1. GAMBARAN UMUM
Mekanisme ekstensor terbentuk dari kombinasi kompleks antara otot dan tendon
ekstrinsik dan intrinsik. Hal ini mengakibatkan cedera ringan yang cukup sering
terjadi akibat letak tandon ekstensor yang superfisial dapat mengakibatkan gangguan
pada kooordinasi gerak halus jari.
2. MATERI BAKU :RUPTUR TENDON EKSTENSOR
2.1. Anatomi
Mekanisme ekstensor terdiri atas ekstensor digitorum komunis ( EDC), ekstensor
digiti quinti (EDQ), ekstensor indicis proprius (EIP), ekstensor pollicis longus (EPL),
dan ekstensor pollicis brevis(EPB). Berikut ini gambar anatomi tendon ekstensor :
umumnya menutupi tulang dan zona bernomor ganjil meliputi sendi. Berikut ini
gambar pembagian zona tendon ekstensor :
sendi MCP dan termasuk di dalamnya adalah tendon EPL dan EPB. Zona 4 terletak di
atas metacarpal ibujari. Zona 5 ibujari terletak di bawah retinakulum.
2.3. Patofisiologi cedera tendon ekstensor
Tendon ekstensor terluka melalui dua mekanisme. Luka terbuka yang diakibatkan
oleh adanya laserasi atau
periosteum. Luka tertutup pada cedera akut akibat trauma akan mengakibatkan ruptur
tendon dan jaringan penunjang lainnya.
Pemeriksaan klinis
Luka terbuka pada dorsal lengan bawah atau tangan akan jelas terlihat namun berat
ringan cedera ekstensor mungkin tidak terlalu jelas. Pemeriksaan dimulai dari
pemeriksaan neurovaskular ekstremitas atas termasuk nervus radialis. Pasien lalu
diminta untuk mengekstensikan tiap sendi dengan ataupun tanpa tahanan.
Pemeriksaan sendi PIP dan DIP dapat dilakukan tanpamelihat sendi lain.
Pemeriksaan sendi lain yang lebih proksimal lebih baik dilakukan dengan meminta
pasien menfleksikan seluruh sendi IP dan hanya mengekstensikan sendi MCP.
Berikut ini gambar posisi tangan pasien saat pemeriksaan klinis cedera tendon
ekstensor :
radiografis lain untuk melihat integritas kapsul. Pemeriksaan radiologis standar pada
tangan dan pergelangan tangan dilakukan dengan melihat gambaran klinis dan
mekanisme cedera.
Luka tertutup yang mengakibat cedera tendon ekstensor juga umum terjadi pada
cedera zona 1,3, dan 5. Luka tertutup pada zona 1 disebut juga cedera Mallet. Cedera
ini umumya melibatkan hiperfleksi sendi DIP dan tekanan dari luar. Berikut ini
klasifikasi cedera Mallet bedasarkan Doyle :
o Tipe 1 : avulsi tendon, + fragmen tulang kecil
o Tipe 2 : laserasi tendon
o Tipe 3 : abrasi tendon dengan kehilangan tendon dan kulit
o Tipe 4 : cedera tendon disertai patahan tulang signifikan
A : transepifiseal
Ibujari juga dapat mengalami cedera Mallet, namun lebih jarang terjadi dibanding
pada cedera jari lain.
Luka tertutup dengan cedera tendon ekstensor pada zona 3 lebih sulit didiagnosa
dibanding pada zona 1. Mekanisme cedera melputi crushing sendi, hiperfleksi dan
dislokasi sendi volar PIP. Terdapat nyeri dan bengkak pada sendi. Pasien masih
mungkin mengekstensikan jari segera setelah cedera namun tindakan ekstensi ini
lemah jika diberikan tahanan ringan. Jika terdapat keraguan maka dpat dilakukan
injeksi zat kontras radiografis. Jika didapatkan zat kontras ekstravasasi melalui kapsul
dorsal maka hampir pasti terdapat cedera ekstensor. Setelah 10-14 hari akan terbentuk
deformitas boutonniere.
Luka tertutup pada zona 5 tidak melibatkan tendon ekstensor itu sendiri namun
melibatkan ruptur sagital band. Cedera yang dialami umumnya melibatkan radial
sagital band. Kemudian tendon akan mengalami dislokasi ke arah ulnar ke dalam
lembah metacarpal. Cedera yang terjadi umumnya ringan pada dorsal MCP atau
--------------(fig 11)
Repair pada zona 8 atau 9 melibatkan lebih banyak otot dibanding tendon. Tendinous
raphe dapat digunakan jika memungkinkan. Jahitan dilakukan dengan teknik matras
multipel. Pascaoperasi dilakukan splinting dinamis atau statis.
Laserasi EPL pada zona 1 / 2 (ibujari) dapat diperbaiki secara primer karena tendon
di sini jauh lebih berperan dibanding pada jari lain. Teknik jahitan yang dilakukan
adalah Kessler/Bunnel modifikasi dengan benagn non-absorbable 4-0. Pada cedera
ringan IP tidak perlu K-wire dan bidai pasca operasi cukup mencakup sendi IP saja.
Laserasi EPL atau EPB atau keduanya pada zona proksimal dapat diterapi dengan
bidai statis/dinamis setelah dilakukan repair tendon terpisah dengan jahitan bunnel
atau kessler modifikasi dengan benang non-absorbable 4-0. Bidai dinamis hanya
mencakup ibujari. Berdasarkan Evans diketahui fleksi sendi IP sebesar 600
menghasilkan excursion 5 mm EPL pada tuberkel Lister.
Sebagian besar cedera Mallet dapat diterapi secara konservatif. Tendon di sini sangat
tipis
sehingga
tidak
bisa
menahan
jahitan.
Pembidaian
sedi
DIP
saja
direkomendasikan untuk terapi pada cedera mallet tipe 1 dan 4. Bidai dengan
alumunium atau busa pada volar atau dorsal dapat digunakan, begitu juga stack splint,
imobilisasi dengn plester , fiksasi dengan K-wire. Pembidaian terus menerus selama
6-8 minggu lalu pembidaian dialkukan hanya saat malam hari dilakukan selama 2-6
minggu.
Cedera tipe 3 pada zona 1 melibatkan hilangnya sebagian ekstensor. Pada sebagian
besar kasus, fikasasi dengan K-wire pada sendi DIP dan penutupan kulit dengan
jahitan langsung/ flap dapat menghasilkan parut dan kekakuan yang cukup sehingga
rekonstruksi tendon tidak diperlukan. Namun sebagian kecil mungkin memerlukan
tendon grafting.
Pada cedera tipe 4, terapi fraktur dan reduksi harus dipertimbangkan. Tipe
4A/transepifiseal ditangani dengan reduksi fraktur. Karena tendon ekstensor terikat
pada physis dan fleksor terikat pada fragmen distal maka cedera akan terlihat
malalign. Pada ank-anak dapat diterapi dengan bidai imobilisasi setelah reduksi,
namun jika reduksi tidak bisa dipertahankan sebaiknya digunakan fiksasi perkutan.
Pada cedera tipe 4C, yang umumnya diakibatkan oleh hiperekstensi, Lange dan Enger
mengatakan bahwa pembidaian akan mengakibatkan / mengeksaserbasi sublukasasi
volar dan pada keadaan ini pembedahan dianjurkan. Jika sendi tetap subluksasi volar
walaupun sudah dibidai maka usaha untuk melakukan reduksi dan menekan sendi
perkutan dalam anastesi lokal dibenarkan.
Tindakan ORIF hanya dilakukan pada keadaan tertentu dimana terjadi subluksasi
volar berat atau fragmen fraktur terotasi jauh dari sendi. Jika reduksi sendi tidak dapat
dilakukan secara tertutup dapat dilakukan usaha untuk memperbaiki cedera secara
tidak langsung. Jahitan pullout dilakukan pada tendon. Lalu dibuat lubang bor pada
falang distal dari dorsal ke volar lalu jahitan diikat pada permukaan volar.
Cedera Mallet pada ibujari ditatalaksana sama dengan cedera Mallet pada jari lain,
yaitu dengan bidai pada IP pada posisi ekstensi untuk avulsi tendon dan pembedahan
jika fragmen tulang displaced jauh.
Cedera akut tertutup pada zona 3 dapat ditatalaksana dengan pembidaian saja.
Kesulitannya dalah identifikasi dini. Tatalaksana berupa bidai dorsal sehingga sendi
MCP dan DIP bebas.
Untuk ruptur tertutup sagital bands di zona 5, terapi tertutup dapat dipertimbangkan
terutama pada kasus yang terjadi < 24 jam. Tangan dibidai selama 4-6 minggu dengan
pergelangan dalam posisi ekstensi sedikit. MCP dalam ekstensi penuh dan sendi distal
bebas bergerak. Jika pasien ditemui setelah masa 24 jam maka perlu dilakukan
pembedahan. Repair primer dilakukan dengan benang non-absorbable 4-0/5-0 untuk
reaproksimasi sagital band.
2.5. Rehabilitasi pasca operasi
Zona I dan II
Jari Mallet dapat terjadi akibat cedera terbuka/tertutup yang mengganggu tendon
ekstensor terminal pada sendi DIP. Cedera ini umumnya diterapi secara konservatif
dengan pembidaian saja. Cedera distal ini umumnya tidak memiliki keuntungan jika
diterapi dengan protokol early motion. Saat ini standar perawatan untuk terapi
konservatif dan manajemen pascaoperasi dalah 6-8 minggu pembidaian sendi DIP
dengan ekstensi 00 hiperekstensi sedikit dengan sendi PIP bebas. Hiperekstensi
dapat mengakibatkan nekrosis kulit akibat peregangan sistem vaskular volar. Jika
saat rehabilitasi terjadi deformita swan-neck, maka sendi PIP sebaiknya dibidai
dalam posisi fleksi sedikit. Setelah pembidaian selama 6 minggu dapat dilakukan
latihan fleksi aktif perlahan pada sendi DIP.
Zona III dan IV
Cedera tertutup
Cedera pada tendon ekstensor di sendi PIP / falang proksimal seringkali
mengakibatkan deformitas boutonniere. Deformitas umumnya tidak segera terlihat,
dalam 10-21 hari setelah cedera lateral band mengalami migrasi ke arah volar sesuai
axis rotasi. Jika ekstensi penuh dapat tercapai , maka sendi PIP dibidai dalam posisi
ekstensi penuh dengan sendi DIP bebas selama 6 minggu. Latihan fleksi sendi DIP
dapat dimulai segera untuk menjaga lateral band gliding. Jika telah terjadi kontraktur
fleksi sendi PIP maka pasien dirujuk ke terapis tangan supaya jari dapat dibidai
secara serial ke posisi ekstensi dengan bidai statik , dinamik atau gips. Setelah jari
mencapai posisi ekstensi penuh maka dilakukan imobilisasi selama 6 minggu.
Cedera terbuka
Manajemen tradisional mencakup imobilisasi selama 3-4 minggu. Namun beberapa
penelitian menunjukkan hasil yang kurang baik setelah imobilisasi pada zona ini.
Imobilisasi tetap merupakan pilihan terapi pada repair zona III dan IV. Bidai
digunakan terus menerus selama 4-6 minggu sehingga menjamin dipertahankannya
ekstensi 00pada sendi PIP. Walaupun beberapa penulis menganjurkan fleksi sendi
DIP dimulai sesegera numgkin pascaoperasi dengan sendi PIP dalam posisi ekstensi,
namun terapi tradisional umumnya memulai fleksi sendi DIP setelah 10-14 hari
pascaoperasi.
Protokol gerak terkontrol dini ddengan menggunakan bidai ekstensi dinamis
digunakan karena hasil yang didapatkan lebih baik dibanding bidai statis. Sebagian
besar protokol mencakup blocking sendi MCP sebanyak 0-15 derajat.
Protokol gerak aktif dini dimulai sejak 5 hari pascaoperasi , 4-6 kali /hari, pasien
menggunakan bidai yang memungkinkan fleksi sendi PIP 300 dan DIP 20-250.
Zona V dan VI
Beberapa protokol terapi pascaoperasi untuk zona ini telah dibuat. Jika tujuannya
dalah mencegah ruptur repair tendon maka pergelangan tangan dan jari dibidai/gips.
Posisi pembidaian adalah ekstensi pergelangan tangan antara 20-40 derajat.
Protokol mobilisasi aktif dini dikembangkan oleh Evans dan Thompson yaitu
minimal active muscle tendon tension (MAMTT) dan SAM.
Zona VII dan VIII
Umumnya protokol pascaoperasi yang digunakan untuk zona VII sama dengan pada
zona VI. Untuk zona VII masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
membandingakan imobilisasi vs mobilisasi aktif dan pasif dini. Pada zona VIII
protokol yang digunakan serupa dengan zona proksimal lain.
Zona T1
Bidai tipe stack menahan sendi IP dalam posisi ekstensi selama 6-8 minggu
dianjurkan. Setelah itu selama 2-4 minggu dilakukan pembidaian antara waktu
latihan dan pada malam hari.
Zona TII
Dilakukan imobilisasi dengan handbased splint yang menjaga sendi Ip dan MCP 0
derajat dan ibujari ekstensi radial. ROM aktif perlahan dapat dilakukan setelah 3
minggu kemudian fleksi progresif perlahan selagi pembidaian antara waktu latihan.
Mobilisasi dini dapat dilakukan dengan menggunakan rubber band sling untuk
menjaga sendi IP dalam posisi ekstensi.
Zona TIII-V
Berdasarkan rekomendasi Evans, bidai statis digunakan terus menerus selama 4
minggu. Setelah ROM aktif dimulai bidai terus digunakan pada waktu antar latihan
dan pada malam hari selama 2 minggu. Protokol bidai dinamis bervariasi. Gerakan
dimulai 3-5 hari setelah repair dan melanjutkan latihan sembari pembidaian selama 5
minggu.
2.6. Komplikasi
Loss of motion
Ruptur repair
Terbentuknya adhesi
3. RANGKUMAN
Mekanisme ekstensor terdiri atas ekstensor digitorum komunis ( EDC), ekstensor digiti
quinti (EDQ), ekstensor indicis proprius (EIP), ekstensor pollicis longus (EPL), dan
ekstensor pollicis brevis(EPB). Pada keadaan cedera, tendon ekstensor dibagi dalam 9
zona, dengan lima zona khusus terkait dengan ibujari.
Tendon ekstensor terluka melalui dua mekanisme: luka terbuka yang diakibatkan oleh
adanya laserasi atau avulsi, dan luka tertutup pada cedera akut akibat trauma akan
mengakibatkan ruptur tendon dan jaringan penunjang lainnya
Pemeriksaan dimulai dari pemeriksaan neurovaskular ekstremitas atas termasuk nervus
radialis. Pasien lalu diminta untuk mengekstensikan tiap sendi dengan ataupun tanpa
tahanan. Pemeriksaan sendi PIP dan DIP dapat dilakukan tanpa melihat sendi lain.
Pemeriksaan sendi lain yang lebih proksimal lebih baik dilakukan dengan meminta pasien
menfleksikan seluruh sendi IP dan hanya mengekstensikan sendi MCP.
Terapi awal pada luka terbuka harus mencakup irigasi dan debridement luka dan repair
tendon. Jika pada cedera juga terjadi patah tulang maka fiksasi pada fraktur sebaiknya
dilakukan agar mobilisasi dini tendon memungkinkan.
Rehabilitasi mencakup pembidaian dan latihan sembari pembidaian sesuai dengan zona
tendon ekstensor yang terluka.
Komplikasi yang dapat terjdai mencakup loss of motion, ruptur repair, terbentuknya
adhesi.