONTINUOUS POSITIVE AIRWAY PRESSURE (CPAP)
Continuos Positive Airway Pressure (CPAP) merupakan suatu alat untuk mempertahankan
tekanan positif pada saluran napas neonatus selama pernafasan spontan. CPAP merupakan suatu
alat yang sederhana dan efektif untuk tatalaksana respiratory distress pada neonatus. Penggunaan
CPAP yang benar terbukti dapat menurunkan kesulitan bernafas,mengurangi ketergantungan
terhadap oksigen, membantu memperbaiki dan mempertahankan kapasitas residual paru,
mencegah obstruksi saluran nafas bagian atas, dan mecegah kollaps paru, mengurangi apneu,
bradikardia, dan episode sianotik, sertamengurangi kebutuhan untuk dirawat di Ruangan intensif.
Beberapa efek fisiologis dari CPAP antara lain :
5
6
7
5
6
7
Mempertahankan surfaktan
Mempertahankan jalan nafas dan meningkatkan diameternya
Mempertahankan diafragma.
Adapun beberapa kondisi respiratory distress pada neonatus, tetapi merupakan kontraindikasi
pemasangan CPAP antara lain :
a. Bayi dengan gagal nafas, dan memenuhi kriteria untuk mendapatkan support ventilator
b. Respirasi yang irreguler
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
prong
j. Instabilitas cardiovaskuler, yang akan lebih baik apabila memdapatkan support ventilator
k. Bayi yang lahir besar, yang biasanya tidak dapat mentoleransi penggunaan CPAP,
sehingga menimbulkan kelelahan bernafas, dan meningkatkan kebutuhan oksigen
(Kosim, 2010)
Komplikasi Pemasangan CPAP
Pemasangan nasal CPAP pada beberapa kasus dapat mengakibatkan komplikasi. Komplikasi
pemasangan CPAP antara lain :
1. Cedera pada hidung, misalnya erosi pada septal nasi, dan nasal snubbing. Penggunaan
2. nasal prong atau masker CPAP dapat mengakibatkan erosi pasa septal nasi, sedangkan
3. penggunaan CPAP dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan snubbing
4. hidung
5. Pneumothorak. Kejadian Pneumothorak dapat terjadi karena proses penyakit dari
6. Respiratory Distress Syndrom ( karena alveolar yang over distensi) , dan angka
7. kejadian tersebut meningkat dengan penggunaan CPAP.
8. Impedasi aliran darah paru. Terjadi karena peningkatan resistensi vaskularisasi paru,
9. dan penurunan cardiac output, yang disebabkan oleh peningkatan tekanan inthorakal
10. karena penggunaan CPAP yang tidak sesuai.
11. Distensi abdomen. Pada kebanyakan neonatus tekanan spingkter oeshiphagus bagian
12. bawah cukup baik untuk dapat menahan distensi abdomen karena tekanan CPAP.
13. Tetapi distensi abdomen dapat terjadi sebagai komplikasi dari pemaangan CPAP.
14. Resiko terjadinya distensi abdomen dapat berkurang dengan pemasangan orogastric
15. tube (OGT)
16. Nasal prong atau masker pada CPAP dapat menyebabkan ketidaknyamanan bayi,
17. yang dapat menyebabkan agitasi dan kesulitan tidur pada bayi.
ANEMIA PADA BAYI BARU LAHIR
Anemia adalah keadaan konsentrasi hemogllobin dibawah rentang normal yang sesuai
dengan umur dan jenis kelamin. Selama periode neonatal, beberapa abnormalitas dapat
menyebabkan anemia akut dan anemia kronik pada BBL.
Patofisiologi
Mekanisme anemia pada BBL secara umum dapat digolongkan menjadi :
-
kehamilan. Umur saat anemia timbul mempunyai nilai diagnosis. Anemia yang timbul saat lahir
biasanya diakibatkan oleh perdarahan atau alloimunsasi berat. Anemia yang timbul setelah 2 hari
pertama kehidupan sering disebabkan oleh perdarahan eksternal atau internal, anemia yang
timbul pada 48 jam pertama kehidupan biasanya karena hemolitik dan biasanya disetai dengan
ikterik.
Pada gangguan eritrosit neonatal dan fetal terdapat tiga manifestasi klinis utama yaitu
kadar hemoglobin rendah, ikterik, atau hidrop. Manifestasi klinis pada anemia akut adalah syok,
perfusi perifer jelek, distress pernapasan, takikardia, pucat, letargi, dan hipotensi. Manifestasi
klinis tersebut muncul setelah kadar hemoglobin dibawah 12 g/dl. Pada anemia kronik, didapatan
pucat, biasanya dirsetai hepatosplenomegali, pada pemeriksaan apusan darah tepi didapatkan
eritrosit hipokromik-mikrositik, dan banyak eritrosit imatur.
Evaluasi laboratorium awal meliputi pemeriksaan darah lengkap, retikulosit dan apusan darah
tepi, untuk selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut disesuaikan dengan riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik yang didapat.
Manajemen
Manajemen umum BBL dengan anemia akut, meliputi menjaga kehangatan, monitor
tanda vital, penilaian, dan penghitungan yang tepat intake dan luaran sangat penting dilakukan.
Pemasangan jalur infus diperlukan untuk penggantian cairan dan untuk kepentingan pegambilan
sampel darah mungkin diperlukan jalur vena atau arteri umbillikal. Setelah dilakuan stabilisasi
awal selanjutnya tatalaksana untuk mencegah/mengurangi terjadinya perdarahan lebih lanjut.
Pada BBL dengan anemia kronik perhatian utama tatalaksana adalah mengendalikan atau
mengeliminasi penyebab anemia. Anemia kronik pada BCB dan BKB dikaitkan dengan
defisiensi diet yang dapat dieradikasi dengan terapi penggantian (replacement theraphy). Tiga
faktor diet utama yang mempengarui produksi eritrosit adalah besi, folat, dan vitamin E. Pada
anemia kronik dapat diberikan terapi simptomatik berupa transfusi dan pemberian eritropoietin.
Transfusi Darah
Transfusi sel darah merah pada BBL bertujuan untuk menjamin oksigenasi jaringan adekuat,
khususnya selama perawatan intensif, dan sebagai tatalaksana anemia simptomatik yang
bermakna. Tetapi belum ada kesepakatan kriteria transfusi pada BCB dan BKB. Hal ini karena
sangat sedikit data yang digunakan untuk engukuroksigenasi jaringan untuk menentukan
kebutuhan dan dampak transfusi ada BBL. Keputusan untuk memberi tansfusi darah hendakya
dipertimbangkan secara seksama mengingat komplikasi yang mungkin timbul, seperti infeksi,
graft-versus-host disease, gangguan asam basa dan elektrolit, hemolisis, gangguan ertiropoiesis
dan imunosupresi. Dibawah ini salah satu kriteria pemberian transfusi pada BBL risiko tinggi.
1. Distress pernapasan, diberikan transfusi bila : hematokrit <40%, hipovolemia (pucat,
takipneu, hipoteni, perfusi buruk); kehilangan > 10% volume darah dalam 48 jam dan
hematokrit <45%.
2. Tanpa distress pernapasan; transfusi diberikan bila hematokrit <30% pada minggu
kehidupan; takikardi, takipneu atau kardiomegali pada foto thorax, peningkatan berat
badan suboptimal dan hematokrit <30%.
Jumlah volume darah yang diperlukan dilakukan dengan penghitungan sebagai berikut :
V = W x (Hb1-Hb0) x 2
V = Volume darah yang diperlukan
W = Berat badan
Hb1 = Hb yang diinginkan
Hb0 = Hb sekarang
2 = konstanta untuk neonatus
Tansfusi darah
-
Indikasi:
1. Hb 12 g/dl (HCT < 36%) pada 24 jam pertama
2. Transfusi tukar pada penyakit hemolitik bayi baru lahir
3. Kehilangan darah komulatif dalam minggu pertama > 10% volume darah
Transfusi trombosit
Indikasi:
1. Neonatus prematur atau aterm dengan perdarahan, bila jumlah trombosit 50 x 109/L
2. Bayi prematur atau aterm sakit tanpa perdarahan, bila jumlah trombosit 30 x 109/L
3. Bayi prematur atau aterm yang stabil tanpa perdarahan, bila trombosit 20 x 109/L
Volume trombosit yang ditransfusikan: 10-20 ml/kg BB
-
Indikasi
1. DIC
2. Perdarahan akibat defisiensi vitamin K
3. Defisiensi faktor-faktor pembekuan kongenital
Volume FFP yang diberikan 10-20 ml/kgBB
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama Lengkap
Ibu
Ny. Titin Yustia
32 tahun
SMP
Ibu Rumah Tangga
Masuk RS tanggal
: 23 April 2016
Diagnosis masuk RS
: Asfiksia Berat
Ayah
Tn. Suprianto
34 Tahun
SMA
Security
Terdapat riwayat penyakit hipertensi di keluarga, yaitu ibu pasien dan kakek nenek pasien.
Riwayat kejang pada keluarga disangkal. Riwayat DM, asma, penyakit jantung, alergi pada
kehamilan disangkal.
Riwayat Persalinan
Pasien lahir secara SC, atas indikasi riwayat eklampsia+KPD. Pasien merupakan anak
kedua. Anak pertama lahir normal pervaginam. Sebelum melahirkan pasien, ketuban pecah
kurang lebih 8 jam sebelum persalinan. Ibu tidak mengalami kejang, dan tekanan darah
sistolik sebelum operasi berkisar 200 mmHg. Usia kehamilan 38 minggu, berat lahir 3200
gram, dengan panjang badan 50 cm, ditolong oleh dr. Sutama, Sp.OG. Saat lahir, pasien tidak
langsung menangis, A-S 1-3, pasien nampak biru. Pasien telah mendapatkan injeksi vitamin
Kesan umum
Nadi
Pernapasan
Temperature
SPO2
CRT
ATR tangis
: berat
:142 x/menit, isi cukup dan kuat angkat, irama teratur
: 52 x/menit, teratur tipe abdominaltorakal
: 36,7oC
: 90% dengan O21 lpm
: < 3 detik
: kurang
Status Gizi
Berat badan lahir
: 3200 gram
Panjang Badan
: 50 cm
Mata
: sklera ikterik (-), konjungtiva anemis (-), refleks pupil +/+, isokor +
THT
: deformitas (-), massa (-), sekret (+) minimal, nafas cuping hidung (-)
Mulut
Leher
Thoraks
: retraksi (+) subcostal & substernal, gerakan dinding dada simetris kanan kiri
Cor
: distensi (-), scar (-), tali pusat (+) mulai mengering, pelebaran vena (-)
Bising usus (+), lien hepar ren tidak teraba
Ekstremitas
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap tanggal 23 April 2016
WBC = 29,2
HBC = 10,9
HCT = 34,4
PLT = 164
Tgl./Waktu Subjektif
25 April Kejang (-)
Objektif
KU : Sedang
2016
Demam (-)
Kes : CM
berat + Riwayat -
D10% 10 tpm
konvulsi
Puasa dulu
Terpasang oksigen S : 37 0C
Ampicilin 2x160 mg
1 lpm
R : 50 x/menit
Gentamisin 1x20 mg
Fenitoin
Retraksi (+)
Pukul 22.40
Ikterus (-)
Pukul
Kejang (+)
26
2016
sianosis
menangis (-)
(-) S : 36,7 C
R : 52 x/menit
Penunjang
Assesment
Planning
Riwayat
asfiksi - O2 1 lpm
maintenance
2x8 mg
Riwayat
22.45
konsul
Fenitoin 15 mg
Asfiksi - Cek DL
Berat + Riwayat -
O2 1 lpm
Konvulsi
D10% 10 tpm
Suspek SNAD
+ -
Ampicilin 2x160 mg
Gentamisin 1x20 mg
Fenitoin
teraba
Thoraks : retraksi (+)simetris (+)
S1S2 tunggal regular, murmur (-),
gallop(-), rhonki (-) wheezing (-)
Abdomen : distensi (-) BU (+)
2x16 mg
-
Puasa dulu
maintenance
sianosis
Riwayat
(-) S : 36,4 C
Asfiksi -
CPAP
Berat + Riwayat -
D10% 8 tpm
Konvulsi
+ -
Ampicilin 2x160 mg
(+)
Suspek SNAD
Gentamisin 1x20 mg
Fenitoin
Pasien
apneu,
CPAP
maintenance
2x16 mg
teraba
Puasa dulu
DL :
Riwayat
WBC 17,9
Berat + Riwayat -
D10% 8 tpm
RBC 4,6
Konvulsi+ SNAD
Ampicilin 2x160 mg
(+)
HGB 14,5
Gentamisin 1x20 mg
Pasien
Fenitoin
apneu,
(-)
sianosis
(-) S : 36,7 C
Asfiksi -
CPAP
2x16 mg
maintenance
CPAP
teraba
MCH 31,6
Puasa dulu
PLT 124
Ekstremitas
hangat
(+)
sianosis
Post
(-) S : 37,3 C
dengan
Perbaikan
(+)
SNAD
CPAP RDS -
O2 1 lpm
D10% 8 tpm
+ -
Ampicilin 2x160 mg
Gentamisin 1x20 mg
Fenitoin
2x16 mg
teraba
hangat
maintenance
(+)
Post
CPAP -
O2 1 lpm
2016
(-)
sianosis
(-) S : 36,4 C
menangis (-)
dengan
RR : 55 x/menit
Perbaikan
SNAD
K/L : anemis (-) ikterik (-)
RDS + -
Ampicilin 2x160 mg
Gentamisin 1x20 mg
Fenitoin
Kejang (+)
maintenance
2x16 mg
-
Pukul 17.30
D10% 8 tpm
Ekstremitas
hangat
(+)
Fenitoin
20mg/kgBB
evaluasi
selama
menit,
jika
30
kejang
berikan 10 mg/kgBB,
evaluasi lagi 15 menit
jika
masih
fenobarbital
mg/kgBB
berikan
10
BAB IV
PEMBAHASAN
Daftar Masalah
-
Kejang, sesak, biru saat lahir, tidak langsung menangis, ibu HDK dengan riwayat eklampsia
Diagnosa Banding
No.
1.
Diagnosis Banding
Kejang
Analisa
Merupakan gejala dari gangguan saraf pusat, lokal, atau
sistemik. Kejang pada neonatus adalah kejang yang timbul
dalam masa 28 hari sesudah lahir. Kejang ini merupakan
tanda penting adanya penyakit lain sebagai penyebab
kejang tersebut serta dapat menimbulkan gejala sisa yang
menetap di kemudian hari bila penyebab tersebut diketahui,
harus segera diobati. Terdapat abnormalitas gerakan bola
mata atau ekstraokuler, tidak dapat ditimbulkan oleh
rangsangan, gerakan dominan berupa jerking, tidak dapat
2.
Jitteriness
Analisa Kasus
Dalam kasus ini Apgar Score pasien saat baru lahir 1-3. Adapun faktor risiko asfiksia neonatus
antara lain :
Antepatum
Intrapartum
- Diabetes pada ibu
- Seksio sesaria darurat
- Hipertensi dalam kehamilan
- Kelahiran dengan ekstraksi vakum atau
- Hipertensi kronik
forcep
- Anemia janin atau isoimunisasi
- Letak
sungsang
atau
presentasi
- Riwayat kematian janin atau
abnormal
neonatus
- Kelahiran kurang bulan
- Perdarahan pada trimester dua
- Partus presipitatus
- Korioamnitis
dan tiga
- Infeksi ibu
- Ketuban pecah lama > 18 jam sebelum
- Ibu dengan penyakit jantung,
persalinan
ginjal, paru, tiroid atau kelainan - Partus lama >24 jam
- Kala 2 lama lebih dari 2 jam
neurologi
- Makrosomia
- Polihodramnion
- Bradikardi janin persisten
- Oligohidramnion
- Frekuensi jantung janin yang tidak
- Ketuban pecah dini
- Hidrops fetalis
berarturan
- Kehamilan lewat waktu
- Penggunaan anestesi umum
- Kehamilan ganda
- Hiperstimulus uterus
- Berat janin tidak sesuai masa - Penggunaan obat narkotika pada ibu 4
-
kehamilan
Terapi obat
seperti
kalsium
Faktor risiko antepartum ibu pasien adalah adanya hipertensi dalam kehamilan dan ketuban
pecah kurang lebih 8 jam sebelum persalinan. Faktor risiko intrapartum ibu pasien adalah
seksio sesarea darurat karena tekanan darah sistolik ibu mencapai 200 mmHg dan
penggunaan anestesi umum saat seksio sesarea.
Adapun scoring Apgar pada bayi baru lahir yaitu :
Klinis
Warna Kulit
Biru pucat
seluruh
tubuh
Frekuensi jantung
Tidak ada
Rangsangan
Tidak ada
Gerakan sedikit
Tonus otot
Lunglai
Fleksi ekstremitas
Gerakan aktif
Pernafasan
Tidak ada
Menangis
refleks
merintih
lemah
mendengkur
Skor Apgar pasien saat lahir adalah 1-3, dalam hal ini pasien termasuk severeasphyxsia
atau asfiksia berat.
A
P
G
A
R
Menit pertama
0
1
0
0
0
5 Menit
0
1
0
1
1
Asfiksia berat pada bayi baru lahir kemungkinan dapat disebabkan oleh hipoksia yang
terjadi pada ibu pasien saat dilakukan tindakan anastesi pada section saecarea. Hipoksia terjadi
karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anestesia dalam. Hal ini akan
menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya yang salah satunya adalah depresi
pernafasan. Bila terdapat gangguaan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama kehamilan
persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fugsi sel tubuh
dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian.
Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversibel atau tidak tergantung kepada berat dan
lamanya asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu (primany apnea)
disertai dengan penurunan frekuensi jantung selanjutnya bayi akan memperlihatkan usaha
bernafas (gasping) yang kemudian diikuti oleh pernafasan teratur. Pada penderita asfiksia berat,
usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apnu kedua
(secondary apnea). Pada tingkat ini ditemukan bradikardi dan penurunan tekanan darah.
Pada tingkat pertama hanya akan timbul asidoris respiratorik, bila berlanjut maka dalam
tubuh bayi akan terjadi metabolisme anaerobik yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga
glikogen tubuh terutama pada jantung danhati akan berkurang. Asam organik terjadi akibat
metabolisme ini akan menyebabkan tumbuhnya asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya
akan terjadi perubahan kardiovaskuler yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya
hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung terjadinya asidosis
metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung sehinga
menimbulkan kelemahan jantung dan pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan
menyebabkan akan tingginya resistensinya pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke
paru dan ke system tubuh lain akan mengalami gangguan. Asidosis dan gangguan kardiovaskuler
yang terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang terjadi
menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.
Asfiksia perinatal dan riwayat kelahiran sectio secarea pada pasien merupakan beberapa
faktor penting penyebab terjadinya defisiensi surfaktan pada RDS. Respiratory Distress
Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membran Disease (HMD) didapatkan pada 10% bayi
prematur, yang disebabkan defisiensi surfaktan pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang.
Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar
kantong alveoli tetap berkembang danberisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana
surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan
mengalami sesak napas. Gejala tersebut biasanya tampak segera setelah bayi lahirdan akan
bertambah berat.
Pasien (By. Titin) menunjukkan gejala klinis RDS sebagai berikut :
- Takipnea diatas 60x/menit
- Grunting ekspiratoar
- Subcostal dan interkostal retraksi
- Cyanosis
Pasien dalam kondisi ini dianjurkan untuk menggunakan CPAP. Indikasi digunakan
CPAP pada pasien antara lain sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
risiko terjadinya kejang pada pasien. Asfiksia perinatal menyebabkan terjadinya ensefalopati
hipoksik-iskemik dan merupakan masalah neurologis yang penting pada masa neonatal, dan
menimbulkan gejala sisa neurologis di kemudian hari. Asfiksia intrauterin adalah penyebab
terbanyak ensefalopati hipoksik-iskemik. Hal ini karena terjadi hipoksemia, kurangnya kadar
oksigen ke jaringan otak. Kedua keadaan tersebut dapat terjadi secara bersama-sama, yang satu
dapat lebih dominan tetapi faktor iskemia merupaka faktor yang paling penting dibandingkan
hipoksemia.
Kejang pertama yang dialami pasien seperti mencucu, kemudian kejang selanjutnya
didahului dengan pergerakan tangan kemudian diikuti kaki, seperti pada orang yang berenang
atau mengayuh sepeda. Tipe kejang ini merupakan tipe kejang Subtle. Bentuk kejang ini hampir
tidak terlihat, biasanya berupa pergerakan muka, mulut, atau lidah berupa menyeringai, terkejatkejat, mengisap, menguyang, menelan, atau menguap. Manifestasi kejang subtle pada mata
adalah pergerakan bola mata berkedip-kedip, deviasi bola mata horisontal, dan pergerakan bola
mata yang cepat (nystagmus jerk). Pada anggota gerak didapatkan pergerakan mengayuh atau
seperti berenang. Manifestasi pada pernafasan berbentuk serangan apne yang biasanya didahului
atau disertai gejala subtle misalnya gerakan kelopak mata yang berkedip-kedip.
Riwayat persalinan pada pasien adalah seksio sesarea, menurut beberapa penelitian
dikatakan bahwa terdapat hubungan antara sectio cesarean dengan terjadinya kejang pada
neonatus. Cara persalinan dengan sectio caesarean dapat meningkatkan risiko terjadinya trauma
kepala dan perdarahan intrakranial yang dapat berakibat terjadinya kejang pada neonatus.
Perdarahan subarachnoid sering dijumpai akibat robekan vena superficial akibat komplikasi dari
persalinan sectio cesarean. Dalam keadaan ini biasa disertai dengan ensefalopati hipoksikiskemik ringan yang akan menimbulkan manifestasi kejang pada hari pertama atau kedua
meskipun awalnya menunjukkan keadaan baik.
Pada pemeriksaan penunjang darah lengkap, didapatkan WBC pasien pada tanggal 23
April 2016 yaitu 29.300/uL. Hal ini merupakan salah satu tanda terjadinya sepsis. Terdapat
beberapa faktor risiko terjadinya sepsis pada pasien yaitu ketuban pecah dini 8 jam sebelum
persalinan, dan nilai Apgar yang rendah yaitu 1-3. Selain itu didapatkan pula kondisi pasien
kesulitan bernapas dan sempat apnea, terdapat retraksi dinding dada, dan merintih saat ekspirasi.
Selain itu terdapat riwayat kejang pada pasien, pasien nampak letargi, dan malas minum.
DAFTAR PUSTAKA
AIIMS. 2014. AIIMS protocol 2014 for sepsis in the newborn
Barnett ED, Klein JO. Bacterial ionfections of the respiratory tract. Dalam: Remington JS, Klein
JO, ed. Infectious diseases of the fetus and newborn infant, edisi ke-5. Philadelphia: WB
Saunders Company, 2001.h.999-1018.
Behrman, RE, Kliegman RM. The Fetus and the Neonatal Infant, In : Nelson Textbook of
pediatrics; 17 th ed. California: Saunders. 2004; 550-8..
Effendi S.H., Peranan Hipoksik Iskemik Ensefalopati Sebagai Penyebab Neonatal Seizure
(dalam)Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan X Save The Childs Brain within
Golden Period. 2013. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad/RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung
Hagedorn MIE, Gardner SL, Abman SH. Respiratory diseases. Dalam: Merenstein GB, Gardner
SL, Ed. Handbook of neonatal intensive care, edisi ke-5. St Louis: Mosby, 2002.h.485-575.
Hansen T, Corbet A. Neonatal pnemonias. Dalam: Taeusch HW, Ballard RA, ed. Averys diseases
of the newborn. Edisi ke-7. Philadelphia: WB Saunders Company, 1998.h.648-660
Hassan R, et al. 1985. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Info Medika Jakarta: Jakarta.
KemenKes. 2010. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial: Pedoman Teknis
Pelayanan Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta.
Kosim MS, et al. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Badan Penerbit IDAI: Jakarta.
Pusponegoro, T.S., 2000. Sepsis Pada Neonatus (Sepsis Neonatorum). Sari Pediatri, Vol. 2, No.
2, Agustus 2000: 96 -102
Richard E, et al. 2003. Nelson Textbook of Paediatrics 17th edition. WB Saunders Company:
Philadelpia.
Smith JB. Bacterial and fungal infection of the neonate. Dalam : Pomerance JJ, Richardson CJ,
penyunting. Neonatology for the clinician. Connecticut : Appleton & Lange, 1993.h.185200
Suraatmaja, Sudrajat, dr,SpA(K). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. RSUP
Sanglah, Denpasar.
WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
Winkjosastro H. 2008. Ilmu Kebidanan Edisi Ke 4. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirahardjo: Jakarta.