Anda di halaman 1dari 20

Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD)

POSITION PAPER RUU TENTANG DESA

Pada awal tahun 2007, Ditjen PMD Kementerian Dalam Negeri bersama FPPD dan
DRSP USAID mengambil kesepakatan menyiapkan Naskah Akademik dan RUU Desa.
FPPD mengambil peran menyiapkan Naskah Akademik dan Ditjen PMD menyiapkan
Naskah RUU Desa. Selama delapan bulan (Januari – Agustus 2007), FPPD telah
berproses menyiapkan Naskah Akademik, dan pada akhir Agustus 2007, Naskah
Akademik diserahkan kepada Direktur Pemerintahan Desa dan Kelurahan. Tidak
lama kemudian, tepatnya pada awal September 2007, Direktorat Pemerintahan Desa
dan Kelurahan telah mengeluarkan Draft I RUU Desa. Ternyata naskah RUU ini ditulis
tidak berdasarkan pada Naskah Akademik, melainkan hanya meningkatkan status PP
No. 72/2005 tentang Desa menjadi Draft Naskah RUU Desa, sehingga naskah RUU
Desa tampak minimalis. Pada bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya, PMD dan
FPPD melakukan engagement yang membahas secara bersama Naskah RUU Desa.

Dalam proses engagement ada beberapa masukan FPPD yang diterima oleh PMD
meskipun lebih banyak masukan yang tidak diterima. Pertama, sesuai dengan prinsip
subsidiarity ditetapkan kewenangan desa berskala lokal agar urusan dan fungsi desa
bagi masyarakat semakin jelas. Kedua, pelembagaan musyawarah desa sebagai
wadah pengambilan keputusan strategis secara partisipatif, misalnya keputusan
tentang pemekaran desa, pembentukan desa, alih status desa menjadi kelurahan,
perencanaan desa, hingga keputusan tentang investasi dari pihak swasta yang masuk
ke desa. Kami memandang penting hal ini sebab banyak keputusan, apalagi
keputusan tentang investasi, selama ini bersifat elitis yang hanya didominasi
(diputuskan sendiri) oleh kepala desa. Ketiga, pada bulan September 2010, kami
memberi masukan klausul Alokasi Dana Desa sebesar 5% dari total APBN, meskipun
pasal yang kemudian muncul adalah 5% dana dari total APBN untuk percepatan
pembangunan perdesaan dan pembangunan desa. Keempat, RUU desa
mengakomodasi gagasan kami tentang satu desa satu rencana dan satu anggaran,
agar desa tidak menjadi outlet berbagai program Bantuan Langsung Masyarakat
(BLM) yang berasal dari berbagai kementerian.

Tetapi, selain PMD yang masih konservatif, proses penyusunan RUU Desa juga
diwarnai tarik menarik antar Ditjen di dalam Kemendgri dan antarkementerian.
PMD berupaya mempromosikan otonomi (kemandirian) desa secara inkremental,
sementara Ditjen Otoda dan Ditjen Pemerintahan Umum, menolak otonomi desa.
Demikian juga Kementerian Keuangan yang menolak ADD dari APBN. Sementara di
Senayan, DPD dan para politisi DPR setuju mengatur keberagaman desa dan ADD 5%
dari APBN.

Sebagai respons atas tarik-menarik RUU Desa tersebut, FPPD berupaya menyajikan
kertas posisi sebagai titik pijak dan bahan untuk advokasi RUU Desa.

1
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

Tujuan dan Agenda Reformasi Desa

RUU Desa tampak tidak dilandasi perspektif yang memadai tentang reformasi desa.
Direktur Perkotaan dan Perdesaan Bappenas, misalnya, menyampaikan kritik
terhadap naskah RUU Desa yang terlalu bias pemerintahan. Sementara Bappenas --
yang sangat risau dengan kemiskinan dan urbanisasi penduduk desa ke kota --
mempunyai perspektif bahwa sebaiknya desa menjadi basis penghidupan ekonomi
bagi warga desa.

FPPD mengedepankan beberapa pendekatan untuk memahami desa. Pertama,


pendekatan yang berbasis hak (right based approach) untuk memperkuat dan
memperjelas akses desa terhadap SDA, pelayanan publik dan anggaran. Pendekatan
ini merupakan antitesis dari pendekatan yang berbasis kebutuhan dasar (basic needs
approach). Dalam studi pembangunan, pendekatan kebutuhan dasar muncul pertama
kali dalam merespons dan mengkritik pembangunan yang berorientasi
pertumbuhan, terutama untuk menjawab problem kemiskinan yang diakibatkan dari
pertumbuhan atau kegagalan konsep trickle down effect dalam menjanjikan
kemakmuran. Pendekatan kebutuhan dasar memang paling dasar harus dilakukan
kepada kaum marginal, misalnya kaum miskin, dalam bentuk layanan sosial yang
paling dasar. Pemerintah tentu berkewajiban menyediakan layanan sosial dasar,
sekaligus membuka askes secara terbuka dan nondiskriminatif bagi kaum marginal
untuk memperoleh layanan itu. Tetapi belakangan dalam studi pembangunan
muncul pendekatan baru, yakni pendekatan yang berbasis hak (right based approach
to development), sebagai kritik dan revisi atas pendekatan berbasis kebutuhan dasar.
Jika pendekatan berbasis kebutuhan berupaya mengamankan sumberdaya tambahan
untuk melayani atau mencukupi kebutuhan kelompok-kelompok marginal, maka
pendekatan berbasis hak menegaskan bahwa sumberdaya yang tersedia seharusnya
dibagi secara adil kepada kaum marginal, sekaligus memperkuat posisi kaum
margninal memperjuangkan hak-hak mereka atas sumberdaya. Kedua pendekatan
itu juga berbeda dari sisi motivasi. Jika kebutuhan bisa ditangani dengan pendekatan
karitatif (amal), maka hak kaum marginal berbasis pada kewajiban legal (legal
obligation) bahkan dalam beberapa kasus ia berbasis pada kewajiban etik yang
menjadi fondasi bagi nasib manusia (Celestine Nyamu-Musembi dan Andrea
Cornwall, 2004).

Kedua, pendekatan yang memadukan antara “membangun desa” dari atas dan
“desa membangun” dari dalam dan dari bawah. Konsep “desa membangun” berarti
mempunyai dimensi kemandirian, yang menempatkan desa sebagai subyek mandiri
untuk merencanakan dan menjalankan agenda-agenda pembangunan yang berskala
lokal. Secara kelembagaan, pendekatan ini merekomendasikan bahwa desa
sebaiknya mempunyai kewenangan yang proporsional, sistem perencanaan mandiri
dan sumber-sumber keuangan yang salah satu sumbernya berasal dari Alokasi Dana
Desa dari atas. Konsep “desa membangun” selain digerakkan oleh pemerintah desa
sebagai institusi publik yang kuat, juga bertumpu pada modal sosial yakni dalam
bentuk kearifan lokal, solidaritas sosial, kerjasama dan jaringan sosial baik berskala
lokal maupun berskala yang lebih besar di luar batas-batas wilayah desa.

Bagaimanapun “desa membangun” lebih berorientasi pada pemberdayaan dan


penghargaan terhadap desa, tetapi ia tidak cukup mampu mendongkrak kemiskinan

2
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

dan ketertinggalan desa. Kalau pembangunan desa hanya bertumpu pada “desa
membangun” akan menciptakan kesendirian, bukan kemandirian. Karena itu harus
juga ada pendekatan “membangun desa”. Konsep “membangun desa” adalah
kebijakan afirmatif yang harus dilakukan pemerintah.

Ketiga, paralel dengan konsep “desa membangun”, kami meyakini konsep


emansipasi lokal yang berorientasi asset based development. Artinya desa bukan
hanya sebagai obyek penerima bantuan dari pemerintah, melainkan dengan
menggunakan spirit “otonomi dari bawah” dan “otonomi dari dalam”, desa tampil
sebagai subyek mandiri, yang mempunyai emansipasi lokal (kemampuan, prakarsa
dan gerakan kolektif) dalam menyumbang kemakmuran dan kesejahteraan dengan
cara mengembangkan aset-aset lokal. Sebagai contoh, sejumlah desa di Gunungkidul,
Solok, Agam, Lombok Barat, Bima, memanfaatkan sumber air dijadikan perusahaan
air minum desa. Air minum ini mempunyai manfaat dan dampak luar biasa terhadap
kesehatan, pendidikan dan bahkan keadilan gender. Semula anak-anak perempuan
setiap pagi mengambil air dari jauh untuk keperluan keluarga sehingga mereka
tertinggal dalam bersekolah. Tetapi ketika air minum dialirkan ke rumah-rumah
warga, anak-anak perempuan itu tidak lagi mencari air di tempat yang jauh, dan
karena itu bisa lebih berkonsentrasi di pendidikan.

Keempat, pendekatan transformatif, sebagai antitesis atas pendekatan romantisme-


lokalisme. Artinya desa harus dikembangkan dalam kerangka republik, atau
dikembangkan menjadi institusi publik yang mandiri, demokratis dan sejahtera.
Tentu hal ini dilakukan secara inkremental yang tetap memperhatikan dimensi
sejarah dan konteks lokal. Tetapi kalau terus-menerus bicara sejarah dan konteks
lokal, maka upaya membangun republik akan mengalami kesulitan besar.

Berbagai pendekatan itu yang menjadi referensi penting untuk reformasi


(pembaruan) desa, yang secara konseptual mengandung komponen pemerintahan
(village governance), pembangunan (rural development) dan pemberdayaan
(community empowerment), sekaligus mempunyai tujuan untuk mencapai desa yang
mandiri, demokratis dan sejahtera. Desa mandiri pada dasarnya mempunyai empat
komponen: bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi
dan bermartabat secara budaya. Interaksi antara komponen (pemerintahan,
pembangunan dan pemberdayaan) dengan tujuan (mandiri, demokratis dan
sejahtera) menghasilkan gambar tentang desa ideal seperti tersaji dalam tabel 1.

Pemerintahan mandiri. Kuadran 1 merupakan pertemuan antara pemerintahan


dan mandiri menghasilkan “otonomi desa” atau kemandirian desa, yang secara
kelembagaan desa mempunyai otonomi dalam kewenangan, perencanaan dan
keuangan. Konsep “kemandirian” tentu sangat berbeda dengan “kesendirian” dan
berbeda juga dengan “kedirian”. Kedirian berarti local ego, atau autarkhi atau
lokalisme, yang berarti desa mempunyai klaim-klaim kuat atas identitas dan
sumberdaya alam tanpa mau melihat dunia luar dan juga tidak tunduk pada regulasi
yang dibuat oleh Republik Indonesia. Kesendirian sama dengan kesepian, yang
berarti desa mengurus kepentingan masyarakat setempat dengan kekuatan sendiri,
misalnya dengan modal sosial (swadaya dan gotong-royong), tanpa responsivitas
pemerintah.

3
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

Tabel 1
Pilar dan tujuan reformasi desa

Tujuan Mandiri Demokratis Sejahtera


Komponen
Pemerintahan Otonomi Pemerintahan desa Pemerintah desa
(kemandirian) desa: “dari” (partisipasi) mengelola sumberdaya
Desa mempunyai rakyat, “oleh” lokal dan berperan aktif
kewenangan, (akuntabel dan dalam pelayanan publik
perencanaan dan transparan) dan dasar
keuangan sebagai “untuk” (responsif)
pilar kelembagaan rakyat.
otonomi.
Pembangunan “Desa membangun”: Pembangunan desa “Membangun desa”:
desa mempunyai dikelola secara pemerintah daerah
kewenangan dan bertanggungjawab, menjalankan
kekuatan transparan dan“pembangunan
menjalankan partisipatif berimbang” yang
pembangunan menyentuh langsung
berskala desa secara kehidupan masyarakat
mandiri desa
Pemberdayaan Desa mempunyai Masyarakat aktif dan Masyarakat desa
inisiatif lokal dan partisipatif mempunyai emansipasi
kapasitas yang baik lokal, yakni prakarsa
dan gerakan
mengembangkan
ekonomi lokal dari
bawah (bottom up
economics growth)

Pemerintahan yang demokratis. Ingat bahwa desa tidak lagi sepenuhnya menjadi
organisasi komunal seperti dulu yang cenderung paternalistik, tetapi telah
mengalami evolusi (karena masuk ke dalam negara) menjadi organisasi publik. Desa
menjadi bagian dari republik, karena itu desa adalah milik publik, dan dikembalikan
kepada publik. Ini identik dengan demokrasi. Pemerintahan desa yang demokratis
identik dengan pemerintahan rakyat: pemerintahan yang berasal “dari” (partisipasi)
rakyat; pemerintahan yang dikelola “oleh” (secara transparan dan
bertanggungjawab) rakyat dan dimanfaatkan sebaik-baiknya “untuk” (secarta
responsif) rakyat. Nilai-nilai dan institusi demokrasi ini harus diinternalisasi dan
dilembagakan dalam pemerintahan dan kehidupan sehari-hari, mengingat oligarkhi
dan kartel elite yang masih tertanam dalam desa, apalagi dalam desa adat.

Pemerintahan yang mendukung kesejahteraan. Penguatan otonomi desa


(kewenangan, perencanaan dan keuangan) sebenarnya ditujukan untuk
kesejahteraan, atau memberi tanggungjawab dan peran besar kepada desa untuk
agenda penanggulangan kemiskinan dan pembangunan kesejahteraan. Dalam hal ini
desa mengelola sumberdaya lokal, mengelola perencanaan dan anggaran serta unit-
unit usaha lokal dimaksudkan untuk membiayai dan menyelenggarakan pelayanan
publik yang berskala lokal desa. Ini dilakukan oleh pemerintah desa dan lembaga-
lembaga kemasyarakatan.

4
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

Pembangunan yang mandiri. Ini yang disebut dengan “desa membangun”. Artinya
desa mempunyai kewenangan, kesempatan dan kekuatan untuk merencanakan,
membiayai, melaksanakan dan monev agenda-agenda pembangunan desa secara
mandiri. Mandiri bukan berarti sendiri.

Pembangunan yang demokratis. Pembangunan di tingkat desa yang dikendalikan


oleh pemerintah desa sebaiknya bersendikan pada demokrasi, yakni dijalankan
secara partisipatif, bertanggungjawab, transparan dan responsif.

Pembangunan untuk kesejahteraan. Desa sendirian dengan semangat “desa


membangun” tidak cukup kuat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat,
sehingga juga harus ada tindakan pemerintah “membangun desa” melalui
pembangunan daerah yang peka terhadap kemiskinan dan kondisi desa. Selama ini
pola pembangunan cenderung bias (bias kota, bias sektor, bias industri, bias sektor
keuangan, dll), sehingga perlu dibangun dengan model “pembangunan berimbang”.
Dari sudut pandang governance, kita juga butuh pembangunan berimbang dari sisi
aktor (negara, swasta dan masyarakat).

Pemberdayaan mandiri. Konsep ini berarti desa secara mandiri mempunyai


inisiatif dan kemampuan untuk menemukenali potensi, kebutuhan dan masalah
lokal; yang kemudian ditransformasikan menjadi perencanaan desa. Desa sebaiknya
juga terus-menerus belajar untuk memupuk kemampuan lokal untuk menjalankan
rencana yang sudah disiapkan. Bagaimanapun inisiatif dan kemampuan itu menjadi
fondasi lokal yang menopang dan memungkinkan fondasi institusional (kewenangan,
perencanaan dan keuangan) dapat bekerja. Meskipun ada transfer kewenangan dan
anggaran dalam jumlah besar, tetapi kalau komponen lokal desa lembam, maka tidak
akan terjadi perubahan menuju desa mandiri.

Pemberdayaan yang demokratis, artinya masyarakat desa bergerak secara aktif


dan partisipatif sehingga dalam lingkup desa tumbuh ruang-ruang publik dan
masyarakat sipil yang tidak hanya peduli dalam kegiatan sosial kemasyarakatan,
tetapi juga peduli pada masalah-masalah publik yang mempengaruhi hidup mereka.

Pemberdayaan kesejahteraan. Masyarakat desa mempunyai emansipasi lokal,


yakni kemampuan, kekuatan, prakarsa dari bawah dalam mengembangkan ekonomi
lokal dari bawah (bottom up economics growth). Dengan cara ini, masyarakat akan
lebih mandiri, seraya mengurangi ketergantungan kepada pemerintah.

Perspektif dan Azas Pengaturan Desa

Pengaturan desa bukan sekadar mengatur kekuasaan dan pemerintahan desa


semata, apalagi hanya mengatur sisi-sisi administrasi desa. Pengaturan desa dalam
konteks ini berdasarkan beberapa prinsip:
a. Keberagaman (sejarah, sosial-budaya, geografis, dan sumber daya)
b. Kemandirian (hak dan kesempatan desa untuk mengambil keputusan sendiri
berdasarkan prakarsa masyarakat)
c. Demokrasi (proses pengelolaan desa secara partisipatif, bertanggung jawab,
terbuka, kesetaraan).

5
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

d. Pemberdayaan (pemberian kepercayaan dan kesempatan kepada desa untuk


mengembangkan inisiatif dan potensi desa)
e. Kesejahteraan dan keadilan (meningkatkan aset dan akses warga desa
terhadap sumber daya alam, pelayanan publik dan anggaran negara untuk
memperbaiki kualitas hidup masyarakat secara merata).

Sesuai konstitusi, penyelenggaraan pemerintahan daerah didasarkan pada azas


otonomi, dekonsentralisasi dan tugas pembantuan. Azas otonomi itu dalam konteks
otonomi daerah dikerangkai dengan desentralisasi. Azas untuk menopang otonomi
daerah tentu sudah final, yakni menggunakan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas pembantuan. Azas desentralisasi terutama diberikan kepada kabupaten/kota
mengingat daerah ini menjadi titik berat otonomi, sedangkan azas dekonsentrasi
terutama diberikan kepada gubernur mengingat gubernur adalah wakil pemerintah
pusat yang berada di daerah. Azas tugas pembantuan diberikan oleh pemerintah
pusat kepada provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan bahkan kepada desa. Tetapi
perspektif dan azas-azas itu tidak bisa cukup dan sempurna untuk menempatkan
posisi dan peran desa.

Dalam konteks ini muncul anomalie yang serius dalam menerapkan azas pengaturan
desa untuk mempertegas kedudukan dan keragaman desa. Di satu sisi, hukum
ketatanegaraan RI mengadopsi teori desentralisasi yang sempit dan terbatas, yakni
hanya mengenal desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Sementara
teori-teori desentralisasi kontemporer menegaskan bahwa desentralisasi merupakan
bentuk distribusi kekuasaan negara kepada daerah, swasta maupun masyarakat.
Dalam hal distribusi kekuasaan dari pusat ke lokal, desentralisasi mencakup
beberapa jenis: devolusi (pemindahan), delegasi (penyerahan), dekonsentrasi
(pelimpahan), tugas pembantuan (penugasan), subsidiaritas (penetapan) dan
rekognisi (pengakuan). Karena sempitnya teori desentralisasi yang dikenal dalam
hukum tatanegara Indonesia, maka tidak dikenal adanya desentralisasi ke desa.
Menurut konstitusi dan regulasi, desentralisasi diberikan oleh pusat hanya kepada
daerah besar (provinsi) dan daerah kecil (kabupaten/kota). Selama ini hanya dikenal
pengakuan dan penghormatan otonomi asli desa. Otonomi asli menjadi problematik
karena semua urusan sudah menjadi milik negara, karena itu otonomi asli tidak bisa
digunakan sepenuhnya dan harus ada distribusi urusan dari negara ke desa.

Karena itu FPPD mengusulkan dua azas utama yang digunakan untuk mendasari
otonomi pemerintahan desa. Pertama, rekognisi atau pengakuan terhadap hak asal-
usul desa. Pasal 18 UUD 1945, misalnya, menekankan perspektif rekognisi ini, yakni
mengakui keberadaan daerah-daerah istimewa dan sejumlah 250 kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki beragam nama dan susunan aslinya. UU No.
32/2004 juga memberi pengakuan terhadap kewenangan/hak asal-usul desa, meski
penjabarannya tidak terlalu jelas. UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh juga
mengakui dan bahkan memulihkan posisi mukim yang semula hanya menjadi
lembaga adat menjadi unit pemerintahan yang berada di tengah-tengah kecamatan
dan desa (gampong).

Kedua, azas subsidiaritas, yakni penetapan kewenangan berskala lokal di aras desa
dan pengambilan keputusan secara lokal atas kepentingan masyarakat setempat.
Kami meyakini azas subsidiaritas ini, sebab masalah-masalah dan urusan berskala

6
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

lokal sebaik mungkin diputuskan atau ditangani di level desa, tidak perlu ditarik ke
level yang lebih tinggi. Dengan subsidiaritas urusan-urusan yang berskala lokal
diputuskan secara lokal dengan kewenangan desa, dan masalah-masalah lokal juga
diselesaikan secara lokal. Subsidiaritas mengandung spirit menghargai, mempercayai
dan menantang desa untuk bergerak atau berbuat sesuatu. Tanpa subsidiaritas itu
inisiatif lokal desa akan sulit tumbuh, dan desa kian menjadi beban berat bagi
pemerintah. Masyarakat adat di Indonesia sebenarnya mempunyai pengalaman
panjang dalam praktik subsidiaritas itu. Contoh yang utama adalah peradilan adat
atau penyelesaian sengketa lokal di Aceh. Peradilan adat pertama dilakukan di
tingkat gampong dan jika tidak selesai baru dibawa naik ketingkat mukim.
Mekanisme subsidiaritas ini hampir sama dengan mekanisme peradilan modern di
Indonesia, yakni dimulai dari pengadilan negeri (di level kabupaten/kota), jika tidak
selesai baru dibawa naik ke level pengadilan tinggi (provinsi) dan terakhir berada di
level kasasi Mahkamah Agung.

Keragaman Tipologi Desa

Desa-desa di Indonesia sangat beragam dari sisi sosial-budaya, politik, sejarah dan
geografis. Keragaman ini mengharuskan tipologi desa yang beragam pula, yang akan
menentukan disain kelembagaan tentang kedudukan, kewenangan, susunan
pemerintahan desa dan lain-lain. Selama ini pemilihan secara tegas dan konsisten
pada salah satu kedudukan desa mengalami kesulitan yang serius. Mengapa?
Pertama, ada kesulitan menafsirkan makna Pasal 18 UUD 1945. Apalagi substansi
Pasal 18 versi asli mengalami perubahan dalam UUD 1945 Amandemen Kedua. UUD
amandemen menghilangkan istilah desa. Pasal 18 ayat 1 menegaskan: “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah‐daerah provinsi dan daerah provinsi
itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap‐tiap provinsi, kabupaten dan kota
mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang‐undang”. Juga pasal
18B ayat 2 menegaskan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan‐kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang‐undang”. Dalam konteks ini sering muncul
pertanyaan apakah desa satu-satunya kesatuan masyarakat hukum adat?

Sejauh ini ada beberapa tafsir yang muncul:


1. Tafsir desa otonom atau daerah otonom tingkat III: Desa merupakan bentuk
“daerah kecil” yang mempunyai susunan asli dan bersifat istimewa. Karena itu
negara sebaiknya melakukan desentralisasi teritorial, yang membagi wilayah
NKRI menjadi provinsi, kabupaten/kota dan desa. Desa sebagai “daerah kecil”
menjadi desa otonom (local self government) atau daerah otonom tingkat III,
yang mengharuskan negara memberikan desentralisasi kepada desa.
Penganut perspektif desa otonom (local self government), UU No. 22/1948 dan
UU No. 19/1965 termasuk yang mengikuti tafsir ini.
2. Tafsir otonomi asli: Batang tubuh Pasal 18 UUD 1945 sama sekali tidak
mengenal desa, juga tidak secara eksplisit membagi wilayah NKRI menjadi
provinsi, kabupaten/kota dan desa. Konstitusi hanya membagi NKRI menjadi
daerah besar (provinsi) dan daerah kecil (kabupaten/kota). Menurut tafsir ini,
desa (atau nama lainnya yang berjumlah 250) merupakan kesatuan
masyarakat hukum adat, yang harus diakui (rekognisi) oleh negara. Dengan

7
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

demikian, negara tidak memberikan desentralisasi pada desa untuk


membentuk desa sebagai unit pemerintahan lokal yang otonom. Posisi desa
yang tepat menurut tafsir ini sebagai organisasi masyarakat adat atau desa
adat (selfgoverning community) yang mempunyai dan mengelola hak
asal‐usul. Konsep “otonomi asli” berpijak pada tafsir ini.
3. Tafsir pragmatis: Tafsir yang berdasar pada Pasal 18 UUD 1945 amanden
kedua. Hampir sama dengan tafsir kedua, tafsir ini mengatakan bahwa NKRI
hanya dibagi menjadi wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Desentralisasi
hanya berhenti pada kabupaten/kota, tidak sampai ke desa. Tetapi tafsir ini
berbeda dengan tafsir kedua karena tidak menempatkan kedudukan desa
sebagai desa adat (self governing community), melainkan menempatkan desa
sebagai unit pemerintahan di bawah dan di dalam subsistem pemerintah
kabupaten. UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004, dengan “alasan praktis”
(meminjam istilah Prof. Sadu Wasistiono), mengikuti tafsir ini. Padahal UUD
1945 tidak secara eksplisit mengamanatkan penempatan kedudukan desa
dalam subsistem pemerintah kabupaten/kota.

Ketiga, secara historis, semua desa di Indonesia berbentuk self governing community.
Konstitusi UUD 1945 secara implisit juga menempatkan desa sebagai kesatuan
masyarakat hukum adat atau disebut dengan self governing community tersebut.
Tetapi secara lambat laun sejak kolonial dan puncaknya pada masa Orde Baru,
negara memaksakan bentuk the local state government pada desa, yang
menempatkan desa sebagai kepanjangan tangan negara. Di masa Orde Baru, desa
dibuat secara seragam sebagai desa administratif, sehingga spirit dan bentuk self
governing community mengalami kerusakan. UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004
mulai memasukkan dimensi local self government secara inkremental, tetapi belum
sempurna. Saat ini posisi desa dibuat default, yang mengandung campuran antara self
governing community (sebagaimana ditegaskan dalam kewenangan asal-usul,
mempunyai tanah bengkok atau ulayat, dan perangkat desa yang dikelola secara
tradisional), local self government (desa berwenang menyusun organisasi desa dan
perencanaan desa, mengelola kewenangan berskala lokal, memperoleh ADD, ada
pilkades langsung, ada BPD, dll) yang belum sempurna, dan juga ada local state
government (ada begitu banyak tugas pembantuan atau permintaan tolong kepada
desa). Tetapi posisi dan institusi yang inti tidak ditonjolkan.

Keempat, karena pengaruh adat, kondisi geografis dan kemajuan pembangunan yang
berbeda, kondisi desa-desa di Indonesia sangat beragam. Bentuk desa otonom tentu
sangat cocok diterapkan di Jawa, sebagian Sumatera, sebagian Kalimantan, sebagian
Sulawesi. Sebaliknya format desa adat (rekognisi) tidak tepat diterapkan di Jawa
karena di Jawa pengaruh adat semakin hilang. Tetapi format desa otonom itu akan
sangat sulit bekerja di daerah-daerah yang pengaruh adatnya terhadap
pemerintahan masih kuat seperti di Bali, Kalimantan Barat, Aceh, Maluku, NTT.
Sumatera Barat merupakan kekecualian, sebab provinsi ini sejak 2000/2001 telah
membentuk kembali (recreating) nagari yang merupakan integrasi antara desa
negara dan adat.

Kelima, ukuran (size) geografis dan demografis Desa menjadi isu penting dalam
otonomi desa, terutama sebagai basis kekuatan sumberdaya lokal. Berdasarkan
kalkulasi nominal, desa umumnya mempunyai keterbatasan luas wilayah, jumlah

8
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

penduduk, potensi desa, dan lain-lain. Memang sejauh ini belum ada ukuran yang
ideal untuk ukuran wilayah sebuah Desa sebagai kekuatan penopang bagi otonomi
Desa, karena potret yang kontras antara NAD dan Sumatera Barat di satu sisi serta
Jawa Tengah dan DIY di sisi lain bisa menjadi bahan kajian berikutnya. Tetapi
beberapa orang, termasuk Soetardjo Kartohadikoesoemo (1953, 1984), Selo
Soemardjan (1992), Nasikun (2004) maupun Sadu Wasistiono (2007) masih
meragukan apakah mungkin kecilnya ukuran Desa menjadi basis yang kuat bagi
otonomi Desa. Karena itu mereka mengusulkan perlunya penggabunganDesa-Desa
yang kecil seperti pernah terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada masa Sultan
HB IX. Jika kita tengok ke belakang, UU No. 22/1948 juga merekomendasikan sebuah
manajemen transisi dalam bentuk pembinaan dan penggabungan desa sebelum
konsep desa sebagai daerah otonom tingkat III diterapkan. Sadu Wasistiono (2007)
juga merekomendasikan bahwa penerapan desa otonom membutuhkan transisi
setidaknya 10 tahun untuk mempersiapkan penggabungan desa dan kapasitas desa
secara menyeluruh. Kondisi geografis, demografis maupun spasial desa itu tentu
merupakan masalah yang harus diperhatikan dalam mendisain desa otonom.

Pada hakekatnya desa merupakan sebuah pemerintahan lokal yang memiliki


kelembagaan sesuai dengan kebutuhan struktur sosial dan permasalahan yang
dihadapi masyarakatnya di wilayah yang relatif kecil. Ia berdiri untuk menjawab
masalah-masalah yang dihadapi masyarakatnya dalam mengelola sumberdaya
ekonomi dan relasi sosial warganya. Dengan hadirnya negara tradisional sampai
dengan modern, desa difungsikan tidak hanya sebagai perintahan yang mengurus
hak-hak tradisionalnya, tetapi juga menjalankan fungsi melaksanakan tugas negara
di aras lokal. Dengan demikian, desa mengalami proses transformasi tentang
hakekatnya sebagai lembaga kemasyarakatan menjadi lembaga pemerintahan, dan
negara ikut menfasilitasi untuk mendorong terjadinya proses transformasi tersebut.
Dengan demikian desa tetap penting dalam kehidupan masyarat lokal maupun dalam
penyelengaraan pemerintahan NKRI karena satu sisi menjadi kekuatan masyarakat
lokal untuk memiliki pemerintahan di level basis yang dapat melestarikan
kepentingan-kepentingan yang bersifat lokalitas, dan sisi lain ketika menjadi elemen
dari negara dapat mengemban tugas yang sejalan dengan konstitusi.

Ada dua opsi yang bisa dilakukan untuk pengaturan keragaman desa. Pertama, cara
pengaturan menggunakan pendekatan “pengecualian” dari desa generik yang
menjadi pokok pengaturan paling utama dalam undang-undang. Artinya, undang-
undang memberikan pengaturan desa secara generik yang berlaku umum di
Indonesia, kecuali bagi daerah-daerah atau desa-desa dimana pengaruh adat masih
sangat kuat. UU No. 32/2004 sebenarnya telah menggunakan pendekatan ini.
Penerapan pendekatan “pengecualian” itu diserahkan sepenuhnya kepada
pemerintah daerah dan masyarakat setempat, yang tentu saja mengandung
kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, pendekatan itu membuka kesempatan
kepada pemerintah daerah untuk mengatur keragaman sesuai dengan kondisi lokal,
tetapi kelemahannya adalah munculnya keengganan dan ketidakmampuan daerah
sehingga tetap saja tidak ada pengaturan beragam secara lokal.

Kedua, pendekatan tipologis yang eksplisit. Pendekatan ini membuat dan


menegaskan beberapa tipe desa, yang kemudian dijabarkan secara eksplisit sejumlah
karakteristik dan perbedaan yang terkait dengan bentuk desa, kewenangan, susunan

9
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

pemerintahan dan lain-lain. Di masa lalu pemerintah kolonial pernah melakukan


pengaturan desa secara beragam dengan IGO untuk Jawa dan Madura dan IGOB
untuk Luar Jawa.

Kertas posisi FPPD ini memilih opsi yang kedua daripada opsi pertama. Secara
teoritis, sesuai dengan proses tranformasinya, desa dibagi ke dalam tipe Desa adat
(self governing community), desa praja (local state government) dan desa swapraja
(local self government). Tetapi tipologi ini sangat kompleks dan rumit karena
memasukkan berbagai komponen mulai dari pengaruh adat sampai dengan
kemajuan pembangunan. Karena itu FPPD mengusulkan dua tipe desa yang
didasarkan pada kuat-lemahnya pengaruh adat, yakni Desa dan Desa Adat.

Mengenai desa adat memang sangat problematik. Di satu sisi, desa adat mengalami
marginalisasi oleh negara dan modal. Tetapi secara internal, desa adat tidak
demokratis (elitis dan oligarkhis) dan tidak menjunjung tinggi keadilan gender,
meskipun para pemimpin adat mengklaim bahwa mereka mempunyai institusi
demokrasi lokal dan menghormati-melindungi harkat martabat perempuan.
Menghadapi problem ini, FPPD mengambil sikap bahwa desa adat harus dibela
dengan rekognisi tetapi juga harus dilawan dengan demokrasi. Pertama, rekognisi
memberikan hak desa adat untuk merawat kearifan lokal dan mengakses terhadap
sumberdaya alam yang selama ini menjadi basis penghidupan komunal. Kedua, nilai-
nilai universal (transparansi, akuntabilitas, partisipasi) dan keadilan gender harus
diintervensikan ke dalam organisasi kekuasaan desa adat. Meskipun intervensi
demokrasi ini membutuhkan waktu dan proses panjang, tetapi tetap ada peluang
yang baik, sebab sekarang generasi baru yang lahir dari desa adat telah tersentuh
nilai-nilai demokrasi universal dan gender.

Desa (atau disebut dengan nama lain) mempunyai karakteristik generik yang berlaku
umum untuk seluruh Indonesia, sebagaimana kita kenal selama ini dalam UU No.
32/2004. Sedangkan desa adat mempunyai karakter yang berbeda dengan desa
generik pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem
pemerintahan lokal, pengelolaan sumberdaya lokal maupun kehidupan sosial-
budaya masyarakat setempat. Perbedaan mendasar antara Desa dan Desa Adat
terletak pada azas pengaturan, kewenangan serta bentuk dan susunan pemerintahan.
Kedua tipe sama-sama memiliki otonomi, tetapi ada kesamaan dan perbedaannya:
1. Desa Adat adalah desa yang masih memperoleh pangaruh adat secara kuat,
sementara pengaruh adat dalam Desa relatif lemah.
2. Desa Adat dan Desa sama-sama memiliki hak kewenangan asal-usul, tetapi
asal-usul dalam Desa Adat lebih dominan dibandingkan di Desa.
3. Desa Adat mengutamakan azas rekognisi (pengakuan dan penghormatan),
sementara Desa mengutamakan azas subsidiarity (penetapan kewenangan
berskala lokal lokal desa).
4. Pemerintahan (beserta lembaga dan perangkat) Desa Adat menggunakan
susunan asli (asal-usul), sementara Desa menggunakan susunan modern
seperti yang selama ini kita kenal.
5. Keduanya sama-sama menjalankan pemerintahan umum yang ditugaskan
oleh negara, dan juga sama-sama memperoleh alokasi dana desa (ADD).

10
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

Desa Adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi kepemerintahan


masyarakat lokal yang dipelihara secara turun temurun dan tetap diakui dan
diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat setempat agar bisa berfungsi untuk
mengembangkan kesejahteraan serta identitas sosial budaya lokal. Desa Adat yang
memiliki hak asal usul sejak desa itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah-
tengah masyarakat. Pada prinsipnya Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat
hukum adat yang secara historis mempunyai batas-batas wilayah dan identitas
budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengurus dan
mengatur kepentingan masyarakat setempat berdasar hak asal-usul. Dalam
pengertian ini desa memiliki otonomi asli (indigenous autonomy).

Bentuk Desa Adat, karena itu sangat beragam, yang dipengaruhi oleh keragaman
sistem politik, sosial, ekonomi dan budaya dari komunitas asli dalam
mengembangkan tata pemerintahannya. Desa Adat memiliki kewenangan asli di
bidang pengaturan kelembagaan kepemerintahan sejauh tidak bertentangan dengan
perundang-undangan, pengaturan tentang adat-istiadat yang berlaku mengikat bagi
komunitasnya, dan pengelolaan sumberdaya alam yang menjadi hak-hak
tradisionalnya.

Desa Adat menurut sejarahnya memiliki kewenangan asal-usul yang melekat.


Kewenangan inilah yang sering disebut sebagai kewenangan property right
komunitas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, atau yang lebih
sering disebut dengan otonomi asli. Ada beberapa kewenangan asal-usul yang
sepantasnya dimiliki oleh Desa Adat, yaitu:

1. Kewenangan membentuk dan mengelola sistem pemerintahan sendiri


berdasarkan susunan asli
2. Kewenangan mengelola sumber daya lokal (tanah ulayat, hutan adat, dll)
3. Kewenangan membuat dan menjalankan hukum adat setempat
4. Kewenangan mengeloa dan merawat nilai-nilai dan budaya lokal (termasuk
adat-istiadat)
5. kewenangan yudikatif atau peradilan komunitas (community justice system),
misalnya dalam penyelesaian konflik lokal.

Desa Adat menyelenggarakan pemerintahan yang mengatur urusan komunitasnya di


bidang peradilan adat, pengelolaan sumberdaya lokal yang menjadi asetnya,
pengelolaan adat-istiadat seperti perkawinan dan tradisi ritual keagamaan setempat,
dan pelestarian dan pengembangan identitas budayanya. Semua ini disesuaikan
dengan susunan asli, termasuk juga berwenang membentuk musyawarah desa (atau
nama lain).

Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan umum di dalam desa perlu


memperoleh perhatian secara cermat. Pada prinsipnya, baik Desa maupun Desa Adat,
karena menjadi bagian dari NKRI, maka seharusnya keduanya juga menjalankan
pemerintahan umum (misalnya pendataan dan pelayanan administrasi kepada
warga) sebagai bentuk pelayanan kepada warga. Tetapi pola ini tidak bisa berlaku
secara ketat di semua daerah. Negeri (integrasi desa ke dalam adat) di Maluku
memang menyelenggarakan pemerintahan umum yang dikendalikan langsung oleh
raja (kepala desa). Desa-desa Adat di Flores selama ini tidak menjalankan

11
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

pemerintahan umum, karena tugas ini dijalankan oleh kecamatan. Desa Adat Badui
Dalam mempunyai struktur Desa Adat yang dipimpin tetua adat yang menempatkan
struktur tambahan, yakni jaro pemerintahan (semacam kepala desa) untuk
mengurus pemerintahan umum, Desa Adat di Bali tidak mengurus pemerintahan
umum sementara tugas ini dikelola oleh Desa Dinas. Oleh karena itu,
penyelenggaraan pemerintahan umum dalam desa lebih baik diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Desa yang disesuaikan dengan kondisi dan aspirasi lokal.

Lembaga kemasyarakatan dalam Desa Adat berupa lembaga-lembaga sosial yang


sesuai dengan ada istiadat setempat baik dari segi nama, bentuk organisasi, fungsi
dan tugasnya. Lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut disamping berfungsi
untuk melindungi nilai-nilai asal-usul yang sudah ada juga dapat dipakai untuk media
penyelesaian konflik-konflik yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Kami memberikan rekomendasi tentang pentingnya kesempatan kepada desa dan


daerah untuk menentukan pilihan, apakah sebuah Desa akan ditetapkan menjadi
Desa atau Desa Asli. Proses pengakuan dan penetapan itu setidaknya membutuhkan
waktu selama dua tahun, melalui tahapan sosialisasi, kajian, penjaringan aspirasi,
serta legislasi dan penetapan.

Ada dua opsi pendekatan dalam penetapan tipe desa. Pertama, melalui pendekatan
integrasi, yakni: (a) memasukkan adat ke dalam struktur desa yang kemudian
menjadi Desa; (b) memasukkan desa ke dalam struktur adat sehingga menjadi Desa
Adat; dan (c) antara adat dan desa melebur menjadi satu struktur baru yang bersifat
campuran. Opsi (a) sudah lama terjadi dalam kasus pembentukan desa-desa di Jawa
pada masa lalu, dimana adat dimasukkan ke dalam struktur desa. Opsi (b) terjadi di
Maluku. Negeri di Maluku merupakan integrasi desa ke dalam desa adat, dimana
negeri menggunakan susunan asli dan sekaligus menjalankan tugas-tugas
pemerintahan umum yang diberikan oleh pemerintah serta memperoleh ADD. Di
Maluku juga memiliki desa (desa-desa baru hasil pembentukan atau pemekaran dari
negeri) yang menggunakan susunan modern seperti desa-desa pada umumnya yang
ada di Jawa. Opsi (c) terjadi di Sumatera Barat sejak tahun 2000/2001. Pembentukan
kembali Nagari di Sumatera Barat memberi contoh penggabungan antara desa dan
desa adat yang agak berbeda dengan negeri di Maluku. Di Nagari, antara adat dan
desa melebur menjadi satu, dengan memiliki susunan campuran, serta menggunakan
azas rekognisi dan subsidiarity.

Kedua, pendekatan koeksistensi, yakni tetap memelihara dualisme antara Desa dan
Desa Adat secara berdampingan dan saling melengkapi. Pendekatan ini merupakan
pengecualian dari pendekatan integrasi, yang bisa dilakukan oleh pemerintah,
sebagaimana pengalaman di Bali. Bali mempunyai desa adat dan desa dinas,
keduanya ibarat suami isteri yang saling membantu dan melengkapi. Keduanya
saling membagi peran dan kewenangan, serta saling melengkapi. Desa dinas
mengelola pemerintahan umum, sementara desa adat mengurus keagamaan dan adat
serta memiliki Lembaga Perkreditan Desa (LPD) seperti halnya Badan Usaha Milik
Desa (BUMDes) yang dimiliki desa adat.

12
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

Pengaturan Umum

Pembedaan antara Desa dan Desa Adat mempunyai tujuan untuk rekognisi dan
konservasi secara tegas terhadap Desa Adat. Namun rekognisi dan konservasi ini
bukan untuk menciptakan “kesendirian” terhadap Desa Adat atau melakukan isolasi
terhadap Desa Adat yang menyebabkan Desa Adat tertinggal dibandingkan dengan
Desa. Dalam kontek disini, tetap ada intervensi negara dan pengaturan umum
terhadap Desa Adat asal tidak merusak prinsip-prinsip rekognisi dan konservasi.
Dalam perkembangannya Desa Adat pun dapat (bukan harus) berubah menjadi Desa,
tergantung pada prakarsa masyarakat setempat dan pemerintah daerah.

Kewenangan Desa. Mengingat kedudukan desa tidak lagi menjadi bagian dari
subsistem pemerintahan kabupaten/kota, melainkan sebagai organisasi
pemerintahan terbawah dan terdekat dengan masyarakat, maka tidak ada lagi model
indirect rule melalui penyerahan kewenangan dari kabupaten/kota kepada desa.
Model inderect rule itu berubah menjadi direct rule, sehingga harus ada penetapan
oleh undang-undang atas kewenangan desa.

Kewenangan Desa mencakup:


a. kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Desa;
b. kewenangan atributif yang melekat pada Desa;
c. kewenangan nyata berskala lokal yang meliputi bidang pemerintahan, bidang
pembangunan, dan bidang kemasyarakatan dan;
d. kewenangan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan
diserahkan kepada desa.

Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Desa antara lain berupa
pelestarian nilai-nilai sosial budaya dan hukum adat setempat, pengurusan,
pengelolaan, dan pelestarian sumber daya alam, penyelesaian sengketa keperdataan
yang terjadi dalam wilayahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan
lain-lain.

Kewenangan nyata berskala lokal dalam bidang pemerintahan meliputi:


a. memilih pemimpin Desa;
b. membentuk Peraturan Desa;
c. mengatur dan membentuk susunan organisasi perangkat Desa;
d. menarik pajak dan retribusi Desa;
e. mengatur, mengelola, dan memanfaatkan sumber pendapatan Desa;
f. Mendirikan Badan Usaha Milik Desa atau nama lain;
g. kewenangan lainnya yang ditentukan peraturan perundang-undangan.

Kewenangan dalam bidang pembangunan meliputi:


a. merencanakan, melaksanakan, memanfaatkan, mengendalikan dan
mengembangkan pembangunan dalam wilayahnya;
b. memiliki dan mengelola kekayaan Desa sesuai kewenangannya untuk
kesejahteraan masyarakat;
c. memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dan sumber daya lainnya
milik Desa sesuai peraturan perundang-undangan; dan
d. kewenangan lainnya yang ditentukan peraturan perundang-undangan.

13
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

Kewenangan dalam bidang kemasyarakatan meliputi:


a. melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat setempat;
b. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat berdasarkan adat
istiadat dan/atau sosial budaya setempat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. membentuk dan mengembangkan lembaga keperwakilan masyarakat yang
sesuai kebutuhan masyarakat setempat; dan
e. kewenangan lainnya yang ditentukan peraturan perundang-undangan.

Kewenangan nyata berkaitan dengan pengelolaan public goods berskala desa, yang
sudah dijalankan desa, mampu dijalankan desa, maupun urusan yang lebih efisien
dijalankan oleh desa. Penetapan kewenangan nyata desa ini bukan berarti desa
”merebut” sebagian kewenangan (yang menurut PP No. 38/2007 sudah habis dibagi
ke provinsi dan kabupaten/kota) dan ”mengambil” keuntungan finansial dari
kewenangan itu, melainkan sebenarnya untuk menegaskan hakekat dan fungsi desa
bagi rakyat, sekaligus memperkuat emansipasi (prakarsa, tanggungjawab dan
gerakan) desa dalam pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan publik yang dekat
dengan masyarakat setempat. Permendagri No. 30/2006 bisa digunakan sebagai
referensi untuk menentukan jenis-jenis kewenangan lokal desa, dengan perlu
pemilahan antara ”mengatur” (yang menjadi hakekat kewenangan), ”mengurus” dan
”membantu”. Sesuai prinsip subsidiarity, kewenangan berarti harus lebih banyak
mengatur daripada mengurus dan membantu, dengan tujuan agar urusan-urusan
kecil berskala desa bisa selesai di desa, sehingga tidak perlu dibawa naik ke
kabupaten/kota.

Kewenangan desa dapat dibuat menjadi kewenangan wajib dan kewengan pilihan.
Sebagai contoh, untuk bidang pendidikan dan kesehatan bisa ditetapkan sebagai
kewenangan wajib desa, yang harus dijalankan oleh seluruh desa. Sedangkan
kewenangan pilihan, bisa memanfaatkan daftar urusan yang tercantum dalam
Permendagri, yang bisa dijadikan semacam positive list, dimana desa bisa
menentukan kewenangan pilihan sesuai dengan kondisi dan kemampuan desa.
Dengan demikian, jenis dan jumlah kewenangan desa yang satu dengan desa yang
lain bersifat beragam.

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Kepala desa atau sebutan lain merupakan


kepala pemerintahan desa, yang mempunyai peran penting baik sebagai
kepanjangan tangan negara yang dekat dengan masyarakat, dan sekaligus sebagai
pemimpin masyarakat desa. Kertas posisi ini memberikan prinsip-prinsip
pengaturan tentang kepala desa sebagai berikut:
a) Sebutan kepala desa disesuaikan dengan sebutan lokal.
b) Kepala desa atau sebutan lain berkedudukan sebagai kepala pemerintahan
desa dan sekaligus sebagai pemimpin masyarakat desa.
c) Kepala desa dipilih secara demokratis dan langsung oleh warga desa
setempat, kecuali bagi desa adat yang bisa menggunakan mekanisme lokal.
d) Sesuai dengan prinsip demokrasi, kaderisasi dan siklus pemerintaan dan
perencanaan pembangunan, masa jabatan kepala desa selama lima tahun dan
dapat dipilih kembali satu periode.
e) Kepala desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD.

14
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

f) Pencalonan kepala desa dalam pilkades langsung tidak menggunakan basis


partai politik, sehingga kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik.

Mengingat kedudukan, kewenangan dan keuangan yang semakin jelas dan besar,
maka penyelenggaraan pemerintahan desa harus lebih akuntabel yang didukung
dengan kontrol dan keseimbangan (check and balances) antara pemerintah desa dan
lembaga-lembaga desa. Badan Permusyawaratan Desa lebih baik digantikan dengan
Badan Perwakilan Desa. BPD merupakan lembaga representasi rakyat desa yang
menjalankan fungsi check and balances terhadap pemerintah desa. BPD mempunyai
fungsi legislasi, budget dan kontrol. Tetapi BPD tidak berhak menjatuhkan kepala
desa seperti UU No. 22/1999, kecuali hanya mengusulkan pemberhentian kepala
desa kepada bupati.

Badan Perwakilan Desa (BPD), atau disebut nama lain, berkedudukan sebagai
lembaga perwakilan rakyat desa dan unsur penyelenggara pemerintahan desa.
Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan
keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara pemilihan langsung.
Anggota BPD terdiri dari unsur-unsur masyarakat dan kuota 30% untuk
perempuan.
BPD berfungsi menetapkan peraturan desa, perencanaan desa dan APBDes,
serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
BPD mempunyai wewenang: (a) membentuk dan menyelenggarakan
musyawarah desa; (b) membahas rancangan peraturan desa bersama kepala
desa; (c) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan
peraturan kepala desa; (d) mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian
kepala desa; (e) membentuk panitia pemilihan kepala desa; (f) menggali,
menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi
masyarakat; dan (g) menyusun tata tertib BPD.
BPD mempunyai hak: (a) meminta keterangan kepada Pemerintah Desa; dan
(b) menyatakan pendapat.

Selain BPD, desa sebaiknya juga membentuk dan menyelenggarakan musyawarah


desa:

Desa membentuk dan menyelenggarakan musyawarah desa, atau nama lain,


sebagai wadah tertinggi untuk pengambilan keputusan desa yang bersifat
strategis
Keputusan desa yang bersifat strategis mencakup: rencana pembangunan
jangka menengah desa; investasi yang masuk desa; pengembangan kawasan
perdesaan; pembentukan, penggabungan, pemekaran atau perubahan status
desa.

Mengapa musyawarah desa? Apa urgensinya? Desa-desa di Indonesia di masa lalu


mempunyai tradisi musyawarah desa sebagai arena demokrasi deliberatif untuk
mengambil keputusan bersama secara komunal. Usulan dalam RUU, musyawarah
desa dalam hal ini bukan pemegang kedaulatan rakyat desa, bukan juga sebagai
institusi yang permanen, tetapi sebagai forum pengambilan keputusan strategis yang
mengikat bagi pemerintah dan warga desa. Penyelenggaraan musyawarah desa
untuk pengambilan keputusan strategis dimaksudkan untuk menghindari bias elite

15
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

yang dilakukan oleh kepala desa, sekaligus pelibatan warga masyarakat guna
memberikan perlindungan terhadap aset-aset strategis desa. Jika desa akan
mengambil keputusan strategis, maka BPD berwenang membentuk dan
menyelenggarakan musyawarah desa.

Berkaitan dengan perangkat desa, kami memberikan usulan pengaturan sebagai


berikut:

1. Sekdes dikembalikan seperti dulu, tidak perlu diisi oleh PNS.


2. Perangkat desa direkrut dengan mekanisme lokal yang kemudian
memperoleh pembinaan dari pemerintah.
3. Perangkat desa memperoleh penggajian dengan standar PNS dan memperoleh
asuransi kesehatan.
4. Masa kerja perangkat desa 20 tahun atau berusia maksimal 60 tahun.
5. Calon perangkat desa berumur minimal 25 tahun dan maksimal 40 tahun.
Karena itu jika seorang perangkat desa masa kerja pertama berumur 25
tahun, maka yang bersangkutkan akan pensiun pada umur 45 tahun.
Sementara bagi yang menjadi perangkat desa pada umur 40 tahun, maka usia
pensiun adalah 60 tahun.

Keuangan Desa. Kedudukan dan kewenangan desa semakin jelas, yang hal ini akan
semakin memperjelas fungsi-fungsi desa dalam pemerintahan, pelayanan publik,
pembangunan dan kemasyarakatan yang bermanfaat bagi masyarakat. Kejelasan ini
harus diikuti juga dengan kejelasan dari sisi keuangan, sesuai dengan prinsip no
mandate without funding dan money follow functions. Kami FPPD ini mengusulkan
perubahan pasal sebagai berikut:

Sumber pendapatan desa terdiri:


a) pendapatan asli desa;
b) bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per
seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan
bagi desa;
c) alokasi dana desa sebesar 5% dari total APBN
d) bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan;
e) hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat

Desa berwenang melakukan pungutan desa sepanjang tidak merugikan kepentingan


publik dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai
contoh adalah pungutan atas penjualan ternak dan tanah yang di Jawa dikenal
sebagai Pologoro; retribusi desa (tambatan perahu, pasar desa, pemafaatan embung-
embung, layanan administrasi, IMB berskala kampung, pemakaman, pemanfaatan
hutan dan kebun milik desa; galian tambang C, retribusi bagi kendaraan berat yang
melewati jalan kampung; dll).

Kami mengusulkan ADD sebesar 10% dari total APBN. Sebagai konsekuensi
kejelasan kedudukan desa yang tidak lagi berada dalam subsistem pemerintahan
kabupaten/kota, dan juga ada penetapan kewenangan dari undang-undang, maka
ADD bersumber dari APBN. Poin ini tentu debatable. Banyak pihak yang melakukan

16
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

penolakan dengan beberapa alasan. Pertama, kemampuan APBN sangat terbatas.


Kedua, ADD dari APBN bertabrakan dengan UU No. 33/2004 tentang perimbangan
keuangan. Tetapi dana-dana berbagai kementerian yang masuk ke desa bisa
dikumpulkan menjadi satu dalam wadah ADD. Yang lebih penting kalau ada
komitmen politik untuk memperkuat desa, maka disain institusional ADD dari APBN
tidak menjadi persoalan yang serius. Sebagai alternatif, UU No. 33/2004 direvisi
dengan menambahkan jenis dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota
menjadi: Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil dan Alokasi
Dana Desa. ADD yang diterima kabupaten/kota itu bersifat fixed, yang tidak bisa
diotak-atik atau dikurangi oleh kabupaten, yang kemudian dialokasikan ke desa
secara proporsional.

Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Desa. Perencanaan desa bukanlah


perencanaan daerah yang berada di desa, melainkan sebagai sebuah sistem
perencanaan yang berhenti di tingkat desa atau dikelola sendiri (self-planning) oleh
desa serta berbasis pada masyarakat setempat. Perencanaan desa ini tentu bukan
prakarsa yang prematur tetapi berangkat dari konteks bottom up planning yang
bermasalah, serta mempunyai sejumlah tujuan. Pertama, memotong mata rantai
prosedur perencanaan bertingkat (bottom up) yang sarat dengan distorsi dan
manipulasi yang justru tidak memberdayakan desa. Kedua, membawa perencanaan
betul-betul dekat pada masyarakat di desa sehingga agenda pembangunan desa
menjadi lebih partisipatif dan reponsif pada kebutuhan masyarakat. Ketiga, membuat
proses subsidiaritas dalam pembangunan bekerja di level desa, sehingga bisa
memperkuat tanggungjawab, membuka proses pembelajaran dan membangkitkan
prakarsa-potensi lokal. Keempat, perencanaan desa akan lebih efektif menempa
keleluasaan, kapasitas dan kemandirian desa dalam menjalankan urusan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat setempat. Kelima, membuat kepastian pelayanan publik dan pemerataan
pembangunan sampai ke level desa yang dekat dengan rakyat. Keenam, menciptakan
produktivitas, efisiensi dan efektivitas pembiayaan pembangunan yang sesuai
dengan kebutuhan desa.

Dalam konteks ini FPPD mengusulkan model atau format perencanaan desa yang
mengandung sejumlah ciri khas:
a. Satu desa satu rencana satu anggaran dan bahkan satu produk.
b. Perencanaan desa merupakan sistem perencanaan sendiri (self-planning)
yang menjangkau urusan-urusan pembangunan dan pemerintahan yang
menjadi kewenangan dan tanggungjawab (domain) desa. Sebagai contoh
adalah kewenangan mengelola jalan kampung, penerangan desa, sampah,
keamanan kampung, drainase, kuburan, pengelolaan air, lahan pertanian,
pengelolaan unit, pengelolaan jasa alat mesin pertanian, fasilitasi organisasi
tani desa, pengembangan badan usaha milik desa, pemberdayaan lembaga
kemasyarakatan, posyandu, rumah belajar warga, dan masih banyak lagi. Jika
kewenangan bidang-bidang pembangunan dan pemerintahan ini sudah dibagi
kepada desa, maka selanjutnya desa berwenang membuat sendiri
perencanaan atas pengelolaan bidang-bidang itu.
c. Kewenangan yang sudah dibagi ke desa, dan kemudian dicover dengan
perencanaan desa, membutuhkan dukungan dana alokasi desa (ADD) dari
kabupaten. Ini bukan meminta-minta atau membuat ketergantungan, tetapi

17
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

ADD merupakan hak desa dan kewajiban kabupaten, yang digunakan untuk
membiayai perencanaan pembangunan desa.
d. Perencanaan desa dibuat dalam bentuk rencana strategis sebagai rencana
jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah (RPJMDesa), dan
rencana pembangunan tahunan (RKPDesa).
e. Perencanaan desa merupakan sistem yang terpadu dan dibuat sistem
budgeter (budgetary system) di desa melalui skema APBDesa. Artinya, kecuali
perencanaan sektoral kabupaten maupun pelaksanaan tugas-tugas
pembantuan (yang menjadi domain pemerintah supradesa), program-
program pembangunan yang bersifat spasial dan berbasis desa sebaiknya
diintegrasikan secara terpadu dalam perencanaan desa dan dana program-
program itu dimasukkan ke dalam APBDesa (budgetary system). Integrasi
secara terpadu ini mempunyai beberapa tujuan. Pertama, menghindari
terjadinya “dualisme” perencanaan dan pengelolaan pembangunan,
sebagaimana desa mengelola perencanaan rutin serta agenda pembangunan
lainnya (misalnya PNPM Mandiri) yang berada di luar sistem anggaran desa.
Dalam praktiknya perencanaan rutin justru sering terbengkelai karena
kurang memiliki kepastian dana, sementara program-program luar itu
memasok dana yang lebih besar dan lebih pasti. Kedua, desa akan lebih fokus
merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat setempat.
f. Perencanaan desa dikelola untuk merespons secara dekat-langsung berbagai
kebutuhan masyarakat desa serta diproses secara partisipatif. Forum
Musrenbangdes, LPMD, RT, RW, kelompok tani, kelompok perempuan, karang
taruna, kelompok keagamaan dan lain-lain merupakan arena yang nyata
untuk mewadahi proses perencanaan partisipatif di desa. Di internal desa,
partisipasi pembangunan mensyaratkan adanya pelembagaan yang
demokratis dalam struktur pengambilan kebijakan desa. Kinerja lembaga
eksekutif (pemerintah desa) dan lembaga BPD hendaknya diatur dalam
sebuah relasi yang mampu mendorong proses demokrasi yang ada di desa.
Begitu pula peran masyarakat sipil di desa tetap saja diberikan arena untuk
mengembangkan suara, akses dan kontrol mereka terhadap jalannya
pemerintahan dan pembangunan desa.
g. Perencanaan desa tidak perlu dibawa atau diusulkan naik ke atas, misalnya
untuk memperoleh persetujuan. Musrenbang di kabupaten tidak lagi
digunakan untuk menilai, menyeleksi atau menyetujui usulan dari desa.
Dalam konteks perencanaan desa, kabupaten bertugas melakukan pembinaan,
fasilitasi dan supervisi.
h. Tanggungjawab perencanaan desa diletakkan di tingkat desa, bukan kepada
kabupaten. Desa cukup menyampaikan dokumen-dokumen perencanaan dan
pelaksanaannya kepada kabupaten sebagai bahan untuk melakukan
pembinaan, fasilitasi dan supervisi.

Dalam kontek sini desa ditetapkan menjadi institusi pemerintahan yang mempunyai
perencanaan sendiri (self planning) yang didasarkan pada kewenangan yang dimiliki.
Tujuannya agar desa lebih mandiri dan kuat dalam mengembangkan inisiatif maupun
potensi lokal dan mengambil keputusan. Agar pembangunan desa, terutama “desa
membangun” lebih terarah dan berhasilguna, maka RPJMDesa ditempatkan sebagai
wadah tunggal perencanaan. Pihak supradesa maupun pihak ketiga yang mempunyai

18
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

program dan menyalurkan bantuan langsung masyarakat untuk mendukung “desa


membangun”, maka wajib mengacu pada RPJMDesa. Sedangkan perencanan dan
pelaksanaan “membangun desa” oleh pemerintah maupun pihak ketiga dengan
pendekatan pembangunan kawasan perdesaan, wajib melibatkan desa. Desa akan
mengambil keputusan dengan wadah musyawarah desa.

Desa berwenang menyusun perencanaan sendiri sesuai dengan kewenangan


yang dimiliki dengan tetap mengacu pada perencanaan daerah
Perencanaan desa berbentuk RPJMDesa dan RKPDesa.
RPJMDesa merupakan induk tunggal rencana pembangunan desa.
Program-program dan bantuan keuangan langsung masyarakat (BLM) dari
pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota maupun pihak
ketiga diintegrasikan ke dalam RPJMDesa.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Baik Desa maupun Desa Adat dapat
membentuk dan mengembangkan BUMDes, atau nama lain, untuk mengoptimalkan
pelayanan sosial kepada warga, meningkatkan kegiatan ekonomi lokal dan
meningkatkan pendapatan masyarakat dan PADes. Secara hukum dan secara
institusional, BUMDes bersifat unik yang berbeda dengan bentuk-bentuk usaha lain,
sehingga standar bank, koperasi, atau perusahaan privat tidak bisa digunakan untuk
memandang BUMDes. Dari sisi badan hukum, BUMDes bukanlah bank, bukan PT,
bukan CV, bukan koperasi. BUMDes adalah BUMDes yang setara dengan bank atau
koperasi. BUMDes adalah usaha desa yang digerakkan oleh pemerintah desa dan
warga masyarakat desa.

BUMDes dapat mengembangkan berbagai jenis usaha. Pertama, usaha serving. Jenis
usaha semacam ini menjalankan ”bisnis sosial” yang melayani, yakni dapat
melakukan pelayanan publik kepada masyarakat sekaligus juga memperoleh
keuntungan finansial dari pelayanan itu. Usaha ini memanfaatkan sumberdaya lokal
dan teknologi tepat guna, seperti usaha air minum desa dan usaha listrik desa.

Kedua, usaha yang bertipe banking. BUMDes menjalankan ”bisnis uang”, seperti
Bank desa atau lembaga perkreditan desa atau lembaga keuangan mikro desa.
Modalnya bisa berasal dari ADD, PADes, tabungan masyarakat serta dukungan dari
pemerintah, seperti halnya pemerintah mendukung pengembangan Bank
Pembangunan Daerah. Bisnis uang desa ini sebenarnya mengandung bisnis sosial
dan bisnis ekonomi. Bisnis sosial artinya bank desa tersebut dimaksudkan sebagai
bentuk proteksi sosial terhadap warga desa, terutama kelompok-kelompok rentan
dan perempuan, dari jeratan para rentenir. Bisnis ekonomi artinya bank desa
tersebut untuk mendukung permodalan terhadap usaha-usaha skala mikro yang
dijalankan oleh pelaku ekonomi desa.

Ketiga, jenis usaha bertipe brokering. BUMDes dapat menjadi “lembaga perantara”
yang menghubungkan komoditas lokal dengan pasar atau agar para pelaku ekonomi
lokal tidak kesulitan menjual produk mereka ke pasar. Atau BUMDes menjual jasa
pelayanan kepada warga dan usaha-usaha masyarakat. Misalnya jasa pembayaran
listrik; desa mendirikan pasar desa untuk memasarkan produk-produk yang
dihasilkan masyarakat; BUMDes membangun jaringan dengan swasta atau pasar
yang lebih luas guna memasarkan produk-produk lokal.

19
Position Paper RUU Desa - FPPD 2011

Tabel 2
Klasifikasi jenis usaha BUMDes

Tipe Deskripsi Contoh


Serving BUMDes menjalankan ”bisnis sosial” yang Usaha air minum desa, usaha
melayani warga, yakni dapat melakukan listrik desa (desa mandiri
pelayanan publik kepada masyarakat. energi).
Banking BUMDes menjalankan ”bisnis uang”, yang Bank desa atau lembaga
dapat memenuhi kebutuhan keuangan perkreditan desa atau lembaga
masyarakat desa dengan bunga yang lebih keuangan mikro desa
rendah daripada bunga uang yang didapatkan
masyarakat desa dari para rentenir desa atau
bank-bank konvensional
Brokering BUMDes dapat menjadi “lembaga perantara” Jasa pembayaran listrik
yang menghubungkan komoditas pertanian Desa mendirikan pasar desa
dengan pasar atau agar para petani tidak untuk memasarkan produk-
kesulitan menjual produk mereka ke pasar. produk yang dihasilkan
Atau BUMDes menjual jasa pelayanan kepada masyarakat.
warga dan usaha-usaha masyarakat. BUMDes membangun jaringan
dengan swasta atau pasar yang
lebih luas guna memasarkan
produk-produk lokal.
Holding BUMDes sebagai ”usaha bersama”, atau Kapal desa yang berskala besar
sebagai induk dari unit-unit usaha yang ada di untuk mengorganisir dan
desa, dimana masing-masing unit yang berdiri mewadahi nelayan-nelayan
sendiri-sendiri ini, diatur dan ditata sinerginya kecil.
oleh BUMDes agar tumbuh usaha bersama. ”Desa wisata” yang
mengorganisir berbagai jenis
usaha dari kelompok
masyarakat: makanan,
kerajinan, sajian wisata,
kesenian, penginapan, dll.

Keempat, usaha BUMDes bertipe holding. BUMDes ini sebagai ”usaha bersama”, atau
sebagai induk dari unit-unit usaha yang yang dikembangkan masyarakat di desa,
dimana masing-masing unit yang berdiri sendiri-sendiri ini, diatur dan ditata
sinerginya oleh BUMDes agar tumbuh usaha bersama. Sebagai contoh BUMDes
mengembangkan kapal desa yang berskala besar untuk mengorganisir dan
mewadahi nelayan-nelayan kecil agar usahanya menjadi lebih besar. Contoh yang
lain adalah ”desa wisata” yang mengorganisir berbagai jenis usaha dari kelompok
masyarakat: makanan, kerajinan, sajian wisata, kesenian, penginapan, dan
sebagainya.

Melalui Undang-undang Desa, pemerintah mengakui usaha-usaha desa yang sudah


ada sebelumnya. Bahkan pemerintah memberikan insentif kepada usaha desa yang
sudah berjalan maupun BUMDes yang akan dibentuk, untuk tidak berkewajiban
membayar pajak mengingat BUMDes atau sebutan lain telah memberikan manfaat
secara langsung, dekat dan mudah kepada masyarakat desa. ***

20

Anda mungkin juga menyukai