Anda di halaman 1dari 14

MEASURING POVERTY IN A GROWING WORLD (OR MEASURING GROWTH

IN A POOR WORLD)
Mengukur Kemiskinan di Negara Berkembang (Atau mengukur pertumbuhan di
negara miskin)

Abstract - The extent to which growth reduces global poverty has been
disputed for 30 years. Although there are better data than ever before,
controversies are not resolved. A major problem is that consumption
measured from household surveys, which is used to measure poverty,
grows less rapidly than consumption measured in national accounts, in
the world as a whole and in large countries, particularly India, China,
and the United States. In consequence, measured poverty has fallen
less rapidly than appears warranted by measured growth in poor
countries. One plausible cause is that richer households are less likely
to participate in surveys. But growth in the national accounts is also
upward biased, and consumption in the national accounts contains
large and rapidly growing items that are not consumed by the poor and
not included in surveys. So it is possible for consumption of the poor to
grow less rapidly than national consumption, without any increase in
measured inequality. Cur- rent statistical procedures in poor countries
understate the rate of global poverty reduction, and overstate growth
in the world

Abstrak Sejauh mana pertumbuhan menurunkan kesejahteraan global telah


diperdebatkan selama 30 tahun. Walaupun sudah ada data yang lebih baik dari
yang sebelum-sebelumnya, kontroversi masih belum terpecahkan. Masalah
terbesarnya adalah konsumsinya dihitung dari survei rumah tangga, yang
digunakan untuk mengukur kemiskinan, tumbuh lebih lambat dibandingkan
dengan konsumsi yang diukur di neraca nasional (National Accounts), di negaranegara di dunia secara keseluruhan dan di negara-negara besar, terutama di
India, Tiongkok, dan Amerika Serikat. Oleh karena itu, kemiskinan yang dihitung
menjadi turun lebih lambat dibandingkan dengan yang terlihat sesuai dengan
pertumbuhan yang diukur di negara-negara miskin. Salah satu penyebab yang
masuk akal adalah rumah tangga yang lebih kaya lebih banyak cenderung
kurang berpartisipasi dalam survei. Namun pertumbuhan di neraca nasional juga
naik secara bias, dan konsumsi di neraca nasional mengandung barang yang
besar dan tumbuh cepat yang tidak dikonsumsi oleh penduduk miskin dan tidak
diikutkan di survei. Jadi dimungkinkan konsumsi penduduk miskin tumbuh lebih
lambat dari konsumsi nasional, tanpa adanya peningkatan di pengukuran
ketimpangan. Prosedur statistik yang digunakan di negara miskin saat ini
mengecilkan tingkat penurunan kemiskinan global, dan menaikkan pertumbuhan
di dunia.
I.

Introduction

A central issue in the debate about globalization is the extent to which


economic growth reduces poverty. When economic growth benefits
everyone in equal propor- tion, the incomes of the poor grow at the

same rate as does mean income. The fraction of the population whose
incomes are below a fixed poverty line must then decline with growth,
although the rate at which it does so depends on the position of the
poverty line in the income distribution, with growth in the mean
generating more rapid poverty reduction the greater the fraction of the
population who are near the poverty line. If economic growth is
unequally distributed, the effects of growth on poverty reduction will
be less (or more) depending on whether the incomes of the poor grow
by less (more) than average. So much, but perhaps not much more, is
common ground. Pendahuluan
I.

Pendahuluan

Isu sentral dalam perdebatan tentang globalisasi adalah sejauh mana


pertumbuhan ekonomi mengurangi kemiskinan. Ketika ekonomi tumbuh
menguntungkan semua orang dengan proporsi yang sama, pendapatan
penduduk miskin secepat pertumbuhan pendapatan rata-rata. Golongan
penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan tetap pasti akan
menurun dengan pertumbuhan tersebut, walaupun tingkat penurunannya
tergantung dari posisi garis kemiskinan dalam distribusi pendapatannya, dengan
adanya pertumbuhan di tingkat rata-rata maka penurunan kemiskinan yang lebih
cepat akan menaikkan golongan penduduk yang mendekati garis kemiskinan.
Jika pertumbuhan ekonomi terdistribusi secara tidak merata, efek dari penurunan
kemiskinan menjadi lebih kecil (atau besar) tergantung dari apakah pendapatan
penduduk miskin tumbuh lebih kecil (atau besar) dari pertumbuhan rata-rata.
Early debates on growth and poverty, much influenced by Simon
Kuznets's (1955) dictum that inequality would in- crease in the early
stages of development, tended to argue that growth did little to reduce
poverty. Writing in the 1970s, Chenery et al. (1974), Adelman and
Morris (1973), Fishlow (1972), and Bardhan (1973) all argued that economic development either left the poor behind or actually made them
worse off; see Cline (1975) for a contemporary survey. Taylor and Bacha
(1976) constructed a growth model of "Belindia," a tiny rich Belgium in
a huge poor India, as an example of "the unequalizing spiral" that they
saw as fitting the stylized facts of development. Ahluwalia, Carter, and
Chenery (1979), who were among the first to measure global poverty
using now standard methods, ar- gued that the effect of growth was
limited both by the relatively low growth of the poorest countries, and
by expanding inequality within them. When Fields (1977) argued that in
the Brazilian economic miracle of the 1960s the poor had actually done
better than average, he was robustly challenged by Ahluwalia et al.
(1980), who showed that Fields's conclusions were not warranted by his
data, which were consistent with an uninformatively wide range of
differential growth rates of incomes of the poor and nonpoor. This was
surely the truth of the matter; in 1980, the data were not available to
provide a clear answer to the question whether the poor did better, the
same, or worse than average during the unprecedentedly high rates of
growth in many poor countries in the immediate postwar period.
Researchers were forced to rely on a scattering of published
distributional measures, whose provenance and reliability were often

unclear; and indeed, Kuznets's famous article used distributional data


for only three rich countries, with a smaller amount of information for
three poor ones.

Awal perdebatan mengenai pertumbuhan dan kemiskinan, sangat dipengaruhi


oleh pendapat Simon Kuznets (1955) yang menyatakan ketimpangan akan
meningkat di tahap awal pembangunan, cenderung memperdebatkan bahwa
pertumbuhan hanya berdampak kecil dalam mengurangi kemiskinan. Pada tahun
1970-an, Chenery et al. (1974), Adelman and Morris (1973), Fishlow (1972), dan
Bardhan (1973) semuanya berdebat bahwa pembangunan ekonomi baik
meninggalkan penduduk miskin maupun benar-benar membuat mereka lebih
terpuruk, lihat Cline (1975) untuk survei kontemporer. Taylor dan Bacha (1976)
membuat sebuah model pertumbuhan dari Belindia, Penduduk belgia kecil yang
kaya di wilayah penduduk miskin India yang besar, sebagai contoh Spiral
Ketimpangan ("the unequalizing spiral") yang mereka anggap pantas untuk
memperlihatkan fakta pembangunan. Ahluwalia, Carter, dan Chenery (1979),
yang pertama mengukur kemiskinan global dengan metode standar saat ini,
memperdebatkan bahwa efek dari pertumbuhan terbatas baik dari pertumbuhan
yang relatif rendah dari negara-negara termiskin dan dari perluasan
ketimpangan di antara mereka. Ketika Fields (1977) berdebat bahwa di dalam
Keajaiban perekonomian Brazil di tahu 1960an penduduk miskin benar-benar
telah melakukan yang lebih baik dari rata-rata, dia ditantang oleh Ahluwalia et
al. (1980), yang menunjukkan bahwa Pendapat Fields tidak didukung oleh
datanya, di mana tidak konsisten dengan jarak yang lebar di perbedaan tingkat
pertumbuhan pendapatan penduduk miskin dan non miskin yang tidak dijelaskan
dengan baik. Ini tentu merupakan hal yang sebenarnya, di tahun 1980, data
yang tersedia tidak mampu memberikan jawaban yang jelas mengenai
pertanyaan apakah penduduk miskin melakukan lebih baik, sama, atau lebih
buruk dibandingkan rata-rata selama tingkat pertumbuhan tinggi yang pernah
terjadi sebelumnya di banyak negara-negara miskin pada periode sesudah
perang dunia 2. Para peneliti dipaksa untuk bergantung pada sebaran nilai
distribusional yang sudah di publikasi, yang asal dan keandalannya sering tidak
jelas, dan memang, artikel Kuznets yang terkenal menggunakan data
distribusional dari hanya 3 negara kaya, dengan jumlah informasi dari 3 negara
miskin yang lebih sedikit.

The paper by Ahluwalia et al. (1980) was an important impetus to the


establishment of the Living Standards Mea- surement Study (LSMS) at
the World Bank. The original purpose of the LSMS was to measure the
living standards of the poor in a standardized way, to remedy the
paucity of distributional data in the third world, and to set up a system
of household surveys that would both support and cross- check the
national accounts, as well as replicating for living standards
measurement what the UN's System of National Accounts (SNA) had
done for national income accounts around the world; see for example
Pyatt (2003)

Makalah dari Ahluwalia et al. (1980) merupakan dorongan penting dalam


pembentukan Studi Pengukuran Standar Hidup (LSMS) di Bank Dunia. Tujuan
awal dari LSMS adalah untuk mengukur standar hidup dari penduduk miskin
dengan cara standar, untuk memperbaiki kekurangan data distribusional di dunia
ke tiga, dan untuk membentuk sistem survei rumah tangga yang baik akan
mendukung dan mengecek neraca nasional, serta mereplika pengukuran standar
hidup sesuai dengan SNA PB yang dibuat untuk neraca pendapatan nasional
seluruh dunia, lihat contohnya Pyatt (2003).
Thirty years later, the data situation has been transformed. There are two key
innovations. First, internationally comparable national accounts, based on
purchasing power parity (PPP) exchange rates, allow comparisons of average
living standards across countries in a way that is not vitiated by the gross
inadequacies of conversions at market exchange rates. Making comparisons in
PPP units corrects, or at least diminishes, the gross understatement of living
standards in poor countries relative to rich, and removes the spurious
component of growth among poor countries that comes from the elimination of
those differences with economic development. PPP exchange rates were first
used for global poverty estimates by Ahluwalia et al. (1979), and their use is by
now almost universal. Second, there has been an extraordinary growth in the
number of household surveys available to the research community, including
several dozen LSMS surveys. For example, the World Bank's most recent set of
poverty calculations use data from 297 surveys from 88 developing countries
(Chen & Ravallion, 2001). Deininger and Squire (DS) (1996) have collected and
tabulated data on more than 2,600 Gini coefficients as well as many measures of
quintile shares; the WIDER extension includes more than 5,000 Gini coefficients.
The unit record data from many household surveys are now routinely available
to researchers, including such previously inaccessible troves as nearly 20 years
of data from the Indian National Sample Surveys back to the early 1980s.
Notable by its exclusion is any similar access to Chinese official surveys.

Tiga puluh tahun setelahnya, situasi data sudah berubah. Ada 2 kunci inovasi.
Pertama, neraca nasional yang dapat diperbandingkan secara internasional,
berdasarkan nilai tukar Paritas Daya Beli (PPP), memungkinkan perbandingan
dari standar hidup rata-rata antar negara dengan cara yang tidak efektif
disebabkan kekurangan konversi secara bruto dalam nilai tukar pasar . Membuat
perbandingan di unit PPP mengoreksi, atau setidaknya mengurangi, nilai bruto
yang under dari standar hidup di negara-negara miskin relatif kaya, dan
menghapus komponen pertumbuhan palsu antara negara-negara miskin yang
berasal dari penghapusan perbedaan tersebut dengan pembangunan ekonomi.
kurs PPP pertama kali digunakan untuk estimasi kemiskinan global oleh
Ahluwalia et al. (1979), dan sekarang hampir secara umum digunakan. Kedua,
terjadinya pertumbuhan yang luar biasa dalam jumlah survei rumah tangga yang
tersedia untuk komunitas riset, termasuk beberapa lusin survei LSMS. Misalnya,
set terbaru Bank Dunia dalam perhitungan kemiskinan menggunakan data dari
297 survei dari 88 negara-negara berkembang (Chen & Ravallion, 2001).
Deininger dan Squire (DS) (1996) telah mengumpulkan dan menabelkan data
pada lebih dari 2.600 koefisien Gini serta telah banyak mengukur saham secara
kuintil; ekstensi LEBIH LUAS mencakup lebih dari 5.000 Gini koefisien. Unit data

dari banyak survei rumah tangga \ sekarang secara rutin tersedia bagi peneliti,
termasuk koleksi data dari Survei Sampel Nasional India yang hampir selama 20
tahun (sejak awal tahun 1980-an) sebelumnya tidak dapat diakses. Yang perlu
diperhatikan dari pengecualiannya adalah setiap akses yang mirip juga terjadi
untuk survei resmi Cina.
Yet the controversies are no more settled than they were 30 years ago, although
there is certainly more common ground among economists than there is in the
world at large. The professional consensus, based on the DS data and on work by
them and many others, is that, contrary to Kuznets's hypothesis, and contrary to
beliefs in the 1970s, there is no general relationship between inequality and
growth, and certainly not one in which growth systematically widens inequality,
as would be the case of growth left the poor behind. From this, two important
propositions follow. First, at least on average (and much depends on whether we
are averaging over countries or people), growth is good for the poor (Dollar &
Kraay, 2002; Ravallion, 2001), as is the growth that is arguably generated by
greater openness (Berg & Krueger, 2003). Second, and again on average, the
fraction of people in poverty should decline as if growth were neutrally
distributed. In particular, the relatively rapid growth in the developing world from
1980 to 2000 must have brought about a rapid reduction in the fraction of the
world's population that is poor. And indeed, calculations using the Penn World
Tables combined with inequality measures - the technique first used by Ahluwalia
et al. (1979) - show rapid poverty reduction in the 1980s and 1990s; see Bhalla
(2002), Sala-i-Martin (2002), and Bourguignon and Morrisson (2002). According
to these calculations, not only has the proportion of poor in the world declined,
but the decline has been rapid enough to offset population growth, so that the
actual number of poor people in the world has fallen. According to Bhalla, the
first of the United Nations Millennium Development Goals, halving the number of
people living on less than $1 a day between 1990 and 2015, had already been
met when the goal was announced.

Namun kontroversi yang ada tidak lebih tenang dibandingkan dengan 30 tahun
yang lalu, meskipun ada pemahaman umum di antara ekonom daripada yang
ada di bidang lain. Konsensus profesional, berdasarkan data DS dan pada karya
mereka, adalah bahwa, bertentangan dengan hipotesis Kuznets, dan
bertentangan dengan keyakinan pada 1970-an, tidak ada hubungan umum
antara ketimpangan dan pertumbuhan, dan tentu saja tidak ada yang
beranggapan
bahwa
pertumbuhan
secara
sistematis
memperbesar
ketimpangan, begitu juga kasus pertumbuhan meninggalkan penduduk miskin.
Dari ini, ada dua proposisi penting. Pertama, setidaknya secara rata-rata (dan
lebih tergantung pada apakah kita melakukan rata-rata pada negara atau
penduduk), pertumbuhan berdampak baik bagi masyarakat miskin (Dollar &
Kraay, 2002; Ravallion, 2001), seperti pertumbuhan yang bisa dibilang dihasilkan
oleh keterbukaan yang lebih besar (Berg & Krueger, 2003). Kedua, dan lagi-lagi
secara rata-rata, penduduk yang berada dalam kemiskinan seharusnya menurun
seperti ketika pertumbuhan didistribusikan secara netral. Secara khusus,
pertumbuhan yang relatif cepat di negara berkembang dari tahun 1980-2000
pasti telah membuat terjadinya penurunan yang cepat di sebagian penduduk
miskin di dunia. Dan memang, perhitungan dengan menggunakan Tabel Dunia

Penn dikombinasikan dengan penghitungan ketimpangan - teknik ini pertama


kali digunakan oleh Ahluwalia et al. (1979) - menunjukkan pengurangan
kemiskinan yang cepat pada tahun 1980-an dan 1990-an; lihat Bhalla (2002),
Sala-i-Martin (2002), dan Bourguignon dan Morrisson (2002). Menurut
perhitungan ini, tidak hanya proporsi penduduk miskin di dunia menurun, namun
penurunan tersebut cukup cepat untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk,
sehingga jumlah riil orang miskin di dunia telah turun. Menurut Bhalla, Tujuan
pertama dari Pembangunan Milenium PBB, mengurangi separuh jumlah orang
yang konsumsinya kurang dari $ 1 per hari antara tahun 1990 dan 2015, sudah
tercapai saat tujuan itu diumumkan.

These optimistic calculations are starkly at odds with the World Bank's numbers
on global poverty. The World Bank, which is endorsed by the UN as official
scorekeeper for the poverty Millennium Development Goal, uses household
survey data to measure the living standards of the poor, ignoring national
accounts estimates, and its calculations show relatively little poverty reduction
in the 1990s. Chen and Ravallion (2001), which provides the details of the Bank's
calculations, shows a reduction in the proportion of the poor living on less than
$1 a day from 1987 to 1998 from 28.3% to 23.5%; they argue that this modest
reduction comes, not from any expansion in inequality within countries, but from
relatively slow growth in mean consumption. Across their 88 countries, the
population-weighted rate of growth in mean consumption was only 0.90% from
1987 to 1998, compared with 3.3% growth in real per capita consumption in the
Penn World Tables over the same period. These estimates exclude the latest
(1999-2000) Indian data, whose inclusion will increase the growth of the survey
means over the 1990s. There remains a large gap between, on the one hand, the
direct assessment of the growth of consumption of the poor through surveys,
and on the other hand, the growth that is implied by the growth in average
accompanied by no general increase in inequality

Perhitungan optimis Ini sama sekali bertentangan dengan angka kemiskinan


global Bank Dunia. Bank Dunia, yang disahkan oleh PBB sebagai pencatat angka
resmi untuk kemiskinan Millennium Development Goal, menggunakan data
survei rumah tangga untuk mengukur standar hidup penduduk miskin,
mengabaikan perkiraan neraca nasional, dan perhitungannya menunjukkan
pengurangan kemiskinan yang relatif kecil di tahun 1990-an. Chen dan Ravallion
(2001), yang perhitungan Bank Dunia tersebut secara detail, menunjukkan
penurunan proporsi penduduk miskin yang konsumsinya kurang dari $ 1 per hari
dari tahun 1987-1998 dari 28,3% menjadi 23,5%; mereka berpendapat bahwa
pengurangan tipis ini terjadi, bukan dari peningkatan ketimpangan dalam negara
tersebut, namun dari pertumbuhan yang relatif lambat dalam konsumsi ratarata. Di 88 negara Bank Dunia, tingkat pertumbuhan konsumsi rata-rata
populasi-tertimbang hanya 0,90% dari tahun 1987-1998, sedangkan pada
periode yang sama pertumbuhan konsumsi per kapita riil di Tabel Penn Dunia
sebesar 3,3%. Perkiraan ini tidak memasukkah Data India terbaru (1999-2000),
yang jika dimasukkan akan meningkatkan pertumbuhan rata-rata dari hasil
survei selama tahun 1990-an. Masih ada kesenjangan yang besar antara, di satu
sisi, penilaian langsung dari pertumbuhan konsumsi masyarakat miskin melalui

survei, dan di sisi lain, pertumbuhan yang diimplikasi oleh pertumbuhan ratarata tidak disertai dengan kenaikan ketimpangan.
The plethora of new data has not resolved the controversy, because the new
sources are mutually contradictory. According to direct measurement in
household surveys, growth among the poor of the world has been sluggish
compared with the average growth rates of the countries in which they live. Yet
there is no documented increase in inequality that would resolve the
discrepancy. If we are to accept the surveys, growth in the world is a good deal
slower than we are used to thinking from the national accounts data, and what
growth there has been in the latest two decades has made only a modest dent in
the level of world poverty. If we accept the national accounts, and do not
challenge the conclusion that there is no general increase in inequality nor any
correlation between growth and changes in inequality, then official poverty
numbers are overstated, and we have already made rapid progress toward
reducing poverty in the world. This paper explores these contradictions
empirically with an aim to providing a sharper characterization and to advancing
some first hypotheses about causes and possible remedies.

Kebanyakan data baru belum mampu menyelesaikan kontroversi yang ada,


karena sumber baru tersebut saling bertentangan. Menurut pengukuran
langsung di survei rumah tangga, pertumbuhan di antara penduduk miskin di
dunia lebih lamban dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata negaranegara mereka. Namun tidak ada dokumentasi mengenai kenaikan ketimpangan
yang akan menyelesaikan perbedaan tersebut. Jika kita menerima survei,
pertumbuhan di dunia memang lebih lambat daripada yang biasa kita kira dari
data neraca nasional, dan pertumbuhan tersebut dalam dua dekade terakhir
hanya membuat lekukan kecil di tingkat kemiskinan dunia. Jika kita menerima
neraca nasional, dan tidak menantang kesimpulan bahwa tidak ada kenaikan
dalam ketimpangan atau korelasi antara pertumbuhan dan perubahan
ketimpangan, maka angka kemiskinan resmi menjadi terlalu besar, dan kita telah
membuat kemajuan pesat dalam mengurangi kemiskinan di dunia. Makalah ini
membahas kontradiksi ini secara empiris dengan tujuan untuk memberikan
karakterisasi yang lebih tajam dan untuk mengembangkan beberapa hipotesis
awal tentang penyebab dan solusi yang mungkin bisa dilakukan.

A note of caution at the outset. Because countries have vastly different


populations, statements about averages often depend sharply on whether or not
they are population-weighted. A third of the world's poor live in two countries,
India and China, and the global poverty counts are much affected by what
happens there. When we are interested in the well-being of the people of the
world, and in the effects of statistical practice and statistical discrepancies on
global poverty measurements, we must weight by population. There is no reason
to down weight the well-being of a Chinese peasant relative to a Ghanaian cocoa
farmer, nor to believe that the world is a better place when an African move out
of poverty and an Indian moves in. However, many of my concerns are about the
relationship between measurement and the level of development, in which case
the appropriate procedure is to take each statistical system as the unit, and to

ignore population sizes. Beyond that, many of the political negotiations about
poverty, and about measurement - for example, those in the councils of the
United Nations and the World Bank - are carried on nation by nation. In
consequence, I shall typically present both weighted and unweighted results.

Yang menjadi perhatian di awal. Karena negara memiliki populasi yang sangat
berbeda, pernyataan tentang rata-rata sering sangat tergantung pada apakah
mereka penduduk tertimbang atau tidak. Sepertiga dari penduduk miskin di
dunia ada di dua negara, yaitu India dan China, dan jumlah kemiskinan global
banyak dipengaruhi oleh apa yang terjadi di sana. Ketika kita tertarik pada
kesejahteraan penduduk di dunia, dan dalam efek praktik statistik dan
perbedaan statistik pada pengukuran kemiskinan global, kita harus
menimbangnya dengan penduduk. Tidak ada alasan untuk menimbang
kesejahteraan keluarga petani Cina dengan petani kakao Ghana, juga percaya
bahwa dunia adalah tempat yang lebih baik ketika orang Afrika keluar dari
kemiskinan dan orang India masuk dalam kemiskinan. Namun, sebagian besar
kekhawatiran saya adalah tentang hubungan antara pengukuran dan tingkat
pembangunan, di mana prosedur yang tepat adalah dengan mengambil setiap
sistem statistik sebagai unit, dan mengabaikan ukuran populasi. Di luar itu,
banyak negosiasi politik tentang kemiskinan, dan tentang pengukuran misalnya, orang-orang di dewan PBB dan Bank Dunia - dilakukan oleh setiap
negara. Konsekuensinya, saya biasanya akan menyajikan baik hasil tertimbang
dan tidak tertimbang.
II.

Surveys versus National Accounts: All Countries

In this section, I consider the cross-country and intertemporal relationships


between survey and national accounts estimates of consumption expenditure
per capita. Many commentators have noted the (sometimes substantial)
discrepancies between survey estimates and their national accounts
counterparts. As we shall see below, there are also long-standing literatures in
India and the United States, not only on level differences, but also on the fact
that survey means grow less rapidly than means in the national accounts. My
analysis and data overlap with those of Ravallion (2003), whose main concern is
with regional and global analyses of the statistical significance of discrepancies
in the levels and growth rates of the ratios of survey to national accounts
consumption. For consumption surveys, Ravallion comes to the optimistic
conclusion that the significant discrepancies can be traced back to the disarray
in the statistical systems of the transition economies. The lack of significant
differences elsewhere reflects the large cross-country variation in the ratios, as
well as the fact that when surveys are not weighted by population, the low and
falling ratio in India, where approximately a third of the world's poor live, is lost
in the variation of the ratios elsewhere. In consequence, it is possible for the
survey-to-national-accounts ratios to be insignificantly different from one even
though the surveys and national accounts data have radically different
implications for trends in global poverty.

Pada bagian ini, saya memikirkan tentang hubungan lintas negara dan antar
waktu antara survei dan perkiraan pengeluaran konsumsi per kapita dari neraca

nasional. Banyak komentator telah mencatat perbedaan (kadang-kadang


perbedaan substansial) antara perkiraan secara survei dan neraca nasional
pembandingnya. Seperti yang akan kita lihat di bawah, ada juga literator lama di
India dan Amerika Serikat, tidak hanya pada perbedaan tingkat, tetapi juga pada
kenyataan bahwa rata-rata secara survei tumbuh lebih lambat dibandingkan
rata-rata dalam neraca nasional. Analisis dan data saya tumpang tindih dengan
Ravallion (2003), yang perhatian utamanya adalah analisis regional dan global
mengenai signifikansi statistik dari perbedaan dalam tingkat dan nilai
pertumbuhan dari rasio antara survei terhadap konsumsi neraca nasional. Untuk
survei konsumsi, Ravallion memberikan kesimpulan yang optimis bahwa
perbedaan signifikan dapat ditelusuri kembali dari kekacauan dalam sistem
statistik transisi ekonomi. Kurangnya perbedaan yang signifikan lainnya
mencerminkan besarnya variasi lintas-negara di rasio, serta fakta bahwa ketika
survei tidak ditimbang dengan penduduk, rasio yang kecil dan jatuh di India,
yang mempunyai sepertiga dari penduduk miskin di dunia, akan kehilangan
variasi di rasio lainnya. Karena itu, dimungkinkan untuk rasio survei terhadap
neraca nasional menjadi berbeda secara tidak signifikan dari angka satu
meskipun survei dan data neraca nasional memiliki implikasi yang sangat
berbeda dalam tren kemiskinan global
Tabel 1. Deskripsi survei yang digunakan dalam analisis

National accounts estimate of consumption is available for most countries in


most recent years, so the countries and dates of the comparison are set by the
availability of the surveys. The surveys used here come from a convenience

sample assembled from various sources. In most cases, I have survey estimates
of mean income or mean consumption from the estimates assembled by Chen
and Ravallion (2001), and which appear on the World Bank's poverty monitoring
Web site. To these I have added my own estimates for India, most of which
appear in Deaton and Dr&ze (2002), a number of OECD surveys, particularly
from the Consumers Expenditure Survey and Current Population Surveys in the
United States, and the Family Expenditure Survey (now the Expenditure and Food
Survey) in the United Kingdom, as well as a number of additional survey
estimates supplied by the Bank, but not used in their poverty counts, for
example, estimates of mean consumption per head from the official Chinese
surveys. In all, I have 557 survey-based estimates of mean consumption per
head or mean income per head (occasionally both). Table 1 shows that these
come from 127 countries; that the earliest year is 1979 and the latest 2000. The
number of surveys in the data set grows steadily larger over time; I have only 3
in 1979 and 7 in 1980, but 57 in 1998 (the peak year). There are 22 surveys for
1999 and 26 in 2000, but this diminution in numbers after 1998 reflects merely
the delay in processing and obtaining survey data, rather than any slackening in
the growth of usable surveys around the world. For a single country,
consumption and income estimates may come from the same survey (for
example, in China) or from different surveys (for example in the United States).
The fraction of the world's population covered by the surveys shows a strong
upward trend, more than doubling from 1980 to 1998, but there is fluctuation in
the fraction from year to year as individual countries move in and out of the
counts. Much depends on whether or not there is an Indian survey in a specific
year. China is included in 1980, and from 1985 onward.
Angka perkiraan konsumsi dari neraca nasional saat ini sudah tersedia di
sebagian besar negara di beberapa tahun terakhir, oleh karena itu negara dan
tahun perbandingannya akan ditetapkan oleh ketersediaan survei di negara
tersebut. Survei yang digunakan di sini berasal dari sampel yang diambil dari
berbagai sumber. Dalam kebanyakan kasus, saya memiliki perkiraan survei
pendapatan rata-rata atau konsumsi rata-rata menggunakan cara estimasi dari
Chen dan Ravallion (2001), dan yang ada di situs Web pemantauan kemiskinan
Bank Dunia. Untuk itu saya telah menambahkan estimasi saya sendiri untuk
India, yang sebagian besar muncul dalam Deaton dan Dr & ze (2002), sejumlah
survei OECD, terutama dari Survei Pengeluaran Konsumen dan Survei Penduduk
terbaru di Amerika Serikat, dan Survei Pengeluaran Rumah Tangga ( sekarang
Survei Pengeluaran dan Makanan) di Inggris, serta sejumlah perkiraan survei
tambahan yang disediakan oleh Bank, namun tidak digunakan dalam
penghitungan kemiskinannya, misalnya, estimasi konsumsi rata-rata per kepala
dari survei resmi Cina. Secara keseluruhan, saya memiliki 557 perkiraan berbasis
survei mengenai konsumsi rata-rata per kepala atau pendapatan rata-rata per
kepala (kadang-kadang keduanya). Tabel 1 menunjukkan bahwa data yang
terkumpul berasal dari 127 negara; di mana tahun yang paling lama adalah
tahun 1979 dan yang terbaru tahun 2000. Jumlah survei pada set data terus
bertambah dari waktu ke waktu; Saya hanya memiliki 3 pada tahun 1979 dan 7
pada tahun 1980, namun bisa mendapatkan 57 di tahun 1998 (tahun puncak).
Ada 22 survei di tahun 1999 dan 26 pada tahun 2000, namun penurunan
penambahan
jumlah survei setelah tahun 1998 lebih mencerminkan
keterlambatan dalam pemrosesan dan pengumpulan data survei, daripada
berkurangnya pertumbuhan dalam setiap survei yang dapat digunakan di

seluruh dunia. Untuk satu negara, perkiraan konsumsi dan pendapatan bisa
berasal dari survei yang sama (misalnya, di China) atau dari survei yang berbeda
(misalnya di Amerika Serikat). Jumlah penduduk dunia yang tercakup dalam
survei menunjukkan tren positif yang kuat, dari tahun 1980-1998 jumlahnya
menjadi lebih dari dua kali lipat, tapi terjadi fluktuasi dari tahun ke tahun akibat
adanya negara yang masuk dan keluar dari jumlah. Sebagian besar tergantung
dari apakah ada atau tidaknya survei India di tahun tersebut. China masuk pada
tahun 1980, 1985 dan tahun setelahnya.

Table 2 shows information on the ratios of survey estimates of consumption or


income per head to consumption or income per head from the national accounts.
The ratios are calculated using nominal values in local currency units (leu) for
both the numerator and denominator. National accounts estimates of household
final consumption are the obvious counterparts to survey consumption. For
income, most countries do not publish data on disposable household income, so
that possible counterparts are GDP or, once again, household consumption. The
argument for the latter is that much of saving may not be done by households,
but by corporations, government, or foreigners, so that household income may
be closer to household consumption than to national income. The top panel
shows summary statistics for ratios of survey to national accounts consumption
per head, the second panel is for the ratios of survey income to national
accounts consumption, and the third panel is for ratios of survey income to GDP.
Tabel 2 menunjukkan informasi rasio dari perkiraan konsumsi atau pendapatan
per kapita dari survei terhadap komsumsi atau pendapatan per kapita dari
neraca nasional. Rasio tersebut dihitung menggunakan nilai nominal dalam
satuan mata uang lokal (leu) baik untuk pembilang maupun penyebutnya.
Perkiraan konsumsi akhir rumah tangga dari neraca nasional merupakan
pembanding yang pas untuk survei konsumsi. Untuk pendapatan, sebagian besar
negara tidak mempublikasikan data pendapatan rumah tangga, sehingga
pembanding yang mungkin bisa digunakan adalah PDB atau, sekali lagi,
konsumsi rumah tangga. Alasannya adalah bahwa sebagian besar dari simpanan
(saving) mungkin bukan berasal dari rumah tangga, namun dari perusahaan,
pemerintah, atau orang asing, sehingga pendapatan rumahtangga mungkin lebih
baik didekati dengan konsumsi rumah tangga daripada pendapatan nasional.
Panel atas menunjukkan ringkasan statistik untuk rasio survei konsumsi neraca
nasional per kapita, panel kedua menunjukkan rasio survei pendapatan terhadap
konsumsi neraca nasional, dan panel ketiga menunjukkan rasio pendapatan
survei terhadap PDB.
Tabel 2. Rasio Rata-rata survei dengan rata-rata nearaca nasional, pendapatan.

Consumption estimated from the surveys is typically lower than estimated from
the national accounts; the aver- age ratio is 0.860, (with a standard error of
0.029), or 0.779 (0.072) when weighted by population. (India has particularly low
ratios.) The exception is sub-Saharan Africa, where the average ratio of survey to
national accounts consumption is 1 in the unweighted and greater than 1 in the
weighted calculations. For the OECD, where survey and national accounts quality
are presumably the highest, the surveys pick up only a little more than threequarters of consumption in the national accounts. These differences come in part
from differences in definition - for example, national accounts consumption
includes such items as the imputed value of owner-occupied housing, which is
nearly always excluded from the surveys - but they also reflect errors and
omissions in both surveys and national accounts. In consequence, that the ratios
for the Middle East and North Africa (MENA) and sub-Saharan Africa (SSA) are
close to 1 says nothing about the quality of the surveys in those two regions.
Indeed, it is possible that the perfectly measured ratio is less than 1, but is
actually measured as greater than 1 because there is understatement in the
national accounts. And it is entirely possible that the high ratios for SSA come
from large-scale underestimation in the national accounts.

Konsumsi diperkirakan dari survei biasanya lebih rendah dari perkiraan dari
rekening nasional; rasio usia rata- adalah 0.860, (dengan standard error 0,029),
atau 0,779 (0,072) ketika ditimbang dengan populasi. (India memiliki rasio yang

sangat rendah.) Pengecualian adalah sub-Sahara Afrika, di mana rasio rata-rata


survei konsumsi rekening nasional adalah 1 dalam tertimbang dan lebih besar
dari 1 dalam perhitungan tertimbang. Untuk OECD, di mana survei dan kualitas
rekening nasional mungkin yang tertinggi, survei mengambil hanya sedikit lebih
dari tiga-perempat dari konsumsi dalam neraca nasional. Perbedaan-perbedaan
ini datang dalam bagian dari perbedaan dalam definisi - misalnya, konsumsi
rekening nasional termasuk barang-barang seperti nilai diperhitungkan
perumahan ditempati pemilik, yang hampir selalu dikeluarkan dari survei - tetapi
mereka juga mencerminkan kesalahan dan kelalaian dalam kedua survei dan
nasional akun. Karena itu, bahwa rasio untuk Timur Tengah dan Afrika Utara
(MENA) dan Afrika sub-Sahara (SSA) yang dekat dengan 1 mengatakan apa-apa
tentang kualitas survei di dua daerah. Memang, ada kemungkinan bahwa rasio
sempurna diukur kurang dari 1, tetapi sebenarnya diukur sebagai lebih besar
dari 1 karena ada meremehkan dalam rekening nasional. Dan sangatlah mungkin
bahwa rasio tinggi untuk SSA datang dari meremehkan skala besar di rekening
nasional.

Income measured in the surveys is on average larger than consumption


measured in the surveys, but is in most cases less than national accounts
consumption, and much less than GDP. Survey income is less than 60% of GDP
on average.
Pendapatan diukur dalam survei secara rata-rata lebih besar dari konsumsi yang
diukur dalam survei, tetapi sebagian besar kurang dari konsumsi neraca
nasional, dan jauh lebih sedikit dari PDB. Survei Survei pendapatan
menghasilkan nilai yang besarnya kurang dari 60% dari rata-rata PDB.

Anda mungkin juga menyukai