Anda di halaman 1dari 7

1. Mempererat tali silaturahim.

Saat di meja makan adalah momen kebersamaan. Jika hari-hari biasa keluarga sibuk hanya bisa
bertemu di jam makan pagi karena saat jam makan malam orang tua yang bekerja mungkin
belum tiba di rumah, maka di saat Ramadhan instansi dan kantor-kantor sepakat mengurangi jam
kerja. Salah satu tujuannya adalah memberikan kesempatan bagi karyawan untuk lebih cepat tiba
di rumah dan berkesempatan melaksanakan ibadah sholat tarawih. Hikmah dari jam pulang kerja
lebih cepat adalah terbukanya kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga saat berbuka
puasa
2. Merasakan nikmatnya berbagi
Banyak pilihan tempat untuk berbuka bersama. Bisa di rumah bareng keluarga, di restoran dan
kafe bersama rekan kerja dan kolega atau berbuka dalam acara sosial. Salah satu pilihan berbuka
bersama penuh hikmah adalah berbuka bareng anak yatim. Sebagai salah satu donatur tetap
yayasan sosial setiap Ramadhan kami biasanya diundang untuk menghadiri buka bersama anak
yatim. Saya sangat menganjurkan anak-anak untuk mengikuti acara khusus setahun sekali ini.
Acara bukber yang tak biasa memberikan suasa syahdu penuh syukur. Berbuka dengan menu
nasi kotak sederhana bareng anak-anak panti asuhan binaan yayasan sosial tersebut
menimbulkan rasa syukur tak terhingga karena menyaksikan wajah-wajah bahagia anak-anak
yatim. Timbul juga rasa takjub betapa mereka selalu bersyukur meski jika dinalar hidup anakanak tersebut tak sebahagia anak yang memiliki orang tua. Ternyata bahagia itu ada pada hati
yang selalu bersyukur.
3. Mengisi waktu dengan hal bermanfaat.
Sebelum acara inti yakni berbuka puasa biasanya diisi dengan berbagai kegiatan menarik. Acara
buka bersama bareng anak yatim yang dikoordinir yayasan misalnya memberi kesempatan anakanak tersebut untuk berlomba seperti pidato, dai cilik atau berpuisi. Menyenangkan sekali
melihat pertunjukan seni dikemas untuk dakwah. Berbuka bersama di masjid-masjid raya tidak
kalah mengasyikkan. Sekitar satu jam atau tiga puluh menit sebelum adzan Maghrib biasanya
diperdengarkan ceramah agama sekaligus sesi tanya jawab. Ngabuburit positif nih, nunggu
bedhug Maghrib sambil memperkaya diri dengan pengetahuan agama seperti yang pernah kami
jalani di Masjid Al Akbar Surabaya.
Agar acara berbuka puasa bersama tidak kehilangan hikmahnya perlu diperhatikan beberapa hal
berikut ini:
1. Sesuaikan dengan anggaran. Berbuka puasa bersama tak selalu harus memilih tempat khusus
seperti paket di Hotel bintang Lima atau resto ternama. Berbeda jika acara tersebut
diselenggarakan oleh sebuah instansi, biasanya ada anggaran khusus untuk acara berbuka

bersama sebagai bagian dari reward bagi karyawan. Inti dari acara berbuka bersama adalah
kebersamaan maka sesuaikan anggaran dan pilih tempat yang nyaman.
2. Upayakan menjaga ketepatan sholat Maghrib. Buka bersama bercengkrama sampai lupa waktu
sholatyaelah sayang banget khan. Maka sebaiknya berbuka puasa bersama didahului dengan
minum air putih dan cemilan ringan seperti kurma sesuai sunnah Rasul lalu diadakan sholat
maghrib berjamaah baru kemudian menikmati menu utama bersama. Ada baiknya memilih
tempat bukber yang dekat dengan musholla atau masjid. Lebih tenang dan senang rasanya.
3. Hindari perbuatan mubadzir. Pilih menu untuk makan bareng-bareng biasanya lebih hemat dan
porsinya tidak berlebihan. Kalaupun masih berlebih usahakan tidak mubadzir, bisa dibawa
pulang untuk menu sahur atau sekiranya masih pantas diberikan sebagai hidangan bisa dibagikan
kepada kaum dhuafa. Sebenarnya sih lebih afdol lagi jika kaum dhuafa diajak bareng dalam
acara berbuka puasa bersama tersebut.

Mutiara Ramadhan # 12: Menggapai


tingkatan puasa paling tinggi dan sempurna
Muhib Al-Majdi Ahad, 13 Ramadhan 1434 H / 21 Juli 2013 07:06
Ilustrasi - Mutiara Ramadhan # 12: Menggapai tingkatan puasa paling tinggi dan sempurna
(Arrahmah.com) Imam Abu Hamid al-Ghazali (wafat tahun 505 H) dalam kitabnya Ihya
Ulum ad-Din menguraikan dengan jelas dan bagus rahasia-rahasia puasa yang bersifat batiniah,
yang akan mengantarkan orang yang berpuasa menuju tingkatan puasa yang paling tinggi dan
sempurna.
Ulama besar madzhab Syafii dan rektor Universitas Nizhamiyah kota Naisabur itu berkata:
.






:



Ketahuilah sesungguhnya shaum (puasa) itu ada tiga tingkatan; puasa umum, puasa khusus, dan
puasa sangat khusus. (Imam Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Dien, 1/234)
Beliau kemudian menguraikan masing-masing tingkatan tersebut.

Pertama, Puasa umum



:

Puasa umum adalah menahan petur dan kemaluan dari menunaikan syahwat.
Maksudnya, puasa umum atau puasa orang-orang awam adalah sekedar mengerjakan puasa
menurut tata cara yang diatur dalam hukum fiqih. Seseorang makan sahur dan berniat untuk
puasa pada hari itu, lalu menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan badan
dengan suami atau istrinya sejak dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Jika hal itu
telah dikerjakan, maka secara hukum fiqih ia telah mengerjakan kewajiban shaum Ramadhan.
Puasanya telah sah secara lahiriah menurut tinjauan ilmu fikih.

Kedua, puasa khusus






Puasa khusus adalah menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan seluruh
anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
Tingkatan ini lebih tinggi dari tingkatan puasa umum atau puasa orang-orang awam. Selain
menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan seksual, tingkatan ini menuntut
orang yang berpuasa untuk menahan seluruh anggota badannya dari dosa-dosa, baik berupa
ucapan maupun perbuatan. Tingkatan ini menuntut seorang muslim untuk senantiasa berhati-hati
dan waspada.
Ia akan menahan matanya dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia
akan menahan telinganya dari mendengarkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya. Ia akan menahan lisannya dari mengucapkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Ia akan menahan tangannya dari melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Ia akan menahan kakinya dari melangkah menuju hal-hal yang diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya. Dan seluruh anggota badannya yang lain ia jaga agar tidak terjatuh dalam
tindakan maksiat.
Tingkatan puasa ini adalah tingkatan orang-orang shalih.

Ketiga, puasa sangat khusus



.


:


Puasa sangat khusus adalah berpuasanya hati dari keinginan-keinginan yang rendah dan
pikiran-pikiran duniawi serta menahan hati dari segala tujuan selain Allah secara totalitas.
Tingkatan ini adalah tingkatan yang paling tinggi, sehingga paling berat dan paling sulit dicapai.
Selain menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual, serta menahan seluruh anggota
badan dari perbuatan maksiat, tingkatan ini menuntut hati dan pikiran orang yang berpuasa untuk
selalu fokus, memikirkan hal-hal yang mulia, mengharapkan hal-hal yang mulia dan
memurnikan semua tujuan untuk Allah semata.
Puasanya hati dan pikiran, itulah hakekat dari puasa sangat khusus. Puasanya hati dan pikiran
dianggap batal ketika ia memikirkan hal-hal selain Allah, hari akhirat dan berfikir tentang
(keinginan-keinginan) dunia, kecuali perkara dunia yang membantu urusan akhirat. Inilah puasa
para nabi, shiddiqin dan muqarrabin. (Imam Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Dien,
1/234)
Saudaraku seislam dan seiman.
Agar puasa kita tidak sekedar menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual dan pembatalpembatal puasa yang bersifat lahiriah lainnya, imam Al-Ghazali menguraikan bahwa kita harus
menjaga anggota badan kita dari dosa-dosa.

1. Menjaga pandangan mata

Yaitu menundukkan pandangan mata dari hal-hal yang diharamkan Allah dan rasul-Nya,
menahan pandangan mata dari terlalu bebas memandang hal-hal yang dicela dan dibenci, bahkan
menahan pandangan mata dari hal-hal yang menyibukkan hati dan melalaikan dari dzikir kepada
Allah Taala.

( 30)



Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki agar hendaknya mereka menundukkan
pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka. Hal yang demikian itu lebih suci bagi
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengerti apa yang mereka kerjakan. Dan katakanlah kepada
orang-orang mukmin wanita agar hendaknya mereka menundukkan pandangan mata mereka dan
menjaga kemaluan mereka (QS. An-Nur [24]: 30-31)

2. Menjaga lisan
Yaitu menjaga lisan dari ucapan yang sia-sia, ucapan yang jorok, perkataan dusta, ghibah
(menggunjing), namimah (adu domba), sumpah palsu, ucapan yang kasar, adu mulut dan debat
kusir. Ia hendaknya menyibukkan lisan dengan senantiasa membaca Al-Quran, berdzikir,
mengucapkan perkataan yang baik dan lebih baik diam dari hal-hal yang tidak bermanfaat.




:
Puasa adalah perisai (dari perbuatan dosa dan siksa api neraka, edt). Maka jika salah seorang di
antara kalian sedang berpuasa, janganlah ia mengucapkan perkataan yang keji dan jangan pula
melakukan tindakan yang bodoh. Jika ada seseorang yang mencaci maki dirinya atau
mengajaknya berkelahi, hendaklah ia menjawab: Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa.
(HR. Bukhari no. 1894 dan Muslim no. 1151)

3. Menjaga pendengaran
Yaitu menjaga telinga dari mendengarkan hal-hal yang diharamkan, sebab hal-hal yang haram
diucapkan juga haram untuk didengarkan. Allah Taala telah menyamakan antara mendengarkan
perkataan yang haram dengan memakan harta yang haram, dalam firman-Nya:

Mereka sangat banyak mendengarkan perkataan dusta dan sangat banyak memakan harta
haram. (QS. Al-Maidah [5]: 42)

4. Menjaga tangan, kaki dan anggota badan lainnya dari hal-hal yang
diharamkan
Tangan hendaknya dijaga dari menyentuh dan memegang hal-hal yang diharamkan Allah Taala,
atau dari melakukan tindakan yang diharamkan Allah Taala seperti memukul, mencuri, dan
merampas hak orang lain tanpa hak. Kaki hendaknya dijaga dari melangkah menuju

kemaksiatan, atau melakukan kezaliman kepada orang lain tanpa hak. Seluruh anggota badan
lainnya dijaga dari melakukan kemaksiatan dan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Perutnya dijaga dari mengonsumsi makanan yang haram dan makanan yang mengandung
syubhat saat berbuka puasa dan makan sahur. Sebab apalah nilainya ia menahan diri dari
makanan dan minuman yang halal sejak terbit fajar sampai matahari terbenam, jika ia
mengakhiri itu semua dengan makanan yang haram saat berbuka puasa? Orang yang berpuasa
seperti itu adalah bagaikan orang yang membangun sebuah istana dengan menghancurkan
sebuah negeri.

5. Menjaga diri untuk tidak memenuhi perutnya dengan makanan saat berbuka
puasa.
Tujuan dari puasa adalah melemahkan hawa nafsu. Jika sejak terbit fajar sampai terbenam
matahari hawa nafsu dilemahkan dengan mengosongkan perut, maka menyantap banyak
makanan saat berbuka puasa hanya akan membangkitkan hawa nafsu yang terkekang di siang
hari. Puasa hanya berfungsi sebagai pemindah hawa nafsu dari siang hari ke malam hari. Apalagi
bila ditambah dengan mengumpulkan berbagai makanan dan minuman yang lezat. Hikmahhikmah puasa, misalnya solidaritas terhadap kaum miskin, tidak akan teraih dengan cara seperti
itu.

6. Setelah berbuka puasa hendaknya hatinya diliputi perasaan harap-harap


cemas, berharap puasanya diterima Allah Taala dan takut jika puasanya tidak
diterima Allah Taala. Ia berada di antara perasaan harap dan cemas, sebab ia
tidak mengetahui apakah puasanya diterima Allah atau ditolak-Nya.
Semoga kita tidak termasuk dalam golongan yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi
wa salam:



Betapa banyak orang berpuasa namun balasan dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga semata.
Dan betapa banyak orang melakukan shalat malam (tarawih dan witir) namun balasannya dari
shalatnya hanyalah begadang menahan kantuk semata. (HR. Ahmad no. 8856, Abu Yala no.
6551, Ad-Darimi no. 2720, Ibnu Hibban no. 3481 dan Al-Hakim no. 1571. Syaikh Syuaib
al-Arnauth berkata: Sanadnya kuat)
- See more at: https://www.arrahmah.com/ramadhan/mutiara-ramadhan-12-menggapai-tingkatanpuasa-paling-tinggi-dan-sempurna.html#sthash.NDwWpo5h.dpuf

Anda mungkin juga menyukai