Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
I.

II.

DEFENISI
Tiroid merupakan kelenjar yang berbentuk cuping kembar dan di antara
keduanya dapat daerah yang menggenting. Kelenjar ini terdapat di bawah jakun
di depan trakea. Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroksin yang
mempengaruhi metabolisme sel tubuh dan pengaturan suhu tubuh.
ANATOMI FISIOLOGI TIROID

Tiroid
merupakan
kelenjar
kecil,
dengan diameter sekitar 5 cm
dan terletak di leher, tepat
dibawah jakun. Kedua bagian
tiroid dihubungkan oleh ismus,
sehingga bentuknya menyerupai
huruf H atau dasi kupu-kupu.
Dalam keadaan normal, kelenjar
tiroid tidak terlihat dan hampir
tidak
teraba,
tetapi
bila
membesar,
dokter
dapat
merabanya dengan mudah dan
suatu benjolan bisa tampak
dibawah atau di samping
jakun.Kelenjar
tiroid
menghasilkan hormon tiroid,
yang mengendalikan kecepatan metabolisme tubuh.
Kelenjar

Kelenjar tiroid terdiri dari dua lobus, satu di sebelah kanan dan satu lagi
disebelah kiri. Keduanya dihubungkan oleh suatu struktur ( yang dinamakan
isthmus atau ismus). Setiap lobus berbentuk seperti buah pir. Kelenjar tiroid
mempunyai satu lapisan kapsul yang tipis dan pretracheal fascia. Pada keadaan
tertentu kelenjar tiroid aksesoria dapat ditemui di sepanjang jalur perkembangan
embriologi tiroid.
Ismus dan lobus piramidal. Struktur ismus atau isthmus yang dalam
bahasa latin artinya penyempitan merupakan struktur yang menghubungkan lobus
kiri dan kanan. Posisinya kira-kira setinggi cincin trakea 2-3 dan berukuran sekitar
1,25 cm. Anastomosis di antara kedua arteri thyroidea superior terjadi di sisi atas
ismus, sedangkan cabang-cabang vena thyroidea inferior ber-anastomosis di
1

bawahnya. Pada sebagian orang dapat ditemui lobus tambahan berupa lobus
piramidal yang menjulur dari ismus kebawah.
Salur darah, darah ke kelenjar tiroid dibekalkan oleh arteri superior thyroid
yang merupakan cabang pertama arteri external carotid(ECA). Arteri ini
menembusi pretracheal fascia sebelum sampai ke bahagian superior pole lobe
kelenjar tiroid. Saraf laryngeal terletak berhampiran(di belakang) arteri ini, jadi jika
dalam pembedahan tiroidektomi, kemungkinan besar saraf ini terpotong jika tidak
berhati-hati.
Kelenjar tiroid juga dibekalkan oleh arteri inferior thyroid yang merupakan cabang
daripada thyrocervical trunk(cabang daripada arteri subclavian).
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid, yang mengendalikan kecepatan
metabolisme tubuh.
Hormon tiroid mempengaruhi kecepatan metabolisme tubuh melalui 2 cara:
1. Merangsang hampir setiap jaringan tubuh untuk menghasilkan protein
2. Meningkatkan jumlah oksigen yang digunakan oleh sel.
Hormon tiroid terdapat dalam 2 bentuk:
1. Tiroksin (T4), merupakan bentuk yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid, hanya
memiliki efek yang ringan terhadap kecepatan metabolisme tubuh.
2. Tiroksin dirubah di dalam hati dan organ lainnya ke dalam bentuk aktif, yaitu triiodo-tironin (T3). Perubahan ini menghasilkan sekitar 80% bentuk hormon aktif,
sedangkan 20% sisanya dihasilkan oleh kelenjar tiroid sendiri.

BAB II
ISI
II.1
HORMON YANG DISEKRESIKAN OLEH TIROID
Dua jenis hormon berbeda yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid membentuk
hormon tiroid yaitu tiroksin dan triiodotironin. Kedua hormon ini merupakan asam
amino dengan sifat unik yang mengandung molekul iodium yang terikat pada struktur
asam amino.
a. Tiroksin (T4)
Hormon tiroksin (T4) mengandung empat atom iodium dalam setiap
molekulnya. Hormon ini disintesis dan disimpan dalam keadaan terikat dengan protein
di dalam sel-sel kelenjar tiriod; pelepasannya ke dalam aliran darah terjadi ketika
diperlukan. Kurang lebih 75% hormon tiroid terikat dengan globulin pengikat-protein
(TBG; thyroid-binding globulin). Hormon tiroid yang lain berada dalam keadaan terikat
dengan albumin dan prealbumin pengikat tiroid. Bentuk T4 yang terdapat secara alami
dan turunannya dengan atom karbon asimetrik adalah isomer L. D-Tiroksin hanya
memiliki sedikit aktivitas bentuk L.
Hormon tiroid yang bersirkulasi dalam plasma terikat pada protein plasma, diantaranya:
(1) globulin pengikat tiroksin (TBG).
(2) prealbumin pengikat tiroksin (TBPA).
(3) albumin pengikat tiroksin (TBA).
Dari ketiga protein pengikat tiroksin, TBG mengikat tiroksin yang paling
spesifik. Selain itu, tiroksin mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap protein
pengikat ini di bandingkan dengan triiodotironin.7 Secara normal 99,98% T4 dalam
plasma terikat atau sekitar 8 g/dL (103 nmol/L); kadar T4 bebas hanya sekitar 2 ng/dL.
Hanya terdapat sedikit T4 dalam urin. Waktu paruh biologiknya panjang (6-7 hari), dan
volume distribusinya lebih kecil jka dibandingkan dengan cairan ekstra seluler (CES)
sebesar 10L, atau sekitar 15% berat tubuh.
b. Triiodotironin (T3)
Hormon yang merupakan asam amino dengan sifat unik yang mengandung
molekul iodium yang terikat pada asam amino ini hanya mengandung tiga atom iodium
saja dalam setiap molekulnya.6,7 Hormon tiroksin juga di bentuk di jaringan perifer
melalui deiodinasi T4. Hormon triiodotironin (T3) lebih aktif daripada hormon tiroksin
(T4). T4 dan T3 disintesis di dalam koloid melalui iodinasi dan kondensasi molekulmolekul tirosin yang terikat pada linkage peptida dalam triglobulin. Kedua hormon ini
tetap terikat pada triglobulin sampai disekresikan. Sewaktu disekresi, koloid diambil
oleh sel-sel tiroid, ikatan peptida mengalami hidrolisis, dan T3 serta T4 bebas
dilepaskan ke dalam kapiler.
Triiodotironin mempunyai afinitas yang lebih kecil terhadap protein pengikat
TBG dibandingkan dengan tiroksin, menyebabkan triiodotironin lebih mudah berpindah
3

ke jaringan sasaran. Faktor ini yang merupakan alasan mengapa aktivitas metabolik
triiodotironin lebih besar.
T3 mugkin dibentuk melalui kondensasi monoidotirosin (MIT) dengan
diidotirosin (DIT). Dalam tiroid manusia normal, distribusi rata-rata senyawa beriodium
untuk T3 adalah 7%. Kelenjar tiroid manusia mensekresi sekitar 4 g (7 nmol) T3.
Kadar T3 plasma adalah sekitar 0,15 g/dL (2,3 nmol/L), dari 0,15 g/dL yang secara
normal terdapat dalam plasma, 0,2% (0,3 ng/dL) berada dalam keadaan bebas. Sisa
99,8% terikat pada protein, 46% pada TBG dan sebagian besar sisanya pada albumin,
dengan pengikatan transtiretin sangat sedikit.
Tabel 1. Pengikatan Hormon Tiroid Pada Protein Plasma Orang Dewasa Normal
protein

Konsentrasi
plasma (mg/dl)

Globulin pengikat
tiroksin (TBG)
Transiterin
(praalbumin
pengikat tiroksin,
TBPA)
albumin

Jumlah hormon terikat yang


berikulasi
T4
T3
67
46

15

20

3500

13

53

II.2
KELAINAN DALAM SINTESIS & PELEPASAN HORMON
TIROID
A. Defek Metabolik yang Diturunkan (Dishormogenesis)
Defek metabolik yang diturunkan dapat melibatkan setiap fase dari
biosintesis hormonal. Hal ini menimbulkan "dishormogenesis," atau gangguan
sintesis hormon. Pasien ditemukan dengan pembesaran tiroid, atau goiter,
hipotiroidisme ringan hingga berat, serum T3 dan T4 yang rendah dan TSH serum
yang meningkat.
B. Efek Defisiensi Iodida pada Biosintesis Hormon
Suatu diet dengan iodin sangat rendah menurunkan kandungan iodin
intratiroid, meningkatkan rasio intratiroidal MIT terhadap DIT, meningkatkan rasio
T3 terhadap T4, menurunkan sekresi dari T4, dan meningkatkan TSH serum. Pada
orang dewasa, hal ini menimbulkan goiter, dengan suatu ambilan iodin yang tinggi
dan hipotiroidisme ringan sama berat; pada neonatus, hal ini dapat menimbulkan
kretinisme . Adaptasi yang terjadi dapat melibatkan peningkatan sintesis T 3 relatif
terhadap T4 dan 5'-deiodinisasi intratiroidal dari T4 menjadi T3 yang meningkat
menghasilkan suatu campuran hormon yang lebih aktif.

C. Efek dari Kelebihan Iodin pada Biosintesis Hormon


Dosis iodida semakin meningkat yang diberikan pada tikus dengan
defisiensi-iodida pada awalnya menimbulkan peningkatan organifikasi iodida dan
pembentukan hormon hingga dicapai suatu kadar kritis. Pada titik ini, terjadi inhibisi
organifikasi dan hormogenesis menurun. Efek Wolff Chaikoff kemungkinan
disebabkan oleh inhibisi dari pembangkitan H2O2 oleh kandungan I intratiroidal yang
tinggi. Pengamatan yang paling mencolok adalah bahwa efek ini adalah sementara
dan bahwa kelenjar tiroid yang normal "lolos" dari efek I. Hal ini disebabkan oleh
inhibisi dari penjebakan I dengan penurunan dari iodida intratiroidal, memungkinkan
berlangsungnya hormogenesis. Jika kelenjar tidak mampu untuk melakukan adaptasi
ini--seperti yang terjadi pada pasien dengan tiroiditis autoimun atau ada beberapa
pasien dengan dishormogenesisakan timbul hipotiroidisme akibat-iodida. Pada
beberapa pasien, suatu beban iodida akan menimbulkan hipertiroidisme. Hal ini
dapat timbul pada pasien dengan penyakit Graves laten, pada mereka dengan goiter
multinodular, atau kadang-kadang pada mereka dengan kelenjar tiroid yang
sebelumnya normal.
II.3
KELAINAN-KELAINAN TIROID
Pasien dengan penyakit tiroid biasanya akan mengeluh :
(1) Pembesaran tiroid, yang mana bisa difus atau nodular
(2) Gejala-gejala defisiensi tiroid atau hipotiroidisme
(3) Gejala-gejala kelebihan hormon tiroid, atau hipertiroidisme
(4) Komplikasi spesifik hipotiroidisme-penyakit graves-yang muncul dengan
mata yang sangat menonjol (eksofalmus) atau, yang lebih jarang, penebalan
kulit tungkai bawah (dermatopati tiroid).
1) HIPOTIROIDISME
Hipotirodisme adalah suatu sindroma klinis akibat dari defisiensi hormon tiroid,
yang kemudian mengakibatkan perlambatan proses metabolik. Hipotiroidisme pada bayi
dan anak-anak berakibat pertambatan pertumbuhan dan perkembangan jelas dengan
akibat yang menetap yang parah seperti retardasi mental. Hipotiroidisme dengan awitan
pada usia dewasa menyebabkan perlambatan umum organisme dengan deposisi
glikoaminoglikan pada rongga intraselular, terutama pada otot dan kulit, yang
menimbulkan gambaran klinis miksedema. Gejala hipotiroidisme pada orang dewasa
kebanyakan reversibel dengan terapi.
a. Etiologi dan Insidens
Hipotiroidisme dapat diklasifikasikan sebagai (1) primer (kegagalan tiroid), (2)
sekunder (terhadap kekurangan TSH hipofisis), atau (3) tersier (berhubungan dengan
defisiensi TRH hipotalamus)-atau mungkin karena (4) resistensi perifer terhadap kerja
hormon tiroid. Hipotiroidisme dapat diklasifikasikan sebagai goiter dan non-goiter, tapi
klasifikasi ini mungkin tidak memuaskan, karena tiroiditis Hasimoto dapat
menimbulkan hipotiroidisme dengan atau tanpa goiter. Insidens berbagai penyebab
5

hipotiroidisme akan berbeda-beda tergantung faktor-faktor geografis dan lingkungan


seperti diet iodida dan asupan bahan-bahan goitrogenik, ciri-ciri genetika dan populasi
dan distribusi umur populasi (anak atau dewasa).
b. Patogenesis
Defisiensi hormon tiroid mempengaruhi semua jaringan tubuh, sehingga gejalanya
bermacam-bermacam. Kelainan patologis yang paling khas adalah penumpukan
glikoaminoglikan--kebanyakan asam hialuronat--pada jaringan interstisial. Penumpukan
zat hidrofilik dan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap albumin ini bertanggung
jawab terhadap terjadinya edema interstisial yang paling jelas pada kulit, otot jantung
dan otot bergaris. Penumpukkan ini tidak berhubungan dengan sintesis berlebih tapi
berhubungan dengan penurunan destruksi glikoaminoglikan.
c. Gambaran dan Temuan Klinis
Bayi baru lahir (Kretinisme)
Istilah kretinisme mula-mula digunakan untuk bayi-bayi pada daerah-daerah
asupan iodin rendah dan goiter endemik dengan retardasi mental, postur pendek, muka
dan tangan tampak sembab dan (seringkali) tuli mutisma dan tanda-tanda neurologis
yaitu kelainan traktus piramidalis dan ekstrapiramidalis .
Hipotiroidisme neonatus dapat diakibatkan dari kegagalan tiroid untuk desensus
selama periode perkembangan embrionik dari asalnya pada dasar lidah ke tempat
seharusnya pada leher bawah anterior, yang berakibat timbulnya kelenjar "tiroid
ektopik" yang fungsinya buruk. Transfer plasenta TSH-R Ab [blok] dari ibu pasien
tiroiditis Hashimoto ke embrio, dapat menimbulkan agenesis kelenjar tiroid dan
"kretinisme atireotik". Defek bawaan pada biosintesis hormon tiroid menimbulkan
hipotiroidisme neonatus termasuk pemberian iodida, obat antitiroid, atau radioaktif
iodin untuk tirotoksikosis saat kehamilan.
Gejala-gejala hipotiroidisme pada bayi baru lahir adalah kesukaran bernapas,
sianosis, ikterus, kesulitan makan, tangisan kasar, hernia umbilikalis dan retardasi berat
dan retardasi pematangan tulang yang nyata. Epifisis tibia proksimal dan epifisis femur
distal terdapat pada semua bayi cukup bulan dengan berat badan lebih dari 2500 g.
Tidak adanya epifisis ini merupakan bukti kuat adanya hipotiroidisme.
Pengenalan skrining rutin terhadap bayi baru lahir untuk TSH dan Tq telah
menjadi keberhasilan besar dalam diagnosis dini hipotiroidisme neonatus. T4 serum di
bawah 6 g/dL atau TSH serum di atas 30 U/mL indikatif adanya hipotiroidisme
neonatal. Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan bukti radiologis adanya retardasi umur
tulang.
Anak
Hipotiroidisme pada anak-anak ditandai adanya retardasi pertumbuhan dan
tanda-tanda retardasi mental. Pada remaja, pubertas prekok dapat terjadi, dan mungkin
ada pembesaran sella tursika di samping postur tubuh pendek. Hal ini tidak
6

berhubungan dengan tumor hipofisis tapi mungkin berhubungan dengan hipertrofi


hipofisis yang berhubungan dengan produksi TSH berlebihan.
Dewasa
Pada orang dewasa, gambaran umum hipotiroidisme termasuk mudah lelah,
kedinginan, penambahan berat badan, konstipasi, menstruasi tidak teratur, dan kram
otot. Pemeriksaan fisik termasuk kulit yang dingin, kasar, kulit kering, wajah dan tangan
sembab, suara parau dan kasar, refleks lambat . Menurunkan konversi karoten menjadi
vitamin A dan peningkatan karoten dalam darah sehingga memberikan warna kuning
pada kulit.
d. Diagnosis
Kombinasi FT4 atau FT4I serum yang rendah dan TSH serum meningkat adalah
diagnostik adanya hipotiroidisme primer . Kadar T3 bervariasi dan dapat berada dalam
batas normal. Uji positif terhadap autoantibodi tiroid mengarah tiroiditis Hashimoto
yang mendasari. Pada pasien dengan miksedema hipofisis, FT4 atau FT4 akan rendah
tapi TSH serum tidak akan meningkat. Kemudian mungkin perlu membedakan penyakit
hipofisis dari hipotalamus, dan untuk hal ini uji TSH paling membantu . Tidak adanya
respons TSH terhadap TRH menunjukkan adanya defisiensi hipofisis. Respon parsial
atau "normal" menunjukkan bahwa fungsi hipofisis intak tapi bahwa defek ada pada
sekresi TRH hipotalamus. Pasien mungkin mendapatkan terapi tiroid (levotiroksin atau
tablet tiroid kering) ketika pertama kali kita jumpai.
GAMBAR. Diagnosis hipotiroidisme. Tiroksin bebas (FT4) maupun indeks tiroksin
Bebas (FT4I) dapat bersama TSH untuk penilaian.

Pasien dengan hipotiroidisme akan datang dengan gambaran tak lazim : neurastenia
dengan gejala kram otot, parestesia, dan kelemahan; anemia; gangguan fungsi
reproduksi, termasuk infertilitas, keterlambatan pubertas atau menoragia; edema
idiopatik, efusi pleurokardial; pertumbuhan terhambat; obstipasi; rinitis kronis atau
suara parau karena edema mukosa nasal atau pita suara; dan depresi berat yang terus
berlanjut menjadi ketidakstabilan emosional atau bahkan jelas-jelas psikosa paranoid.
Pada kasus s eperti ini, pemeriksaan diagnostik akan memastikan atau menyingkirkan
hipotiroid sebagai faktor penunjang.
e. Komplikasi-komplikasi
Koma miksedema
Koma miksedema adalah stadium akhir dari hipotiroidisme yang tidak diobati.
Ditandai oleh kelemahan progresif, stupor, hipotermia, hipoventilasi, hipoglisemia,
hiponatremia, intoksikasi air, syok dan meninggal. Walaupun jarang, ini dapat terjadi
lebih sering dalam masa mendatang, dihubungkan dengan peningkatan penggunaan
radioiodin untuk terapi penyakit Graves, dengan akibat hipotiroidisme permanen.
Karena ini paling sering pada pasien-pasien tua dengan adanya dasar penyakit paru dan
pembuluh darah, mortalitasnya sangat tinggi.
Pasien (atau seorang anggota keluarga bila pasien koma) mungkin ingat akan
penyakit tiroid terdahulu, terapi radioiodin, atau tiroidektomi: Anamnesis menunjukkan
awitan bertahap dari letargi terus berlanjut menjadi stupor atau koma.
Pemeriksaan menunjukkan bradikardi dari hipotermia berat dengan suhu tubuh
mencapai 24 C (75 F). Pasien biasanya wanita tua gemuk dengan kulit kekuningkuningan, suara parau, lidah besar, rambut tipis, mata membengkak, ileus dan refleksrefleks melambat. Mungkin ada tanda-tanda penyakit-penyakit lain seperti pneumonia
infark miokard, trombosis serebral atau perdarahan gastrointestinal. Petunjuk
laboratorium dari diagnosis koma miksedema, termasuk serum "lactescent", karotin
serum yang tinggi, kolesterol serum yang meningkat, dan protein cairan serebrospinalis
yang meningkat. Efusi pleural, perikardial atau abdominal dengan kandungan protein
tinggi bisa juga didapatkan. Tes serum akan menunjukkan FT4 yang rendah dan
biasanya TSH yang sangat meningkat. Asupan iodin radioaktif tiroid adalah rendah dan
antibodi antitiroid biasanya positif kuat, menunjukkan dasar tiroiditis EKG
menunjukkan sinus bradikardi dan tegangan rendah. Seringkali bila pemeriksaan
laboratorium tidak tersedia, diagnosis harus dibuat secara klinis.
Miksedema dan Penyakit Jantung
Dahulu, terapi pasien dengan miksedema dan penyakit jantung, khususnya
penyakit arteri koronaria, sangat sukar karena penggantian levotiroksin seringkali
dihubungkan dengan eksaserbasi angina, gagal jantung, infark miokard. Namun karena
sudah ada angioplasti koronaria dan bypass arteri koronaria, pasien dengan miksedema
dan penyakit arteri koronaria dapat diterapi secara operatif dan terapi penggantian
tiroksin yang lebih cepat dapat ditolerir.
8

Hipotiroidisme dan Penyakit Neuropsikiatrik


Hipotiroidisme sering disertai depresi, yang mungkin cukup parah. Lebih jarang
lagi, pasien dapat mengalami kebingungan, paranoid, atau bahkan maniak ("myxedema
madness"). Skrining perawatan psikiatrik dengan FT4 dan TSH adalah cara efisien untuk
menemukan pasien-pasien ini, yang mana seringkali memberikan respons terhadap
terapi tunggal levotrioksin atau dikombinasi dengan obat-obat psikofarmakologik.
Efektivitas terapi pada pasien hipotiroid yang terganggu meningkatkan hipotesis bahwa
penambahan T3 atau T4 pada regimen psikoterapeutik untuk pasien depresi, mungkin
membantu pasien tanpa memperlihatkan penyakit tiroid. Penelitian lebih jauh harus
dilakukan untuk menegakkan konsep ini sebagai terapi standar.
2) HIPERTIROIDISME DAN TIROTOKSIKOSIS
Tirotoksikosis adalah sindroma klinis yang terjadi bila jaringan terpajan hormon
tiroid beredar dalam kadar tinggi. Pada kebanyakan kasus, tiroksikosis disebabkan
hiperaktivitas kelenjar tiroid atau hipertiroidisme. Kadang-kadang, tirotoksikosis bisa
disebabkan sebab-sebab lain seperti menelan hormon tiroid berlebihan atau sekresi
hormon tiroid berlebihan dari tempat-tempat ektopik.
1. GOITER TOKSIK DIFUSA (Penyakit Graves)
Penyakit Graves adalah bentuk tirotoksikosis yang paling umum dan dapat
terjadi pada segala umur, lebih sering pada wanita dengan pria. Sindroma ini terdiri dari
satu atau lebih dari hal-hal ini : (1) tirotoksikosis (2) goiter (3) oftalmopati
(eksoftalmos) dan (4) dermopati (miksedema pretibial).
Gambaran klinis
A. Gejala dan Tanda
Pada individu yang lebih muda manifestasi yang umum termasuk palpitasi,
kegelisahan, mudah capai, hiperkinesia dan diare, keringat banyak, tidak tahan panas,
dan senang dingin. Sering terjadi penurunan berat badan jelas, tanpa penurunan nafsu
makan. Pembesaran tiroid, tanda-tanda tirotoksik pada mata , dan takikardia ringan
umumnya terjadi pada umumnya terjadi. Kelemahan otot dan berkurangnya masa otot
dapat sangat berat sehingga pasien tidak dapat berdiri dari kursi tanpa bantuan.
Pada anak-anak terdapat pertumbuhan cepat dengan pematangan tulang yang
lebih cepat. Pada pasien-pasien di atas 60 tahun, manifestasi kardiovaskuler dan miopati
sering lebih menonjol; keluhan yang paling menonjol adalah palpitasi, dispnea pada
latihan, tremor, nervous, dan penurunan berat badan.
B. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada hipotiroidisme lelah dijelaskan pada
bagian uji tiroid. Sebenarnya, kombinasi peningkatan FT4I atau FT4 dan TSH tersupresi
membuat diagnosis hipertiroidisme. Pada penyakit Graves awal dan rekuren, T3 dapat
disekresikan pada jumlah berlebih sebelum T4, jadi serum T4 dapat normal sementara T3
meningkat. Jadi, jika TSH disupresi dan FT4I tidak meningkat, maka T3 harus
9

diukur. Autoantibodi biasanya ada, terutama imunoglobulin yang menstimulasi


TSH-R Ab [stim]. Ini merupakan uji diagnostik yang membantu pada pasien tiroid yang
apatetik" atau pada pasien yang mengalami eksoftalmus unilateral tanpa tanda-tanda
yang jelas atau manifestasi laboratorium adanya penyakit Graves. Ambilan radioiodin
berguna ketika diduga ada hipotiroidisme ambilan rendah; ini dapat terjadi pada fase
subakut atau tiroiditis Hashimoto. Jenis hipopertiroidisme ini seringkali sembuh
spontan. Scan technetium atau 123I dapat membantu bila dibutuhkan untuk
memperlihatkan ukuran kelenjar dan mendeteksi adanya nodul "panas" atau "dingin.
Sejak uji TSH ultrasensitif dapat mendeteksi supresi TSH, uji TRH dan uji supresi TSH
jarang dianjurkan. Ekografi dan CT scan orbita telah menunjukkan adanya pembesaran
otot pada kebanyakan pasien dengan penyakit Graves walaupun tidak terdapat tandatanda klinis oftalmopati. Pada pasien dengan tanda-tanda klinis oftalmopati, pembesaran
otot orbita sering sangat menonjol.
2. BENTUK-BENTUK LAIN TIROTOKSIKOSIS
Adenoma Toksik (Penyakit Plummer)
Adenoma fungional yang mensekresi T3 dan T4 berlebihan akan menyebabkan
hipertiroidisme. Lesi-lesi ini mulai sebagai "nodul panas" pada scan tiroid, pelan-pelan
bertambah dalam ukuran dan bertahap mensupresi lobus lain dari kelenjar tiroid. Pasien
yang khas adalah individu tua (biasanya lebih dari 40 tahun) yang mencatat
pertumbuhan akhir-akhir ini dari nodul tiroid yang telah lama ada. Terlihat gejala-gejala
penurunan berat badan, kelemahan napas sesak, palpitasi, takikardi dan intoleransi
terhadap panas. Tingkat 2-4 oftalmopati infiltratif tidak pernah dijumpai. Pemeriksaan
fisik menunjukkan adanya nodul berbatas jelas pada satu sisi dengan sangat sedikit
jaringan tiroid pada sisi lain.
Pemeriksaan laboratorium biasanya memperlihatkan TSH tersupresi dan kadar
T3 serum yang sangat meningkat, dengan hanya peningkatan kadar tiroksin yang
"border-line". Scan menunjukkan bahwa nodul ini "panas". Adenoma-adenoma toksik
hampir selalu adalah adenoma folikuler dan hampir tidak pernah ganas. Mereka mudah
ditangani dengan pemberian obat-obat antitiroid seperti propil tiourasil 100 mg tiap 6
jam atau metimazol 10 mg tiap 6 jam diikuti aleh lobektomi unilateral atau dengan iodin
radioaktif. Natrium iodida 131I dalam dosis 20-30 mCi biasanya, dibutuhkan untuk
menghancurkan neoplasma jinak. Iodin radioaktif lebih dipilih untuk nodul toksik yang
lebih kecil tetapi yang lebih besar terbaik ditangani dengan operasi.
Goiter Toksik Multinodular
Kelainan ini terjadi pada pasien-pasien tua dengan goiter multinodular yang
lama. Oftalmopati sangatlah jarang. Klinis pasien menunjukkan takikardi, kegagalan
jantung atau aritmia dan kadang-kadang penurunan berat badan, nervous, tremor dan
berkeringat. Pemeriksaan fisik memperlihatkan goiter multinodular yang dapat kecil
atau cukup besar dan bahkan membesar sampai substernal. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan TSH tersupresi dan kadar T3 serum yang sangat meningkat, dengan
peningkatan kadar T4 serum yang tidak terlalu menyolok. Scan radioiodin menunjukkan
10

nodul fungsional multipel pada kelenjar atau kadang-kadang penyebaran iodin


radioaktif yang tidak teratur dan bercak-bercak.
Hipertiroidisme pada pasien-pasien depgan goiter multinodular sering dapat
ditimbulkan dengan pemberian iodin (efek "jodbasedow" atau hipertiroidisme yang
diinduksi oleh iodida). Beberapa adenoma tiroid tidak mengalami efek Wolff-Chaikoff
dan tidak dapat beradaptasi terhadap muatan iodida. Jadi, efek efek ini didorong oleh
kelebihan produksi hormon karena kadar iodida sirkulasi yang tinggi. Ini adalah
mekanisme untuk berkembangnya hipertiroidisme setelah pemberian obat antiaritmia
amiodaron .
Penanganan goiter nodular toksika cukup sukar. Penanganan keadaan hipertiroid
dengan hipertiroid dengan obat-obat antitiroid diikuti dengan tiroidektomi subtotal
tampaknya akan menjadi terapi pilihan, namun sering pasien-pasien ini sudah tua dan
memiliki penyakit lain sehingga pasien-pasien ini seringkali merupakan pasien dengan
risiko operasi yang buruk. Nodul toksik dapat dihancurkan dengan 131I, tapi goiter
multinodular akan tetap ada, dan nodulnodul lain dapat menjadi toksik, sehingga
dibutuhkan dosis ulangan 131I. Amiodaron adalah obat antiaritmia yang mengandung
37,3% iodin. Dalam tubuh, obat ini disimpan dalam lemak, miokardium, hepar dan
paru-paru dan memiliki waktu paruh kira-kira 50 hari. Kira-kira 2% pasien diobati
dengan amiodaron mengalami tirotoksis. Hal ini menimbulkan masalah yang paling
sukar. Pasien yang mendapat amiodaron mempunyai penyakif jantung serius yang
mendasari, dan pada banyak kasus obat ini tidak dapat dihenitkan. Jika tirotoksikosis
ringan, dapat dikendalikan dengan metimazol 40-60 mg sehari, sementara terapi
amiodaron diteruskan. Jika penyakit berat, KClO4 dengan dosis 250 mg tiap 6 jam
dapat ditambahkan untuk menjenuhkan iodida trap dan mencegah ambilan iodida lebih
lanjut. KClO4 jangka panjang telah dihubungkan dengan anemia aplastik dan butuh
pemamtauan. Satu-satunya jalan untuk menghilangkan cadangan hormon tiroid yang
besar adalah pembedahan untuk mengangkat goiter. Hal ini dapat hanya dapat dilakukan
jika pasien mampu mengatasi sires tiroidektomi.
Tiroiditis Subakut atau Kronis
Keadaan ini akan dibicacakan pada bagian tersendiri, tetapi harus disebutkan di
sini bahwa tiroiditis, baik subakut atau kronis dapat berupa perlepasan akut T4 dan T3
menimbulkan gejala-gejala tirotoksikosis dari ringan sampai berat. Penyakit-penyakit
ini dapat dibedakan dari bentuk tirotoksikosis lain di mana ambilan radioiodin jelas
tersupresi, dan biasanya gejala-gejala menghilang spontan dalam waktu bermingguminggu atau berbulan-bulan.
Tirotoksikosis Factitia
Ini adalah gangguan psikoneurotik di mana tiroksin atau hormon tiroid dimakan
dalam jumlah berlebihan, biasanya untuk tujuan mengendalikan berat badan. Individu
biasanya adalah seseorang yang berhubungan dengan obat-obatan sehingga mudah
mendapatkan obat-obatan tiroid. Gambaran tirotoksikosis termasuk penurunan berat
badan, nervous, palpitasi, takikardi dan tremor bisa didapatkan, tetapi tidak ada tanda11

tanda atau goiter. Karakteristik adalah TSH disupresi, kadar T4 dan T3 serum yang
meningkat dan tidak adanya arnbilan iodin
radioaktif. Penanganan membutuhkan diskusi yang berhati-hati tentang bahaya
terapi tiroid jangka panjang, terutama kerusakan kardiovaskuler dan hilangnya otot, dan
osteoporosis. Psikoterapi formal mungkin diperlukan.

II.4

UJI YANG DIGUNAKAN UNTUK MENILAI FUNGSI TIROID

Tes tiroid terdiri atas :


A. Tes untuk mengukur aktivitas/fungsi tiroid terdiri dari :

Tiroksin serum (T4)

Tri-iodotironin serum (T3)

Kadar T4 bebas (FT4)

Kadar T3 bebas (FT3)

Indeks T4 bebas (FT4I)

Tes TSH

Tes TRH.

B. Tes untuk menunjukkan penyebab gangguan fungsi tiroid :


Tes Antibodi antitiroid

Antibodi Tiroglobulin (anti Tg)

Antibodi tiroid peroksidase (anti TPO) /Antibodi mikrosomal

Thyroid Stimulating Antibodies (TSAb)

C. Tes untuk monitoring terapi :

Tiroksin serum (T4)

Tri-iodotironin serum (T3)

Tes FT4

Tes FT3

Tes TSH

A. TES FUNGSI TIROID


12

Tes fungsi tiroid bertujuan untuk membantu menentukan status tiroid. Tes T4
digunakan untuk menentukan suatu hipotiroidisme atau hipertiroidisme, menentukan
maintenance dose tiroid pada hipotiroidisme dan memonitor hasil pengobatan
antitiroid pada hipertiroidisme. Tes T3 digunakan untuk mendiagnosis hipertiroidisme
dengan kadar T4 normal .
TSHs (Thyroid Stimulating Hormon sensitive) adalah tes TSH generasi ke tiga
yang dapat mendeteksi TSH pada kadar yang sangat rendah sehingga dapat digunakan
sebagai pemeriksaan tunggal dalam menentukan status tiroid dan dilanjutkan dengan tes
FT4 hanya bila dijumpai TSHs yang abnormal. FT4 lebih sensitif daripada FT3 dan
lebih banyak digunakan untuk konfirmasi hipotiroidisme setelah dilakukan tes TSHs .
Tes Thyroid Releasing Hormone (TRH) digunakan untuk mengukur respons
hipofisis terhadap rangsangan TRH, yaitu dengan menentukan kadar TSH serum
sebelum dan sesudah pemberian TRH eksogen. Pada hipertiroidisme klinis atau
subklinis tidak tampak peningkatan TSH setelah pemberian TRH. Sebaliknya bila
pasien eutiroid atau sumbu hipotalamus-hipofisis masih intak, maka hipofisis akan
memberikan respons yang adekuat terhadap rangsangan TRH. Tes TRH yang normal
menyingkirkan diagnosis hipertiroidisme .
Tes TRH hanya dilakukan pada pasien yang dicurigai hipertiroidisme sedangkan
kadar FT4 dan FT3 masih normal atau untuk mengevaluasi kadar TSH yang rendah atau
tidak terdeteksi dengan atau tanpa hiper/hipotiroidisme yang penyebabnya

tidak

diketahui .
B. TES UNTUK MENUNJUKKAN PENYEBAB GANGGUAN FUNGSI
TIROID
Antibodi Tiroglobulin (Tg) merupakan salah satu protein utama tiroid yang
berperan dalam sintesis dan penyimpanan hormon tiroid. Tujuan tes : terutama
diperlukan sebagai petanda tumor dalam pengelolaan karsinoma tiroid berdiferensiasi
baik (well differentiated thyroid carcinoma). Kadar Tg akan meningkat pada karsinoma
tiroid berdiferensiasi baik dan akan kembali menjadi normal setelah tiroidektomi total,
kecuali bila ada metastasis. Kadar Tg rendah menunjukkan tidak ada jaringan karsinoma
atau metastasis lagi. Kadarnya akan meningkat kembali jika terjadi metastasis setelah
terapi .
13

Pada penyakit Graves ditemukan antibodi yang mmpengaruhi resepor TSH dari
sel tiroid dan merangsang produksi hormon tiroid. Antibodi ini disebut thyroid
stimulating immunoglobulins (TSI). Selain TSI, ada immunoglobulin yang merangsang
pertumbuhan kelenjar tiroid tanpa mempengaruhi produksi hormon. Antibodi ini disebut
thyroid growth immunoglobulins (TGI) .
C. TES UNTUK MONITORING TERAPI
Untuk memonitoring terapi tiroid maka diperlukan tes T4 Total, T3 , FT4, FT3
dan TSH seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tujuan tes monitoring terapi untuk
melihat perkembangan terapi berdasarkan status tiroid.
NILAI RUJUKAN DAN INTERPRETASI
1. TES T4

Nilai Rujukan :
-

Dewasa

Wanita hamil, pemberian kontrasepsi oral : meningkat

Diatas

Anak-anak : diatas 15,0 g/dl

Usila

: 50-113 ng/L (4,5g/dl)


: diatas 16,5 g/dl

: menurun sesuai penurunan kadar protein plasma

Interpretasi :
- Meningkat : hipertiroidisme, tiroiditis akut, kahamilan, penyakit hati kronik,
penyakit ginjal, diabetes mellitus, neonatus, obat-obatan: heroin,
methadone, estrogen.
- Menurun :

hipotiroidisme, hipoproteinemia, obat2an seperti androgen,

kortikosteroid, antikonvulsan, antitiroid (propiltiouracil) dll.


2. TES T3

Nilai Rujukan:
Dewasa

: 0,8 2,0 ng/ml (60-118 ng/dl)

Wanita hamil, pemberian kontrasepsi oral : meningkat


Infant dan anak-anak kadarnya lebih tinggi.
14

Interpretasi
- Meningkat : hipertiroidisme, T3 tirotoksikosis, tiroiditis akut, peningkatan
TBG, obat-obatan:T3 dengan dosis 25 g/hr atau lebih dan obat T4 300
g/hr atau lebih, dextrothyroxine, kontrasepsi oral
- Menurun : hipotiroidisme (walaupun dalam beberapa kasus kadar T3 normal),
starvasi, penurunan TBG, obat-obatan: heparin, iodida, phenylbutazone,
propylthiuracil, Lithium, propanolol, reserpin, steroid.

3. TES FT4 (FREE THYROXIN)

Nilai Rujukan: 10 - 27 pmol/L

Interpretasi
- Meningkat : pada penyakit Graves dan tirotoksikosis yang disebabkan
kelebihan produksi T4.
- Menurun : hipertiroidisme primer, hipotiroidisme sekunder, tirotoksikosis
karena kelebihan produksi T3.
4.

TES FT3 (FREE TRI IODOTIRONIN)

Nilai Rujukan : 4,4 9,3 pmol/L

Interpretasi :
- Meningkat : pada penyakit Graves dan tirotoksikosis yang disebabkan
kelebihan produksi T3.
- Menurun : hipertiroidisme primer, hipotiroidisme sekunder, tirotoksikosis
karena kelebihan produksi T3.

5. Tes TSH (THYROID STIMULATING HORMONE)

Nilai rujukan : 0,4 5,5 mIU/l

Interpretasi :
- Meningkat : hipotiroidisme pimer, tiroiditis (penyakit autoimun
Hashimoto), terapi antitiroid pada hipertiroidisme, hipertiroidisme
sekunder karena hiperaktifitas kelenjar hipofisis, stress emosional
15

berkepanjangan, obat-obatan misalnya litium karbonat dan iodium


potassium.
- Menurun : hipertiroidisme primer, hipofungsi kelenjar hipofisis anterior,
obat-obatan misalnya aspirin, kortikosteroid, heparin dan dopamin.
6. TES TSHs (TSH 3rd Generation)

Nilai rujukan : 0,4 5,5 mIU/l


Batas pengukuran : 0,002 20 mIU/L

Interpretasi
- Meningkat : hipotiroidisme pimer, tiroiditis (penyakit autoimun Hashimoto),
terapi antitiroid pada hipertiroidisme, hipertiroidisme sekunder karena
hiperaktifitas kelenjar hipofisis, stress emosional berkepanjangan, obatobatan misalnya litium karbonat dan iodium potassium.
- Menurun : hipotiroidisme sekunder, hipertiroidisme

primer, hipofungsi

kelenjar hipofisis anterior, obat-obatan misalnya aspirin, kortikosteroid,


heparin dan dopamin.
7. Antibodi Tiroglobulin

Nilai rujukan : 3-42 ng/ml

Interpretasi :
- Meningkat : hipertiroidisme, subakut tiroiditis, kanker tiroid yang tidak
diterapi, penyakit Graves, tumor benigna, kista tiroid.
- Menurun : hipotiroidisme neonatal.

8. Antibodi Mikrosomal

Nilai rujukan : hasil tes negatif

Interpretasi :
Adanya antibodi mikrosomal menunjukkan penyakit tiroid autoimun, juga
dapat ditemukan pada kanker tiroid. Pada penderita dengan pengobatan
tiroksin, bila ditemukan antibodi tiroid memberi petunjuk kegagalan fungsi
tiroid.
9. TS Ab
16

Nilai rujukan: hasil tes negatif

Interpretasi :
TSAb ditemukan pada 70-80% penderita Graves yang tidak mendapat
pengobatan, 15% pada penyakit Hashimoto, 60% pada penderita Graves
oftalmik dan pada beberapa penderita kanker tiroid.

Algoritme Tes Fungsi Tiroid


Kelainan tiroid??

TSH sensitif

Meningkat

Hipotiroidisme

Normal

Tak terukur

Eutiroid

Hipertiroidisme??

FT4

FT4
Normal

Hipotiroidisme
subklinis

Menurun

Meningkat

Hipotiroidisme
nyata

Normal

FT3

Hipertiroidisme
Keterangan :
Sebagai tes saring fungsi tiroid urutannya sbb:
1. Tes TSHs
2. Tes FT4
3. FT3

17

Meningkat

Normal

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Tiroid merupakan kelenjar yang berbentuk cuping kembar dan di antara keduanya dapat
daerah yang menggenting. Kelenjar ini terdapat di bawah jakun di depan trakea. Dua
jenis hormon berbeda yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid membentuk hormon tiroid
yaitu tiroksin dan triiodotironin.
Kelainan-kelainan tiroid, diantaranya :
(1) Pembesaran tiroid, yang mana bisa difus atau nodular
(2) Gejala-gejala defisiensi tiroid atau hipotiroidisme
(3) Gejala-gejala kelebihan hormon tiroid, atau hipertiroidisme
(4) Komplikasi spesifik hipotiroidisme-penyakit graves-yang muncul dengan mata
yang sangat menonjol (eksofalmus) atau, yang lebih jarang, penebalan kulit tungkai
bawah (dermatopati tiroid).

18

DAFTAR PUSTAKA
Barrett, E.J. 2003. The thyroid gland. In Boron WF, Boulpaep EL. Medical
physiology.A cellular and molecular approach. Ist Edition. Saunders.
Philadelphia.
Magner JA. 1990. Thyroid stimulating hormone: biosynthesis, cell biology and
bioactivity. Endocr Rev.
Robert KM, dkk. 1997. Biokimia Harper. Edisi 24. Penerbit Buku Kedokteran. EGC

19

Anda mungkin juga menyukai