Anda di halaman 1dari 18

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular paling mematikan

di dunia. Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global
Emergency. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO), pada tahun
2013 diperkirakan 9 juta orang terjangkit TB paru dan 1,5 juta orang meninggal
akibat penyakit tersebut. Di antara 9 juta orang yang diperkirakan tersebut, lebih dari
setengah (56%) terdapat di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat (WHO, 2014).
Penyebab utama meningkatnya penderita TB Paru yaitu kemiskinan pada
berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang sedang berkembang,
kegagalan program TB selama ini, perubahan demografik karena meningkatnya
penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan, dampak pandemi
infeksi HIV (Depkes, 2009). Tuberkulosis sering kali disebabkan oleh kemiskinan
sehingga jika tidak menjangkau masyarakat yang paling miskin di antara masyarakat
miskin, dan memfokuskan pada pendidikan dan pencegahan, maka tidak dapat
mengeliminasi penyakit (Plianbangchang, 2012) Penularan utama TB Paru adalah
bakteri yang terdapat dalam droplet yang dikeluarkan penderita sewaktu batuk,
bersin, bahkan berbicara, sehingga pada lingkungan populasi yang padat angka
kejadian TB Paru menjadi tinggi (Depkes, 2008). Setiap orang sehat berisiko tertular
menderita TB Paru sebesar 10%, namun bagi orang dengan sistem kekebalan tubuh
yang tidak baik seperti menderita HIV& AIDS, diabetes melitus dan perokok
memiliki risiko lebih besar untuk menderita penyakit TB Paru (WHO, 2012).
Seseorang yang menderita TB BTA positif dengan gejala yang masih
dirasakan ringan seperti batuk, demam, keringat malam, penurunan berat badan dll)
selama berbulan-bulan. Hal ini dapat menyebabkan keterlambatan dalam mencari
perawatan sehingga menimbulkan transmisi bakteri kepada orang lain. Orang yang
menderita TB Paru dapat menginfeksi hingga 10-15 orang lain di sekitarnya melalui
kontak dalam satu setahun (WHO, 2012).

1.2 Rumusan Masalah


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Apa itu penyakit tuberkulosis paru?


Bagaimana pathogenesis terjadinya tuberkulosis paru?
Apa saja faktor risiko terjadinya tuberkulosis paru?
Bagaimana cara menegakkan diagnosa pada pasien tuberkulosis paru?
Bagaimana pengobatan tuberkulosis paru?
Bagaimana langkah pencegahan penularan tuberkulosis paru?

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan langkah
langkah pencegahan penularan tuberkulosis paru.
1.4 Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan bermanfaat bagi semua pihak dalam rangka
memahami penyakit tuberkulosis paru dan memberikan pengetahuan mengenai
pencegahan penularan tuberkulosis paru.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi


dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007).
2.2.

Etiologi Tuberkulosis Paru


Tuberkulosis paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis,

bakteri berbentuk batang, tidak membentuk spora, yang berukuran 0,5m x 3m.
Mycobacterium tuberculosis bersifat netral pada pewarnaan Gram. Namun, setelah
diwarnai, zat warna tidak dapat dihilangkan dari bakteri tersebut dengan
menggunakan alkohol asam; sifat inilah yang menyebabkan Mycobacterium
tuberculosis digolongkan sebagai bakteri tahan asam (BTA). Ketahanan terhadap
asam terutama disebabkan tingginya kandungan asam mycolic, asam lemak cross-link
rantai panjang, dan dinding sel lipid lainnya. Mikroorganisme lain dalam kompleks
Mycobacterium tuberculosis adalah M. bovis, M. caprae, M. africanum, M. Microti,
M. Pinnipedii, M.canettii (Raviglione, 2012).
Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga
menyerang organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan mikobakteria
tahan asam dan merupakan mikobakteria aerob obligat dan mendapat energi dari
oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk
menggandakan diri dan pertumbuhan pada media kultur biasanya dapat dilihat dalam
waktu 6 - 8 minggu (Putra, dalam Setiawan, 2014). Mycobacterium tuberculosis
tumbuh pada suhu optimal 37C dan pH 6,4 - 7,0. Jika bakteri ini dipanaskan pada
suhu 60C akan mati dalam waktu 15 - 20 menit. Bakteri ini sangat rentan terhadap
sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet (Setiawan, 2014).

2.3.

Faktor Risiko Tuberkulosis Paru


Hiswani (2009) dalam Manalu (2010) mengatakan bahwa keterpaparan

penyakit tuberkulosis pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : status

sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin dan faktor sosial lainnya, untuk lebih
jelasnya diuraikan sebagai berikut:
1. Faktor sosial ekonomi
Keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan,
lingkungan

dan

sanitasi

tempat

kerja

yang

buruk

dapat

memudahkan penularan TB. Pendapatan keluarga sangat erat juga


dengan penularan TB, karena pendapatan yang kecil membuat
orang tidak dapat memenuhi syarat - syarat kesehatan dengan layak.
2. Status gizi
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat
besi dan lain - lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang
sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru. Keadaan ini
merupakan faktor penting yang berpengaruh di negara miskin, baik
pada orang dewasa maupun anak - anak.
3. Umur
Penyakit TB paru paling sering ditemukan pada usia muda atau
usia produktif 15 - 50 tahun. Dengan terjadinya transisi demografi
saat ini menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih
tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun, sistem imunologis
seseorang menurun sehingga sangat rentan terhadap berbagai
penyakit, termasuk penyakit TB paru.
4. Jenis kelamin
Penderita TB paru cenderung lebih tinggi pada laki - laki
dibandingkan perempuan. Menurut Hiswani yang dikutip dari
WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta
perempuan yang meninggal akibat TB paru, dapat disimpulkan
bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang
disebabkan oleh TB paru dibandingkan dengan akibat proses
kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki - laki penyakit ini
lebih tinggi karena merokok dan minum alkohol sehingga dapat

menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah


terpapar dengan agen penyebab TB paru.
2.4. Transmisi dan Patogenesis Tuberkulosis Paru
2.4.1. Transmisi Tuberkulosis Paru
Mycobacterium tuberculosis berada di udara dalam bentuk partikel-partikel,
yang disebut droplet nuclei, yang berdiameter 1-5 mikron. Droplet nuclei infeksius
tersebut dihasilkan ketika penderita TB paru batuk atau bersin. Partikel-partikel kecil
tersebut dapat berada di udara selama beberapa jam, tergantung kondisi lingkungan.
Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui udara, bukan melalui kontak
permukaan kulit. Seseorang dapat tertular apabila menghirup droplet nuclei yang
mengandung M. tuberculosis, dan droplet nuclei tersebut melintasi mulut atau hidung,
saluran napas bagian atas, bronkus, sampai ke alveolus paru - paru (CDC, 2013).

Gambar 2.1 : Penularan TB (CDC, 2013)


TB menyebar dari orang ke orang melalui udara. Titik - titik di udara menunjukkan
droplet nuclei yang mengandung basil tuberkulosis.
Tabel 2.1 : Faktor Lingkungan yang Meningkatkan Kemungkinan Penularan
M. tuberculosis (CDC, 2013)
Faktor

Keterangan

Konsentrasi

droplet Semakin banyak droplet nuclei di udara, semakin besar

nuclei infeksius

kemungkinan M. tuberculosis akan ditularkan

Ruang
Ventilasi

Paparan di ruang tertutup yang kecil


Ventilasi lokal atau umum yang tidak memadai yang

Sirkulasi udara
Penanganan spesimen

mengakibatkan droplet nuclei tidak dapat terbuang


Resirkulasi udara yang mengandung droplet nuclei
Prosedur penanganan spesimen yang tidak tepat,

Tekanan udara

sehingga menghasilkan droplet nuclei infeksius


Tekanan udara positif di kamar penderita

TB

menyebabkan organisme M. tuberculosis berpindah ke


area lain
Tabel 2.2 : Faktor Kedekatan dan Lama Paparan yang Mempengaruhi
Penularan M. tuberculosis (CDC, 2013)
Faktor
Durasi

terpapar

orang yang infeksius

Keterangan
dengan Semakin lama durasi paparan, semakin tinggi
risiko penularan

Frekuensi terpapar dengan Semakin sering terpapar, semakin tinggi risiko


orang yang infeksius
Kedekatan

fisik

penularan
dengan Semakin dekat, semakin tinggi risiko penularan

orang yang infeksius

2.4.2. Patogenesis Tuberkulosis Paru


Patogenesis tuberkulosis paru terjadi seperti berikut ini :
1. Droplet nuclei yang mengandung basil tuberkulosis terhirup,
memasuki paru - paru sampai ke alveoli.
2. Basil tuberkulosis bermultiplikasi di alveoli.

3. Basil tuberkulosis dapat menyebar melalui saluran limfatik atau aliran


darah ke jaringan dan organ yang lebih jauh (termasuk area tubuh di
mana penyakit TB yang paling mungkin untuk berkembang: kelenjar
getah bening regional, apeks paru, ginjal, otak , dan tulang).
4. Dalam waktu 2 sampai 8 minggu, sel imun khusus yang disebut
makrofag menelan dan mengelilingi basil tuberkulosis. Sel - sel
tersebut membentuk selubung penghalang, yang disebut granuloma,
yang membuat basil tersebut terselubung dan terkendali. Hal ini
disebut Latent Tuberculosis Infection (LTBI).
5. Jika sistem imun tidak dapat mempertahankan basil tuberkulosis
terkendali, basil mulai bermultiplikasi dengan cepat. Hal ini disebut
penyakit TB (TB disease). Proses ini dapat terjadi di berbagai area di
tubuh, seperti paru - paru, ginjal, otak, atau tulang (CDC, 2013).
2.5. Klasifikasi Tuberkulosis Paru
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena :
1. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak termasuk pleura (selaput
paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain - lain. Pasien dengan TB paru
dan TB ekstraparu diklasifikasikan sebagai TB paru (Depkes RI,
2011).
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, keadan ini
terutama ditujukan pada TB paru:
1. Tuberkulosis paru BTA positif
- Sekurang - kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
-

BTA positif.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.

1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman

TB positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif

dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.


2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
b) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT,
bagi pasien dengan HIV negatif.
3. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
(Depkes RI, 2011).
c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe
pasien, yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan
BTA bisa positif atau negatif.

2. Kasus yang sebelumnya diobati


- Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
- Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
lebih dengan BTA positif.
- Kasus setelah gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau


kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
3. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
4. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti:
i. tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
ii. pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,
iii. kembali diobati dengan BTA negatif (Depkes RI, 2011)
2.6. Gejala Klinis Tuberkulosis Paru
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik
(atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik
batuk 3 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Bila bronkus belum terlibat dalam proses
penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi
karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke
luar.
2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Keringat malam
c. Anoreksia
d. Berat badan menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala ini tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis
tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari

10

kelenjar getah bening. Pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala


meningitis. Sementara pada pleurutis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas
dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan (PDPI,
2006).
2.7.

Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut - turut atau
dengan cara:
i.
ii.
iii.

Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)


Dahak Pagi ( keesokan harinya )
Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

Bahan

pemeriksaan/spesimen

yang

berbentuk

cairan

dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6


cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor.
Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada
gelas objek (dfiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan
pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek
atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl
0,9% 3 - 5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada
dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan)
yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas
penderita yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan
laboratorium (PDPI, 2006).
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain

11

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan


pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH)
dapat dilakukan dengan cara:
i.

Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik:

Mikroskopik biasa:
o Pewarnaan Ziehl-Nielsen
o Pewarnaan Kinyoun Gabbett
Mikroskopik fluoresens:
o Pewarnaan auramin-rhodamin

(khususnya

untuk

screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali
pemeriksaan ialah bila :

2 kali positif, 1 kali negatif Mikroskopik positif


1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif Mikroskopik positif
o bila 3 kali negatf Mikroskopik negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala

Bronkhorst atau International Union Against Tuberculosis and


Lung Disease (IUATLD).

Tabel

2.3.

Berdasarkan

Interprestasi
Skala

Hasil

IUATLD

Pemeriksaan

(International

Mikroskopik

Union Against

Tuberculosis and Lung Disease, 2000)


Hitung BTA
KODE
Tidak ada BTA paling tidak 100 lapangan Negatif/0
pandang (lp)
1 - 9 BTA dalam 100 lp

Hitung BTA aktual

10 - 99 BTA dalam 100 lp

12

1 - 10 per lp paling tidak 50 lp

++

>10 BTA per lp paling tidak 20 lp

+++

ii.

Biakan
Pemeriksaan

biakan

M.

tuberculosis

dengan

metode

konvensional ialah dengan cara :

Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)


Agar base media (Middle brook)
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis

pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga


Mycobacterium

other

than

tuberculosis

(MOTT).

Untuk

mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan


melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji
niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta
melihat pigmen yang timbul (PDPI, 2006).
2.8.

Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA
dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat
memberi gambaran bermacam - macam bentuk (Amin dan Bahar, 2009 ;
PDPI, 2006).
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen
apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai
lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus.
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang sarang
pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak bercak seperti awan dengan
batas batas tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan
terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas.
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula mula berdinding
tipis. Lama lama dinding menjadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi

13

fibrosis terlihat bayangan bergaris garis. Pada kalsifikasi bayangannya


tampak sebagai bercak bercak padat dengan densitas tinggi.
Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak bercak halus
yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru (Amin dan Bahar,
2009).
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA dahak negatif) :
Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction
dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau
korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti.
Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal (PDPI, 2006).
2.9. Diagnosis Tuberkulosis Paru
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan
dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai
dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang
khas pada TB paru. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan
aktifitas penyakit (KEMENKES, 2009).
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan terdapatnya paling sedikit satu
spesimen konfirmasi M. tuberculosis atau sesuai dengan gambaran histologi TB atau
bukti klinis sesuai TB.
WHO merekomendasi pemeriksaan uji resistensi rifampisin dan / atau
isoniazid terhadap kelompok pasien berikut ini pada saat mulai pengobatan:
Semua pasien dengan riwayat OAT. TB resisten obat banyak didapatkan pada
pasien dengan riwayat gagal terapi.
Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif khususnya mereka yang
tinggal di daerah dengan prevalens sedang atau tinggi TB resisten obat.
Pasien dengan TB aktif setelah terpajan dengan pasien TB resisten obat.

14

Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resisten obat primer >3%.
WHO juga merekomendasi uji resistensi obat selama pengobatan berlangsung
pada situasi berikut ini:
o Pasien baru atau riwayat OAT dengan apusan dahak BTA tetap positif
pada akhir fase intensif maka sebaiknya melakukan apusan dahak BTA
pada bulan berikutnya. Jika hasil apusan BTA tersebut masih positif
maka biakan M. tuberculosis dan uji resistensi obat atau pemeriksaan
Xpert MTB/RIF harus dilakukan (KEMENKES, 2014).
2.10.

Pengobatan Tuberkulosis Paru


Tujuan pengobatan TB adalah:
-

Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien


Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
Mencegah kekambuhan TB
Mengurangi penularan TB kepada orang lain
Mencegah perkembangan dan penularan resisten obat (KEMENKES,
2014).

Tabel 2.4. Dosis Rekomendasi OAT Lini Pertama untuk Dewasa (KEMENKES,
2014)

OAT

Dosis

Dosis rekomendasi
Harian
3 kali per minggu
Maksimum
Dosis
Maksimum

(mg/kgBB)
(mg)
(mg/kgBB)
(mg)
Isoniazid
5 (4 - 6)
300
10 (8 - 12)
900
Rifampisin
10 (8 - 12)
600
10 (8 - 12)
600
Pirazinamid
25 (20 - 30)
3000
35 (30 - 40)
3000
Etambutol
15 (15 - 20)
2000
30 (25 - 35)
2500
Streptomisin*
15 (12 - 18)
500 - 750
15 (12 - 18)
1000
*Pasien berusia di atas 60 tahun tidak dapat mentoleransi lebih dari 500 - 700 mg per
hari, beberapa pedoman merekomendasikan dosis 10 mg/kg BB pada pasien
kelompok usia ini. Pasien dengan berat badan di bawah 50 kg tidak dapat
mentoleransi dosis lebih dari 500 - 750 mg per hari.
Berdasarkan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia yang dibuat
oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia pada tahun 2006, pengobatan tuberkulosis
dibagi menjadi:

15

TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas


Paduan obat yang diberikan :

2 RHZE / 4 RH

Alternatif

2 RHZE / 4R3H3 atau 2 RHZE / 6HE

Paduan ini dianjurkan untuk:


a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas.
Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan
hasil uji resistensi.
TB paru (kasus baru), BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi
minimal
Paduan obat yang diberikan

2 RHZE / 4 RH

Alternatif

2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE

TB paru kasus kambuh


Paduan obat yang diberikan sebelum ada hasil uji resistensi adalah 2
RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila
tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
TB paru kasus gagal pengobatan
Paduan obat yang diberikan sebelum ada hasil uji resistensi adalah
obat lini 2 (contoh paduan: 3 - 6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid,
sikloserin dilanjutkan 15 - 18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin).
Dalam keadaan tidak memungkinkan, pada fase awal dapat diberikan 2
RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila
tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
- Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil
yang optimal
- Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan
kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
a. Berobat 4 bulan
1. BTA saat ini negatif

16

Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka


pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif,
lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB
dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain.
Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang
lebih lama.
2. BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
b. Berobat < 4 bulan
1. Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama.
2. Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif
pengobatan diteruskan.
TB Paru kasus kronik
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji
resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi,
sesuaikan

dengan

hasil

uji

resistensi

(minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah


dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll.
Pengobatan minimal 18 bulan.
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan.
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru (PDPI,
2006).
2.11.

Pencegahan Penularan Tuberkulosis Paru

Langkah utama dalam pencegahan TB adalah dengan menerima vaksin TB


yaitu vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Di Indonesia, vaksin ini termasuk

17

dalam daftar imunisasi wajib dan diberikan sebelum bayi berusia tiga bulan. Vaksin
BCG juga dianjurkan bagi anak-anak, remaja maupun orang dewasa yang belum
pernah menerimanya pada waktu bayi. Keefektifan vaksin ini akan berkurang pada
orang dewasa.
Selain vaksinasi, pencegahan TB juga dapat dilakukan dengan mengenakan
masker saat berada di tempat umum yang ramai, jika berinteraksi dengan pengidap
TB, serta mencuci tangan secara teratur (khususnya pekerja medis).
Penderita TB dapat menularkan penyakit ini jika belum menjalani pengobatan
sepenuhnya. Langkah-langkah berikut merupakan cara mencegah penyebaran TB:
Menutup

mulut saat bersin, batuk, dan tertawa atau memakai masker.

Meludah

hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberi desinfektan (air

sabun)
Rumah

sebaiknya memiliki sirkulasi udara yang baik, misalnya pintu dan


jendela dibuka agar udara segar dapat masuk.

Penderita

TB sebaiknya tetap berada di rumah dan jangan tidur sekamar


dengan orang lain sampai setidaknya beberapa minggu setelah menjalani
pengobatan.

18

BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
2. Seseorang dapat tertular apabila menghirup droplet nuclei yang mengandung
M. tuberculosis, dan droplet nuclei tersebut melintasi mulut atau hidung,
3.

saluran napas bagian atas, bronkus, sampai ke alveolus paru paru.


Langkah utama dalam pencegahan TB adalah dengan menerima vaksin TB
yaitu vaksin BCG. Selain vaksinasi, pencegahan TB juga dapat dilakukan
dengan mengenakan masker saat berada di tempat umum yang ramai atau jika
berinteraksi dengan penderita TB, serta mencuci tangan secara teratur
(khususnya pekerja medis)..

3.2 Saran
1. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Oleh karena itu, sebelum terkena
penyakit tuberkulosis paru, sebaiknya dilakukan langkah langkah
2.

pencegahan penularan kuman dari penderita TB paru.


Jika telah terkena penyakit tuberkulosis paru, sebaiknya menjalani pengobatan
tuberkulosis secara teratur dan mencegah penularan kuman tuberkulosis
kepada orang lain.

Anda mungkin juga menyukai