Anda di halaman 1dari 8

Agama dan Semangat Kapitalisme

Oleh : Lalu M. Ariadi


Pendahuluan
Kapitalisme, sebuah konsep ekonomi yang terbilang kontroversial,
namun sulit untuk digugat keberadaannya. Sifat dinamis dan adaptifnya
mempercepat proses akulturasi dan transformasinya dengan sistem
ekonomi di negara-negara lain, sekaligus menjadi ciri kapitalisme itu
sendiri.
Perkembangan

pesat

Kapitalisme

tidak

bisa

lepaskan

dari

perubahan perubahan yang terjadi selama beberapa dekade, terutama di


awal abad 20, dimana tekanan dari sistem ekonomi sosialisme dan
komunisme terhadap penekanan yang berlebihan atas peran individu
telah merubah bentuk gerakan Kapitalisme dari peran individu ke pasar
dan pentingnya intervensi pemerintah.
Peran penting konsep-konsep yang diajukan Max Weber, yaitu
mengenai peran dan pengaruh keagamaan atas semangat Kapitalisme
pada individu-individu maupun komunitas-komunitas masyarakat tidak
bisa dinafikan dalam hal ini.
Begitu pentingnya peran Weber dalam transformasi kapitalisme,
sehingga elaborasi lebih lanjut bagi konsep Weber menjadi kemestian dan
keharusan dalam makalah ini.

Pengertian dan Sejarah Kapitalisme


Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan peran
kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barangbarang yang digunakan dalam produksi barang lainnya1.

Ebenstein

menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari


sekedar sistem perekonomian.2 Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme
sebagai

bagian

dari

gerakan

individualisme.

Sedangkan

Hayek

memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi.3


Dalam kapitalisme, pemerintah bisa turut ambil bagian untuk
memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian
yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam
ekonomi.
Dalam

perekonomian

kapitalis

setiap

warga

dapat mengatur

nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas


bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Semua
orang bebas malakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas
dengan berbagai cara.
Sistem kapitalisme, mulai berkembang di Inggris pada abad 18 M
dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat laut dan Amerika

Bagus, L., Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1996.

Ebenstein, W., Isme-Isme Dewasa Ini, (terjemahan), Erlangga, Jakarta, 1990.

Hayek, F.A., The Prinsiples of A Liberal Social Order, dalam Anthony de


Crespigny and Jeremy Cronin, Ideologies of Politics, Oxford University Press,
London, 1978.

Utara. Risalah terkenal Adam Smith, yaitu The Wealth of Nations (1776),
diakui sebagai tonggak utama kapitalisme klasik yang mengekspresikan
gagasan "laissez faire"1) dalam ekonomi. Bertentangan sekali dengan
merkantilisme yaitu adanya intervensi pemerintah dalam urusan negara.
Smith

berpendapat

bahwa

jalan

yang

terbaik

untuk

memperoleh

kemakmuran adalah dengan membiarkan individu-individu mengejar


kepentingan-kepentingan mereka sendiri tanpa keterlibatan perusahaanperusahaan negara
Awal abad 20 kapitalisme harus menghadapi berbagai tekanan dan
ketegangan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Munculnya kerajaankerajaan

industri

yang

cenderung

menjadi

birokratis

uniform

dan

terjadinya konsentrasinya pemilikan saham oleh segelintir individu


kapitalis memaksa pemerintah (Barat) mengintervensi mekanisme pasar
melalui kebijakan-kebijakan seperti undang-undang anti-monopoli, sistem
perpajakan, dan jaminan kesejahteraan. Fenomena intervensi negara
terhadap sistem pasar dan meningkatnya tanggungjawab pemerintah
dalam masalah kesejahteraan sosial dan ekonomi merupakan indikasi
terjadinya transformasi kapitalisme. Transformasi ini, menurut Ebenstein,
dilakukan agar kapitalisme dapat menyesuaikan diri dengan berbagai
perubahan ekonomi dan sosial. Lahirlah konsep negara kemakmuran
(welfare state) yang oleh Ebenstein disebut sebagai "perekonomian
campuran" (mixed economy) yang mengkombinasikan inisiatif dan milik
swasta dengan tanggungjawab negara untuk kemakmuran sosial.
Calvinisme dan Kapitalisme

Tesis terkenal Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism pada intinya membicarakan tentang etika dari suatu keyakinan
religius dan semangat dari sebuah sistem ekonomi dan terbangunnya
hubungan antara jiwa dengan keseimbangan neraca. Dalam konteks ini,
kata kapitalisme atau semangat kapitalisme4
pengertian

yang

sangat

partikular,

yaitu

digunakan dalam

mengenai

struktur

yang

mengatur sikap masyarakat Barat, bukan hanya ekonominya, tetapi juga


sistem

hukumnya,

struktur

politik,

ilmu

dan

teknologi

yang

terinstitusionalisasi dan seni.


Struktur yang mengatur masyarakat Barat Weber sebut sebagai
rasionalitas. Rasionalitas ini merembes ke semua bidang perilaku sosial,
organisasi buruh dan manajemen serta ilmu-ilmu kreatif, hukum dan
ketertiban, filsafat dan seni, negara dan politik, dan bentuk-bentuk
dominan kehidupan privat. Rasionalitas ini didorong oleh perlawanan
terhadap fitrah manusia yang cenderung kepada pra-rasional dan magis.
Akhirnya, dengan perlawanan ini, motif-motif dibalik perilaku manusia
imaji, pemujaan, magis dan tradisi- direformasi melalui jantung keyakinan
agama.
Inilah yang dimaksud Reformasi oleh Weber, kesimpulan yang
dengannya dihubungkan teori ekonomi dan doktrin agama, yang mana
tesisnya dikembangkan dari pemahamannya tentang Protestanisme,
khususnya

dari

Calvinisme.

Protestan,

dalam

ragam

Calvinisnya

menganggap bahwa perilaku orang yang beriman sebagai individu tidak


4

Dennis Wrong, Ed., Max Weber, Sebuah Khazanah, (Yogyakarta: Ikon Teralitera,
2003), h. 193

bisa dikenai sanksi oleh otoritas spriritual eksternal, tapi hanya dikenai
sanksi-batin dari hati nuraninya sendiri. Perilaku kaum Protestan ini
termanifestasikan

dalam

signifikansi

religius

kerja

dalam

sebuah

panggilan (calling). Atau dengan kata lain, agama dipandang sebagai


sebuah orientasi ideologis yang cenderung mengarahkan seseorang pada
peran

kerja/wirausaha,

dimana

kemudian

mereka

memberikan

sumbangan pada pertumbuhan ekonomi.


Dengan demikian, calvinisme tidak mengakuii skema mengenai
etika sosial. Dipengaruhi kenyataan bahwa "Tuhan telah memberikan
janji-janji-Nya untuk kehidupan saat ini dan juga kehidupan yang akan
datang," Calvinisme menolak pencampuradukan masalah-masalah yang
berhubungan dengan negara dan dengan Tuhan.5
Titik tolak Weber dalam mengemukakan tesisnya adalah sebuah
survey statistik yang dilakukan pada 1900 oleh sosiolog Jerman Max
Offenbacher, tentang kondisi ekonomi umat Katolik dan Protestan di
Grand Duchy of Baden yang dari segi agama merupakan campuran (60
persen pemeluk Katolik).6 Offenbacher menemukan bahwa warga negara
Protestan Grand Duchy memiliki persentase aset modal yang sangat
besar dan menduduki jabatan-jabatan pimpinan, kualifikasi pendidikan,
posisi akademis, dan pekerjaan-pekerjaan yang menuntut keterampilan.

Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, (Surabaya: Pustaka


Promethea, 2000), h. 21
6

Ibid, h. 200

Dari survey Max Offebacher lah, Weber termotimativasi untuk


melakukan penyelidikan tentang pengaruh etika religius kepada religius
kerja dan semangat kapitalisme pada budaya-budaya dan agama-agama
yang lain, seperti Cina dan kekhalifahan Arab.
Kritik atas The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism
Weber
Telaah Weber dalam Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme,
meski memiliki kontribusi bagi transformasi kapitalisme, namun sulit
terealisasi, jika unsur asketis Calvinis yang ditonjolkan Weber tidak ada
dalam

suatu

tradisi

ataupun

agama.

Agama

Budha,

misalnya,

membebaskan manusia dari roda, dari lingkaran abadi kematian dan


kelahiran kembali, melalui kontemplasi dan penghancuran kehendak
individu. Akibatnya ia merepresentasikan tipe asketisme yang secara
diametral bertentangan dengan Calvinis. Begitu pula dengan konsep
Zakat

dan

Sedekah

dalam

Islam,

yang

menjadi

batas

bagi

kepemilikian individu, melalui distribusi harta kepada fakir dan miskin


sebagai bentuk keadilan sosial secara diametral bertentangan dengan
Calvinis.
Selain itu, Weber cenderung memperhatikan perbedaan sosioekonomi pada tesisnya pada pihak yang berlawanan pada hubungan
antara kondisi sosial dan dogma. Kecenderungan ini dibawa sampai
kepada tingkat pemahaman dimana perbedaan antara Timur dan Barat,
dibawah semua perbedaan iman, terutama merupakan masalah kelas.

Penutup
Etika Protestan dan semangat kapitalisme, merupakan sebuah tema
yang

mempertanyakan

bentuk

hubungan

agama

dan

semangat

kapitalisme, apakah berlawanan atau saling melengkapi? Weber, dalam


hal ini, secara tidak langsung menjawab melalui tesisnya tersebut, yang
mana

motivasi

untuk

merubah

wacana

dalam

beragama

sangat

tergantung terhadap individu-individu dalam suatu komunitas agama.


Meski tesis Weber masih sangat dibatasi oleh pandangannya
terhadap perilaku Kristen Katolik-Protestan, namun, wacana yang diajukan
Weber pada akhirnya memiliki peran yang sangat signifikan dalam
transformasi

kapitalisme

itu

sendiri

yaitu

pergeseran

pandangan

kapitalisme mengenai peran motivasi agama dan budaya terhadap


individu dalam kapitalisme dari tidak ada menjadi ada.
Lalu M. Ariadi
(Aktivis IMSAK dan sekarang menempuh study Sekolah Pasca Serjana
Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta)

Referensi
Bagus, L., Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1996.
Ebenstein, W., Isme-Isme Dewasa Ini, (terjemahan), Erlangga,
Jakarta, 1990.

Hayek, F.A., The Prinsiples of A Liberal Social Order, dalam Anthony


de Crespigny and Jeremy Cronin, Ideologies of Politics, Oxford
University Press, London, 1978.
Weber, Max, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, (Surabaya:
Pustaka Promethea, 2000).
Wrong, Dennis, Ed., Max Weber, Sebuah Khazanah, (Yogyakarta:
Ikon Teralitera, 2003).

Teori ini didasarkan pda fenomena empiris dimana Max Weber menemukan
bahwa terdapat hubungan atau korelasi antara afiliasi agama protestan pada
kondisi pra kapitalis pada kemajuan. Hal tersebut didasarkan pada fenomena
banyak dijumpainya agen-agen penting (pimpinan perusahaan, tenaga teknis,
dan komersial terlatih yang cenderung didominasi oleh orang-orang protestan).
Etika protestan mendorong seseorang untuk bekerja sungguh-sungguh, tidak
berfoya-foya, tidak konsumtif, sehingga hal-hal tersebut mendorong kesuksesan.
Bagi Weber, hal inilah yang dianggab berpengaruh besar pada peralihan dari
ekonomi tradisional ke arah ekonomi modern.
Kekurangan dari teori
1. Teori ini hanya menjelaskan secara parsial variabel tingkat afiliasi seseorang
pada etika protestan, tanpa berusaha menggali variabel lain yang bekerja
seperti misalnya budaya masyarakat, konflik sosial, aspek politis dan variabel
yang lain yang masih mungkian berpengaruh.
2. Teori ini tidak memberikan saran/ kejelasan teknis pencapaian, padahal
spiritualitas, kepatuhan pada agama merupakan sesuatu yang bersifat personal
dan sulit dikontrol oleh lembaga-lembaga sosial maupun Negara. Oleh karena itu
teori ini lebih kearah hanya pembuktian dari suatu fenomena tanpa arahan yang
jelas untuk mengkondisikan pada suatu fenomena.
Kelebihan dari teori
1. Memberikan alternatif pemikiran dan pembuktian bahwa tidak selamanya
spiritualitas dan kepatuhan pada agama bersifat oposan dengan kemajuan. Hal
tersebut juga dapat memberikan jawaban pada para Marxism yang selama ini
beranggapan bahwa spiritualitas agama hanya merupakan ampas dari Super
struktur.
2. Agama seringkali memberikan efek-efek pada stabilitas sosial, kenyamanan
sosial sehingga ketika teori ini memberikan kejelasan bahwa terdapat
keselarasan antara agama dengan kemajuan, maka agama dapat menjalankan
peran aktifnya dalam mengamankan kemajuan dari efek-efek negatif yang
kemungkinan terjadi seperti misalnya ketidak nyamanan sosial dan distabilitas
sosial.

Anda mungkin juga menyukai