Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Pleura adalah membran tipis terdiri dari dua lapisan yaitu pleura viseralis dan pleura
parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesotelial, jaringan ikat,
pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah bening.1 Diantara pleura viseral dan parietal
terdapat rongga pleura yang dalam keadaan normal berisi sekitar 10 20 ml cairan yang
berfungsi sebagai pelicin agar paru dapat bergerak dengan leluasa saat bernapas. Akumulasi
cairan melebihi volume normal akan menimbulkan gangguan jika cairan yang diproduksi
oleh pleura parietal dan viseral tidak mampu diserap oleh pembuluh limfe dan pembuluh
darah mikropleura viseral atau sebaliknya yaitu apabila produksi cairan melebihi kemampuan
penyerapan.2,3
Efusi pleura adalah adanya cairan yang abnormal dalam rongga pleura akibat
produksi cairan yang berlebihan atau penyerapan yang berkurang. Efusi pleura dapat
menunjukkan terdapat penyakit paru, pleura, maupun ekstra paru. 4 Efusi pleura dibedakan
menjadi transudat dan eksudat. Efusi pleura transudatif terjadi akibat peningkatan tekanan
hidrostatik atau penurunan tekanan onkotik dalam rongga pleura. Efusi pleura eksudatif
terjadi akibat abnormalitas permeabilitas kapiler, obstruksi aliran limfatik, infeksi, atau
pendarahan.5
Karena efusi pleura merupakan manifestasi suatu penyakit, insidensinya sulit
ditentukan. Meskipun demikian, di United State ditemukan sekitar 1,5 juta kasus pertahunnya
dengan penyebab tersering congestive heart failure, bacterial pneumonia, malignansi, dan
emboli paru. Secara internasional, estimasi prevalensi dari efusi pleura 30 kasus/100.000
penduduk.6 Hasil penelitian yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011
ditemukan bahwa proporsi pasien berdasarkan jenis kelamin pada perempuan sebanyak 47
orang (34,6%) dan pada laki-laki 89 orang (65,4%), berdasarkan etiologi dengan tuberkulosis
paru 60 orang (44,1%) dan tumor paru 40 orang (29,4%). 7 Penelitian lain yang dilakukan di
Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta tahun 2012 menyebutkan bahwa keganasan adalah
etiologi yang paling umum dari efusi pleura dan xantokrom adalah penampilan makroskopik
yang paling umum.8

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1

IDENTITAS

2.2

Nama
Usia
Jenis Kelamin
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan
Status
Alamat
Suku Bangsa/Agama
Tanggal Masuk
No. Rekam Medis

: Tn. AR
: 55 tahun
: Laki-laki
: SMA
: Wiraswasta
: Menikah
: Sukamaju 002/002, Kec. Jatisari, Karawang
: Sunda/Islam
: 11 September 2015
: 00.59.93.83

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada hari Kamis, 14
September 2015 pukul 12.30 di bangsal Cikampek RSUD Karawang.
2.2.1

Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit

2.2.2

Keluhan Tambahan
Nyeri dada sebelah kiri, benjolan pada leher, batuk, lambung terasa perih,
penurunan berat badan

2.2.3

Riwayat Penyakit Sekarang


OS datang dengan ke IGD RSUD Karawang dengan keluhan sesak napas yang
semakin memberat sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Sebenarnya
sesak napas telah dirasakan selama 3 bulan yang lalu tetapi masih hilang
timbul sehingga belum menimbulkan keluhan yang berarti pada OS, tetapi
sekitar 1 bulan sesak yang dialami pasien dirasa semakin memberat. Sesak
dirasakan timbul pada saat OS sedang melakukan aktivitas seperti berjalan
maupun pada saat beristirahat, sesak kadang disetai bunyi ngik, tetapi tidak
dipicu oleh debu, udara dingin, emosi ataupun kelelahan fisik. OS biasanya
2

tidur dengan menggunakan 1-2 bantal dan lebih senang tidur dengan posisi
menghadap kesebelah kiri. OS juga mengeluhkan nyeri dada sebelah kiri
tetapi tidak ada penjalaran, nyeri diperberat saat menarik napas. OS
mengeluhkan batuk tetapi tidak sering. Kadang OS mengeluhkan batuk kering,
kadang berdahak warna putih, tidak pernah batuk darah. Selain itu suara
pasien terdengar serak, diakui pasien hal ini terjadi sejak tahun 2012 kemudian
terdapat benjolan pada leher sejak 2 tahun yang lalu yang semakin membesar
sekitar 4 bulan, nyeri menelan disangkal. OS mengaku sering keringat malam,
kadang-kadang timbul demam, nafsu makan baik, tidak ada mual ataupun
muntah, tetapi ada penurunan berat badan sekitar 15 kg dalam waktu 5 bulan.
BAB mencret 1x berisi air dan ampas tanpa lendir ataupun darah. BAK lancar
hanya kadang terasa sedikit nyeri.
2.2.4

Riwayat Penyakit Dahulu


OS mengaku memiliki riwayat hipertensi sejak lama dan menyangkal adanya
riwayat diabetes melitus tipe 2, asma, jantung serta tidak pernah mengalami
penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat pengobatan tuberkulosis paru
disangkal.

2.2.5

Riwayat Penyakit Keluarga


OS mengaku tidak terdapat anggota keluarga dengan keluhan yang sama.
Riwayat hipertensi, diabetes melitus tipe 2 dan keganasan disangkal.

2.2.6

Riwayat Pengobatan
Riwayat pengobatan tb paru disangkal. OS mengaku telah berobat ke
puskesmas, RS Saraswati, RS Siloam dengan keluhan yang sama tetapi
keluhan masih saja menetap.

2.2.7

Riwayat Kebiasaan
OS mengaku seorang perokok berat sejak muda dan telah berhenti pada tahun
2013. OS menghabiskan 4 bungkus rokok/hari. Selain itu juga sering
mengonsumsi kopi, jamu anti pegal linu serta Bodrex dan Promag. Sering
konsumsi minuman yang beralkohol disangkal.

2.2.8

Riwayat Lingkungan
OS tinggal dirumah dengan 4 orang lainnya. Diakui rumah cukup luas,
ventilasi baik dan tidak pengap, pencahayaan cukup dan tidak berdempetan
dengan rumah lainnya.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Senin, 14 September 2015 pukul 13.30 di
bangsal Cikampek RSUD Karawang, dengan lengan kiri pasien terpasang infus dan hidung
dipasang oksigen nasal kanul.
2.3.1 Keadaan Umum

Kesadaran
Kesan Sakit
Status Gizi
Tanda Vital

: Compos mentis (GCS: E4 V5 M6 = 15)


: Tampak sakit sedang
: Kesan gizi baik

- tekanan darah

: 170/110 mmHg

- nadi

: 94 x/menit, reguler, isi cukup, equalitas baik

- laju pernapasan

: 26 x/menit

- suhu

: 36,6C

2.3.2 Status Generalis

Kepala : normosefali, rambut berwarna hitam beruban, distribusi merata,

tidak mudah dicabut


Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor dengan
diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak

langsung +/+, ptosis -/Telinga : normotia, hiperemis -/-, massa -/-, abses -/-, nyeri tarik -/-, nyeri

tekan -/Hidung : deformitas -/-, cavum nasi lapang, edema -/-, sekret -/-, deviasi

septum -/Tenggorokan dan rongga mulut : lidah normoglosia, kandidiasis -, palatum


mole dan uvula simetris, arkus faring simteris, tonsil T1/T1, kripta -/-,
detritus -/-, hiperemis -/-, dinding belakang faring licin, hiperemis -/4

Leher : terlihat benjolan dengan diameter 6cm disebelah kiri leher,


batas tidak tegas, teraba keras, tidak dapat digerakkan, teraba
hangat, tidak ada nyeri tekan, trakea terlihat agak berdeviasi ke

kanan, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, JVP 5+2 cmH20.


Thorax :
Paru
Inspeksi : warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak pucat, tidak tampak
efloresensi yang bermakna, sternum bentuk normal, gerak napas tidak
simetris kanan dan kiri (gerak napas kiri tertinggal), tipe pernapasan
abdominothorakal, tidak ada ginekomastia, tidak ada benjolan/massa.
Palpasi : pergerakan napas kiri dan kanan asimetris, bagian kiri
tertinggal, vocal fremitus melemah pada sisi kiri, ictus cordis setinggi
ICS 5 medial dari garis midclavicularis kiri
Perkusi: sonor pada lapang paru kanan, redup pada lapang paru kiri,
batas paru-hepar pada garis midclavicularis kanan setinggi ICS 5, batas
paru-lambung pada garis aksilaris anterior kiri setinggi ICS 8
Auskultasi : suara napas vesikuler +/+ (melemah), rhonki -/-, wheezing
-/Jantung
Inspeksi : pulsasi iktus cordis terlihat
Palpasi : pulsasi iktus cordis teraba pada garis midclavicularis kiri setinggi
ICS 5, thrill-.
Perkusi : batas paru-jantung kanan pada garis sternalis kanan setinggi ICS
3 hingga ICS 5, batas paru-jantung kiri pada garis midclavicularis kiri
setinggi ICS 5, batas atas jantung setinggi ICS 3 garis parasternalis kiri.
Auskultasi : BJ I dan BJ II reguler, murmur -, gallop -.

Abdomen
Inspeksi : datar, ikterik -, smiling umbilicus -, caput medusae -, venektasi-,
sikatris -.
Auskultasi : bising usus +, normal
Perkusi : timpani pada empat kuadran, shifting dullness -.
Palpasi : supel, massa -, nyeri tekan epigastrium +, hepar tidak teraba, lien

tidak teraba.
Eksterimtas
Atas : akral hangat +/+, oedema -/-, sianosis -/-, CRT <2 detik,
Bawah : akral hangat +/+, oedema -/+, sianosis -/-, CRT <2 detik.

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


5

2.4.1Pemeriksaan hematologi dan kimia (14/09/2015 13:23) di IGD RSUD Karawang


Parameter

Hasil

Satuan

Nilai rujukan

LED

85

mm/jam

Foto0-10
: thorax AP

Hemoglobin

11,6

g/dl

Leukosit

8,71

x 10^3/uL

Trombosit

495

x 10^3/uL

Hematokrit

35,4

Glukosa darah
sewaktu

151

mg/dL

Deskripsi
: CTR sulit dinilai,
13,0-18,0
tampak perselubungan
3,80-10,60
homogen pada seluruh
150-440
lapangan
paru kiri, tampak
infiltrat
yang
40,0-52,0 tersebar pada
lapangan paru kanan, trakea
terdorong ke arah
kontralateral,
jantung
<140
terdesak ke arah kontra
lateral

Ureum

29,6

mg/dL

Creatinin

0,53

mg/dL

Hematologi

Kimia

15,0-50,0

Kesan : Efusi pleura sinistra,


0,6-1,10
TB paru
dextra

2.4.2 Pemeriksaan rontgen thorax (16/08/2015) di Siloam Hospital Purwakarta

Gambar 1. Foto rontgen OS


2.5 DIAGNOSIS KERJA
- Efusi pleura sinistra ec TB paru
- Laringitis TB
2.6 DIAGNOSIS BANDING
- Efusi pleura sinistra ec Ca Paru
- Tumor colli sinistra
2.7 PENATALAKSANAAN
- KAEN 3B + etaphylline 1 ampul/8 jam
- Ceftizoxime 2x1 ampul
- Ranitidin 2x1 ampul
- Metilprednisolon 3x125 mg
- OAT
- ATP dancos 2x1 tab
- dilakukan pungsi pleura/ torakosentesis pada tanggal 11 September 2015, keluar
cairan berwarna merah gelap pekat sebanyak 850 cc.
2.8 FOLLOW UP
Subyektif
Objektif

Hari Ke-I (14/9/2015)


Sesak napas (+), suara serak (+) sejak 2 tahun, lemas (+),
mual (+) muntah (-)
Keadaan Umum
Compos mentis, tampak sakit sedang, gizi baik
Tanda Vital :
0

BP 140/90mmHg; HR 100 x/m; RR 30 x/m; T 37,5 C


Kepala :
Normocephali, CA -/-, SI -/ Leher :
Terdapat benjolan pada leher sebelah kiri, batas tidak tegas,
nyeri tekan -, teraba hangat. Trakea tampak sedikit deviasi
ke kanan.
Thorax :
Pulmo asimetris saat statis dan dinamis, gerak napas kiri
7

tertinggal, sonor di lapang paru kanan, redup di lapang


paru kiri, suara nafas vesikular +/-, Ronki -/-, Wheezing -/-.
Cor BJI BJII regular, Murmur -, Gallop Abdomen :
Supel, BU +, NT (-)
Extermitas :
Akral hangat +/+, oedema -/-.
Assesment Efusi pleura sinistra ec TB paru
Laringitis TB
Planning
- KAEN 3B + etaphylline 1 ampul/8 jam
- Ceftizoxime 2x1 ampul
- Ranitidin 2x1 ampul
- Metilprednisolon 3x125 mg
- OAT
- ATP dancos 2x1 tab

Subyektif
Objektif

Hari Ke-II (15/9/2015)


Sesak napas (+), nyeri dada (+), suara serak (+), batuk
kering, lemas (+)
Keadaan Umum
Compos mentis, tampak sakit sedang, gizi baik
Tanda Vital :
0

BP 130/90mmHg; HR 80 x/m; RR 32 x/m; T 37,0 C


Kepala :
Normocephali, CA -/-, SI -/ Leher :
Terdapat benjolan pada leher sebelah kiri, batas tidak tegas,
nyeri tekan -, teraba hangat. Trakea tampak sedikit deviasi
ke kanan.
Thorax :
Pulmo asimetris saat statis dan dinamis, gerak napas kiri
8

tertinggal, sonor di lapang paru kanan, redup di lapang


paru kiri, suara nafas vesikular +/-, Ronki -/-, Wheezing -/-.
Cor BJI BJII regular, Murmur -, Gallop Abdomen :
Supel, BU +, NT (-)
Extermitas :
Akral hangat +/+, oedema -/-.
Assesment Efusi pleura sinistra ec TB paru
Laringitis TB
Planning
- KAEN 3B + etaphylline 1 ampul/8 jam
- Ceftizoxime 2x1 ampul
- Ranitidin 2x1 ampul
- Metilprednisolon 3x125 mg
- OAT
- ATP dancos 2x1 tab

Subyektif
Objektif

Hari Ke-III (16/9/2015)


Sesak napas (+), suara serak (+), lemas (-) nyeri perut (+)
batuk kadang-kadang
Keadaan Umum
Compos mentis, tampak sakit sedang, gizi baik
Tanda Vital :
0

BP 170/110 mmHg; HR 94 x/m; RR 36 x/m; T 36,6 C


Kepala :
Normocephali, CA -/-, SI -/ Leher :
Terdapat benjolan pada leher sebelah kiri, batas tidak tegas,
nyeri tekan -, teraba hangat. Trakea tampak sedikit deviasi
ke kanan.
Thorax :
Pulmo asimetris saat statis dan dinamis, gerak napas kiri
9

tertinggal, sonor di lapang paru kanan, redup di lapang


paru kiri, suara nafas vesikular +/+ melemah, Ronki -/-,
Wheezing -/-.
Cor BJI BJII regular, Murmur -, Gallop Abdomen :
Supel, BU +, NTE (+)
Extermitas :
Akral hangat +/+, oedema -/-.
Assesment Efusi pleura sinistra ec TB paru
Laringitis TB
Planning
- KAEN 3B + etaphylline 1 ampul/8 jam
- Ceftizoxime 2x1 ampul
- Ranitidin 2x1 ampul
- Metilprednisolon 3x125 mg
- OAT
- ATP dancos 2x1 tab
dilakukan pungsi pleura pada tanggal 11 September 2015,
keluar cairan berwarna merah gelap pekat sebanyak 850
cc.

Subyektif
Objektif

Hari Ke-IV (17/9/2015)


Sesak napas berkurang, suara serak (+) sejak 2 tahun, lemas
(-), batuk (-), nyeri perut (-)
Keadaan Umum
Compos mentis, tampak sakit sedang, gizi baik
Tanda Vital :
0

BP 160/80mmHg; HR 80 x/m; RR 24 x/m; T 36,3 C


Kepala :
Normocephali, CA -/-, SI -/ Leher :
Terdapat benjolan pada leher sebelah kiri, batas tidak tegas,
nyeri tekan -, teraba hangat. Trakea tampak sedikit deviasi
ke kanan.
Thorax :
Pulmo asimetris saat statis dan dinamis, gerak napas kiri
10

tertinggal, sonor di lapang paru kanan, redup di lapang


paru kiri, suara nafas vesikular +/+ melemah, Ronki -/-,
Wheezing -/-.
Cor BJI BJII regular, Murmur -, Gallop Abdomen :
Supel, BU +, NT (-)
Extermitas :
Akral hangat +/+, oedema -/-.
Assesment Efusi pleura sinistra ec TB paru
Laringitis TB
Tumor colli sinistra
Planning
- KAEN 3B + etaphylline 1 ampul/8 jam
- Ceftizoxime 2x1 ampul
- Ranitidin 2x1 ampul
- Metilprednisolon 3x125 mg
- OAT
- ATP dancos 2x1 tab

2.9 PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad malam

Ad fungsionam

: dubia ad malam

Ad sanationam

: dubia ad malam

11

BAB III
PEMBAHASAN

Kasus Pasien :
Pasien Tn. R (65 tahun) datang ke IGD RSUD Karawang dengan keluhan utama sesak
napas yang semakin memberat sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan
terus-menerus dan semakin memberat. Selain itu pasien mengeluhkan adanya nyeri dada
sebelah kiri terutama saat menarik napas dan terasa seperti ditusuk, kadang-kadang timbul
batuk dan saat ini tidak berdahak. Pasien juga mengeluhkan demam yang tidak tinggi, sering
berkeringat malam, serta berat badan menurun, riwayat pengobatan TB paru disangkal.
Keluhan lain yang cukup mengganggu pasien adalah suara serak sejak 2 tahun yang lalu,
adanya benjolan di leher kiri yang semakin membesar pada 4 bulan terakhir. Pasien sudah
12

mendapat terapi oksigen nasal canul 3 l/menit dan infus KAEN 3B. Cairan di paru kiri pasien
sudah dikeluarkan, dan saat ini pasien merasa sesaknya sudah berkurang. Dari pemeriksaan
fisik, didapatkan pasien compos mentis, tampak sakit sedang, TD 170/110 mmHg, HR
94x/menit, RR 26x/menit, suhu 36,6C. Dari pemeriksaan fisik paru, didapatkan pergerakan
dada kiri tertinggal saat dinamis, vocal fremitus kiri melemah, perkusi redup pada paru
seluruh lapang paru kiri, dan suara napas vesikuler melemah pada paru kiri. Pada
pemeriksaan penunjang hematologi, hasil yang paling signifikan adalah adanya peningkatan
nilai LED yaitu 85 mm/jam, serta hasil pemeriksaan foto thorax menunjukkan kesan efusi
pleura kiri dengan TB paru.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan, maka diagnosis kerja untuk pasien adalah efusi pleura sinistra e.c TB paru dengan
diagnosis banding efusi pleura sinistra e.c Ca paru. Diagnosis tambahan adalah laringitis TB
dan diagnosis bandingnya yaitu tumor colli sinistra.
Pembahasan :
Efusi pleura tuberkulosis sering ditemukan di negara berkembang termasuk di
indonesia. Efusi pleura timbul sebagai akibat dari suatu penyakit, sebab itu hendaknya dicari
penyebabnya. Tuberkulosis paru dapat disertai efusi pleura yang bukan karena tuberkulosis
dan sebaliknya non tuberkulosis paru dapat disertai efusi pleura karena tuberkulosis.
Gambaran klinik dan radiologik antara transudat dan eksudat bahkan antara efusi pleura
tuberkulosis dan non tuberkulosis hampir tidak bisa dibedakan, sebab itu pemeriksaan
laboratorium menjadi sangat penting. Setelah adanya efusi pleura dapat dibuktikan melalui
pungsi percobaan, kemudian diteruskan dengan membedakan eksudat dan transudat dan
akhirnya dicari etiologinya. Apabila diagnosis efusi pleura tuberkulosis sudah ditegakkan
maka pengelolaannya menjadi tidak masalah, efusi ditangani seperti efusi pada umumnya,
sedangkan tuberkulosisnya diterapi seperti tuberkulosis pada umumnya.
Efusi pleura terjadi karena tertimbunnya cairan pleura secara berlebihan sebagai
akibat transudasi (perubahan tekanan hidrostatik dan onkotik) dan eksudasi (perubahan
permeabilita membran) pada permukaan pleura seperti terjadi pada proses infeksi dan
neoplasma. Pada keadaan normal ruangan interpleura terisi sedikit cairan untuk sekedar
melicinkan permukaan kedua pleura yang saling bergerak karena pernapasan. Cairan disaring
keluar pleura parietalis yang bertekanan tinggi dan diserap oleh sirkulasi di pleura viseralis
yang bertekanan rendah. Disamping sirkulasi dalam pembuluh darah, pembuluh limfe pada
13

lapisn subepitelial pleura parietalis dan viseralis mempunyai peranan dalam proses
penyerapan cairan pleura tersebut. Jadi mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya
efusi pleura pada umunya ialah kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan osmotik
pada sirkulasi kapiler, penurunan tekanan kavum pleura, kenaikan permeabilitas kapiler dan
penurunan aliran limfe dari rongga pleura. Sedangkan pada efusi pleura tuberkulosis
terjadinya disertai pecahnya granuloma di subpleura yang diteruskan ke rongga pleura.
Pada kebanyakan penderita umumnya asimtomatis atau memberikan gejala demam,
berat badan yang menurun, nyeri dada terutama pada waktu bernapas dalam, sehingga
pernapasan penderita menjadi dangkal dan cepat dan pergerakan pernapasan pada hemitoraks
yang sakit menjadi tertinggal. Sesak napas terjadi pada waktu permulaan pleuritis,
disebabkan karena nyeri dadanya dan apabila jumlah cairan meningkat, terutama kalau
cairannya penuh. Batuk pada umumnya nonproduktif dan ringan, terutama apabila disertai
dengan proses tuberkulosis di parunya.
Pada tanggal 11 September 2015 dilakukan pungsi pleura/aspirasi cairan pleura
dengan jumlah cairan pleura yang keluar adalah sekitar 850 cc dan cairan terlihat berwarna
serous-hemorrhagic. Setelah itu dilakukan analisis cairan pleura, tetapi sampai pada saat
makalah ini dibuat penulis belum mendapatkan jawaban hasil pemeriksaan tersebut.
Diagnosis banding yang paling mendekati adalah efusi pleura sinistra e.c Ca Paru. Hal
ini didasarkan pada gejala klinis pasien berupa batuk, bunyi ngik/wheezing yang kadangkadang ada, nyeri dada, dispnea, suara serak, penurunan berat badan, demam, serta didukung
oleh usia tua dan riwayat pasien sebagai perokok berat. Selain itu pada saat dilakukan pungsi
pleura didapatkan cairan yang berwarna serous-hemorrhagic, warna cairan seperti ini bisa
timbul akibat trauma, keganasan, infark paru dan kebocoran aneurisma aorta. Tetapi pada
pleuritis tuberkulosa cairan efusi yang biasanya serous, kadang-kadang bisa juga hemoragik.
Esok harinya, tanggal 12 September 2015 dilakukan biopsi pada benjolan di leher kiri
pasien tetapi sampai pada saat makalah ini dibuat penulis juga belum mendapatkan jawaban
hasil pemeriksaan tersebut. Hal ini dilakukan sebagai diagnosis pasti penyebab dari benjolan
tersebut apakah laringitis TB, tumor colli, ataukah keganasan yang terjadi pada paru atau
pada saluran napas.

14

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI PLEURA


Paru dibungkus oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa bangunan embriologi dari
coelom extra-embryonal yakni pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yakni pleura visceral dan
pleura parietal. Pleura visceral adalah pleura yang menempel erat dengan substansi paru,
sementara pleura parietal adalah lapisan pleura yang paling luar dan tidak menempel
langsung dengan paru. Ada yang disebut dengan pleura bagian penghubung yakni pleura
yang melapisi radiks pulmonis, pleura ini merupakan pelura yang menghubungkan pleura
parietal dan pleura visceral.9

15

Gambar 2. Anatomi pleura


Pleura parietalis dan viseralis terdiri atas selapis mesotel, membran basalis, jaringan
elastik dan kolagen, pembuluh darah dan limfe. Pada proses fisiologi aliran cairan pleura,
pleura parietal akan menyerap cairan pleura melalui stomata dan akan dialirkan ke dalam
aliran limfe pleura. Di antara pleura parietal dan pleura visceral, terdapat celah ruangan yang
disebut cavum pleura. Ruangan ini memiliki peran yang sangat penting pada proses respirasi
yakni mengembang dan mengempisnya paru, dikarenakan pada cavum pleura memiliki
tekanan negatif yang akan tarik menarik, di mana ketika diafragma dan dinding dada
mengembang maka paru akan ikut tertarik mengembang begitu juga sebaliknya. Normalnya
ruangan ini hanya berisi sedikit cairan serous sekitar 10 cc, jernih yang tidak bewarna,
mengandung protein < 1,5 gr/dl dan 1.500 sel/ml untuk melumasi dinding dalam pleura.9
Sel cairan pleura didominasi oleh monosit, sejumlah kecil limfosit, makrofag dan sel mesotel.
Sel polimormonuklear dan sel darah merah dijumpai dalam jumlah yang sangat kecil didalam
cairan pleura. Keluar dan masuknya cairan dari dan ke pleura harus berjalan seimbang agar
nilai normal cairan pleura dapat dipertahankan.

16

Gambar 3. Fisiologi cairan pleura


4.2 DEFINISI
Efusi pleura adalah ketika terdapat cairan berlebih di dalam rongga pleura. Hal ini
disebabkan ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi cairan pleura. Normalnya cairan
dari kapiler pleura parietal masuk ke rongga pleura, kemudian diserap oleh sistem limfe.
Selain itu, cairan juga masuk melalui pleura visceral dari rongga interstisial dan melalui
lubang kecil di diafragma dari rongga peritonium. Sistem limfatik akan menyerap hingga 20
kali cairan yang berlebih diproduksinya. Namun ketika terjadi penurunan absopsi cairan oleh
sistem tersebut ataupun produksinya yang sangat banyak maka terjadilah efusi pleura.10
4.3 KLASIFIKASI

Efusi Transudatif
Karakeristik transudat adalah rendahnya konsentrasi protein dan molekul besar
lainnya. Terjadi akibat kerusakan atau perubahan faktor-faktor sistemik yang

berhubungan dengan pembentukan dan penyerapan cairan pleura.


Efusi Eksudatif
Karakteristik eksudat adalah kandungan protein lebih tinggi dibandingkan transudat.
Hal ini karena perubahan faktor lokal sehingga pembentukan dan penyerapan cairan
pleura tidak seimbang.
Kriteria penentuan efusi pleura tipe eksudat atau transudat dapat dilihat sebagai
berikut:
17

Protein cairan pleura/serum protein >0,5


LDH cairan pleura/LDH serum >0,6
LDH cairan pleura>200 IU atau 2/3 batas atas nilai normal di dalam serum

Efusi eksudatif ditegakkan apabila minimal 1 kriteria terpenuhi, sedangkan transudatif


ditegakkan bila semua poin tidak terpenuhi. 10 Perbandingan cairan efusi tipe transudat
atau eksudat dapat dilihat seperti pada tabel dibawah ini.

4.4 ETIOLOGI11,12
a) Eksudat
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya
abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Terjadinya
perubahan permeabilitas membrane adalah karena adanya peradangan pada pleura. Protein
yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan
aliran protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan
peningkatan konsentrasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat. Efusi pleura
eksudat dapat disebabkan oleh :
1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia, Chlamydia. Cairan
efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-6000/cc. Gejala penyakit dapat
dengan keluhan sakit kepala, demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala
perikarditis. Diagnosa dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus
dalam cairan efusi.
2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang
berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab
dapat

merupakan

bakteri

aerob

maupun

anaerob

(Streptococcus

paeumonie,
18

Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes,


Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika
ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari
rongga pleura.
3. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus, Kriptococcus, dll. Efusi
timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.
4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui focus
subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat juga secara hematogen dan
menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya
focus subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada
didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks dan jarang yang
masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat badan,
dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.
5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru, mammae,
kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral dengan ukuran jantung yang
tidak membesar. Keluhan yang paling banyak ditemukan adalah sesak dan nyeri dada.
Gejala lain adalah akumulasi cairannya kembali dengan cepat walaupun dilakukan
torakosintesis berkali-kali. Patofisiologi terjadinya efusi ini diduga karena :

Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi kebocoran

kapiler.
Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,
bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan aliran balik

sirkulasi.
Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif intra
pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang ditemukan berupa
eksudat dan kadar glukosa dalam cairan pleura tersebut mungkin menurun jika
beban tumor dalam cairan pleura cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui
pemeriksaan sitologik cairan pleura dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan
jarum (needle biopsy).

6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri, abses paru
atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai predominan sel-sel PMN dan
19

pada beberapa penderita cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada


beberapa kasus efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun
drainage kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut
Light, terdapat 4 indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan
efusi parapneumonik:

Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura


Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada nilai pH
bakteri

Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik yang
mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.
7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid, Skleroderma
8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi parapneumonik.
b). Transudat
Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid
osmotic menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi
reabsorpsi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada: (1). Meningkatnya tekanan
kapiler sistemik, (2). Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner, (3) Menurunnya tekanan
koloid osmotic dalam pleura, (4) Menurunnya tekanan intra pleura. Efusi plura transudat
dapat terjadi pada :
1. Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab lainnya adalah
perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior. Patogenesisnya adalah akibat
terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dada sehingga
terjadi peningkatan filtrasi pada pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan
kapiler pulmonal akan menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan
aliran getah bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongga
pleura dan paru-paru meningkat. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh
rongga dada dapat juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak sulit
menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi kanan. Terapi
ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi dengan istirahat,
20

digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera menghilang. Kadang-kadang torakosentesis
diperlukan juga bila penderita amat sesak.
2. Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura dibandingkan
dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat
transudat. Pengobatan adalah dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam.
Tapi pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.
3. Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui lubang kecil yang
ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya
cukup besar untuk menimbulkan dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak
dapat mengontrol asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan
yang dapat dilakukan adalah pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous
shunt, torakotomi) dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau torakotomi
pipa dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.

4. Meigs Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita dengan tumor
ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan sindrom serupa : tumor
ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat
rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul karena sekresi cairan yang banyak oleh
tumornya dimana efusi pleuranya terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura
melalui porus di diafragma. Klinisnya merupakan penyakit kronis.
5. Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi unilateral ataupun
bilateral. Perpindahan cairan dialisa dari rongga peritoneal ke rongga pleura terjadi
melalui celah diafragma. Hal ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura
dengan cairan dialisa.
21

c). Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb pada
hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang baru
diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah
terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera
membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.
22

4.5 PATOFISIOLOGI11
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura berfungsi
untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang saling bergerak karena
pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura
melalui kapiler pleura parietalis dan diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura parietalis
dengan kecepatan yang seimbang dengan kecepatan pembentukannya.
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya kecepatan proses
pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan cairan secara patologik di dalam
rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya efusi pleura yaitu;
1). Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan onkotik pada sirkulasi kapiler
2). Penurunan tekanan kavum pleura
3). Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga pleura.

Gambar 4. Patofisiologi efusi pleura

23

Gambar 5. Patofisiologi efusi pleura


Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh peradangan. Bila
proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga empiema/piotoraks.
Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemothoraks.
Proses terjadinya pneumothoraks karena pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara
akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau
alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru.
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan primer paru
seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum.
Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis
paru dan pneumothoraks.
Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler
pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau
kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis
eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai
pleuritis eksudativa tuberkulosa .Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai
transudatif atau eksudatif.
4.6 MANIFESTASI KLINIS1,11
a. Gejala dan Tanda.
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika paru
terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa penuh dalam
dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak, berupa nyeri dada
pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam,
menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak. Berat badan menurun pada

24

neoplasma, ascites pada sirosis hepatis. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit
dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan
b. Pemeriksaan Fisik.
Inspeksi. Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih cembung
Palpasi. Gerakan dada yang tertinggal dan penurunan fremitus vocal atau taktil
pada sisi yang sakit
Perkusi. Redup pada perkusi
Auskultasi. Penurunan bunyi napas
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi atelektasis
kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas bronkus. Nyeri dada
pada pleuritis : Simptom yang dominan adalah sakit yang tiba-tiba seperti ditikam dan
diperberat oleh bernafas dalam atau batuk. Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri
dihasilkan dari pleura parietalis yang inflamasi dan mendapat persarafan dari
nervus intercostal. Nyeri biasanya dirasakan pada tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi
bisa menjalar ke daerah lain :
1. Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G. Nervuis
intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan abdomen.
2. Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus
menyebabkan nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan
akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan,
fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan
duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas
garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler
melemah dengan ronki. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto thoraks
Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat dalam rongga
pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral
lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak sudut kostrofrenikus menumpul. Pada
25

pemeriksaan foto dada posisi lateral dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi
gravitasi.

Gambar 6. Efusi pleura sinistra pada foto thorax


2. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun terapeutik.
Pelaksanaan sebaiknya dilakukan dalam posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian
bawah paru sela iga aksilaris posterior dengan memakai jarum abbocath nomor 14
atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap
kali aspirasi. Komplikasi dari tindakan ini adalah pneumothorax, hemothorax, dan
emboli udara. Menegakkan diagnosis cairan pleura dilakukan pemeriksaan:
a. Warna cairan. Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-santrokom).
Bila agak kemerahan-merahan dapat terjadi trauma, infark paru, keganasan dan
adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan dan agak purulen, ini
menunjukkan empiema. Bila merah coklat menunjukkan abses karena amuba.
b. Biokimia. Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Selain itu dapat juga
diperiksa kadar pH, glukosa, dan amilase. Perbedaan efusi pleura transudat dan
eksudat dapat dilihat pada tabel berikut:

26

3. Sitologi
Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis
atau dominasi sel-sel tertentu.
Sel neutrofil: pada infeksi akut
Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau limfoma maligna).
Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru
Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
Sel giant: pada arthritis rheumatoid
Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
Sel maligna: pada paru/metastase.
4. Bakteriologi
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung mikroorganisme
berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering Pneumokokus, E.coli, klebsiela,
pseudomonas, enterobacter.
5. Biopsi pleura
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor pleura.
Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi atau tumor
pada dinding dada.
4.7 DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan fisik yang teliti,
diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi dan analisa cairan pleura.1

27

Gambar 7. Alur diagnosis efusi pleura


4.8 PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pada efusi leura bertujuan untuk menghilangkan gejala nyeri dan sesak yang
dirasakan pasien, mengobati penyakit dasar, mencegah fibrosis pleura, dan mencegah
kekambuhan.1

Gagal jantung
Pada pasien ini terapi yang terbaik adalah dengan penggunaan diuretik. Jika setelah
pemberian efusi menetap, diagnostik torakosentesis perlu dilakukan. Jika nilai NTproBNP cairan pleura >1500 pg/cc mengartikan bahwa efusi terjadi karena gagal

jantung
Empiema/efusi parapneumonia
Terapi pasien ini dengan torakosentesis, pemberian antibiotik dan drainase.
Hidrotoraks hepatik
Terjadi pada 5% pasien sirosis dan asites karena perpindahan cairan dari rongga
peritonium ke rongga pleura melalui lubang kecil di diafragma.
Pleuritis TB
28

Disertai gejala demam, penurunan BB, dispneu, dan nyeri dada pleuritis.
Penatalaksaan dengan pemberian OAT selama 9 bulan dan kortikosteroid dosis 0,75-1
mg/KgBB/hari selam 2-3 minggu kemudian dosis diturunkan bertahap, torakosentesis

jika sesak atau efusi telah lebih tinggi dari iga III.
Kilotoraks
Penyebabnya trauma. Hasil dari torakosentesis akan terlihat cairan seperti putih susu
dan trigliserida 110 mg/dL. Penatalaksaan dengan chest tube dan pemberian

okreotida. Jika gagal dilakukan pemasangan tube torakostomi.


Keganasan
Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui lokasi tumor dan jenisnya. Urutan
keganasan penyebab efusi pleura mulai dari yang tersering adalah tumor paru,
payudara, limfoma, gastrointestinal, urogenital dan lainnya.

Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) dilakukan sebagai sarana diagnostik maupun
terapeutik. Torakosentesis dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakkan diatas
bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan pada penderita dalam
posisi tidur terlentang.
b. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di daerah
sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di bawah batas suara
sonor dan redup.
c. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan jarum
berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya disebabkan karena
penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai diafragma atau terlalu dalam
sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum tidak mencapai rongga pleura oleh
karena jaringan subkutis atau pleura parietalis tebal.

Gambar 8. Metode torakosentesis

29

d. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap


aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari pada satu kali aspirasi
sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut.
Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat.1 Mekanisme
sebenarnya belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra
pleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas
kapiler yang abnormal. Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar secara
mendadak menimbulkan reflex vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan
hipotensi.13 Komplikasi torakosintesis adalah: pneumotoraks, hemotoraks, emboli
udara, dan laserasi pleura viseralis.
1. Pemasangan Water Seal Drainage (WSD)
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks dihubungkan
dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat dan aman.
Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:
a. Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9 linea aksilaris
media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikuralis.
b. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar kurang
lebih 2 cm sampai subkutis.
c. dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
d. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai mendapatkan
pleura parietalis.
e. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian trokar ditarik.
Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks.
f. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat dengan kasa
dan plester.
g. Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang
dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang diletakkan
dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari luar tidak dapat
masuk ke dalam rongga pleura.

30

Gambar 9. Pemasangan jarum WSD


h. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada selang,
kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang. Untuk memastikan
dilakukan foto toraks.
i. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan paru telah
mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.
Pleurodesis
Tujuan tindakan ini adalah melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis dan
merupakan penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Prosedurnya adalah pipa
selang dimasukkan pada ruang antar iga dan cairan efusi dialirkan ke luar secara
perlahan-lahan. Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar, dimasukkan 500 mg teterasiklin
yang dilarutkan dalam 20 cc garam fisiologis kedalam rongga pleura, selanjutnya diikuti
dengan 20 cc garam fisiologis. Kunci selang selama 6 jam dan selama itu pasien diubahubah posisinya, sehingga tetrasiklin dapat didistribusikan ke saluran rongga pleura.
Selang antar iga kemudian kembali dibuka dan cairan dalam rongga pleura kembali
dialirkan keluar sampai tidak ada lagi yang tersisa. Selang kemudian dicabut. Setelah 13
hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura,
sehingga mencegah penimbunan kembali cairan dalam rongga tersebut. Komplikasi
tindakan ini biasanya berupa nyeri pleuritik dan demam. Selain tetrasiklin, bahan yang
digunakan adalah sitostatika seperti tio-tepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil,
adramisin, dan doksorubisin. Analgetik narkotik diberikan 11,5 jam sebelum pemberian
tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri tersebut.

31

Pembedahan
Pleurektomi jarang dikerjakan pada efusi pleura keganasan, oleh karena efusi pleura
keganasan pada umumnya merupakan stadium lanjut dari suatu keganasan dan
pembedahan menimbulkan resiko yang besar. Bentuk operasi yang lain adalah ligasi
duktus toraksikus dan pintas pleuroperitonium, kedua pembedahan ini terutama dilakukan
pada efusi pleura keganasan akibat limfoma atau keganasan lain pada kelenjar limfe hilus
dan mediastinum, dimana cairan pleura tetap terbentuk setelah dilakukan pleurodesis.14
4.9 PENYAKIT-PENYAKIT DENGAN EFUSI PLEURA1
4.9.1 Pleuritis tuberkulosa
Permulaan penyakit ini terlihat sebagai efusi yang seroxantokrom dan bersifat eksudat.
Penyakit ini kebanyakan terjadi sebagai komplikasi tuberkulosis paru melalui fokus subpleura
yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga dari robeknya perkijuan
kearah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau columna vertebralis. Dapat
juga secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Cairan efusi yang biasanya
serous, kadang-kadang bisa juga hemoragik. Jumlah lekosit antara 500-2000 per cc. Mulamula yang dominan adala sel PMN, tapi kemudian sel limfosit. Cairan efusi sangat sedikit
mengandung kuman tuberkulosis.
Diagnosis utama berdasarkan adanya kuman tuberkulosis dalam cairan efusi (biakan) atau
dengan biopsi jaringan pleura. Sebagian besar efusi pleura adalah karena pleuritis tuberkulosa
walaupun tidak ditemukan adanya granuloma pada biopsi jaringan pleura.
Pengobatan dengan obat-obat anti tuberkulosis (rifampisin, INH, pirazinamid, etambutol,
streptomisin) selama 6-12 bulan. Dosis dan cara pemberian obat seperti pada pengobatan
tuberkulosis paru. Untuk menghilangkan cairan eksudatdengan cepat dapat dilakukan
torakosentesis. Umunya cairan diresolusi dengan sempurna, tetapi kadang dapat diberikan
tambahan kortikosteroid.
4.9.2 Efusi pleura keganasan
Neoplasma primer atau sekunder dapat menyerang pleura dan umumnya menyebabkan
efusi pleura. Keluhan yang paling banyak ditemukan adalah sesak napas dan nyeri dada.
Efusi bersifat eksudat tapi sebagian kecil bisa berupa transudat. Warna efusi bisa
serosantokrom ataupun hemoragik (terdapat lebih dari 100.000 eritrosit per cc). Dalam cairan
32

banyak ditemukan sel limfosit dan sel mesotelial. Pemeriksaan sitologi terhadap cairan efusi
atau biopsi pleura parietalis sangat menentukan diagnosis terhadap jenis-jenis neoplasma.
Terdapat beberapa teori tentang timbulnya efusi pleura pada keganasan yaitu:
Menumpuknya sel-sel tumor akan meningkatkan permeabilitas pleura terhadap air
dan protein
Adanya massa tumor menyebabkan tersumbatnya aliran pembuluh darah vena dan
getah bening, sehingga rongga pleura gagal dalam memindahkan air dan protein
Adanya tumor membuat infeksi menjadi lebih mudah terjadi dan selanjutnya timbul
hipoproteinemia.
Efusi pleura karena neoplasma biasanya unilateral, tapi bisa juga bilateral jika terjadi
obstruksi saluran getah bening ataupun metastasis.
Mesotelioma. Mesotelioma adalah tumor primer yang berasal dari pleura. Tumor ini
jarang ditemukan, bila tumor masih terlokalisasi biasanya tidak menimbulkan efusi pleura
sehingga dapat digolongkan sebagai tumor jinak. Sebaliknya bila ia tersebar maka
digolongkan sebagai tumor ganas karena dapat menyebabkan efusi pleura yang maligna.
Karsinoma bronkus Jenis karsinoma ini adalah yang terbanyak menimbulkan efusi
pleura. Tumor dapat ditemukan dalam permukaan pleura karena penjalaran langsung dari
paru-paru melalui pembuluh getah bening. Untuk mengurangi keluhan seask napasnya dapat
dilakukan torakosentesis secara berulang. Tindakan lain yang dapat dilakukan yaitu
pleurodesis.
Neoplasma metastatik. Jenis neoplasma yang sering bermetastasis ke pleura dan
menimbulkan efusi adalah karsinoma payudara, ovarium, lambung, lambung, ginjal, pankreas
dan organ abdomen lainnya. Efusi yang terjsi berupa efusi bilateral. Pengobatannya yakni
berupa kemoterapi dan penanggulangan terhadap efusi pleuranya.
Limfoma maligna Kasus limfoma maligna (Hodgkin dan non-Hodgkin) 30%
bermetastasis ke pleura dan menimbulkan efusi pleura. Biasanya didalam cairan efusi tidak
ditemukan sel-sel ganas yang sering adalah terdapat sel-sel limfosit karena sel ini ikut aliran
darah dan aliran getah bening melintasi rongga pleura. Terdapat beberapa efusi berdasarkan
penyebabnya yakni:

33

Bila efusi terjadi dari implantasi sel-sel limfoma pada permukaan pleura, cairannya
adalah eksudat, berisi sel yang banyak dan hemoragik
Bila efusi terjadi karena obstruksi saluran getah bening, cirannya bisa transudat atau
eksudat dan ada limfosit.
Bila efusi terjadi karena obstruksi duktus torasikus, cairannya akan terbentuk kilus
Seperti pada neoplasma lainnya, efusi pleura maligna kebanyakan tidak responsif
terhadap tindakan torakostomi dan instilasi dengan beberapa zat kimia. Keadaan dengan efusi
maligna ini mempunyai prognosis yang buruk.

BAB V
KESIMPULAN

Pleura terdiri dari dua lapisan yaitu pleura viseralis yang menutupi paru-paru dan pleura
parietalis yang melapisi dinding bagian dalam rongga dada. Diantara pleura viseral dan
parietal terdapat rongga pleura yang dalam keadaan normal berisi sekitar 10 20 ml cairan
yang berfungsi sebagai pelicin agar paru dapat bergerak dengan leluasa saat bernapas.
Efusi pleura adalah adanya cairan yang abnormal dalam rongga pleura akibat produksi
cairan yang berlebihan atau penyerapan yang berkurang. Efusi pleura dibedakan menjadi
transudat dan eksudat. Efusi pleura transudatif terjadi akibat peningkatan tekanan hidrostatik
atau penurunan tekanan onkotik dalam rongga pleura, sering disebabkan oleh gagal jantung
kongestif, sirosis hepatis dan nefrotik sindrom. Sedangkan efusi pleura eksudatif terjadi
akibat abnormalitas permeabilitas kapiler, obstruksi aliran limfatik, infeksi, atau pendarahan.
Dua penyebab tersering efusi pleura eksudatif ini adalah tuberculosis paru dan keganasan.
Manifestasi klinis efusi pleura adalah sesak, rasa penuh dalam dada atau dispneu, nyeri
dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam,
menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
34

(tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak, berat badan menurun pada neoplasma,
ascites pada sirosis hepatis. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika
terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.
Pemeriksaan penunjang yang bisa digunakan untuk menegakkan diagnosis adalah
pemeriksaa rontgen thorax, torakosentesis kemudian dilakukan pemeriksaan analisa cairan
sendi untuk diagnosis pasti penyebab efusi pleura, selain itu bisa juga dilakukan pemeriksaan
sitologi dan bakteriologi serta biopsi pleura.
Penatalaksaan efusi pleura harus sesuai dengan etiologinya, misalnya efusi karena gagal
jantung dapat dilakukan pemberian diuretik, jika penyebabnya empiema/efusi parapneumonia
dapat diberikan antibiotik serta melakukan torakosentesis dan drainase, pemberian OAT
selama 9 bulan serta kortikosteroid dan torakosentesis pada pleuritis TB, pada efusi pleura
keganasan dapat dilakukan pleurodesis serta penatalaksaan efusi pleura maligna yang sesuai
dengan keganasan penyebabnya misalnya kanker paru, kanker payudara dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Halim H. Penyakit-penyakit pleura. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi V. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009. p. 2329-36.
2. American Thoracic Society. Management of malignant pleural effusions. Am J Respir
Crit Care Med 2000; 162: 1987-2001.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Kanker paru ( kanker paru karsino bukan sel
kecil). Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia; 2001.
4. Maskell NA, Butland RA. BTS guidelines for the investigation of a unilateral pleural
effusion in adults. Thorax. 2003;58(Suppl II):817.
5. Gaur DS, Chauhan N, Kusum A, Harsh M, Talekar M, Kishore S, et al. Pleural fluid
analysis - role in diagnosing pleural keganasancy. Journal of Cytology.
2007;24(4):183-8.
6. Rubins J. Pleural effusion. In: Byrd RP, ed. 2014. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/299959-overview. accessed on: August 10th,
2015
7. Tobing EMS. Karakteristik Penderita Efusi Pleura di RSUP H. Adam Malik Medan
Tahun 2011. Available at:
35

http://jurnal.usu.ac.id/index.php/ejurnalfk/article/view/1354. accessed on: August


10th, 2015
8. Surjanto E, Sutanto YS, Aphridasari J, Leonardo. Penyebab Efusi Pleura pada
Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit. J Respir Indo. 2014; 34:102-8
9. Finley DJ, Rusch VW. Anatomy of the pleura. Thorac Surg Clin. 2011
May;21(2):157-63, vii. doi: 10.1016/j.thorsurg.2010.12.001.
10. Wardhani DP, Uyainah A. Efusi pleura. Dalam: Tanto C, Liwang F, Hanifati S,
Pradipta EA,editor. Kapita selekta kedokteran 4th ed. Jakarta: media aesculapius.
2014. p. 811-13.
11. Ewingsa. 2009. Efusi Pleura. Available at:
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/efusipleura.pdf. accessed on: August
10th, 2015
12. McGrath EE, Anderson PB MA. Diagnosis of pleurall effusion: a systematic
approach. American Journal of Critical Care. 2011;20:119-128.
13. Kasper, Braunwald, Et Al. Harrisons Principles Of Internal Medicine Vol II. 16th Ed.
2005. Mcgraw-Hill: New York
14. Steven A. Sahn. The Pathophysiology of Pleural Effusions. Department of
Medicine,Division of Pulmonary and Critical Care Medicine, Medical University of
South Carolina, Charleston, South Carolina 29425

36

Anda mungkin juga menyukai