Anda di halaman 1dari 61

I.

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Identitas Pasien:
Nama Lengkap

: By. Ny. R

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Tempat tanggal lahir

: Pemenang, 30 Juli 2015

Umur

: 2 hari

Agama

: Islam

Alamat

: Kel. Pemenang Barat, Kec. Pemenang, KLU

MRS

: 31 Juli 2015 (14.56 WITA)

Tanggal pemeriksaan

: 31 Juli 2015 (14.56 WITA)

Diagnosis MRS

: Asfiksia berat + konvulsi + susp. sepsis neonatorum

Identitas Keluarga
Nama
Umur
Pendidikan
Pekerjaan

Ibu
Ny. R
20 tahun
SMA
IRT

Ayah
Tn. SS
21 tahun
SMA
Swasta (Gili Trawangan)

B. ANAMNESIS (Heteroanamnesis dari Ibu Pasien)


1. Keluhan Utama:
Sesak
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien merupakan rujukan dari RSUD KLU dengan diagnosis Respiratory Distress
ec dd/ Pneumonia, TTN + TI (40 minggu) AGA + Neonatal seizure ec susp. HIE +
Asfiksia berat, datang ke IGD RSUP NTB pada pukul 14.56 WITA (31 Juli 2015) karena
dikeluhkan sesak. Awalnya pasien yang dilahirkan pada pukul 22.45 WITA (30 Juli 2015)
di PKM Pemenang dikeluhkan tidak langsung menangis sesaat setelah lahir. Mengetahui
keadaan tersebut pasien segera di rujuk ke RSUD KLU. Keluhan sesak disertai dengan
kejang sebanyak 4 x selama di RSUD KLU. Menurut ibu, kejang terjadi pada seluruh
tubuh, kedua tangan dan kaki kaku, mata melirik ke atas saat kejang, kejang masing0

masing berlangsung 2 menit, interval antar kejang 10 menit, setelah kejang pasien
tidak sadar. Pasien juga belum mendapat ASI setelah sejak dilahirkan, ibu pasien
menyangkal adanya demam, muntah, ataupun batuk. Sekitar 2-4 jam setelah pasien
dilahirkan, pasien diakui sudah bisa BAB, BAB pertama berwarna hijau kehitaman. BAK
(+) frekuensi 2-3 kali sehari, berwarna kekuningan. Ibu pasien biasanya mengganti popok
3-4 kali per hari.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya tidak pernah mengalami keluhan sebelumnya

setelah lahir.
Riwayat demam tinggi sebelumnya tidak ada
Riwayat sesak sebelumnya tidak ada
Riwayat kulit atau bibir anak bewarna kebiruan sebelumnya tidak ada
Riwayat kejang sebelumnya tidak ada

4. Riwayat Penyakit Keluarga dan Data Kesehatan Keluarga:


Terdapat riwayat penyakit batu ginjal dikeluarga pasien yaitu kakek (bapak dari ayah).
Tidak ada riwayat penyakit sesak dalam keluarga
Tidak ada riwayat penyakit hati dalam keluarga
Tidak ada riwayat penyakit jantung, atau darah tinggi dalam keluarga
Tidak ada riwayat asma di dalam keluarga
Riwayat penyakit ibu : DM (-), hepatitis B (-), TB (-), hipertensi (-), imunodefisiensi
(-), jantung (-), asma (-)

5. Riwayat Keluarga (Ikhtisar Keturunan)

Batu
Ginjal

Gambar 1. Ikhtisar

Susp.
KeturunanISK

pasie
n

Keterangan :
= Keluarga yang tinggal dalam satu rumah
6. Riwayat Pengobatan:
Pasien mendapat terapi di RSUD KLU sebagai berikut :
- O2 nasal kanul 0,5 lpm
- IVFD D10% 148 cc + Ca Glukonas 10% 8 cc 7 tpm mikro
- Trophic feeding 8 x 6cc/sonde
- Inj. Ampicillin 2 x 130 mg (iv)
- Inj. Gentamisin 1 x 10 mg (iv)
- Xybital loading dose 50 mg (iv) @09.00
- Xybital additional dose 13 mg (I) @10.15
13 mg (II) @10.20
13 mg (III) @10.45
- Phenytoin 50 mg + NaCl 0,9% (1:1) bolus ~ 30 menit @13.10
7. Riwayat Pribadi
a) Riwayat Kehamilan
Riwayat Antenatal

Ini merupakan kehamilan pertama bagi ibu pasien.


Ibu sudah melakukan kunjungan ANC sebanyak 4 kali di Posyandu dan tidak

pernah melakukan pemeriksaan USG.


HPHT : 25 Oktober 2014. HTP : 1 Agustus 2015.

Riwayat Intranatal

Keluhan saat hamil pada ibu yaitu sering keputihan dan nyeri saat BAK namun
tidak diperiksakan ke dokter. Riwayat saat hamil seperti perdarahan (-), ketuban
pecah (-), demam. Saat hamil ibu mendapat 2 kali suntik TT, dan rutin
mengkonsumsi vitamin penambah darah dan vitamin B complex yang didapatkan
dari Posyandu dan tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan lain. Ibu pasien tidak
terlalu memperhatikan porsi dan jenis makanannya selama kehamilan, nafsu

makan meningkat dengan kenaikan BB 8 kg selama hamil, rutin mengkonsumsi


nasi, sayuran, tahu tempe, ikan laut, ayam, dan terkadang daging.
b) Persalinan
Pasien lahir tanggal 30 Juli 2015 (22.45 WITA) secara spontan, pervaginam di
PKM Pemenang dan ditolong oleh bidan. Bayi lahir tidak langsung menangis
dengan skor APGAR 1-3, berat badan lahir 2600 gram dengan panjang 43 cm.
Menurut keterangan ibu saat lahir bayi tidak mengalami trauma, tidak terdapat
memar pada bagian kepala, ataupun kelainan bentuk kepala (benjolan), dan tidak
memerlukan alat untuk membantu kelahiran. Diakui usia kehamilan ibu cukup
bulan saat bayi lahir (39-40 minggu). Air ketuban diakui tidak diperhatikan ibu

pasien apakah tampak jernih, tidak kehijauan dan tidak berbau busuk.
Faktor risiko infeksi mayor yaitu demam (-), KPD > 24 jam (-), korioamnionitis
(-), fetal distress (-), DJJ > 160x/menit (-), ketuban hijau (-). Faktor risiko infeksi
minor yaitu asfiksia (AS 1-3), keputihan (+), dan suspek ISK (+). Selain itu KPD
> 12 jam (-), BBLSR (-), UK , 37 minggu (-), gemelli (-), ibu demam > 37,5C.

8. Riwayat Nutrisi:
Pasien diakui belum pernah mendapatkan ASI langsung sejak dilahirkan.
9. Riwayat Imunisasi:
Ibu pasien mengakui pasien belum diimunisasi saat lahir, karena kepentingan
perujukan yang cepat menurut keterangan bidan yang membantu persalinan.
10. Riwayat Sosioekonomi:
Keluarga pasien tergolong sosioekonomi menengah, pekerjaan ayah pasien sebagai
tukang kebun dan kadang pedagang tidak tetap di Gili Trawangan dengan penghasilan
sekitar Rp.750.000,00-Rp.1.500.000 per bulan. Penghasilan diakui cukup untuk
kebutuhan sandang, pangan dan papan. Pasien direncanakan tinggal dalam satu rumah
bersama kedua orangtuanya. Pasien tinggal di daerah perkampungan yang jarak antar
rumah berdekatan dan atar rumah dibatasi oleh tembok. Rumah beratap genteng,
memiliki sapu lantai, ventilasi ruangan cukup (banyak terdapat jendela dan lubang angin),
pertukaran udara dalam rumah baik, dan sinar matahari masuk menyinari seluruh
ruangan. Keluarga memiliki kamar mandi pribadi, dengan jamban jongkok, sumber listrik
rumah dari PLN dan sumber air bersih berasal dari air PAM. Pembuangan air dan kotoran
langsung dibuang ke septic tank. Ibu pasien memasak menggunakan kompor minyak
tanah. Bapak pasien seorang perokok aktif, jenis filter, jumlah 12-20 batang/hari, dan
3

kadang mengkonsmsi alkohol. Ibu pasien mengkonsumsi makanan bergizi setiap hari
(sayuran, tempe tahu, ikan laut, dan ayam) dan porsi nasi putih umumnya lebih banyak
dan memakan masakan sendiri.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
KU

: berat

Kesadaran

: letargis

ATR

: hipotonik

Tangis

: lemah

GCS

: E2V2M4

Denyut jantung: 161 x/menit


Nadi

: 161 x/menit, reguler, kuat angkat

RR

: 60 x/menit

Suhu

: 35,8 C

SpO2

: 91% dengan O2 nasal kanul 2 lpm

CRT

: < 3 detik

Finstorm Score : 20 (39 wk + 3 d)


Down Score : 7
Apgar Score : 1 & 3
Status Gizi

Berat Badan
BBL
Panjang Badan
Lingkar Kepala

: 2.500 gram
: 2.600 gram
: 52 cm
: 33 cm

Gambar 1. Berdasarkan Kurva Lingkar Kepala dari Nellhaus: Normochepali

Gambar 2. Berdasarkan kurva Lubcencho, bayi termasuk SMK (sesuai masa kehamilan)

Status Lokalis
Kepala-Leher :
1. Kepala
Bentuk : normochepali (-2 SD menggunakan kurva nellhaus), UUB terbuka datar,
sefal hematom (-), caput succedaneum (-).
2. Rambut : hitam, lurus, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut
3. Mata
a. Palpebra kanan dan kiri tampak normal
b. Konjungtiva kanan dan kiri tidak tampak anemis
c. Sklera kanan dan kiri tidak tampak ikterik
d. Pupil kanan dan kiri isokor
e. Refleks pupil kanan dan kiri normal : Refleks cahaya langsung +|+ dan
Refleks cahaya tidak langsung +|+
f. Kornea tampak jernih
g. Eksoftalmus (-), enoftalmus (-), strabismus (-)
4. Telinga
a. Bentuk: telinga kanan dan kiri tampak simetris, tidak ditemukan deformitas,
konsistensi lunak, recoil sedang.
b. Sekret: tidak ditemukan adanya sekret pada telinga kanan dan kiri
5. Hidung
a. Bentuk : hidung tampak simetris
b. Pernafasan cuping hidung: ada
c. Merintih : ada
d. Tidak tampak sekret pada lubang hidung kanan dan kiri
6. Tenggorokan
a. Faring : sulit dievaluasi
b. Tonsil : sulit dievaluasi
7. Mulut
a. Bibir: mukosa bibir berwarna kemerahan dan basah, sianosis (-), stomatitis
angularis (-)
b. Lidah : atrofi papil lidah (-)
8. Leher

Massa (-), Pembesaran KGB superficial leher bagian servikal, mastoideal dan
parotideal (-), pembesaran KGB Supraklavikula (-)
Thoraks
A. Pulmo
1. Inspeksi: pergerakan dinding dada tampak simetris antara kanan dan kiri, tampak
retraksi subcostal (+), retraksi intercosta (-), retraksi suprasternal (-)
2. Palpasi: pergerakan dinding dada simetris, tidak ada ketertinggalan gerak, areola
agak menonjol 2-3 mm
3. Perkusi: sonor di kedua lapang paru
4. Auskultasi :Pulmo: suara bronkovesikuler dikedua lapang paru, terdapat rhonki
basah halus di kedua lapang paru, tidak terdapat wheezing di kedua lapang paru.
B. Cor
a. Inspeksi: Pulsasi iktus kordis tampak
b. Palpasi: Tidak di evaluasi
c. Perkusi: Tidak di evaluasi
d. Auskultasi Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
1. Inspeksi: perut tidak tampak distensi, tidak tampak adanya massa, dinding
abdomen tidak cekung, hernia umbilikalis (-), omfalochele (-), hiperemis (-).
2. Auskultasi: Bising usus normal
3. Perkusi: Timpani di semua kuadran
4. Palpasi: tidak teraba massa, turgor normal, hepar lien dan ren tidak teraba
Ekstremitas

Akral hangat
Edema
Pucat
Sianosis
Ikterus
Pembesaran KGB
Aksiler

Tungkai Atas
Kanan
Kiri
+
+
-

Tungkai Bawah
Kanan
Kiri
+
+
-

Axilla

Inguinal
Permukaan

Garis kaki

Garis kaki

pada dua per

pada dua per

tiga bagian

tiga bagian

anterior

anterior

Plantar

Tali pusat : layu (+), berbau (-), staining (-).


Kulit : Pucat (-), pustula (-), ruam (-), kulit tampak kering (-), lanugo (+) halus minimal pada
daerah punggung bagian atas, vena tidak terlihat.
Urogenitalia: Normal, kedua testis telah beradadi kantong testis, rugae sudah terbentuk.
Anal perianal: Anus (+), tanda peradangan (-), ruam popok/diaper rash (-).
Pemeriksaan neurologis : kaku kuduk (-), reflex moro lemah
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Darah Lengkap (31 Juli 2015)
Parameter
HGB
RBC
WBC
HCT
MCV
MCH
MCHC
PLT
GDS

Hasil
19.6
5.62
15.95
55.0
97.9
34.9
35.6
109
68

Normal (usia 2 minggu)


13,4 19,6 [g/dL]
4,0 5,0 [10^6/L]
6 21 [10^3/ L]
41-65 [%]
88-110 [fL]
27,0-31,0 [pg]
32,0-37,0 [g/dL]
150-450 [10^3/ L]
< 160 mg/dl

E. RESUME
Neonatus, jenis kelamin laki-laki, usia 2 hari, lahir di PKM Pemenang secara spontan
pervaginam, UK 39-40 minggu, rujukan dari RSUD KLU dengan diagnosis Respiratory
Distress ec dd/ Pneumonia, TTN + TI (40 minggu) AGA + Neonatal seizure ec susp. HIE +
Asfiksia berat, datang ke IGD RSUP NTB pada pukul 14.56 WITA (31 Juli 2015) karena
dikeluhkan sesak (+), saat lahir tidak langsung menangis (+), AS 1-3, konvulsi (+) tipe tonik
klonik. RPK : BSK (+) kakek. Sebelum dirujuk pasien mendapat terapi O2 nasal kanul 0,5
lpm, IVFD D10% 148 cc + Ca Glukonas 10% 8 cc 7 tpm mikro, trophic feeding 8 x
6cc/sonde, Inj. Ampicillin 2 x 130 mg (iv), Inj. Gentamisin 1 x 10 mg (iv), Xybital loading
dose 50 mg (iv), Xybital additional dose 3 x 13 mg, Phenytoin 50 mg + NaCl 0,9% (1:1)
bolus ~ 30 menit. FR infeksi mayor (-), minor (+) yaitu keputihan dan susp. ISK. Pasien
9

hanya mendapat susu formula dan belum diimunisasi apapun. Pada pemeriksaan fisik
diddapatkan letargi, takipnea, takikardia, hipotermia, CRT <3 detik, Finstorm Score 39+3,
Down Score 7, BB sekarang 2.500 gr, normochepali (+), menurut kurva Lubchenco SMK,
nafas cuping hidung (+), merintih (+), retraksi subcostal (+), rhonki basah halus (+/+), dan
sianosis perifer (+). Pada pemeriksaan laboratorium masih dalam batas normal
F. DIAGNOSIS BANDING
Tabel 1. diagnosis banding pada neonatus dengan gangguan nafas
No.
1.

Diagnosis Banding
Transient

Tachypnea

Newborn (TTN)

2.

Hialin

Membran

of

Analisa
the distres pernafasan ringan yang terjadi pada bayi
segera setelah lahir dan menghilang / perbaikan
dalam waktu 3-5 hari, FR : persalinan SC elektif,

Disease

(HMD)

3.

Meconium
Syndrome (MAS)

4.

Pneumonia neonatal

Aspiration

makrosomia, sedasi yang berlebihan pada ibu,


persalinan memanjang, phospatidilgliserol cairan
amnion
tidak
ada,
asfiksia,
keterlambatan
pemotongan tali pusat, ibu DM, prematur, VLBW,
Bayi dari ibu ketergantungan obat narkotik, Bayi
biasanya mendekati cukup bulan atau prematur besar,
Self limited, biasanya berlangsung 2-5 hari, dan tidak
ada gangguan fungsi paru.
Suatu penyakit distes pernafasan yang biasanya
terjadi pada bayi kurang bulan yang terjadi segera
atau beberapa saat setelah lahir yang menetap atau
menjadi progresif dalam 48-96 jam pertama
kehidupan, etiologi : kekurangan surfaktan, FR :
kurang bulan, familial, SC, Asfiksia perinatal,
Korioamnionitis, Ibu DM, Hydrops fetalis, RO :
Gambaran
retikulogranuler
(ground-glass
appearance), Air bronchogram perifir, riwayat
pemberian kortikosteroid pada bumil.
Suatu kumpulan gejala klinis oleh karena fetus / bayi
baru lahir menghirup cairan amnion yang
terkontaminasi oleh mekonium. Etiologi : Cairan
amnion yang terkontaminasi mekonium ( mekonium
terdiri dari: sel-sel epitel, rambut fetus, mukus,
empedu). FR : Kehamilan lewat waktu, Preeklamsiaeklamsia, Ibu hipertensi, Ibu DM, Denyut jantung
janin abnormal, IUGR, Oligohidramnion, Ibu
perokok berat, mengidap penyakit saluran nafas
kronis, kelainan jantung, Foto thorak : bercak infiltrat
pada ke dua paru disertai gambaran kasar pembuluh
darah paru.
Suatu infeksi paru yang terjadi perinatal / pasca natal,
dikelompokkan menjadi:
10

5.

Sepsis neonatorum

1. Kongenital pnemonia
2. Post amnionitis pnemonia
3. Transnatal pnemonia:
4. Nosokomial pnemonia
1% pada bayi cukup bulan, 10% pada bayi kurang
bulan. Kejadian meningkat pada neonatal.
Sepsis Neonatorum adalah sindrom klinis yang
timbul akibat invasi mikroorganisme ke dalam aliran
darah yang timbul pada 1 bulan pertama kehidupan.
Bakteri penyebab SNAD umumnya berasal dari
traktus genitalia maternal. Bakteri penyebab SNAL
umumnya merupakan bakteri yang berasal dari rumah
sakit (nosokomial) seperti Staphylococcus coagulasenegatif, Enterococcus dan Staphylococcus aureus.

G. DIAGNOSIS
Neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan (NCB-KMK)\
Respiratory distress ec suspect SNAD dd/ Pneumonia neonatal
Asfiksia berat
Kejang neonatal ec suspect HIE
Hipotermia

11

H. PLANNING
Diagnostik : X-ray jika stabil, kultur darah, septic marker (IT ratio, CRP ), AGD
Puasa, pasang OGT
Jaga kehangatan
Indikasi CPAP sebelum dipasang beri O2 nasal kanul 2 lpm
Kebutuhan cairan total :
= 90cc/kgBB/24jam = 234cc/24 jam
= IVFD D10% 9,7 tpm mikro (GIR 9)

Inj. Ampicillin 2 x 125 mg (iv)


Inj. Gentamisin 1 x 12,5 mg (iv)
Terapi sesuai pola resistensi kuman yaitu ampicillin diganti cefotaxime 2x120 mg (iv)
Evaluasi 12 jam kemudian, kejang (-) dosis rumatan : Phenytoin 50 mg + NaCl 0,9%
5 cc

12

FOLLOW UP

Tanggal
01/08/15

Subjective
Sesak (+) bayi bergerak
aktif (-), menangis kuat (-)

Objective
HR: 120 x/menit
RR: 52 x/menit
t: 36,2 0C
BB: 2,500 gr
Letargi, ]DS 7, nafas
cuping hidung (+), grunting
(+), retraksi subcostal (+),
ronki basah halus (+/+),
sianosis perifer.
GDS: 156 mg/dL

Assessment
- Gangguan nafas
berat
-Asfiksia berat
- HIE

Planning
CPAP (+)
FiO2 60%.
SpO2 77% PRP
8 lpm
Aff CPAP
Inj.
Dexamethasone
amp (iv)
Inj. Cefotaxime
2x120 mg (iv)
Inj. Gentamisin
1 x 80 mg (iv)
SpO2 : 90%
dgn O2 5 lpm

Tanggal
02/08/15

Subjective

Objective
HR: 132 x/menit
RR: 55 x/menit
t: 36.80C
BB: 2,500 gr

Assessment

Planning

- Gangguan nafas
berat
-Asfiksia berat
- HIE

Sesak (+) bayi bergerak


aktif (-), menangis kuat (-)

Letargi, DS 7, nafas cuping


hidung (+), grunting (+),
retraksi subcostal (+), ronki
basah halus (+/+), sianosis
perifer.

Tanggal
03/08/15

Subjective

Sesak (+) bayi bergerak


aktif (-), menangis kuat
(+)

Objective
HR: 130 x/menit
RR: 51 x/menit
t: 37,30C
BB: 2,5200 gr

Somnonelen, DS 4, nafas
cuping hidung (+), grunting
(+), retraksi subcostal (+),
ronki basah halus (+/+)

Inj. Cefotaxime
2x120 mg (iv)
Inj. Gentamisin
1 x 80 mg (iv)
IVFD D10%
9,3 tpm
Benutrion 2,08
tpm
FiO2 turun
70%--> 60%
SpO2 99-100%
CPAP PEP 8
Flow *

Assessment

Planning

- Gangguan nafas
berat
-Asfiksia berat
- HIE

Inj. cefotaxime
2x120 mg (iv)
Inj. Gentamisin
1 x 80 mg (iv)
IVFD D10%
6,4 tpm
Benutrion
4,1tpm
OGT (+) sonde
ASI TF 8x2cc
SpO2 98%

13

Tanggal
04/08/15

Subjective

Sesak (-) bayi bergerak


aktif (-), menangis kuat
(+)

Objective
HR: 140 x/menit
RR: 44 x/menit
t: 36.70C
BB: 2,510 gr

Somnolen, DS 4, nafas
cuping hidung (+), grunting
(+), retraksi subcostal (+),
ronki basah halus (+/+)

Assessment
- Gangguan nafas

berat
-Asfiksia berat
- HIE

Planning

Tanggal
05/08/15

Subjective

Sesak (-) bayi bergerak


aktif (-), menangis kuat
(+)

Objective
HR: 140 x/menit
RR: 43 x/menit
t: 36.50C
BB: 2,510 gr

Somnolen, DS 4, nafas
cuping hidung (+), grunting
(+), retraksi subcostal (+),
ronki basah halus (+/+)

Assessment
- Gangguan nafas

berat
-Asfiksia berat
- HIE

Planning

Tanggal
06/08/15

Subjective

Sesak (-) bayi bergerak


aktif (-), menangis kuat
(+)

Objective
HR: 140 x/menit
RR: 44 x/menit
t: 36.70C
BB: 2,510 gr

Somnolen, DS 4, nafas
cuping hidung (+), grunting
(-), retraksi subcostal (+),
ronki basah halus (+/+)

Assessment
- Gangguan nafas

berat
-Asfiksia berat
- HIE

Subjective

Sesak (-) bayi bergerak


aktif (+), menangis kuat
(+)

Objective
HR: 140 x/menit
RR: 43 x/menit
t: 36.70C
BB: 2,510 gr

CM, DS 4, nafas cuping


hidung (-), grunting (-),
retraksi subcostal (-), ronki
basah halus (+/+)

Assessment
- Gangguan nafas

berat
-Asfiksia berat
- HIE

Subjective

Sesak (-) bayi bergerak


aktif (+), menangis kuat
(+)

Objective
HR: 140 x/menit
RR: 42 x/menit
t: 36.70C
BB: 2,510 gr

CM, DS 2, nafas cuping


hidung (-), grunting (-),
retraksi subcostal (-), ronki
basah halus (+/+)
Tanggal

Subjective

Objective

Assessment
- Gangguan nafas

berat
-Asfiksia berat
- HIE

Inj. cefotaxime
2x120 mg (iv)
Inj. Gentamisin
1 x 80 mg (iv)
IVFD D10%
7,3 tpm
Benutrion 5
tpm
TF 8x3cc

Planning

Assessment

Inj. cefotaxime
2x120 mg (iv)
Inj. Gentamisin
1 x 80 mg (iv)
IVFD D10%
8,3 tpm
Benutrion 6,1
tpm
TF 8x3cc

Planning

Tanggal
08/08/15

Inj. cefotaxime
2x120 mg (iv)
Inj. Gentamisin
1 x 80 mg (iv)
IVFD D10%
9,3 tpm
Benutrion 6,1
tpm
TF 8x3cc

Planning

Tanggal
07/08/15

Inj. cefotaxime
2x120 mg (iv)
Inj. Gentamisin
1 x 80 mg (iv)
IVFD D10%
6,4 tpm
Benutrion 5,2
tpm
TF 8x3cc

Inj. cefotaxime
2x120 mg (iv)
Inj. Gentamisin
1 x 80 mg (iv)
ASI 12x20cc

Planning

14

09/08/15

HR: 140 x/menit


RR: 42 x/menit
t: 36.60C
BB: 2,510 gr

Sesak (-) bayi bergerak


aktif (+), menangis kuat
(+)

CM, nafas cuping hidung


(-), grunting (-), retraksi
subcostal (-), ronki basah
halus (+/+)

- Gangguan nafas

BPL

berat
-Asfiksia berat
- HIE

II. DAFTAR PERMASALAHAN


Permasalahan pada kasus ini adalah sebagai berikut :

Sesak, riwayat lahir tidak langsung menangis (AS 1 dan 3)


Kejang tonik klonik
Pemberian Xybital dan Phenytoin
Faktor risiko infeksi minor yaitu keputihan (+), nyeri saat BAK susp. ISK (+) yang

tidak terobati
Pada pemeriksaan fisik didapatkan : letargi, takikardia, takipnea, hipotermia ringan,
DS 7, nafas cuping hidung (+), grunting (+), retraksi subcostal (+), ronki basah halus
(+/+), sianosis perifer.
ANALISA KASUS

Berdasarkan penghitungan usia kehamilan ibu didapatkan 39-40 minggu dan dikonfirmasi
dengan Skor Finstorm didapatkan total 20 (39 wk + 3 d) yang berarti bayi cukup bulan
dengan BBL yaitu 2.600 gr. Kemudian hasil tersebut dimasukkan dalam kurva Lubchenco,
sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien merupakan neonatus cukup bulan sesuai masa
kehamilan (persentil 10).

15

Gambar 1. Kurva Lubchenco

Pasien lahir tidak langsung menangis dengan skor APGAR 1 dan 3 yang termasuk
dalam salah satu kriteria oleh AAP dan ACOG yaitu Menurut AAG dan ACOG (2004),
asfiksia perinatal pada seorang bayi menunjukkan karakteristik sebagai berikut :
a. Asidemia metabolik atau campuran ( metabolik dan respiratorik) pH < 7 pada
sampel darah yang diambil dari vena umbilikus
b. Nilai apgar score 0-3 pada menit ke 5
c. Manifestsi neurologi pada BBL segera termasuk kejang, hipotonia, koma atau
ensefalopati hipoksik iskemik
d. Terjadi disfungsi sistem multiorgan segera pada periode BBL
Nilai APGAR berguna untuk menilai status keadaan bayi baru lahir, tetapi nilai
APGAR saja tidak merupakan parameter untuk menentukan adanya asfiksia. Asfiksia dapat
terjadi pada masa transisi bayi dari intrauterine ke ekstrauterin dimana terjadi kegagalan
penurunan resistensi vaskuler paru yang menyebabkan hipertensi pulmonal persisten pada
bayi baru lahir, dengan aliran darah paru yang inadekuat dan hipoksemia relatif. Asfiksia
dapat terjadi pada waktu pre, peri, dan postnatal. Asfiksia perinatal dapat disebabkan oleh 1)
gangguan oksigenasi pada ibu 2) penurunan aliran darah dari ibu ke plasenta atau dari
plasenta ke fetus 3) gangguan pertukaran gas melalui plasenta atau fetus 4) peningkatan
kebutuhan fetal oksigen. Faktor rsisiko yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal pada
kasus ini yaitu faktor maternal yaitu didapatkan infeksi pada ibu. Penyakit pada ibu lainnya
16

belum dapat dibuktikan karena tidak ada data dan pemeriksaan rutin pada ibu. Sedangkan
kelainan plasenta dan tali pusat dan fetus atau neonatus tidak ada. Apgar score 0-3
menunjukkan bayi memerlukan resusitasi segera secara aktif dan pemberian O2 terkendali.
Langkah awal resusitasi yang telah dilakukan pada pasien ini yaitu memberikan kehangatan
(normotermia 36,5-37,5C), memposisikan bayi dan membuka/membersihkan jalan napas,
mengeringkan, dan stimulasi. Kemudian dilakukan penilaian dan didapatkan adanya kesulitan
nafas dan sianosis sehingga pasien dipertimbangkan untuk dilakukan monitoring saturasi
oksigen dan pemasangan CPAP. Pasien juga sempat dikeluhkan mengalami kejang 4 kali tipe
tonik klonik di RSUD KLU. Kejang pada neonatus paling banyak disebabkan oleh Hipoksik
Iskemia Ensefalopati (HIE) (50-60%).
Hipoksik Iskemia Ensefalopati (HIE) adalah suatu sindroma yang ditandai dengan
adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak yang
akut yang disebabkan oleh asfiksia. Diagnosisnya dibuat berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis. Semua tes dikerjakan untuk mengetahui beratnya cedera jaringan otak
dan monitor fungsi organ lainnya. Ensefalopati pada HIE adalah istilah klinis tanpa
menyebutkan etiologi di mana bayi mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu
dilakukan pemeriksaan.
HIE memiliki manifestasi klinis mulai dari ringan sampai berat. Sarnat dan Sarnat
membagi ensefalopati hipoksik iskemik pada neonatus yang umur kehamilannya > 36
minggu.

17

Tabel 2. Pembagian ensefalopati hipoksik iskemik pada bayi aterm


Pada kasus ini termasuk stadium 2 (sedang) dengan hasil bervariasi. Gangguan fungsi
organ pada asfiksia kasus ini selain otak juga paru yaitu respiratory distress syndrome. Pada
pasien ini diberikan Ca Glukonas 10% karena pada HIE kadar kalsium harus dipertahankan
dalam kadar normal. Hipokalsemia sering dijumpai pada sindroma post asfiksia neonatal
dengan gejala kejang. Dosis yang diberikan ialah 200 mg/kgBB intravena atau 2 ml/kgBB
diencerkan dalam aquadest dalam waktu 5 menit. Kejang diatasi dengan phenobarbital dosis
20 mg/kgBB diberikan dalam 10-15 menit secara intravena. Jika kejangnya hilang diberikan
dosis rumatan 3-4 mg/kgBB/hari dengan selisih waktu 12 jam kemudian. Secara teoritis, bila
penderita masih kejang dapat diberikan tambahan phenobarbital dengan dosis 5 mg/kgBB
setiap 5 menit sampai kejang berhenti, atau sampai dosis 40 mg/kgBB sudah tercapai. Tetapi
kenyataannya pada neonatus yang mengalami asfiksia di mana telah mendapatkan
phenobarbital dosis 20 mg/kgBB akan menyebabkan ngantuk dan sulit menganalisa
neurologisnya. Oleh karena itu, apabila neonatus yang mengalami asfiksia telah mendapat
dosis tersebut tidak memberikan respon maka diberikan fenitoin dengan 20 mg/kgBB
intravena dalam waktu 30 menit atau 1 mg/kgBB/menit, dilanjutkan dengan dosis rumatan 510 mg/kgBB/hari diberikan setiap 8 jam. Pada umumnya pengobatan kombinasi
phenobarbital dan fenitoin maka 85% kejang dapat diatasi. Bila tetap kejang diberikan
lorazepam dengan dosis 0,05-0,10 mg/kgBB intravena dalam waktu beberapa menit. Pada
sumber lain menyebutkan bahwa pemberian phenobarbital dosis 20 mg/kgBB kedua yang
diberikan bila masih kejang masih diperbolehkan, 24 jam kemudian dosis rumatan diberikan
3-5mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Pada kasus ini diberikan dosis rumatan phenobarbital 13 mg
sebanyak 3 kali, kemungkinan berhubungan dengan klinis bayi saat MRS. Dosis fenitoin
rumatan tetap diberikan 12 jam kemudian pada kasus ini NCB diberikan 4-5 mg/kgBB/kali
tiap 12 jam
Selain itu pada pasien ini juga didapatkan letargi, takikardia, takipnea, hipotermia ringan,
Down Score 7, nafas cuping hidung (+), grunting (+), retraksi subcostal (+), ronki basah
halus (+/+), sianosis perifer.

18

Tabel 3. Skor Down


Manifestasi klinis tersebut mengarah pada diagnosis banding yang pertama yaitu Sepsis
Neonatal Awitan Dini (SNAD) dimana timbul dalam 3 hari pertama, dengang gejala
pernapasan yang menonjol. Kecurigaan sepsis pada bayi sampai usia 3 hari yaitu pada kasus
ini ditemukan adanya infeksi pada ibu dari anamnesis adanya faktor risiko infeksi minor yaitu
keputihan dan suspek ISK dan bayi memiliki 2 atau lebih gejala yang tergolong dalam
kategori A yaitu kesulitan bernapas (RR 60 x/menit, grunting), kejang, suhu tidak stabil
atau 3 atau lebih gejala pada kategori B yaitu letargi. Terapi yang diberikan yaitu antibiotik
dengan ampisilin dan gentamisin. Bila organisme tidak dapat ditemukan dan bayi tetap
menunjukkan tanda infeksi sesudah 48 jam, ganti ampisilin dan beri sefotaksim, sedangkan
gentamisin tetap dilanjutkan. Dosis ampisilin 50 mg/kgBB/12 jam (iv/im), sedangkan
gentamisin > 2 kg yaitu 5 mg/kgBB/hari (iv/im). Lama pemberian antibiotika pada sepsis
ialah 10-14 hari. Diagnosis banding pada kasus ini ialah pneumonia neonatal yang dapat
terjadi secara transplasenta atau ascending infeksi dengan manifestasi klinis yang mirip
antara lain ditemukannya
-

Skor APGAR rendah

Segera setelah lahir terjadi distres nafas

Takikardia

Letargi

Suhu tidak stabil

Diagnosis banding pneumonia neonatal setelah SNAD karena dari presdisposisi


persalinan prematur, ketuban pecah sebelum persalinan, persalinan memanjang dengan
dilatasi servik, pemeriksaan obstetri yang sering yang mengindikasikan pneumonia
kongenital tidak terjadi pada ibu, namun pada ascending infection dapat ditimbulkan karena
19

flora vagina ibu yang pada kasus ini ditemukan faktor risiko yaitu keputihan dan susp.ISK.
namun insidensi pneumonia neonatal pada bayi aterm ialah 1% sehingga diagnosis ini bisa
dipertimbangkan setelah SNAD. Untuk terapi pneumonia neonatal mirip dengan SNAD yaitu
pemberian antibiotika yaitu Ampisilin dan Gentamisin.

20

III. TINJAUAN PUSTAKA

A. ASFIKSIA NEONATORUM1,2
1. Definisi :
Menurut AAG dan ACOG (2004), asfiksia perinatal pada seorang bayi menunjukkan
karakteristik sebagai berikut :
e. Asidemia metabolik atau campuran ( metabolik dan respiratorik) pH < 7 pada
sampel darah yang diambil dari vena umbilikus
f. Nilai apgar score 0-3 pada menit ke 5
g. Manifestsi neurologi pada BBL segera termasuk kejang, hipotonia, koma atau
ensefalopati hipoksik iskemik
h. Terjadi disfungsi sistem multiorgan segera pada periode BBL
2. Epidemiologi
Asfiksia pada BBL menjadi penyebab kematian 19% dari 5 juta kematian BBL
setiap tahun. Di Indonesia, angka kejadian asfiksia di rumah sakit provinsi jawa barat
ialah 25.2 %, dan angka kematian karena asfiksia di rumah sakit pusat rujukan
propinsi di Indonesia sebesar 41,94%. Data mengungkapkan bahwa kira-kira 10%
BBL membutuhkan bantuan untuk mulai bernapas, dari bantuan ringan (langkah awal
dan stimulasi untuk bernapas). Antara 1% hingga 10% BBL di rumah sakit
membutuhkan bantuan ventilasi dan sedikit saja yang membutuhkan intubasi dan
kompresi dada. Sebagian besar bayi yaitu 90%, tidak membutuhkan atau hanya
sedikit memerlukan bantuan untuk memantapkan pernapasannya setelah lahir dan
akan melalui masa transisi dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin tanpa masalah.
3. Etiologi dan Faktor Risiko
1. Faktor risiko antepartum
- Diabetes pada ibu
- Hipertensi dalam kehamilan
- Hipertensi kronik
- Anemia janin atau isoimunisasi
- Riwayat kematian janin atau neonatus
- Perdarahan pada trimester dua dan tiga
- Infeksi ibu
- Ibu dengan penyakit jantung, ginjal, paru, tiroid atau kelainan neurologi
- Polihodramnion
- Oligohidramnion
- Ketuban pecah dini
- Hidrops fetalis
- Kehamilan lewat waktu
- Kehamilan ganda
21

Berat janin tidak sesuai masa kehamilan


Terapi obat seperti kalsium bikarbonat dan beta blocker
Ibu pengguna obat bius
Malformasi atau anomali janin
Berkurangnya gerakan janin
Tanpa pemeriksaan antenatal
Usia ibu <16 atau >35 tahun

2.
-

Faktor risiko intrapartum


Seksio sesaria darurat
Kelahiran dengan ekstraksi vakum atau forcep
Letak sungsang atau presentasi abnormal
Kelahiran kurang bulan
Partus presipitatus
Korioamnitis
Ketuban pecah lama > 18 jam sebelum persalinan
Partus lama >24 jam
Kala 2 lama lebih dari 2 jam
Makrosomia
Bradikardi janin persisten
Frekuensi jantung janin yang tidak berarturan
Penggunaan anestesi umum
Hiperstimulus uterus
Penggunaan obat narkotika pada ibu 4 jam sebelum persalinan
Air ketuban bercampur mekonium
Prolaps tali pusat
Solutio plasenta
Plasenta previa
Perdarahan intrapartum

4. Patofisiologi asfiksia
Bayi baru lahir mempunyai karakteristik yang unik. Transisi dari kehidupan
janin intrauterin ke kehidupan bayi ekstrauterin menunjukkan perubahan sebagai
berikut : alveoli janin dalam uterus berisi cairan paru. Pada saat lahir dan bayi
mengambil napas pertama, udara memasuki alveoli paru dan cairan paru diabsorbsi
oleh jaringan paru. Pada napas kedua dan berikutnya, udara yang masuk ke alveoli
bertambah banyak dan cairan paru diabsorbsi sehingga kemudian seluruh alveoli
berisi udara yang mengandung oksigen. Aliran darah paru meningkat secara dramatis.
Hal ini disebabkan ekspansi paru yang membutuhkan tekanan puncak inspirasi dan
tekanan akhir ekspirasi yang lebih tinggi. Ekspansi paru dan peningkatan tekanan
oksigen alveoli, keduanya menyebabkan penurunan resistensi vaskuler paru dan
peningkatan aliran darah paru setelah lahir. Aliran intrakardial dan ekstrakardial mulai
beralih arah yang kemudian diikuti penutupan duktus arteriosus. Kegagalan
penurunan resistensi vaskuler paru menyebabkan hipertensi pulmonal persisten pada
22

bayi baru lahir, dengan aliran darah paru yang inadekuat dan hipoksemia relatif.
Ekpansi paru yang inadekuat mengakibatkan gagal napas.
5. Klasifikasi
Asfiksia berat
Apgar score 0-3, bayi memerlukan resusitasi segera secara aktif dan

pemberian O2 terkendali.
Asfiksia sedang
Apgar score 4-6 memerlukan resusitasi dan pemberian O2 sampai bayi dapat
bernafas normal kembali.
Bayi normal atau sedikit asfiksia (nilai apgar 7-10). Dalam hal ini bayi
dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa (Mochtar R, 1998).

Tabel 2. Penilaian Apgar Score

Apperance

Score
0
Biru pucat

1
Tubuh

(warna kulit)
Pulse

Tidak ada

ekstremitas biru
100 x/m

kemerahan
100 x/m

(Denyut nadi)
Grimace

Tidak ada

Gerakan sedikit

Gerakan

Tanda

2
kemerahan, Tubuh

dan

ekstremitas

kuat

(refleks)
Activity

Lumpuh

Gerakan lemah

menangis
Gerakan aktif

(tonus otot)
Respiratory

Tidak ada

Lambat

Teratur, menangis kuat

dan

(usaha bernafas)
6. Diagnosis
Diagnosis hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tandatanda gawat janin antara lain :
a. Denyut jantung janin
Frekuensi normal adalah antara 120 dan 160 x/m, selama his frekuensi ini
biasa turun, tetapi diluar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan
kecepatan denyut jantung umumnya tidak besar artinya, akan tetapi apabila
frekuensi sampai di bawah 100 x/m diluar his dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal
itu merupakan tanda bahaya.

23

b. Mekonium dalam air ketuban


Pada presentase kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan
terus menimbulkan kewaspadaan.Adanya meokinum air ketuban pada presentasi
kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan, biasanya hal ini
dapat dilakukan dengan mudah. Namun hal ini sudah tidak termasuk dalam
penilaian rutin
c. Pemeriksaan pH darah janin.
Dengan menggunakan amnioskopi yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan
kecil pada kulit kepala janin dan diambil contoh darah janin.Adanya asidosis
menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu sampai turun di bawah 7,2 hal ini
dianggap sebagai tanda bahaya oleh beberapa penulis.
7. Penanganan
Penilaian asfiksia
Penilaian pada bayi yang terkait dengan penatalaksanaan resusitasi, dibuat
berdasarkan keadaan klinis. Penilaian awal harus dilakukan pada semua BBL.
Penatalaksanaan selanjutnya dilakukan menurut hasil penilaian tersebut. Penilaian
berkala setelah setelah setiap langkah resusitasi harus dilakukan setiap 30 detik.
Penatalaksanaan dilakukan terus menerus berkesinambungan menurut siklus menilai,
menentukan tindakan, melakukan tindakan, kemudian menilai kembali. Penilaian
awal dilakukan pada setiap BBL untuk menentukan apakah tindakan resusitasi perlu
segera dilakukan, dengan cara bertanya dan menjawab dalam waktu singkat :
- Apakah bayi lahir cukup bulan?
- Apakah bayi bernapas adekuat atau menangis?
- Apakah tonus otot baik?
Bila semua jawaban diatas ya berarti bayi baik dan tidak memerlukan tindakan
resusitasi. Pada bayi ini segera dilakukan asuhan bayi normal. Bila salah satu
pertanyaan jawabannya tidak bayi memerlukan resusitasi segera dimulai dengan
langkah awal resusitasi.
Bayi yang memerlukan resusitasi
-

Bila salah satu atau lebih dari 3 penilaian awal dijawab tidak, bayi memerlukan

tindakan resusitasi
Bayi yang lahir kurang bulan mempunyai kecenderungan untuk lebih memerlukan
resusitasi karena beberapa hal berikut. Bayi kurang bulan mudah mengalami

24

hipotermia karena rasio luas permukaan dan masa tubuhnya relatif besar, lemak
-

subkutan sedikit, dan imaturitas pusat pengatur suhu.


Bayi yang lahir dengan air ketuban bercampur mekoneum dan tidak bugar
( ditandai dengan depresi pernapasan, frekuensi jantung kurang dari 100x/menit,
dan tonus ototnya buruk), mungkin memerlukan penghisapan trakea setelah
seluruh tubuh lahir. Pengisapan intrapartum saat kepala lahir sebelum bahu
dilahirkan, tidak direkomendasikan sebagai tindakan rutin.
Setelah penilaian awal dan tindakan yang perlu sudah dilakukan, penilaian bayi
dilakukan secara berkala selama proses resusitasi. Penilaian berkala selama proses
resusitasi didasarkan pada pernapasan, frekuensi denyut jantung, tonus otot, dan
warna.
Langkah awal resusitasi
1.
Memberikan kehangatan
Memberikan kehangatan untuk menghindari hipotermia dilakukan dengan
cara meletakkan bayi diatas meja resusitasi di bawah pemancar panas. Tempat
ini harus sudah dihangatkan sebelumnya. Setelah membuka jalan napas
dengan menghisap lendir, upaya mencegah kehilangan panas dilanjutkan
dengan mengeringkan bayi lalu menyingkirkan kain yang basah dan
membungkus bayi dengan kain/selimut yang hangat. Dalam melaksanakan
pencegahan terhadap hipotermia, harus dihindari agar bayi tidak menjadi
hipertermia. Bayi harus dalam keadaan normotermia 36,5-37,5C.
2.

Memposisikan bayi dan membuka/membersihkan jalan napas


BBL harus diletakkan terlentang dengan kepala pada posisi menghidu atau
sedikit

ekstensi. Bila usaha pernapasan ada tetapi tidak menghasilkan

ventilasi efektif (frekuensi denyut jantung tidak meningkat lebih dari


100x/menit), jalan napas mungkin tersumbat dan posisi kepala harus
diperbaiki. Bila terdapat sekresi yang menyumbat jalan napas, sekret dapat
dibersihkan dengan kateter penghisap dengan lubang besar (no 10-12F).
Walaupun demikian, penghisapan faring dapat menyebabkan spasme faring,
trauma pada jaringan lunak, bradikardia dan tertundanya pernapasan spontan.
Oleh karena itu setiap penghisapan faring harus dilakukan secara hati-hati.
Bila penghisapan dilakukan pada BCB, lama penghisapan harus dibatasi
dalam 5 detik dan tidak lebih dari 5cm dalamnya dari bibir bayi.
3.

Mengeringkan sambil merangsang


25

Pengeringan dan perangsangan sekaligus merupakan intervensi penilaian


dan resusitasi. Bila bayi gagal mempertahankan napas spontan dan efektif
dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung lebih dari 100x/menit,
ventilasi tekanan positif perlu dilakukan. Rangsangan taktil dapat pula
dilakukan dengan menepuk/menjentikkan telapak kaki dengan hati-hati,
menggosok punggung atau perut. Merangsang taktil pada bayi apnea terusmenerus adalah berbahaya dan tidak boleh dilakukan. Bila bayi tetap tidak
bernapas, bantuan ventilasi harus segera dimulai.
4.
5.

Memposisikan kembali
Menilai bayi
Setelah langkah awal selesai dilakukan dan bayi sudah diposisikan
kembali, dilakukan penilaian pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit.
Bila bayi apneu dan megap megap atau frekuensi jantung dibawah
100x/menit, lakukan ventilasi tekanan positif. Bial pernapasan dan frekuensi
jantung bayi memadai tetapi bayi masih sianosis sentral, berikan oksigen
aliran bebas. Oksigen aliran bebas dapat diberikan dengan cara meletakkan
sungkup oksigen melekat pada wajah bayi dengan pipa oksigen diletakkan
didekat wajah bayi, atau dengan sungkup balon tidak mengembang sendiri
diletakkan di dekat wajah.

26

Gambar 1. Diagram alur resusitasi BBL

Gambar 5. Resusitasi Neonatus


8. Komplikasi
- Perdarahan dan edema otak
- Hipoksik iskemik ensefalopati
- NEC
- Gagal ginjal akut
- Hiperbilirubinemia
9. Hipoksik Iskemik Ensefalopati

27

Merupakan penyebab terbanyak keruskan pada pada Susunan Saraf Pusat (SSP), yang
berdampak pada kematian atau kecacatan berupa palsi cerebral atau defisiensi mental. Angka
kejadian HIE berkisar 0,3-1,8%. Australia (1995), angka kematian antepartum berkisar
3,5/1000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian intrapartum berkisar 1/1000 kelahiran
hidup, dan angka kejadian kematian masa neonatal berkisar 3,2/1000 kelahiran hidup. Apgar
Score 1-3 pada menit pertama terjadi pada 2,8% bayi lahir hidup dan AS 5 pada menit ke 5
pada 0,3% bayi lahir hidup. Lima belas hingga 20% bayi dengan HIE meninggal pada masa
neonatal, 25-30% yang bertahan hidup mempunyai kelainan neurodevelopmental permanent.
Asfiksia perinatal adalah akibat berbagai kejadian selama periode perinatal yang
menyebabkan penurunan bermakna aliran oksigen, menyebabkan asidosis dan kegagalan
fungsi minimal 2 organ (paru, jantung, hati, otak, ginjal dan hematologi) yang konsisten.
Faktor-faktor resiko :
1. Hipertensi selama kehamilan atau pre-eklampsia
2. Restriksi pertumbuhan intra-uterin
3. Terlepasnya plasenta
4. Anemia fetus
5. Postmaturitas
6. Persalinan non fisiologis
7. Malpresentasi termasuk vasa previa
Etiologi:
Hipoksia pada fetus disebabkan
1. Oksigenase yang tidak adekuat dari darah maternal yang disebabkan hipoventilasi
selama proses pembiusan, CHD, gagal nafas, keracunan CO2
2. Tekanan darah ibu yang rendah karena hipotensi akibat dari anestesi spinal atau
tekanan uterus pada vena cava dan aorta.

28

3. Relaksasi uterus kurang karena pemberian oksitosin berlebihan akan menyebabkan


tetani.
4. Plasenta terlepas dini
5. Penekanan pada tali pusat atau lilitan tali pusat
6. Vasokonstriksi pembuluh darah uterus karena kokain

B. PNEUMONIA NEONATAL3,4,5
1. Batasan
Suatu infeksi paru yang terjadi perinatal / pasca natal, dikelompokkan menjadi:
5. Kongenital pnemonia
- Disebut juga early onset pnemonia ( pada umur 3 hari pertama)
- Penularan transplasenta
6. Post amnionitis pnemonia
- Penularan dari flora vagina secara ascending
- Predisposisi : persalinan prematur, ketuban pecah sebelum persalinan, persalinan
memanjang dengan dilatasi servik, pemeriksaan obstetri yang sering
7. Transnatal pnemonia:
- Tidak ada bukti korioamnionitis atau infeksi pada ibu
- Onset lambat
- Proses infeksi selalu terjadi pada paru-paru
- Penyebab terbanyak Group B Streptokokus
8. Nosokomial pnemonia
- Didapat selama perawatan di rumah sakit, dengan faktor predisposisi : BBL <
1500 gram, dirawat lama, penyakit dasar berat, prosedur unvasif banyak,
overcrowding, ratio perawat/pasien rendah, peralatan ventilator terkontaminasi,
kebersihan petugas kurang
29

2. Insiden
1% pada bayi cukup bulan, 10% pada bayi kurang bulan. Kejadian meningkat pada neonatus
yang dirawat di NICU

3. Etiologi
1.Bakteri : Group B Streptokokus, Stap.aureus,Stapilokokus epidermidis, E coli,
Pseudomonas, Serratia marcescens, Klebsiella
2. Virus : RSV, adenovirus, enterovirus, CMV
3. Jamur : Candida
4. Patofisiologi
1. Transplasenta
Kuman/agent melalui plasenta hematogen paru-paru janin pnemonia
(kongenital pnemonia) / early onset pnemonia
2. Ascending infeksi
Kuman/agent dari flora vagina ascending menyebar ke chorionic plate
amnionitis aspirasi paru pnemonia
3. Transnatal
5. Gambaran klinis
-

Ada riwayat takikardia janin

Skor APGAR rendah

Segera setelah lahir terjadi distres nafas

Takikardia

Perfusi perifir kurang

Letargi

Tidak mau minum

Distensi abdomen
30

Suhu tidak stabil

Asidosis metabolik

DIC

6. Laboratorium
- Analisa cairan lambung setelah lahir,
bila leukosit (+) menunjukkan adanya inflamasi amnion risiko pnemonia tinggi
Pengecatan gram, bila bakteri (+) berarti janin menelan flora vagina resiko infeksi
- kultur darah bila (+) kuman penyebab
- LP
- Photo thorax infiltrat (+)
7. Tata laksana
1. Antibiotika
Sebelum hasil kultur ada : Ampisilin + Gentamisin
-

Ampisilin:
Umur 0-7 hari: 100 mg/kgBB/hari, IV, IM dibagi 2 dosis
Umur > 7 hari: 100 mg/kg BB/hari, IV, IM dibagi 3-4 dosis

Gentamisin
Dosis 2,5 mg/kgBB/dosis, IV, IM, diberikan:
< 7 hari:
umur kehamilan < 28 minggu diberikan setiap 36 jam
umur kehamilan 28 32 minggu, diberikan setiap 24 jam
umur > 32 minggu diberikan setiap 18 jam
umur > 7 hari
umur kehamilan < 28 minggu, diberikan setiap 24 jam

31

umur 28-32 minggu diberikan setiap 18 jam


umur kehamilan > 32 minggu diberikan setiap 12 jam
cukup bulan diberikan setiap 8 jam
Setelah ada kultur sesuaikan dengan resistensi dan sensitivitasnya
8. Prognosis
Kematian 20-40%

C. SEPSIS NEONATORUM6,7,8
1. Batasan
Sepsis Neonatorum adalah sindrom klinis yang timbul akibat invasi mikroorganisme ke
dalam aliran darah yang timbul pada 1 bulan pertama kehidupan.Sepsis pada neonatus dapat
disebabkan oleh bakteri, virus, maupun protozoa1,2.
2. Epidemiologi
Angka kejadian di Asia Tenggara berkisar 2,4 -16 per 1000 kelahiran hidup, di Amerika
Serikat 1-8 per 1000 kelahiran hidup dan meningkat menjadi 13 27 per 1000 kelahiran
hidup pada bayi dengan berat <1500 gram. Angka kematian 13-50%, terutama pada bayi
prematur (5-10 kali kejadian pada neonatus cukup bulan) dan neonatus dengan penyakit berat
dini1,2.
3. Klasifikasi
Sepsis neonatorum umumnya dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Sepsis neonatorum awitan dini (SNAD)
Terjadi pada usia 72 jam berupa gangguan multisystem dengan gejala pernapasan
yang menonjol. Gejala ditandai dengan awitan yang tiba-tiba dan cepat berkembang
menjadi syok septik. SNAD biasanya disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal
dari ibu, baik dalam masa kehamilan maupun selama proses persalinan1,3.
2. Sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL)

32

Terjadi pada usia > 72 jam, lebih sering diatas 1 minggu. Pada sepsis tipe awitan
lambat biasanya ditemukan fokus infeksi dan disertai dengan meningitis. SNAL Dapat
disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat selama proses persalinan tetapi
manisfestasinya lambat (setelah 3 hari) atau biasanya terjadi pada bayi-bayi yang
dirawat di rumah sakit (infeksi nosokomial). Perjalanan penyakit SNAD biasanya
lebih berat, dan cenderung menjadi fulminan yang dapat berakhir dengan kematian1,3.
Etiologi
Bakteri penyebab SNAD umumnya berasal dari traktus genitalia maternal. Berbagai jenis
bakteri dapat ditemukan di dalam traktus genitalia maternal, namun hanya beberapa yang
sering menyebabkan infeksi pada neonatus, sedangkan pada ibu tidak menyebabkan penyakit.
Bakteri penyebab SNAL umumnya merupakan bakteri yang berasal dari rumah sakit
(nosokomial) seperti Staphylococcus coagulase-negatif, Enterococcus dan Staphylococcus
aureus. Namun demikian Streptococcus grup B, E.coli dan Listeria monocytogenes juga
dapat menyebabkan SNAL1,2,3.
Penelitian mengenai kuman penyebab sepsis di beberapa rumah sakit di Indonesia dapat
dilihat pada tabel 2.1

Tabel 3. Kuman penyebab sepsis pada BBL di beberpa rumah sakit di Indonesia
Peneliti

Tempat

Mikroorganisme

Suarca

RS

(2004)

Denpasar

Siswanto

NICU RS Harapan Serratia

(2004)

Kita, Jakarta

aerogenes, Klebsiela sp, P aeroginosa

Rohsiwatmo

RSCM, Jakarta

Acinetobacter

Sanglah, Staphylococcus coagulated-negative, Enterobacter sp,

(2005)

Klebsiella sp
sp,

RS Hasan Sadikin, Staphylococcus

(2006)

Bandung

(2006)

pneumoniae,

calciatecius,

Enterobacter

Enterobacter

sp,

Staphylococcuc sp

Yuliana

Sofiah

Klebsiella

Burkholderia

cepacia,

Klebsiella pneumoniae

F RS Moh. Husein, Acinetobacter


Palembang

epidermidis,

calcoacetius,

Klebsiella

pneumoniae,

Staphylococcus epidermidis, Streptococcus viridans.


33

Rahmah

RS

(2006)

Surabaya

Sutomo, Staphylococcus

coagulated-negative,Acitenobacter,

Enterobacter aerogenes, Klebsiella pneumoniae.

Tabel 4. kuman penyebab SNAD dapat dilihat pada tabel berikut:

Patogenesis
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus melalui beberapa
cara yaitu:
34

a) Pada masa antenatal atau sebelum lahir


Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilikus masuk
ke dalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Penyebab infeksi adalah virus yang
dapat menembus plasenta antara lain:virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki,
influenza, parotitis. Bakteri yang melalui jalur ini antara lain: malaria, sipilis, dan
toksoplasma3.
b) Pada masa intranatal atau saat persalinan
Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada pada vagina dan serviks naik
mencapai korion dan amnion. Akibatnya terjadi amnionitis dan korionitis, selanjutnya
kuman melalui umbilikus masuk ketubuh bayi. Cara lain yaitu pada saat persalinan,
kemudian menyebabkan infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau port
de entre, saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman ( misalnya:
herpes genetalia, candida albicans, gonorrhea)3.
c) Infeksi pascanatal atau sesudah melahirkan
Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi sesudah kelahiran, terjadi
akibat infeksi nasokomial dari lingkungan di luar rahim (misalnya melalui alat-alat
penghisap lendir, selang endotrakea, infus, selang nasogastrik, botol minuman atau
dot). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi, dapat menyebabkan
terjadinya infeksi nasokomial. Infeksi juga dapat melalui luka umbilikus.Demikian
pula bila ibu mengalami infeksi segera setelah melahirkan dengan suhu > 37,8 0C,
maka sekitar 9,2 38,2% di antara bayi yang dilahirkan akan menderita sepsis
neonatorum3.

Bila bakteremia tidak mampu diatasi oleh kekebalan tubuh maka akan terjadi respons
sistemik (Systemic Inflammatory Response Syndrome/SIRS). SIRS dapat disebabkan oleh
infeksi maupun noninfeksi, dan bila disebabkan oleh infeksi maka SIRS dianggap identik
dengan sepsis. Endotoksin bakteri maupun komponen-komponen dinding sel bakteri yang
dilepaskan ke sirkulasi akan mengaktivasi berbagai sitokin yang berperan sebagai mediator
proinflamasi, sehingga timbul respon fisiologis tubuh yaitu : (1) aktivasi sistem komplemen,
(2) aktivasi sistem koagulasi, (3)sekresi ACTH

dan -endorfin, (4) stimulasi neutrofil

polimorfonuklear dan (5) stimulasi sistem kinin-kalikrein. Akibat aktivasi berbagai sistem
tersebut permeabilitas vaskular akan meningkat, tonus vaskular menurun dan terjadi
ketidakseimbangan perfusi dengan kebutuhan jaringan yang meningkat1,3,4.
35

Mediator-mediator proinflamasi yang dihasilkan pada keadaan ini akan mencetuskan


lepasnya mediator-mediator antiinflamasi sebagai upaya tubuh untuk menghambat reaksi
inflamasi yang terjadi, sehingga tercapai keseimbangan atau homeostasis (Compensatory
Anti-inflammatory Respons Syndrome/CARS). Bila terdapat dominasi salah satu

reaksi

inflamasi atau antiinflamasi, homeostasis tidak dapat tercapai. Bila reaksi inflamasi lebih
dominan akan terjadi renjatan dan disfungsi organ. Sebaliknya bila reaksi antiinflamasi
berlebihan akan terjadi supresi terhadap sistem imun. Bila keadaan makin berat akan terjadi
renjatan akibat menurunnya perfusi dan transport oksigen ke jaringan dan berakhir dengan
kematian1,3,4.

Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus secara bertahap adalah 2:


Bila ditemukan dua atau lebih keadaan:

SIRS

Laju nafas >60x/m dengan/tanpa retraksi dan desaturasi


oksigen(O2)

Suhu tubuh tidak stabil (<36C atau >37.5C)

Waktu pengisian kapiler > 3 detik

Hitung leukosit <4000x109/L atau >34000x109/L

CRP >10mg/dl

IL-6 atau IL-8 >70pg/ml


Terdapat satu atau lebih kriteria SIRS disertai dengan gejala klinis SEPSIS
infeksi antara lain hipertermi atau hipotermi, aktivitas lemah, malas
menyusu, berat badan menurun, takipneu, merintih, mengorok,
pernapasan cuping hidung, sianosis, dan iritabilitas.
Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ tunggal

SEPSIS BERAT

Sepsis berat disertai hipotensi dan kebutuhan resusitasi cairan dan obat- SYOK SEPSIS
obat inotropik
Terdapat disfungsi

multi

organ

meskipun

telah

mendapatkan SINDROM

pengobatan optimal

DISFUNGSI

Disfungsi multi organ yang berkelanjutan

MULTIORGAN
KEMATIAN

36

Sepsis neonatorum ditegakkan bila terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi2.
Usia

Suhu

neonatus
Usia

0-7

hari

Laju nadi / Laju

Jumlah

menit

103/mm

>38,5C

>180

atau

<100

napas/menit
atau >50

>34

atau >40

>19,5 atau <5

leukosit

<36C
Usia

7-30 >38,5C

hari

atau

>180
<100

<36C

Gambaran klinis
Tanda klinis sepsis neonatorum tidak spesifik dan berhubungan dengan karakteristik kuman
penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya kuman, seperti2,3,4 :
a. Pemeriksaan umum:
Iregularitas tempratur dapat berupa hipertermi atau hipotermi, namun lebih

sering hipotermi.
Perubahan prilaku seperti letargi, iritabel. Malas minum setelah sebelumnya
minum dengan baik

b. Gastrointestinal:

Muntah, diare, perut kembung, hepatomegali.

c. Kelainan pada kulit

Perfusi perifir buruk, sianosis, mottling, pucat, petikie, rash, ikterus, sklerema.

d. Masalah kardiopulmoner

Takipnea, takikardia, hipotensi, distres pernafasan (sesak, retraksi, grunting,


sianosis sentral, nafas cuping hidung)

e. Masalah metabolik

Hipoglikemia, hiperglikemia, metabolik asidosis

f. Masalah neurologis :

Iritabilitas, penurunan kesadaran, kejang, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk


sesuai dengan meningitis.

37

Diagnosis
Dalam menentukan diagnosis, diperlukan berbagai informasi mengenai:
a. Faktor resiko
b. Gambaran klinik
c. Pemeriksaan penunjang
Pendekatan diagnosis dapat dilihat pada algoritme tatalaksana sepsis neonatorum3,4

Tabel 5. Faktor risiko sepsis neonatorum


Faktor risiko mayor

Faktor risiko minor

Ketuban pecah > 24 jam


Ketuban pecah > 12 jam
Ibu demam saat intrapartum suhu > 38 C Ibu demam saat intrapartum suhu > 37,5 C
Korioamnionitis
Nilai Apgar rendah ( menit ke-1 < 5 , menit
Denyut jantung janin menetap >
ke-5 < 7 )

Bayi
berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) <
160x/menit
Ketuban berbau
1500 gram

Usia gestasi < 37 minggu


Kehamilan ganda
Keputihan yang tidak diobati
Infeksi Saluran Kemih (ISK) / tersangka ISK
yang tidak diobati

Tabel 6. Gambaran klinis disfungsi multiorgan pada bayi


Gangguan organ

Gambaran klinis

Kardiovaskular

Tekanan darah sistolik <40 mmHg


Denyut jantung <50 atay >220 x/menit
Terjadi henti jantung
pH darah <7.2 pada PaCO2 normal
kebutuhan akan inotropik untuk mempertahankan tekanan

darah normal
Frekuensi napas > 90 x.menit
PaCO2 > 65 mmHg
PaO2 < 40 mmHg
Memerlukan ventilasi mekanik
Hb < 5 g/dL
WBC < 3000 sel/mm3

Saluran pernapasan

Sistem hematologi

38

Trombosit < 20.000


D-dimer > 0.5 ug/ml pada PTT >20 detik atau waktu

SSP

tromboplastin > 60 detik


Kesadaran menurun disertai dilatasi pupil

Gangguan ginjal

Ureum > 100 mg/dL


Kreatinin > 20 mg/Dl
Perdarahan gastrointestinal disertai dengan penurunan Hb > 2

Gastroenterologi

g%,

Hepar

hipotensi,

perlu

transfusi

darah

atau

operasi

gastrointestinal
Bilirubin total > 3 mg%

Gambar 7. Kategori Sepsis Neonatorum


Pemeriksaan Penunjang
a. Septic Marker
1

Hitung leukosit (N 5000/uL - 30.000/uL). Adanya leukositosis atau leukopenia4.

IT rasio (rasio neutrofil imatur dengan neutrofil total) : (N < 0,2)4

Usia

1 hari

3 hari

7 hari

14 hari 1 bulan

IT Ratio

0,16

0,12

0,12

0,12

0,12

Hitung trombosit (N > 150.000/uL). Trombositopenia ditemukan pada 10-60%.


Jumlah trombosit biasanya kurang dari 100.000 dan terjadi pada 1-3 minggu setelah
diagnosis sepsis ditegakkan4

39

CRP (N 1,0 mg/dL atau 10 mg/L). CRP timbul pada fase akut kerusakan jaringan,
menigkat pada 50-90% pasien sepsis neonatal.peningkatan kadar CRP terjadi pada 24
jam setelah terjadi sepsis, meningkat pada hari ke 2-3 sakit dan menetap tinggi sampai
infeksi teratasi4.

b. Pemeriksaan Urin
Urine dikumpulkan secara pungsi buli-buli. Dicurigai adanya infeksi bila4 :
-

didapatkan > 2 lekosit pada LPK

didapatkan > 1 bakteri pada pemeriksaan dengan oil emersion

c. Cairan serebrospinal
Diduga adanya meningitis bila terdapat4 :
-

sel darah putih > 20/mm3 (usia <7 hari) atau > 10/mm3 (usia >7 hari)

peningkatan kadar protein

kadar glukosa < 20 mg%

adanya kuman pada pengecatan gram

d. Foto thorax
Dikerjakan jika terdapat tanda distres pernapasan. Pada foto thoraks mungkin
didapatkan4,5:
Pneumonia kongenital berupa konsolidasi bilateral atau efusi pleura
Pneumonia karena infeksi intrapartum berupa infiltrasi dan destruksi jaringan
bronkopulmoner, atelektasis, segmental atau lobaris, gambaran retikuloglanural difus,

dan efusi pleura.


Pada pneumonia karena infeksi pascanatal gambarannya sesuai dengan kuman

setempat.
e. Kultur
Darah, cairan serebrospinal, urine dan feses
f. Pemeriksaan penunjang lain

Pemeriksaan IL-6
Interleukin-6 adalah sitokin yang diproduksi oleh berbagai sel dalam tubuh dan
berperan dalam respons imunologik terhadap infeksi. Satu penelitian menunjukkan
pada SNAD kadar interleukin-6 meningkat > 100 pg/mL bila diperiksa pada usia 0-12
jam pertama, dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 89%. Namun demikian teknik
pemeriksaan sulit dan perlu biaya tinggi sehingga masih memerlukan penelitian lebih
lanjut4,5,6.
40

Latex Particle Agglutination (LPA) dan Countercurrent immunoelectrophoresis (CIE)


Metode ini dilakukan untuk pemeriksaan terhadap Streptococcus grup B dan E. coli.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan bila hasil kultur negatif atau dikhawatirkan
negatif karena pemberian antibiotika maternal intrapartum4,7.

Tatalaksana
Pemilihan antibiotika untuk terapi inisial mengacu pada jenis kuman penyebab tersering dan
pola resistensi kuman di masing-masing pusat kesehatan. Antibiotik awal yang sering
digunakan adalah ampicilin dan gentamisin. Bila mikroorganisme tidak dapat ditemukan dan
bayi tidak menunjukkan perbaikan dalam waktu 48 jam maka ampicilin diganti dengan
cefotaxime dan gentamisin tetap dilanjutkan4,7. Dosis antibiotik yang digunakan dalam
pengobatan sepsis dapat dilihat pada tabel 2.4.
Tabel 8. Dosis antibiotik untuk sepsis dan meningitis
Antibiotik

Cara

Dosis

pemberian
Ampisilin

IV, IM

50 mg/kgBB/12 jam

Ampisilin (menigitis)

IV

100 mg/kgBB/12 jam

Sefotaksim

IV

< 7 hari 100 mg/kgBB/hari dibagi 2


dosis

dosis
50 mg/kgBB/6 jam

Sefotaksim (meningitis) IV
Gentamisin

IV, IM

> 7 hari 150 mg/kgBB/hari dibagi 3

< 2 kg 3 mg/kgBB/hari

> 2 kg 5 mg/kgBB/hari

segera setelah didapatkan hasil kultur darah maka jenis antibiotika disesuaikan dengan kuman
penyebab dan pola resistensinya4.
Lama pemberian antibiotika :
-

sepsis adalah 10-14 hari

meningitis adalah 21 hari


41

Untuk infeksi jamur dapat dipakai :


1

Amphotericin B ( Liposomal )
Dosis = 1 mg/kg/hari, dapat ditingkatkan 1 mg/kg perharinya sampai dengan
maksimal 3mg/kg/hari

Bila no. 1 sulit didapat, dapat diganti amphotericin B dosis 0,25mg/kg/hari sampai
dengan maksimal 1mg/kg/hari.

Pilihan lain adalah Fluconazole dosis inisial 6mg/kg; lalu 3mg/kg.


Usia < 1 minggu setiap 72 jam
Usia 2 4 minggu = 48 jam
Usia > 4 minggu

= 24 jam

Tatalaksana non-konvensional
a. Imunoglobulin intravena
Pemberian Imunoglobulin intravena untuk profilaksis maupun terapi SNAD
diharapkan dapat meningkatkan antiodi tubuh serta memperbaiki fagositosis dan
kemotaksis sel darah putih. Namun saat ini belum dianjurkan untuk diberikan secara
rutin. Beberapa efek samping dan komplikasi telah dilaporkan seperti

infeksi,

hemolisis dan supresi kekebalan tubuh pada pemberian imunoglobulin hiperimun.


Pada kondisi-kondisi tertentu seperti sepsis yang berat atau infeksi berulang pada
neonatus kurang bulan, dosis immunoglobulin intravena yang dianjurkan adalah dosis
500-1000 mg/kg/kali setiap dua minggu4,7.
b. Transfusi FFP ( Fresh Frozen Plasma )
FFP mengandung antibodi, komplemen, dan protein lain seperti C-reactive protein
dan fibronectin. Antibodi bayi baru lahir terbatas pada spesifikasi yang dihasilkan
oleh ibunya,

tidak termasuk antibodi protektif terhadap patogen tertentu. FFP

mengandung antibodi protektif, namun dalam dosis 10 mL/kg, jumlah antibodi tidak
adekuat untuk mencapai kadar proteksi pada tubuh bayi.
c. Transfusi sel darah putih4,7.
Transfusi sel darah putih sebagai terapi ajuvan pada SNAD dan infeksi neonatal
umumnya masih dalam tahap uji coba dan belum dianjurkan penggunaannya. Hanya
beberapa pusat kesehatan di Amerika Serikat yang mampu mengisolasi granulosit
untuk sediaan transfusi. Transfusi granulosit juga potensial mempunyai komplikasi
42

seperti infeksi dan reaksi transfusi, di samping biaya tinggi dan teknik pembuatan
yang sulit4,7.
d. Transfusi tukar
Secara teoritis, transfusi tukar dengan menggunakan whole blood segar pada sepsis
neonatorum bertujuan untuk4,7:
mengeluarkan/mengurangi toksin atau produk bakteri serta mediator-mediator

penyebab sepsis
memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal dengan meningkatkan kapasitas
oksigen dalam darah
memperbaiki sistem imun dengan adanya tambahan neutrofil dan berbagai

antibodi yang mungkin terkandung dalam darah donor.


Transfusi tukar juga mempunyai beberapa kelemahan seperti kesulitan teknik
pelaksanaan, potensial infeksi dan reaksi transfusi. Belum ada penelitian berskala
besar untuk menguji efikasi dan keamanannya sehingga transfusi tukar tidak
dianjurkan sebagai terapi sepsis secara umum maupun SNAD.
e. Pemberian G-CSF dan GM-CSF
Colony-stimulating factor adalah protein spesifik yang penting untuk proliferasi dan
differensiasi sel progenitor granulosit serta mempengaruhi fungsi granulosit matang.
Saat ini terdapat 2 jenis protein tersebut yang banyak diteliti berkaitan dengan infeksi
pada neonatus, yakni granulocyte stimulating factor (G-CSF) dan granulocytemacrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Suatu penelitian melaporkan
peningkatan jumlah neutrofil absolut, eosinofil, monosit,limfosit dan trombosit
dengan pemberian GM-CSF rekombinan pada neonatus yang sepsis. Namun demikian
masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguji efektivitas terapi ini4,7.
f. Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid intravena terhadap sepsis masih kontroversial. Walaupun
kortikosteroid pernah digunakan untuk terapi sepsis tetapi kemanjurannya masih
diragukan, mungkin karena pemberiannya terlambat yaitu setelah kaskade mediator
inflamasi dimulai4,7.
Prognosis
Dengan diagnosis dan pengobatan dini, bayi dapat terhindar dari sepsis yang berkepanjangan;
namun bila tanda klinis dan/atau adanya faktor risiko yang berpotensial menimbulkan infeksi
tidak terdeteksi, maka angka kesakitan dan kematian dapat meningkat. Gejala sisa neurologis
timbul pada 15-30% neonatus dengan meningitis. Komplikasi yang biasanya terjadi adalah

43

gangguan tumbuh kembang berupa gejala sisa neurologis seperti retardasi mental, gangguan
penglihatan, dan kelainan tigkah laku7.

44

Algoritme sepsis neonatorum

45

Keterangan :
Gejala klinis sepsis

* Septic Markers :

Jumlah leukosit

Jumlah trombosit

CRP

IT Ratio

Antibiotik
(+) Workup : Septic
Faktor
resiko
(+) darah
** Septic
Markers
+ kultur
1 mayor atau 2 minor

Faktor resiko (-)

Urinalisis/kultur urin : hanya dikerjakan pada SNAL

Pungsi lumbal : hanya dikerjakan pada SNAL atau pada SNAD dengan hasil kultur
darah ( + )

Observasi

Foto Rntgen dada : pada neonatatus dengan gejala sindrom gawat napas
Periksa septic marker

Prognosis
Dengan diagnosis dan pengobatan dini, bayi dapat terhindar dari sepsis yang
berkepanjangan;
namun bila tanda klinis dan/atau
yang berpotensial
normal adanya faktor risiko
Abnormal
normal
(minimal 2 septic marker +)

menimbulkan infeksi tidak terdeteksi, maka angka kesakitan dan kematian dapat meningkat.
Gejala sisa neurologis timbul pada 15-30% neonatus dengan meningitis.
Ulang septic marker*

Ulang septic marker*

12-24 jam

12-24 jam

D. KEJANG normal
PADA NEONATUS9,10

normal

abnormal

kultur

AB

1. Batasan
observasi

Stop bila kultur (-)

Serangan kejang yang terjadi pada masa neonatus (sampai dengan umur 1 bulan)
2. Insiden
1,5 14 / 1000 kelahiran hidup
3. Etiologi
-

Hipoksik Iskemia Ensefalopati (HIE) (50-60%)

Perdarahan intrakranial (10%)

Infeksi intrakranial (5-10%)

Defek perkembangan (5-10%)


46

Gangguan metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesemia, hiponatremia,


hipernaremia, gangguan metabolisme asam amino dan asam organik, ketergantungan
piridoksin, , dll

Idiopatik

4. Patofisiologi
1. Kegagalan pompa Na-K akibat dari penurunan ATP
2. Kelebihan neurotransmiter eksitasi
3. Kekurangan neurotransmiter inhibisi
4. Perubahan permeabilitas membran sel neuron
5. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis terbanyak adalah kejang fokal. Manifestasi klinis kejang pada neonatus
yaitu:
1. Klonik fokal
-

kontraksi ritmis otot-otot tungkai, muka, dan batang tubuh

fokal, multifokal, dapat dihentikan dengan peregangan

simultan pada kedua sisi tubuh

2. Tonik fokal
-

kekakuan asimetris pada batang tubuh, satu tungkai, deviasi mata

diprovokasi dengan stimulasi atau dihentikan dengan peregangan

3. Mioklonik
-

kontraksi mendadak (cepat) secara acak, berulang atau tidak berulang pada otot
tungkai, muka dan badan

umum, fokal, fragmental, dapat diprovokasi dengan stimulasi

4. spasme
-

kekakuan pada otot pleksor, ekstensor atau keduanya

berkelompok

5. Tonik umum
-

mengenai otot fleksor, ekstensor atau keduanya

kekakuan secara simetris pada batang tubuh, leher dan tungkai

6. Motor automatism (subtle)


-

Gerakan okuler: nistagmus

Gerakan oral-bukal-lingual: menghisap, mengunyah, protusi lidah


47

Gerakan progresif: gerakan seperti mendayung, berenang, mengayuh sepeda

6. Diagnosis
1. Anamnesis
-

riwayat keluarga

riwayat minum obat-obatan pada waktu ibu hamil

Riwayat persalinan

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum dan khusus neurologi
3. Laboratorium : disesuaikan dengan kecurigaan penyebabnya
-

Darah : leukosit, gula darah , elektrolit

Cairan serebrospinal

Kelainan metabolik : kadar amoniak, asam amino dalam plasma

USG, CT skan kepala

EEG

7. Tata laksana
1. Oksigenasi yang baik
2. Atasi kejang (lihat bagan). Lama pemberian anti kejang tergantung: Hasil
pemeriksaan neurologi, penyebab kejang, dan pemeriksaan EEG.
3. Cari etiologi segera mungkin.

48

ALUR TATALAKSANA KEJANG NEONATAL


1.
2.

Oksigenasi yang baik


Atasi kejang
Kejan
3.
Cari etiologi sesegera
mungkin
g
A1. Fenitoin IV 20 mg/kgBB/kali, kecepatan : 1 mg/kgBB/menit
B1. Bila Fenitoin tidak tersedia; diazepam IV 0,1 0,3 mg/kgBB/kali

Kejang (-)

Kejang (+)

A2. Fenitoin 12 jam kemudian, dosis rumatan


BBLSR : 2 mg/kgBB/kali tiap 12 jam
NCB : 4 5 mg/kgBB/kali tiap 12 jam
Usia > 2 minggu : 4 5 mg/kgBB/kali
tiap 6 jam
B2. Segera diberikan fenobarbital IM
20 mg/kgBB/kali, 24 jam kemudian
dosis rumatan 3 5 mg/kgBB/hari
dibagi 2 dosis

Kejang (-)

Kejang (+)

A3. Kombinasi Fenobarbital dan Fenitoin


dengan dosis rumatan sama dengan di
atas
B3. Fenitoin 12 jam kemudian, dosis rumatan
sama dengan di atas

Kejang
(-)
A4 dan B4
Kombinasi fenobarbital, Fenitoin
rumatan dan diazepam drip

A2. - Ditambahkan fenobarbital IM 20 mg/kgBB/kali, 24 jam


kemudian dosis rumatan 3 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
- Fenitoin dosis rumatan tetap diberikan 12 jam kemudian :
BBLSR : 2 mg/kgBB/kali tiap 12 jam
NCB : 4 5 mg/kgBB/kali tiap 12 jam
Usia > 2 minggu : 4 5 mg/kgBB/kali tiap 6 jam
B2. Fenitoin IV 20 mg/kgBB/kali, kecepatan : 1 mg/kgBB/menit

A3. Ditambahkan diazepam drip dosis 0,3 mg/kgBB/jam**


Kombinasi Fenobarbital dan Fenitoin dengan dosis
rumatan (sama dengan di atas) tetap dilanjutkan
B3. Ditambahkan fenobarbital IM 20 mg/kgBB/kali, 24 jam
kemudian dosis rumatan sama dengan di atas
Fenitoin dosis rumatan (sama dengan di atas) tetap
diberikan 12 jam kemudian
Bila masih kejang ditambahkan diazepam drip dosis 0,3
mg/kgBB/jam **

Kejang
(+)
dosis

NICU
Knock down

49

E. HIPOTERMIA11
1. Definisi
Hipotermi pada BBL adalah suhu dibawah 35,50C yang terbagi atas :
hipotermia ringan (cold stress) yaitu suhu antara 36-36,5 0C hipotermia sedang yaitu
suhu antara 32-36 0C dan hipotermia berat yaitu suhu tubuh < 32 0C 2.
2. Etiologi
Bayi baru lahir dapat mengalami hipotermi melalui beberapa mekanisme, yang
berkaitan dengan kemampuan tubuh untuk menjaga keseimbangan antara produksi
panas dan kehilangan panas. 2
a.

Penurunan produksi panas


Hal ini dapat disebabkan kegagalan dalam system endokrin dan terjadi
penurunan basal metabolisme tubuh, sehungga timbul proses penurunan
produksi panas, misalnya pada keadaan disfungsi kelenjar tiroid, adrenal
ataupun pituitaria

b.

Peningkatan panas yang hilang


Terjadi bila panas tubuh berpindah ke lingkunan sekitar, dan tubuh
kehilangan panas, adapun mekanisme tubuh kehilangan panas dapat terjadi
secara :
Konduksi
Yaitu perpindahan panas yang terjadi sebagai akibat perbedaan suhu
antara kedua obyek. Kehilangan panas terjadi saat terjadi kontak langsung
antara kulit bayi baru lahir dengan permukaan yang lebih dingin. Sumber
kehilangan panas terjadi pada bayi baru lahir yang berada pada
permukaan/alas yang dingin, seperti pada waktu proses penimbangan.
Konveksi
Transfer panas terjadi secara sederhana dari selisih suhu antara
permukaan kulit bayi dan aliran udara yang dingin di permukaan tubuh bayi.
Sumber kehilangan panas disini dapat berupa : incubator dengan jendela yang
terbuka, atau pada waktu proses transportasi bayi baru lahirke rumah sakit.

Radiasi
Yaitu perpindahan suhu dari suatu obyek panas ke obyek yang dingin,
misalnya dari bayi dengan suhu yang hangat dikelilingi suhu lingkunagan
50

yang lebih dingin. Sumber kehilangan panas dapat berupa suhu lingkungan
yang dingin atau suhu incubator yang dingin.
Evaporasi
Panas terbuang akibat penguapan, melalui permukaan kulit dan traktus
respiratorius. Sumber kehilangan panas dapat berupa bayi baru lahir yang
basah setelah lahir. Atau pada waktu dimandikan.
3.

Kegagalan Termoregulasi
Kegagalan

termoregulasi

secara

umum

disebabkan

kegagalan

hipotalamus dalam menjalankan fungsinya dikarenakan berbagai penyebab.


Keadaan hipoksia intrauterine/saat persalianan/post partum, defek neurologic
bayi dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Bayi sepsis akan mengalami
masalah dalam pengaturan suhu dapat menjadi hipotermi atau hipertermi.
3.

Patofisiologi
Suhu tubuh diatur dengan menimbangi produksi panas terhadap kehilangan
panas. Bila kehilangan panas dalam tubuh lebih besar dari pada laju pembentukan
panas maka akan terjadi penurunan suhu tubuh. Gangguan salah satu atau lebih
unsure-unsur termoregulasi akan mengakibatkan suhu tubuh berubah, menjadi tidak
normal. Apabila terjadi paparan dingin secara fisiologis tubuh akan memberikan
respon untuk menghasilkan panas berupa :2
a. Shivering Thermoregulation/ST
Merupakan mekanisme tubuh berupa menggigil atau gemetar secara involunter
akibat dari kontraksi otot untuk menghasilkan panas
b. Non-shivering Thermoregulation/NST
Merupakan mekanisme yang dipengaruhi oleh stimulasi system saraf simpatis
untuk menstimulasi proses metabolic dengan melakukan oksidasi terhadap
jaringan lemak coklat. Peningkatan metabolisme jaringan lemak coklat akan
meningkatkan produksi panas dari dalam tubuh.
c. Vasokonstriksi Perifer
Mekanisme ini juga distimulasi oleh system saraf simpatis, kemudian system saraf
perifer akan memicu otot sekitas arteriol kulit untuk berkontraksi sehingga terjadi

51

vasokonstriksi. Keadaan nin efektif untuk mengurangi aliran darah ke jaringan


kulit untuk mencegah hilangnya panas yang tidak berguna.
4.

Diagnosis
Tanda dan gejala2
Hipotermi ditandai dengan akral dingin, bayi tidak mau minum, kurang aktif,
kutis marmorata, pucat, takipnue atau takikardia. Sedangkan hipotermia yang
berkepanjangan akan menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen, distress
respirasi, gangguan keseimbangan asam basa, hipoglikemia, defek koagulasi, sirkulasi
fetal persisten, gagal ginjal akut, enterokolitis nekrotikan dan pada keadaan yang berat
akan menyebabkan kematian.
Diagnosis hipotermi ditegakkan dengan pengukuran suhu baik suhu tubuh atau
kulit bayi. Pengukuran suhu ini sangat bermanfaat sebagai salah satu petunjuk penting
untuk deteksi awal adanya suatu penyakit, dan pengukurannya dapat dilakukan
melalui aksila, rectal atau kulit. Melalui aksila merupakan prosedur pengukuran suhu
bayi yang dianjurkan oleh kaena mudah, sederhana dan aman.

5.

Klasifikasi dan Manajemen hipotermia


Temuan
Anamnesis
Bayi

terpapar

suhu lingkungan
Waktu
timbulnya
kurang dari 2
hari
Bayi

terpapar

suhu lingkungan
yang rendah
Waktu

Pemeriksaan
Klasifikasi
Suhu tubuh 32-36,4 0C
Hipotermia
Gangguan napas
sedang
Denyut jantung kurang dari
100 kali/menit
Malas minum
Letargi

Suhu tubuh < 32 0C


Tanda hipotermia sedang
Kulit teraba keras
Napas pelan dan dalam

Hipotermia berat

timbulnya
kurang dari 2
hari
Hipotermia berat2,4
52

Segera hangatkan bayi di bawah pemancar panas yang telah dinyalakan sebelumnya,

bila mungkin. Gunakan incubator atau ruangan hangat, bila perlu


Ganti baju yang dingin dan basah bila perlu. Beri pakaian yang hangat, pakai topi dan

selimut dengan selimut hangat


Hindari paparan panas yang berlebihan dan posisi bayi sering diubah
Bila bayi dengan gangguan napas (frekuensi napas lebih 60 atau kurang 30 kali/menit,

tarikan dinding dada, merintih saat ekspirasi), lakukan manajemen gangguan napas
Pasang jalur IV dan beri cairan IV sesuai dengan dosis rumatan, dan infuse tetap

terpasang di bawah pemancar panas, untuk menghangatkan cairan


Periksa kadar glukosa darah kurang 45 mg/dL (2,6 mmol/L) tangani hipoglikemia
Nilai tanda kegawatan pada bayi (misalnya gangguan napas, kejang atau tidak sadar)
setiap jam dan nilai juga kemampuan minum setiap 4 jam sampai suhu tubuh kembali

dalam batas normal


Ambil sample darah dan beri antibiotic sesuai dengan yang disebutkan dalam
penanganan kemungkinan besar sepsis
Anjurkan ibu menyusui segera setelah bayi siap:
Bayi tidak dapat menyusu, beri ASI peras dengan menggunakan salah

satu alternative cara pemberian minum


Bila bayi tidak dapat menyusu sama sekali, pasang pipa lambung dan

beri ASI peras begitu suhu bayi mencapai 35 C


Periksa suhu tubuh bayi setiap jam. Bila suhu naik paling tidak 0,4 C/jam, berarti
upaya menghangatkan berhasil. Kemudian lanjutkan dengan memeriksa suhu bayi

setiap 2 jam.
Periksa juga suhu alat yang dipakai untuk menghangatkan dan suhu ruangan setiap

jam setelah suhu tubuh bayi normal:


Lakukan perawatan lanjutan untuk bayi
Pantau bayi selama 12 jam kemudian, dan ukur suhunya setiap 3 jam
Pantau bayi selama 24 jam setelah penghentian antibiotika. Bila suhu bayi tetap dalam
batas normal dan bayi minum dengan baik dan tidak ada masalah lain yang
memerlukan perawatan rumah sakit, bayi dapat dipulangkan dan nasehati ibu
bagaimana cara menjaga agar bayi tetap hangat selama di rumah

Hipotermia sedang 2,4

Ganti pakaian yang dingin dengan pakaina ynag hangat, memakai topi dan selimuti

dengan selimut hangat


Bila ada ibu/pengganti ibu, anjurkan menghangatkan bayi dengan melakukan kontak

kulit dengan kulit atau perawatan bayi lekat (PMK : perawatan Metode Kangguru
Bila ibu tidak ada :
53

Hangatkan kembali bayi dengan menggunakan alat pemancar panas,

gunakan incubator dan ruangan hangat bila perlu


Periksa suhu alat penghangat dan suhu ruangan, beri ASI peras dengan
menggunakan salah satu alternative cara pemberian minum dan

sesuaikan pengatur suhu


Hindari paparan panas yang berlebihan dan posisi bayi lebih sering

diubah
Anjurkan ibu untuk menyusui lebih sering. Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan

ASI peras menggunakan salah satu alternatifcara pemberian minum


Mintalah ibu untuk mengamati tanda kegawatan (misalnya gangguan nafasnya)
Periksa suhu tubuh bayi setiap jam, bila suhu naik minimal 0,5 C/jam, berarti uaha

menghangatkan berhasil, lanjutkan memeriksa suhu setiap 2 jam


Bila suhu tidak naik atau naik terlalu pelan, kurang 0,5C/jam. Cari tanda sepsis
Setelah suhu tubuh normal:
Lakukan perawatan lanjutan
Pantau bayi selama 12 jam berikutnya, periksa suhu setiap 3 jam
bila suhu tetap dalam batas normal dan bayi dapat minum dengan baik serta tidak ada
masalah lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi dapat dipulangan.
Nasihati ibu cara menghangatkan bayi di rumah.

F. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)12


1. Indikasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Memperbaiki dan meningkatkan kapasitas residu fungsional paru serta oksigenasi.


Mencegah kolaps alveolus dan atelectasis.
Meningkatkan daya kembang paru.
Mengurangi usaha bernafas yang berlebihan.
Mempertahankan jalan nafas dan meningkatkan diameternya.
Memberikan kesesuaian perfusi ventilasi yang lebih baik dengan menurunkan pirau

intrapulmoner.
7. Menstimulasi pertumbuhan paru.
2. Penggunaan CPAP dalam praktek perawatan BBL
Gangguan pernapasan

Penyakit membrane hialin/HMD


54

TTN (transient tachypnea of newborn)


Sindroma aspirasi meconium
Kelumpuhan diafragma
Penyakit jalan nafas seperti trakeomalasia dan bronkiolitis
Bayi pasca operasi abdomen atau dada
Apnea karena prematuritas

Penyapihan dari ventilator mekanis/ekstubasi


3. Kriteria memulai CPAP nasal
Bila memebuhi salah satu kriteria sebagai berikut :

Frekuensi nafas > 60 x/menit


Merintih (grunting)
Retraksi dada
Saturasi oksigen <93% (preduktal)
Kebutuhan oksigen > 60%
Sering mengalami apnea

4. Komponen CPAP nasal


1. Sebuah sirkuit yang mengalirkan gas terus menerus untuk dihisap oleh BBL.
Pencampur oksigen dengan udara bertekanan memungkinkan pemberian aliran FiO2
yang sesuai. Sebuah flowmeter mengontrol kecepatan aliran terus-menerus dari gas
yang dihirup (biasanya dipertahankan pada kecepatan 5-7 L/menit). Sebuah
humidifier menghangatkan dan melembabkan gas yang dihirup.

Gambar. 8 Konsentrasi oksigen untuk campuran udara bertekanan dan oksigen


55

2. Sebuah alat untuk menghubungkan sirkuit ke saluran napas BBL, nasal prong
merupakan metode yang lebih disukai.
3. Sebuah alat untuk menghasilakn tekanan positif pada sirkuit. Tekanan positif dalam
sirkuit dapat dicapai dengan memasukkan pipa ekspirasi bagian distal kedalam larutan
asam asetat 0,25% sampai kedalaman yang diharapkan (5 cm).

Gambar 9. Komponen dan sistem alat CPAP


5. Peralatan CPAP
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Sumber aliran oksigen dan udara bertekanan


Pencampur oksigen dengan flow meter
Pipa dari flow meter ke alat pengatur kelembaban
Alat pengatur kelembaban (Humidifier)
Pipa sirkuit berkerut dengan sambungan ke alat pengatur kelembaban
Peralatan kateter nasal (terdiri dari nasal prong, topi, Velcro)
Prong yang ukurannya tepat, harus sesuai dengan ukuran lubang hidung
Tabung atau botol berisi air asam asetat 0,25%
Pita pengukur, pipa sonde lambung

6. Teknik
Persiapan
1. Persiapan petugas untuk pencegahan infeksi
2. Persiapan bayi. Bayi diletakkan di tempat tidur dengan penghangat serta pulse.
Oksimeter harus ditempelkan, sebaiknya di tangan kanan.
3. Persiapan alat CPAP
a. Hubungkan selang oksigen dan udara bertekanan ke pencampur, untuk
mengatur FiO2 sesuai yang dikehendaki
b. Hubungkan sirkuit dengan flow meter lalu hubungkan ke alat pengatur
kelambaban. Pasan flow meter antara 5-10 liter/menit

56

c. Tempelkan satu selang ringan, lemas dan berkerut ke alat pengatur


kelembaban. Hubungkan probe kelembaban dan suhu ke selang berkerut
yang akan dihubungkan ke bayi
d. Pastikan probe suhu tetap di luar incubator atau tidak di dekat sumber
panas radian
e. Isi pipa untuk melembabkan dengan air steril sehingga tanda yang tepat,
nyalakan alat pengatur kelembaban dan sesuaikan kelembabannya. Atur
suhu pada 36C
f. Siapkan botol dan tempelkan selotip ke pita pengukur di samping botol
asam asetat sehingga tanda 7 cm berada di bawah botol saat botol masih
tertutup. Buka botol asam asetat (0,25%; evakuasi asam asetat hingga
permukaan cairan ada pada tanda 0 cm di pita pengukur. Masukkan selang
kerut ekspirasi bagian distal ke dalam botol dan ujungnya tepat berada
pada tanda 5 cm dari pita pengukur
g. Pilih ukuran prong yang benar dan hubungkan dengan ujung selang kerut
yang bebas
h. Tutup ujung prong nasal untuk menguji fungsi sirkuit. Amati gelembung
yang muncul di botol asam asetat
i. Siapkan stu botol air steril di dekat alat pengatur kelembaban
j. Jaga kebersihan ujung selang kerut yang lain dan tutupi dengan kantong
plastik
7. Cara memasangan CPAP
1. Posisikan kepala bayi lebih tinggi dengan menaikkan bagian kepala tempat tidur 30
dan letakkan gulungan kecil di bawah leher/nahu untuk menjaga jalan napas tetap
terbuka
2. Hisap lendir dari mulut, hidung dan faring dengan lembut. Gunakan kateter ukuran
besar yang bisa masuk ke hidung tanpa kesulitan yang berarti. Pastikan bahwa bayi
tidak mengalami atresia koana.
3. Lembabkan prong dengan air steril atau tetesan NaCL 0,9% sebelum memasukkannya
ke lubang hidung bayi, dengan lengkungan ke bawah. Sesuaikan sudut prong dan
kemudian putar selang kerut hingga dicapai posisi yang benar. Untuk memastikan
posisi yang tepat, periksa :
Lubang hidung tertutup prong
Kulit hidung tidak tertarik yang terlihat dari pucatnya warna kulit di sekitar

tepi lubang hidung


Selang kerut tidak menyentuh kulit bayi
Tidak ada tekanan lateral pada septum
57

Ada sedikit ruang antara ujung septum dan bridge di antara prong
Prong tidak bersandar pada filtrum
4. Pasang pipa orogastrik dan lakukan aspirasi isi perut dan fiksasi agar tetap terpasang
untuk menghindari distensi lambung
5. Gunakan ukuran topi yang sesuai dan lipat ujungnya 2-3 cm. pasang topi di kepala
bayi sehingga ujungnya tepat di atas telinga. Atur corrugate tubing di sebelah kepala.
Pasang peniti di tiap sisi selang. Gunakan gelang karet di sekitar peniti dan diatas
selang kerut untuk mencegah pergeseran atau berpindahya peralatan ini
6. Setelah bayi distabilisasi menggunakan CPAP, anda bisa memasang moustache
Velcro agar prong tidak bergeser pada posisinya. Bersihkan pipi dan bibir atas bayi
dengan air dan biarkan kering. Oleskan area ini dengan tetes pewarna benzoin. Potong
Tegaderm dan pasang tepat diatas area yang sudah disiapkan. Potong Velcro dan
psang tepat di atas Tegader,. Potong dua strip Velcro lunak (lebar 8 mm) dan pasang
melingkar area prong yang menutupi pipi. Tekan kanula prong dengan lembut hingga
Velcro strip yang lunak menempel ke antara bibir dan hidung
7. Jaga jangan sampai kanula CPAP menyentuh septum nasal
8. Ubah posisi bayi setiap 4-6 jam untuk drainase sekresi paru
9. Penghisapan lendir 2-4 jam atau sesuai kebutuhan dan catat jumlah, konsistensi dan
warna sekresi.
10. Pemberian minum dengan CPAP jika bayi stabil secara klinis melalui sonde atau
menetek atau minum
8. Pemantauan
Sistem CPAP melalui hidung bayi harus diperiksa setiap 2-4 jam, beberapa pemantauan yang
harus dilakukan :
1. Bayi :
Respirasi : frekuensi napas, merintih, retraksi, napas cuping hidung,

pengembangan dada dan suara napas


Suhu
Kardiovaskuler : perfusi sentral dan perifer, tekanan darah
Neurologis : tonus, respon terhadap stimulasi dan kegiatan
Gastrointestinal : distensi abdomen, bising usus
Pemantauan saturasu dan tanda vital lainnya melalui pemasangan probe

saturasi oksigen pre ductal dan pemantauan kardiopulmonal alat


2. Sistem/alat CPAP
9. Menghentikan pemakaian CPAP

58

Setelah bayi bernapas dengan mudah dan terlihat penurunan frekuensi napas dan
retraksi. FiO2 diturunkan secara bertahap 2-5% sampai menjadi 25% atau udara

ruangan dengan dipandu pulse oxymetry atau hasil analisa gas darah
Jika bayi sudah nyaman bernapas dengan CPAP dan FiO2 21%, dicoba melepas
CPAP. Prong nasal harus dilepas dari corrugate tubing saat selang masih di
tempatnya. Bayi dinilai selama percobaan ini apakah mengalami takipnea, retraksi,
desaturasi oksigen, atau apnea. Jika tanda tersebut timbul, percobaan dianggap gagal.
CPAP harus segera dipasang lagi pada bayi paling sedikit satu hari sebelum dicoba

lagi di hari berikutnya.


Jika bayi terus menggunakan CPAP dengan FiO2 > 21%, ulangi percobaan dengan

menggunakan tambahan oksigen melalui kanula nasal


Tidak perlu mengubah tekanan saat proses penyapihan. Bayi menggunakan CPAP 5

cm atau sama sekali lepas dari CPAP


Jika ada keraguan terganggunya pernapasan selama proses penyapihan, jangan
disapih. Lebih baik diantisipasi sebelumnya dan mencegah kolaps paru daripada
menatalaksana paru yang kolaps

10. Komplikasi

Distensi paru yang berlebihan, pneumotorak


Distensi lambung
Ekskoriasi hidung, luka pada kartilago, distorsi septum, luka pada wajah
Peningkatan resistensi pembuluh darah paru
infeksi

59

DAFTAR PUSTAKA
1. Sukadi A. 2012. Asfiksia dan Resusitasi BBL. Dalam : Kosim S, et al, editor. Buku
Ajar Neonatologi. Edisi Pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia : Jakarta.
2. Sukadi A. 2012. Gangguan nafas pada BBL. Dalam : Kosim S, et al, editor. Buku Ajar
Neonatologi. Edisi Pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia : Jakarta.
3. Hagedorn MIE, Gardner SL, Abman SH. Respiratory diseases. Dalam: Merenstein
GB, Gardner SL, Ed. Handbook of neonatal intensive care, edisi ke-5. St Louis:
Mosby, 2002.h.485-575.
4.

Hansen T, Corbet A. Neonatal pnemonias. Dalam: Taeusch HW, Ballard RA, ed.
Averys diseases of the newborn. Edisi ke-7. Philadelphia: WB Saunders Company,
1998.h.648-660.

5. Barnett ED, Klein JO. Bacterial ionfections of the respiratory tract. Dalam:
Remington JS, Klein JO, ed. Infectious diseases of the fetus and newborn infant, edisi
ke-5. Philadelphia: WB Saunders Company, 2001.h.999-1018.
6. Bone RC. The sepsis syndrome : definition and general approach to management.
Clin Chest Med 1996; 17:175-80
7. Smith JB. Bacterial and fungal infection of the neonate. Dalam : Pomerance JJ,
Richardson CJ, penyunting. Neonatology for the clinician. Connecticut : Appleton &
Lange, 1993.h.185-200
8. Infectious Diseases. Dalam: Gomella TL, Cunnigham MD, Eyal FG, Zenk KE,
penyunting. Neonatology : Management, procedures, on call problems, diseases,
drugs. Lange Medical Book/McGraw-Hill, edisi ke-4;1999: 408-440.
9. Volve JJ. Neonatal seizures. Dalam: Neurology of the newborn. Edisi ke-4.
Philadelphia: WB Saunders, 2001.h.427-55.
10. Kuban KCK, Filoano J. Neonatal seizures. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, penyunting.
Manual of neonatal care. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins
11. Volve JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy: Biochemical and Physiological aspects.
Dalam: Neurology of the newborn. Edisi ke-4. Philadelphia: W.B. Saunders company,
2001. h. 217-276.
12. Sukadi A. 2012. Continuous Positive Airway Pressure. Dalam : Kosim S, et al, editor.

Buku Ajar Neonatologi. Edisi Pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia : Jakarta.

60

Anda mungkin juga menyukai