Position Paper RUU Desa FPPD
Position Paper RUU Desa FPPD
Pada awal tahun 2007, Ditjen PMD Kementerian Dalam Negeri bersama FPPD dan
DRSP USAID mengambil kesepakatan menyiapkan Naskah Akademik dan RUU Desa.
FPPD mengambil peran menyiapkan Naskah Akademik dan Ditjen PMD menyiapkan
Naskah RUU Desa. Selama delapan bulan (Januari – Agustus 2007), FPPD telah
berproses menyiapkan Naskah Akademik, dan pada akhir Agustus 2007, Naskah
Akademik diserahkan kepada Direktur Pemerintahan Desa dan Kelurahan. Tidak
lama kemudian, tepatnya pada awal September 2007, Direktorat Pemerintahan Desa
dan Kelurahan telah mengeluarkan Draft I RUU Desa. Ternyata naskah RUU ini ditulis
tidak berdasarkan pada Naskah Akademik, melainkan hanya meningkatkan status PP
No. 72/2005 tentang Desa menjadi Draft Naskah RUU Desa, sehingga naskah RUU
Desa tampak minimalis. Pada bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya, PMD dan
FPPD melakukan engagement yang membahas secara bersama Naskah RUU Desa.
Dalam proses engagement ada beberapa masukan FPPD yang diterima oleh PMD
meskipun lebih banyak masukan yang tidak diterima. Pertama, sesuai dengan prinsip
subsidiarity ditetapkan kewenangan desa berskala lokal agar urusan dan fungsi desa
bagi masyarakat semakin jelas. Kedua, pelembagaan musyawarah desa sebagai
wadah pengambilan keputusan strategis secara partisipatif, misalnya keputusan
tentang pemekaran desa, pembentukan desa, alih status desa menjadi kelurahan,
perencanaan desa, hingga keputusan tentang investasi dari pihak swasta yang masuk
ke desa. Kami memandang penting hal ini sebab banyak keputusan, apalagi
keputusan tentang investasi, selama ini bersifat elitis yang hanya didominasi
(diputuskan sendiri) oleh kepala desa. Ketiga, pada bulan September 2010, kami
memberi masukan klausul Alokasi Dana Desa sebesar 5% dari total APBN, meskipun
pasal yang kemudian muncul adalah 5% dana dari total APBN untuk percepatan
pembangunan perdesaan dan pembangunan desa. Keempat, RUU desa
mengakomodasi gagasan kami tentang satu desa satu rencana dan satu anggaran,
agar desa tidak menjadi outlet berbagai program Bantuan Langsung Masyarakat
(BLM) yang berasal dari berbagai kementerian.
Tetapi, selain PMD yang masih konservatif, proses penyusunan RUU Desa juga
diwarnai tarik menarik antar Ditjen di dalam Kemendgri dan antarkementerian.
PMD berupaya mempromosikan otonomi (kemandirian) desa secara inkremental,
sementara Ditjen Otoda dan Ditjen Pemerintahan Umum, menolak otonomi desa.
Demikian juga Kementerian Keuangan yang menolak ADD dari APBN. Sementara di
Senayan, DPD dan para politisi DPR setuju mengatur keberagaman desa dan ADD 5%
dari APBN.
Sebagai respons atas tarik-menarik RUU Desa tersebut, FPPD berupaya menyajikan
kertas posisi sebagai titik pijak dan bahan untuk advokasi RUU Desa.
1
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
RUU Desa tampak tidak dilandasi perspektif yang memadai tentang reformasi desa.
Direktur Perkotaan dan Perdesaan Bappenas, misalnya, menyampaikan kritik
terhadap naskah RUU Desa yang terlalu bias pemerintahan. Sementara Bappenas --
yang sangat risau dengan kemiskinan dan urbanisasi penduduk desa ke kota --
mempunyai perspektif bahwa sebaiknya desa menjadi basis penghidupan ekonomi
bagi warga desa.
Kedua, pendekatan yang memadukan antara “membangun desa” dari atas dan
“desa membangun” dari dalam dan dari bawah. Konsep “desa membangun” berarti
mempunyai dimensi kemandirian, yang menempatkan desa sebagai subyek mandiri
untuk merencanakan dan menjalankan agenda-agenda pembangunan yang berskala
lokal. Secara kelembagaan, pendekatan ini merekomendasikan bahwa desa
sebaiknya mempunyai kewenangan yang proporsional, sistem perencanaan mandiri
dan sumber-sumber keuangan yang salah satu sumbernya berasal dari Alokasi Dana
Desa dari atas. Konsep “desa membangun” selain digerakkan oleh pemerintah desa
sebagai institusi publik yang kuat, juga bertumpu pada modal sosial yakni dalam
bentuk kearifan lokal, solidaritas sosial, kerjasama dan jaringan sosial baik berskala
lokal maupun berskala yang lebih besar di luar batas-batas wilayah desa.
2
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
dan ketertinggalan desa. Kalau pembangunan desa hanya bertumpu pada “desa
membangun” akan menciptakan kesendirian, bukan kemandirian. Karena itu harus
juga ada pendekatan “membangun desa”. Konsep “membangun desa” adalah
kebijakan afirmatif yang harus dilakukan pemerintah.
3
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
Tabel 1
Pilar dan tujuan reformasi desa
Pemerintahan yang demokratis. Ingat bahwa desa tidak lagi sepenuhnya menjadi
organisasi komunal seperti dulu yang cenderung paternalistik, tetapi telah
mengalami evolusi (karena masuk ke dalam negara) menjadi organisasi publik. Desa
menjadi bagian dari republik, karena itu desa adalah milik publik, dan dikembalikan
kepada publik. Ini identik dengan demokrasi. Pemerintahan desa yang demokratis
identik dengan pemerintahan rakyat: pemerintahan yang berasal “dari” (partisipasi)
rakyat; pemerintahan yang dikelola “oleh” (secara transparan dan
bertanggungjawab) rakyat dan dimanfaatkan sebaik-baiknya “untuk” (secarta
responsif) rakyat. Nilai-nilai dan institusi demokrasi ini harus diinternalisasi dan
dilembagakan dalam pemerintahan dan kehidupan sehari-hari, mengingat oligarkhi
dan kartel elite yang masih tertanam dalam desa, apalagi dalam desa adat.
4
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
Pembangunan yang mandiri. Ini yang disebut dengan “desa membangun”. Artinya
desa mempunyai kewenangan, kesempatan dan kekuatan untuk merencanakan,
membiayai, melaksanakan dan monev agenda-agenda pembangunan desa secara
mandiri. Mandiri bukan berarti sendiri.
5
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
Dalam konteks ini muncul anomalie yang serius dalam menerapkan azas pengaturan
desa untuk mempertegas kedudukan dan keragaman desa. Di satu sisi, hukum
ketatanegaraan RI mengadopsi teori desentralisasi yang sempit dan terbatas, yakni
hanya mengenal desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Sementara
teori-teori desentralisasi kontemporer menegaskan bahwa desentralisasi merupakan
bentuk distribusi kekuasaan negara kepada daerah, swasta maupun masyarakat.
Dalam hal distribusi kekuasaan dari pusat ke lokal, desentralisasi mencakup
beberapa jenis: devolusi (pemindahan), delegasi (penyerahan), dekonsentrasi
(pelimpahan), tugas pembantuan (penugasan), subsidiaritas (penetapan) dan
rekognisi (pengakuan). Karena sempitnya teori desentralisasi yang dikenal dalam
hukum tatanegara Indonesia, maka tidak dikenal adanya desentralisasi ke desa.
Menurut konstitusi dan regulasi, desentralisasi diberikan oleh pusat hanya kepada
daerah besar (provinsi) dan daerah kecil (kabupaten/kota). Selama ini hanya dikenal
pengakuan dan penghormatan otonomi asli desa. Otonomi asli menjadi problematik
karena semua urusan sudah menjadi milik negara, karena itu otonomi asli tidak bisa
digunakan sepenuhnya dan harus ada distribusi urusan dari negara ke desa.
Karena itu FPPD mengusulkan dua azas utama yang digunakan untuk mendasari
otonomi pemerintahan desa. Pertama, rekognisi atau pengakuan terhadap hak asal-
usul desa. Pasal 18 UUD 1945, misalnya, menekankan perspektif rekognisi ini, yakni
mengakui keberadaan daerah-daerah istimewa dan sejumlah 250 kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki beragam nama dan susunan aslinya. UU No.
32/2004 juga memberi pengakuan terhadap kewenangan/hak asal-usul desa, meski
penjabarannya tidak terlalu jelas. UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh juga
mengakui dan bahkan memulihkan posisi mukim yang semula hanya menjadi
lembaga adat menjadi unit pemerintahan yang berada di tengah-tengah kecamatan
dan desa (gampong).
Kedua, azas subsidiaritas, yakni penetapan kewenangan berskala lokal di aras desa
dan pengambilan keputusan secara lokal atas kepentingan masyarakat setempat.
Kami meyakini azas subsidiaritas ini, sebab masalah-masalah dan urusan berskala
6
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
lokal sebaik mungkin diputuskan atau ditangani di level desa, tidak perlu ditarik ke
level yang lebih tinggi. Dengan subsidiaritas urusan-urusan yang berskala lokal
diputuskan secara lokal dengan kewenangan desa, dan masalah-masalah lokal juga
diselesaikan secara lokal. Subsidiaritas mengandung spirit menghargai, mempercayai
dan menantang desa untuk bergerak atau berbuat sesuatu. Tanpa subsidiaritas itu
inisiatif lokal desa akan sulit tumbuh, dan desa kian menjadi beban berat bagi
pemerintah. Masyarakat adat di Indonesia sebenarnya mempunyai pengalaman
panjang dalam praktik subsidiaritas itu. Contoh yang utama adalah peradilan adat
atau penyelesaian sengketa lokal di Aceh. Peradilan adat pertama dilakukan di
tingkat gampong dan jika tidak selesai baru dibawa naik ketingkat mukim.
Mekanisme subsidiaritas ini hampir sama dengan mekanisme peradilan modern di
Indonesia, yakni dimulai dari pengadilan negeri (di level kabupaten/kota), jika tidak
selesai baru dibawa naik ke level pengadilan tinggi (provinsi) dan terakhir berada di
level kasasi Mahkamah Agung.
Desa-desa di Indonesia sangat beragam dari sisi sosial-budaya, politik, sejarah dan
geografis. Keragaman ini mengharuskan tipologi desa yang beragam pula, yang akan
menentukan disain kelembagaan tentang kedudukan, kewenangan, susunan
pemerintahan desa dan lain-lain. Selama ini pemilihan secara tegas dan konsisten
pada salah satu kedudukan desa mengalami kesulitan yang serius. Mengapa?
Pertama, ada kesulitan menafsirkan makna Pasal 18 UUD 1945. Apalagi substansi
Pasal 18 versi asli mengalami perubahan dalam UUD 1945 Amandemen Kedua. UUD
amandemen menghilangkan istilah desa. Pasal 18 ayat 1 menegaskan: “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah‐daerah provinsi dan daerah provinsi
itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap‐tiap provinsi, kabupaten dan kota
mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang‐undang”. Juga pasal
18B ayat 2 menegaskan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan‐kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang‐undang”. Dalam konteks ini sering muncul
pertanyaan apakah desa satu-satunya kesatuan masyarakat hukum adat?
7
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
Ketiga, secara historis, semua desa di Indonesia berbentuk self governing community.
Konstitusi UUD 1945 secara implisit juga menempatkan desa sebagai kesatuan
masyarakat hukum adat atau disebut dengan self governing community tersebut.
Tetapi secara lambat laun sejak kolonial dan puncaknya pada masa Orde Baru,
negara memaksakan bentuk the local state government pada desa, yang
menempatkan desa sebagai kepanjangan tangan negara. Di masa Orde Baru, desa
dibuat secara seragam sebagai desa administratif, sehingga spirit dan bentuk self
governing community mengalami kerusakan. UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004
mulai memasukkan dimensi local self government secara inkremental, tetapi belum
sempurna. Saat ini posisi desa dibuat default, yang mengandung campuran antara self
governing community (sebagaimana ditegaskan dalam kewenangan asal-usul,
mempunyai tanah bengkok atau ulayat, dan perangkat desa yang dikelola secara
tradisional), local self government (desa berwenang menyusun organisasi desa dan
perencanaan desa, mengelola kewenangan berskala lokal, memperoleh ADD, ada
pilkades langsung, ada BPD, dll) yang belum sempurna, dan juga ada local state
government (ada begitu banyak tugas pembantuan atau permintaan tolong kepada
desa). Tetapi posisi dan institusi yang inti tidak ditonjolkan.
Keempat, karena pengaruh adat, kondisi geografis dan kemajuan pembangunan yang
berbeda, kondisi desa-desa di Indonesia sangat beragam. Bentuk desa otonom tentu
sangat cocok diterapkan di Jawa, sebagian Sumatera, sebagian Kalimantan, sebagian
Sulawesi. Sebaliknya format desa adat (rekognisi) tidak tepat diterapkan di Jawa
karena di Jawa pengaruh adat semakin hilang. Tetapi format desa otonom itu akan
sangat sulit bekerja di daerah-daerah yang pengaruh adatnya terhadap
pemerintahan masih kuat seperti di Bali, Kalimantan Barat, Aceh, Maluku, NTT.
Sumatera Barat merupakan kekecualian, sebab provinsi ini sejak 2000/2001 telah
membentuk kembali (recreating) nagari yang merupakan integrasi antara desa
negara dan adat.
Kelima, ukuran (size) geografis dan demografis Desa menjadi isu penting dalam
otonomi desa, terutama sebagai basis kekuatan sumberdaya lokal. Berdasarkan
kalkulasi nominal, desa umumnya mempunyai keterbatasan luas wilayah, jumlah
8
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
penduduk, potensi desa, dan lain-lain. Memang sejauh ini belum ada ukuran yang
ideal untuk ukuran wilayah sebuah Desa sebagai kekuatan penopang bagi otonomi
Desa, karena potret yang kontras antara NAD dan Sumatera Barat di satu sisi serta
Jawa Tengah dan DIY di sisi lain bisa menjadi bahan kajian berikutnya. Tetapi
beberapa orang, termasuk Soetardjo Kartohadikoesoemo (1953, 1984), Selo
Soemardjan (1992), Nasikun (2004) maupun Sadu Wasistiono (2007) masih
meragukan apakah mungkin kecilnya ukuran Desa menjadi basis yang kuat bagi
otonomi Desa. Karena itu mereka mengusulkan perlunya penggabunganDesa-Desa
yang kecil seperti pernah terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada masa Sultan
HB IX. Jika kita tengok ke belakang, UU No. 22/1948 juga merekomendasikan sebuah
manajemen transisi dalam bentuk pembinaan dan penggabungan desa sebelum
konsep desa sebagai daerah otonom tingkat III diterapkan. Sadu Wasistiono (2007)
juga merekomendasikan bahwa penerapan desa otonom membutuhkan transisi
setidaknya 10 tahun untuk mempersiapkan penggabungan desa dan kapasitas desa
secara menyeluruh. Kondisi geografis, demografis maupun spasial desa itu tentu
merupakan masalah yang harus diperhatikan dalam mendisain desa otonom.
Ada dua opsi yang bisa dilakukan untuk pengaturan keragaman desa. Pertama, cara
pengaturan menggunakan pendekatan “pengecualian” dari desa generik yang
menjadi pokok pengaturan paling utama dalam undang-undang. Artinya, undang-
undang memberikan pengaturan desa secara generik yang berlaku umum di
Indonesia, kecuali bagi daerah-daerah atau desa-desa dimana pengaruh adat masih
sangat kuat. UU No. 32/2004 sebenarnya telah menggunakan pendekatan ini.
Penerapan pendekatan “pengecualian” itu diserahkan sepenuhnya kepada
pemerintah daerah dan masyarakat setempat, yang tentu saja mengandung
kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, pendekatan itu membuka kesempatan
kepada pemerintah daerah untuk mengatur keragaman sesuai dengan kondisi lokal,
tetapi kelemahannya adalah munculnya keengganan dan ketidakmampuan daerah
sehingga tetap saja tidak ada pengaturan beragam secara lokal.
9
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
Kertas posisi FPPD ini memilih opsi yang kedua daripada opsi pertama. Secara
teoritis, sesuai dengan proses tranformasinya, desa dibagi ke dalam tipe Desa adat
(self governing community), desa praja (local state government) dan desa swapraja
(local self government). Tetapi tipologi ini sangat kompleks dan rumit karena
memasukkan berbagai komponen mulai dari pengaruh adat sampai dengan
kemajuan pembangunan. Karena itu FPPD mengusulkan dua tipe desa yang
didasarkan pada kuat-lemahnya pengaruh adat, yakni Desa dan Desa Adat.
Mengenai desa adat memang sangat problematik. Di satu sisi, desa adat mengalami
marginalisasi oleh negara dan modal. Tetapi secara internal, desa adat tidak
demokratis (elitis dan oligarkhis) dan tidak menjunjung tinggi keadilan gender,
meskipun para pemimpin adat mengklaim bahwa mereka mempunyai institusi
demokrasi lokal dan menghormati-melindungi harkat martabat perempuan.
Menghadapi problem ini, FPPD mengambil sikap bahwa desa adat harus dibela
dengan rekognisi tetapi juga harus dilawan dengan demokrasi. Pertama, rekognisi
memberikan hak desa adat untuk merawat kearifan lokal dan mengakses terhadap
sumberdaya alam yang selama ini menjadi basis penghidupan komunal. Kedua, nilai-
nilai universal (transparansi, akuntabilitas, partisipasi) dan keadilan gender harus
diintervensikan ke dalam organisasi kekuasaan desa adat. Meskipun intervensi
demokrasi ini membutuhkan waktu dan proses panjang, tetapi tetap ada peluang
yang baik, sebab sekarang generasi baru yang lahir dari desa adat telah tersentuh
nilai-nilai demokrasi universal dan gender.
Desa (atau disebut dengan nama lain) mempunyai karakteristik generik yang berlaku
umum untuk seluruh Indonesia, sebagaimana kita kenal selama ini dalam UU No.
32/2004. Sedangkan desa adat mempunyai karakter yang berbeda dengan desa
generik pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem
pemerintahan lokal, pengelolaan sumberdaya lokal maupun kehidupan sosial-
budaya masyarakat setempat. Perbedaan mendasar antara Desa dan Desa Adat
terletak pada azas pengaturan, kewenangan serta bentuk dan susunan pemerintahan.
Kedua tipe sama-sama memiliki otonomi, tetapi ada kesamaan dan perbedaannya:
1. Desa Adat adalah desa yang masih memperoleh pangaruh adat secara kuat,
sementara pengaruh adat dalam Desa relatif lemah.
2. Desa Adat dan Desa sama-sama memiliki hak kewenangan asal-usul, tetapi
asal-usul dalam Desa Adat lebih dominan dibandingkan di Desa.
3. Desa Adat mengutamakan azas rekognisi (pengakuan dan penghormatan),
sementara Desa mengutamakan azas subsidiarity (penetapan kewenangan
berskala lokal lokal desa).
4. Pemerintahan (beserta lembaga dan perangkat) Desa Adat menggunakan
susunan asli (asal-usul), sementara Desa menggunakan susunan modern
seperti yang selama ini kita kenal.
5. Keduanya sama-sama menjalankan pemerintahan umum yang ditugaskan
oleh negara, dan juga sama-sama memperoleh alokasi dana desa (ADD).
10
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
Bentuk Desa Adat, karena itu sangat beragam, yang dipengaruhi oleh keragaman
sistem politik, sosial, ekonomi dan budaya dari komunitas asli dalam
mengembangkan tata pemerintahannya. Desa Adat memiliki kewenangan asli di
bidang pengaturan kelembagaan kepemerintahan sejauh tidak bertentangan dengan
perundang-undangan, pengaturan tentang adat-istiadat yang berlaku mengikat bagi
komunitasnya, dan pengelolaan sumberdaya alam yang menjadi hak-hak
tradisionalnya.
11
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
pemerintahan umum, karena tugas ini dijalankan oleh kecamatan. Desa Adat Badui
Dalam mempunyai struktur Desa Adat yang dipimpin tetua adat yang menempatkan
struktur tambahan, yakni jaro pemerintahan (semacam kepala desa) untuk
mengurus pemerintahan umum, Desa Adat di Bali tidak mengurus pemerintahan
umum sementara tugas ini dikelola oleh Desa Dinas. Oleh karena itu,
penyelenggaraan pemerintahan umum dalam desa lebih baik diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Desa yang disesuaikan dengan kondisi dan aspirasi lokal.
Ada dua opsi pendekatan dalam penetapan tipe desa. Pertama, melalui pendekatan
integrasi, yakni: (a) memasukkan adat ke dalam struktur desa yang kemudian
menjadi Desa; (b) memasukkan desa ke dalam struktur adat sehingga menjadi Desa
Adat; dan (c) antara adat dan desa melebur menjadi satu struktur baru yang bersifat
campuran. Opsi (a) sudah lama terjadi dalam kasus pembentukan desa-desa di Jawa
pada masa lalu, dimana adat dimasukkan ke dalam struktur desa. Opsi (b) terjadi di
Maluku. Negeri di Maluku merupakan integrasi desa ke dalam desa adat, dimana
negeri menggunakan susunan asli dan sekaligus menjalankan tugas-tugas
pemerintahan umum yang diberikan oleh pemerintah serta memperoleh ADD. Di
Maluku juga memiliki desa (desa-desa baru hasil pembentukan atau pemekaran dari
negeri) yang menggunakan susunan modern seperti desa-desa pada umumnya yang
ada di Jawa. Opsi (c) terjadi di Sumatera Barat sejak tahun 2000/2001. Pembentukan
kembali Nagari di Sumatera Barat memberi contoh penggabungan antara desa dan
desa adat yang agak berbeda dengan negeri di Maluku. Di Nagari, antara adat dan
desa melebur menjadi satu, dengan memiliki susunan campuran, serta menggunakan
azas rekognisi dan subsidiarity.
Kedua, pendekatan koeksistensi, yakni tetap memelihara dualisme antara Desa dan
Desa Adat secara berdampingan dan saling melengkapi. Pendekatan ini merupakan
pengecualian dari pendekatan integrasi, yang bisa dilakukan oleh pemerintah,
sebagaimana pengalaman di Bali. Bali mempunyai desa adat dan desa dinas,
keduanya ibarat suami isteri yang saling membantu dan melengkapi. Keduanya
saling membagi peran dan kewenangan, serta saling melengkapi. Desa dinas
mengelola pemerintahan umum, sementara desa adat mengurus keagamaan dan adat
serta memiliki Lembaga Perkreditan Desa (LPD) seperti halnya Badan Usaha Milik
Desa (BUMDes) yang dimiliki desa adat.
12
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
Pengaturan Umum
Pembedaan antara Desa dan Desa Adat mempunyai tujuan untuk rekognisi dan
konservasi secara tegas terhadap Desa Adat. Namun rekognisi dan konservasi ini
bukan untuk menciptakan “kesendirian” terhadap Desa Adat atau melakukan isolasi
terhadap Desa Adat yang menyebabkan Desa Adat tertinggal dibandingkan dengan
Desa. Dalam kontek disini, tetap ada intervensi negara dan pengaturan umum
terhadap Desa Adat asal tidak merusak prinsip-prinsip rekognisi dan konservasi.
Dalam perkembangannya Desa Adat pun dapat (bukan harus) berubah menjadi Desa,
tergantung pada prakarsa masyarakat setempat dan pemerintah daerah.
Kewenangan Desa. Mengingat kedudukan desa tidak lagi menjadi bagian dari
subsistem pemerintahan kabupaten/kota, melainkan sebagai organisasi
pemerintahan terbawah dan terdekat dengan masyarakat, maka tidak ada lagi model
indirect rule melalui penyerahan kewenangan dari kabupaten/kota kepada desa.
Model inderect rule itu berubah menjadi direct rule, sehingga harus ada penetapan
oleh undang-undang atas kewenangan desa.
Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Desa antara lain berupa
pelestarian nilai-nilai sosial budaya dan hukum adat setempat, pengurusan,
pengelolaan, dan pelestarian sumber daya alam, penyelesaian sengketa keperdataan
yang terjadi dalam wilayahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan
lain-lain.
13
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
Kewenangan nyata berkaitan dengan pengelolaan public goods berskala desa, yang
sudah dijalankan desa, mampu dijalankan desa, maupun urusan yang lebih efisien
dijalankan oleh desa. Penetapan kewenangan nyata desa ini bukan berarti desa
”merebut” sebagian kewenangan (yang menurut PP No. 38/2007 sudah habis dibagi
ke provinsi dan kabupaten/kota) dan ”mengambil” keuntungan finansial dari
kewenangan itu, melainkan sebenarnya untuk menegaskan hakekat dan fungsi desa
bagi rakyat, sekaligus memperkuat emansipasi (prakarsa, tanggungjawab dan
gerakan) desa dalam pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan publik yang dekat
dengan masyarakat setempat. Permendagri No. 30/2006 bisa digunakan sebagai
referensi untuk menentukan jenis-jenis kewenangan lokal desa, dengan perlu
pemilahan antara ”mengatur” (yang menjadi hakekat kewenangan), ”mengurus” dan
”membantu”. Sesuai prinsip subsidiarity, kewenangan berarti harus lebih banyak
mengatur daripada mengurus dan membantu, dengan tujuan agar urusan-urusan
kecil berskala desa bisa selesai di desa, sehingga tidak perlu dibawa naik ke
kabupaten/kota.
Kewenangan desa dapat dibuat menjadi kewenangan wajib dan kewengan pilihan.
Sebagai contoh, untuk bidang pendidikan dan kesehatan bisa ditetapkan sebagai
kewenangan wajib desa, yang harus dijalankan oleh seluruh desa. Sedangkan
kewenangan pilihan, bisa memanfaatkan daftar urusan yang tercantum dalam
Permendagri, yang bisa dijadikan semacam positive list, dimana desa bisa
menentukan kewenangan pilihan sesuai dengan kondisi dan kemampuan desa.
Dengan demikian, jenis dan jumlah kewenangan desa yang satu dengan desa yang
lain bersifat beragam.
14
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
Mengingat kedudukan, kewenangan dan keuangan yang semakin jelas dan besar,
maka penyelenggaraan pemerintahan desa harus lebih akuntabel yang didukung
dengan kontrol dan keseimbangan (check and balances) antara pemerintah desa dan
lembaga-lembaga desa. Badan Permusyawaratan Desa lebih baik digantikan dengan
Badan Perwakilan Desa. BPD merupakan lembaga representasi rakyat desa yang
menjalankan fungsi check and balances terhadap pemerintah desa. BPD mempunyai
fungsi legislasi, budget dan kontrol. Tetapi BPD tidak berhak menjatuhkan kepala
desa seperti UU No. 22/1999, kecuali hanya mengusulkan pemberhentian kepala
desa kepada bupati.
Badan Perwakilan Desa (BPD), atau disebut nama lain, berkedudukan sebagai
lembaga perwakilan rakyat desa dan unsur penyelenggara pemerintahan desa.
Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan
keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara pemilihan langsung.
Anggota BPD terdiri dari unsur-unsur masyarakat dan kuota 30% untuk
perempuan.
BPD berfungsi menetapkan peraturan desa, perencanaan desa dan APBDes,
serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
BPD mempunyai wewenang: (a) membentuk dan menyelenggarakan
musyawarah desa; (b) membahas rancangan peraturan desa bersama kepala
desa; (c) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan
peraturan kepala desa; (d) mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian
kepala desa; (e) membentuk panitia pemilihan kepala desa; (f) menggali,
menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi
masyarakat; dan (g) menyusun tata tertib BPD.
BPD mempunyai hak: (a) meminta keterangan kepada Pemerintah Desa; dan
(b) menyatakan pendapat.
15
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
yang dilakukan oleh kepala desa, sekaligus pelibatan warga masyarakat guna
memberikan perlindungan terhadap aset-aset strategis desa. Jika desa akan
mengambil keputusan strategis, maka BPD berwenang membentuk dan
menyelenggarakan musyawarah desa.
Keuangan Desa. Kedudukan dan kewenangan desa semakin jelas, yang hal ini akan
semakin memperjelas fungsi-fungsi desa dalam pemerintahan, pelayanan publik,
pembangunan dan kemasyarakatan yang bermanfaat bagi masyarakat. Kejelasan ini
harus diikuti juga dengan kejelasan dari sisi keuangan, sesuai dengan prinsip no
mandate without funding dan money follow functions. Kami FPPD ini mengusulkan
perubahan pasal sebagai berikut:
Kami mengusulkan ADD sebesar 10% dari total APBN. Sebagai konsekuensi
kejelasan kedudukan desa yang tidak lagi berada dalam subsistem pemerintahan
kabupaten/kota, dan juga ada penetapan kewenangan dari undang-undang, maka
ADD bersumber dari APBN. Poin ini tentu debatable. Banyak pihak yang melakukan
16
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
Dalam konteks ini FPPD mengusulkan model atau format perencanaan desa yang
mengandung sejumlah ciri khas:
a. Satu desa satu rencana satu anggaran dan bahkan satu produk.
b. Perencanaan desa merupakan sistem perencanaan sendiri (self-planning)
yang menjangkau urusan-urusan pembangunan dan pemerintahan yang
menjadi kewenangan dan tanggungjawab (domain) desa. Sebagai contoh
adalah kewenangan mengelola jalan kampung, penerangan desa, sampah,
keamanan kampung, drainase, kuburan, pengelolaan air, lahan pertanian,
pengelolaan unit, pengelolaan jasa alat mesin pertanian, fasilitasi organisasi
tani desa, pengembangan badan usaha milik desa, pemberdayaan lembaga
kemasyarakatan, posyandu, rumah belajar warga, dan masih banyak lagi. Jika
kewenangan bidang-bidang pembangunan dan pemerintahan ini sudah dibagi
kepada desa, maka selanjutnya desa berwenang membuat sendiri
perencanaan atas pengelolaan bidang-bidang itu.
c. Kewenangan yang sudah dibagi ke desa, dan kemudian dicover dengan
perencanaan desa, membutuhkan dukungan dana alokasi desa (ADD) dari
kabupaten. Ini bukan meminta-minta atau membuat ketergantungan, tetapi
17
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
ADD merupakan hak desa dan kewajiban kabupaten, yang digunakan untuk
membiayai perencanaan pembangunan desa.
d. Perencanaan desa dibuat dalam bentuk rencana strategis sebagai rencana
jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah (RPJMDesa), dan
rencana pembangunan tahunan (RKPDesa).
e. Perencanaan desa merupakan sistem yang terpadu dan dibuat sistem
budgeter (budgetary system) di desa melalui skema APBDesa. Artinya, kecuali
perencanaan sektoral kabupaten maupun pelaksanaan tugas-tugas
pembantuan (yang menjadi domain pemerintah supradesa), program-
program pembangunan yang bersifat spasial dan berbasis desa sebaiknya
diintegrasikan secara terpadu dalam perencanaan desa dan dana program-
program itu dimasukkan ke dalam APBDesa (budgetary system). Integrasi
secara terpadu ini mempunyai beberapa tujuan. Pertama, menghindari
terjadinya “dualisme” perencanaan dan pengelolaan pembangunan,
sebagaimana desa mengelola perencanaan rutin serta agenda pembangunan
lainnya (misalnya PNPM Mandiri) yang berada di luar sistem anggaran desa.
Dalam praktiknya perencanaan rutin justru sering terbengkelai karena
kurang memiliki kepastian dana, sementara program-program luar itu
memasok dana yang lebih besar dan lebih pasti. Kedua, desa akan lebih fokus
merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat setempat.
f. Perencanaan desa dikelola untuk merespons secara dekat-langsung berbagai
kebutuhan masyarakat desa serta diproses secara partisipatif. Forum
Musrenbangdes, LPMD, RT, RW, kelompok tani, kelompok perempuan, karang
taruna, kelompok keagamaan dan lain-lain merupakan arena yang nyata
untuk mewadahi proses perencanaan partisipatif di desa. Di internal desa,
partisipasi pembangunan mensyaratkan adanya pelembagaan yang
demokratis dalam struktur pengambilan kebijakan desa. Kinerja lembaga
eksekutif (pemerintah desa) dan lembaga BPD hendaknya diatur dalam
sebuah relasi yang mampu mendorong proses demokrasi yang ada di desa.
Begitu pula peran masyarakat sipil di desa tetap saja diberikan arena untuk
mengembangkan suara, akses dan kontrol mereka terhadap jalannya
pemerintahan dan pembangunan desa.
g. Perencanaan desa tidak perlu dibawa atau diusulkan naik ke atas, misalnya
untuk memperoleh persetujuan. Musrenbang di kabupaten tidak lagi
digunakan untuk menilai, menyeleksi atau menyetujui usulan dari desa.
Dalam konteks perencanaan desa, kabupaten bertugas melakukan pembinaan,
fasilitasi dan supervisi.
h. Tanggungjawab perencanaan desa diletakkan di tingkat desa, bukan kepada
kabupaten. Desa cukup menyampaikan dokumen-dokumen perencanaan dan
pelaksanaannya kepada kabupaten sebagai bahan untuk melakukan
pembinaan, fasilitasi dan supervisi.
Dalam kontek sini desa ditetapkan menjadi institusi pemerintahan yang mempunyai
perencanaan sendiri (self planning) yang didasarkan pada kewenangan yang dimiliki.
Tujuannya agar desa lebih mandiri dan kuat dalam mengembangkan inisiatif maupun
potensi lokal dan mengambil keputusan. Agar pembangunan desa, terutama “desa
membangun” lebih terarah dan berhasilguna, maka RPJMDesa ditempatkan sebagai
wadah tunggal perencanaan. Pihak supradesa maupun pihak ketiga yang mempunyai
18
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Baik Desa maupun Desa Adat dapat
membentuk dan mengembangkan BUMDes, atau nama lain, untuk mengoptimalkan
pelayanan sosial kepada warga, meningkatkan kegiatan ekonomi lokal dan
meningkatkan pendapatan masyarakat dan PADes. Secara hukum dan secara
institusional, BUMDes bersifat unik yang berbeda dengan bentuk-bentuk usaha lain,
sehingga standar bank, koperasi, atau perusahaan privat tidak bisa digunakan untuk
memandang BUMDes. Dari sisi badan hukum, BUMDes bukanlah bank, bukan PT,
bukan CV, bukan koperasi. BUMDes adalah BUMDes yang setara dengan bank atau
koperasi. BUMDes adalah usaha desa yang digerakkan oleh pemerintah desa dan
warga masyarakat desa.
BUMDes dapat mengembangkan berbagai jenis usaha. Pertama, usaha serving. Jenis
usaha semacam ini menjalankan ”bisnis sosial” yang melayani, yakni dapat
melakukan pelayanan publik kepada masyarakat sekaligus juga memperoleh
keuntungan finansial dari pelayanan itu. Usaha ini memanfaatkan sumberdaya lokal
dan teknologi tepat guna, seperti usaha air minum desa dan usaha listrik desa.
Kedua, usaha yang bertipe banking. BUMDes menjalankan ”bisnis uang”, seperti
Bank desa atau lembaga perkreditan desa atau lembaga keuangan mikro desa.
Modalnya bisa berasal dari ADD, PADes, tabungan masyarakat serta dukungan dari
pemerintah, seperti halnya pemerintah mendukung pengembangan Bank
Pembangunan Daerah. Bisnis uang desa ini sebenarnya mengandung bisnis sosial
dan bisnis ekonomi. Bisnis sosial artinya bank desa tersebut dimaksudkan sebagai
bentuk proteksi sosial terhadap warga desa, terutama kelompok-kelompok rentan
dan perempuan, dari jeratan para rentenir. Bisnis ekonomi artinya bank desa
tersebut untuk mendukung permodalan terhadap usaha-usaha skala mikro yang
dijalankan oleh pelaku ekonomi desa.
Ketiga, jenis usaha bertipe brokering. BUMDes dapat menjadi “lembaga perantara”
yang menghubungkan komoditas lokal dengan pasar atau agar para pelaku ekonomi
lokal tidak kesulitan menjual produk mereka ke pasar. Atau BUMDes menjual jasa
pelayanan kepada warga dan usaha-usaha masyarakat. Misalnya jasa pembayaran
listrik; desa mendirikan pasar desa untuk memasarkan produk-produk yang
dihasilkan masyarakat; BUMDes membangun jaringan dengan swasta atau pasar
yang lebih luas guna memasarkan produk-produk lokal.
19
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011
Tabel 2
Klasifikasi jenis usaha BUMDes
Keempat, usaha BUMDes bertipe holding. BUMDes ini sebagai ”usaha bersama”, atau
sebagai induk dari unit-unit usaha yang yang dikembangkan masyarakat di desa,
dimana masing-masing unit yang berdiri sendiri-sendiri ini, diatur dan ditata
sinerginya oleh BUMDes agar tumbuh usaha bersama. Sebagai contoh BUMDes
mengembangkan kapal desa yang berskala besar untuk mengorganisir dan
mewadahi nelayan-nelayan kecil agar usahanya menjadi lebih besar. Contoh yang
lain adalah ”desa wisata” yang mengorganisir berbagai jenis usaha dari kelompok
masyarakat: makanan, kerajinan, sajian wisata, kesenian, penginapan, dan
sebagainya.
20