Selama ini banyak sekali kegiatan organisasi yang mengungkung dalam
kehidupanku. Bisa dibilang aku seorang aktivis organisasi di sekolah. Bagiku, entah dimanapun perasaan untuk menemukan arti kehidupan selalu terpancar. Terutama saat suasana hati menjadi hal yang ingin benar-benar aku capai. Bahkan saat naik motor pun, aku selalu memikirkan kehidupan ini dari sudut yang tajam, bukan sudut yang tumpul. Esensi. Itulah kata yang saya dapat. Esensi makan itu apa? Esensi bersekolah itu apa? Lalu, kehidupan begitu menyenangkan sejak saat itu. Dan kata itu justru yang saya dapat dari seorang adik tingkat yang pernah saya remehkan dalam manajemen waktunya. Ia keras kepala, kurang amanah, kurang sopan, kurang menempatkan suasana pada tempatnya. Begitulah penilaianku saat itu. Namun, dibalik tatanan yang aku lihat sampai waktu itu, aku mendengar perkataannya di sebuah forum tanpa secara langsung menikamku. Esensine kui ki opo to mas? (Esensinya seperti itu apa sih?) Begitu adik tingkatku bertanya dengan nada yang ringan, tapi hati ini seolah tersendak. Ya. Penyesalan selalu datang di akhir. Jika di awal itu namanya pendaftaran. Kalimat itu sering saya dengar dari seorang guru saya. Yang menjelaskan berulang tanpa pernah bosan. Lalu sejak saat itu saya perlu berhati-hati dalam menilai seseorang. Menilai tidak hanya dari satu sisi yang nampak berlubang, namun perlu pula menilai dari titik yang justru memancarkan naluri kehidupan. Sejak saat itu kehidupanku mulai beranjak dari satu tingkat ke tingkat yang lainnya. Dimana kita bisa menjadi pribadi yang menawan jika kita mampu melihat orang lebih tinggi ilmunya dari kita. Orang yang kita remehkan ternyata seringkali jauh lebih paham daripada kita. Namun, satu penyakit yang masih menghidap manusia. Yaitu Kebaikan seseorang akan tertutup dengan satu keburukan. Dan penyakit itu perlu mendapat sebuah obat. Dengan apa? Membalik susunannya. Keburukan seseorang akan mampu tertutup dengan satu kebaikan. Dan hal itu didapat dengan melihat dari sudut yang tajam.