Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
SPT Masa PPh Pasal 21 bulan April 2008 dengan nilai pelaporan Rp25.450.000,disetorkan pada tanggal 12 Mei 2008 dan dilaporkan pada tanggal 21 Mei 2008.
SPT Masa PPh Pasal 25 bulan April 2008 senilai Rp56.260.000,- dibayarkan pada
tanggal 16 Mei 2008 dan dilaporkan pada tanggal 21 Mei 2008.
SPT Masa PPN bulan April 2008 yang menunjukkan kurang bayar Rp120.630.000,dilunasi pada tanggal 16 Mei 2008 dan dilaporkan pada tanggal 23 Mei 2008.
Berdasarkan data di atas, maka perhitungan sanksi yang akan dilakukan oleh
petugas KPP tempat PT ABC terdaftar adalah sebagai berikut.
PPh Pasal 21 :
Jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 adalah tanggal 10 bulan berikutnya. Namun
demikian, pada bulan Mei 2008 tanggal 10 jatuh pada hari Sabtu sehingga tanggal
jatuh temponya menjadi hari Senin tanggal 12 Mei 2008. PT ABC menyetor PPh
Pasal 21 tepat pada tanggal jatuh tempo sehingga tidak dikenakan sanksi bunga.
Tanggal jatuh tempo pelaporan PPh Pasal 21 adalah tanggal 20 bulan berikutnya.
Namun karena tannggal 20 Mei jatuh pada hari libur Nasional (tanggal merah),
maka jatuh tempo pelaporan bergeser menjadi tanggal 21 Mei 2008. PT ABC
melaporkan SPT PPh Pasal 21 bulan April 2008 pada tanggal 21 Mei 2008 yang
berarti tepat pada tanggal jatuh tempo. Dengan demikian, tak ada sanksi denda
Pasal 7 untuk PPh Pasal 21.
PPh Pasal 25 :
Tanggal jatuh tempo pembayaran PPh Pasal 25 April 2008 adalah tanggal 15 Mei
2008. Sementara itu PT ABC membayar pada tanggal 16 Mei 2008 yang berarti
terlambat 1 hari. Keterlambatan satu hari ini dibulatkan ke atas menjadi satu bulan
sehingga sanksi bunganya adalah :
Pelaporan PPh Pasal 25 dilakukan setelah tanggal jatuh tempo yaitu tanggal 21 Mei
2008 sehingga dikenakan sanksi denda sebesar Rp100.000,-.
PPN :
Penyetoran PPN dilakukan pada tanggal 16 Mei yang berarti terlambat satu hari
karena tanggal jatuh tempo penyetoran PPN adalah tanggal 15 bulan berikutnya.
Dengan demikian sanksi bunga yang dikenakan adalah :
SPT Masa PPN April 2008 disampaikan tanggal 23 Mei 2008 sehingga pelaporan PPN
ini terlambat. Sanksi denda Pasal 7 yang dikenakan adalah Rp500.000,-
2.
Koreksi Pemeriksa
Pembahasan
Dasar Hukum
a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2009
Pasal 36 ayat ( 2 )
d) Berdasarkan data SIDJP dan NTPN diketahui bahwa dari total pembayaran atas
SKPKB Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Nomor 00062/207/10/056/12
tanggal 23 Maret 2012 Masa/Tahun Pajak Januari s.d. Desember 2010 sampai
dengan sebelum tanggal 06 November 2012 adalah sebesar Rp903.880.748,-. (Total
Pembayaran Pajak yang dijadikan dasar penerbitan STP bunga Penagihan)
f)
Berdasarkan uraian di atas, sanksi administrasi bunga penagihan Pasal 19 ayat
(1) / 19 ayat (2) KUP atas STP Bunga Penagihan Nomor 00047/109/10/056/12
tanggal 16 November 2012 Masa Bunga 22/04/2012 s.d. 06/11/2012 menjadi
sebesar Rp0-.
Pasal 18 PMK-24/PMK.03/2008
Surat paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
PERSEROAN TERBTAS
BADAN USAHA YAYASAN PEGAWAI TETAP LAINNYA
BENTUK USAHA TETAP
pengurus meliputi Direksi, Komisaris, Pemegang saham pengendali atau mayoritas
untuk perseroan terbuka, pemegang saham untuk perseroantertutup, dan orang
yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau
mengambil keputusan dalam menjalankan perseroan pegawai tetap ditempat
kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila Jurusita Pajak
tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d. ketua atau orang
yang melaksanakan dan mengendalikan serta bertanggung jawab atas yayasan
direktur, pemilik modal, atau orang yang ditunjuk untuk
melaksanakan,dan,mengendalikan,serta bertanggung, jawab atas perusahaan
kepala perwakilan, kepala cabang, atau penanggung
PENYELESAIAN KASUS :
PASAL 23 AYAT 2 UU KUP
Wajib Pajak dapat mengajukan pelaksanaan surat paksa yang dalam
penerbitannya tidak sesuai dengan posedur atau tata cara yang telah diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan HANYA kepada Badan
Peradilan Pajak (Sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2002, BPSP Pengadilan Pajak)
2.
KPP Madya Seka rAyu akan melakukan penyitaan terhadap sebuah mobil
BMW tahun 2007 atas piutang pajak Tn Tono. Ternyata mobil tersebut telah disita
oleh Pengadilan negeri terkait dengan perkara korupsi yang sedang melibatkan Tn
Tono. Langkah-langkah apa yang seharusnya dilakukan Jurusita KPP Mdya SekarAyu
terkait hal tersebut? Siapa yang berwenang melakukan pembagian hasil lelang
mobil BMW tersebut dan bagaimana dengan kedudukan hak mendahulu piutang
pajak?
Jawab:
Berdasarkan ketentuan pasal 19 UU PPSP, dinyatakan bahwa penyitaan tidak dapat
dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau
instansi lain yang berwenang. Apabila pengadilan Negeri telah melakukan
penyitaan terhadap asset Wajib Pajak tersebut, Jurusita segera menyampaikan
salinan SP dan SPMP kepada PN, dengan permintaan agar hasil penjualan/lelang
aset yang disita PN tersebut untuk pelunasan utang pajak. Di pasal 21 UU KUP juga
disebutkan bahwa negara mempunyai hak mendahulu atas utang pajak+sanksi
adm.Termasuk biaya penagihan pajak.
Mobil BMW tersebut disita oleh Pengadilan untuk dapat dijadikan sebagai bahan
bukti, bukan untuk pelunasan utang seperti pelunasan utang pajak. Sebaikanya,
KPP Madya SekarAyu segera mengirimkan salinan surat paksa dan SPMP ke
Pengadilan Negeri dan menjelaskan perihal hak mendahulu utang pajak serta
memberitahukan kepada PN agar Mobil BMW tersebut jangan dulu di kembalikan ke
WP apabila proses peradilan telah selesai dengan putusan WP bebas lepas. Dalam
hal putusan pengadilan memvonis WP bersalah, Mobil BMW tersebut oleh PN jangan
dulu dikembalikan kepada pihak dirugikan (tempat WP korupsi), biarlah itu menjadi
pelunas utang pajak dan biaya penagihan pajak terlebih dahulu
Penjelasan pasal 21
Menenmpatakan Negara sebagai krediur Preferen Kreditur preferen kedudukannya
lebih rendah dibanding kreditur separatis