Sistem Hemostatis
Sistem Hemostatis
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Hematologi
Darah membentuk sekitar 8 % dari berat tubuh total dan memiliki volume ratarata 5 liter pada wanita dan 5,5 liter pada pria (Sherwood, 2011).
Menurut Corwin (2009), darah terdiri dari sekitar 45 % komponen sel dan 55 %
plasma. Komponen sel tersebut adalah sel darah merah (eritrosit), sel darah putih
(leukosit) dan trombosit (platelet). Sel darah merah berjumlah 99 % dari total komponen
sel; sisanya 1 % sel darah putih dan platelet. Plasma terdiri dari air 90 % dan 10 %
sisanya dari protein plasma, elektrolit, gas terlarut, berbagai produk sisa metabolisme,
nutrien, vitamin dan kolesterol. Protein plasma terdiri dari albumin, globulin dan
fibrinogen. Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak membantu
mempertahankan tekanan osmotik plasma dan volume darah. Globulin mengikat hormon
yang tidak larut dan sisa plasma lainnya agar larut. Proses ini memungkinkan zat-zat
penting terangkut di dalam darah dari tempat asalnya dibuat ke tempat zat-zat tersebut
bekerja. Sebagai contoh, zat-zat yang dibawa berikatan dengan protein plasma termasuk
hormon tiroid, besi, fosfolipid, bilirubin, hormon steroid dan kolesterol. Protein globulin
lainnya yaitu imunoglobulin adalah antibodi yang ada di dalam darah untuk melawan
infeksi. Fibrinogen merupakan komponen penting dalam proses pembekuan darah.
Tabel 1. Konstituen Darah dan Fungsinya
1.
Konstituen
Plasma
Air
Elektrolit
Nutrien, zat sisa, gas, hormon
Protein Plasma
Fungsi
Medium transpor; membawa panas.
Eksitabilitas membran; distribusi osmotik
cairan antara CES dan CIS; menyangga
perubahan pH.
Diangkut dalam darah; gas O2 darah
berperan dalam keseimbangan asam-basa.
Secara umum, menghasilkan efek osmotik
1)
Albumin
2)
Globulin
Alfa dan beta
3)
Gama
Fibrinogen
pembekuan;
molekul
precursor
inaktif.
Antibodi.
Prekursor inaktif untuk jalinan fibrin pada
pembekuan darah.
2.
a.
b.
1)
2)
Elemen Seluler
Eritrosit
Leukosit
Neutrofil
Eosinofil
3)
Basofil
histamin,
yang
penting
Monosit
Limfosit
Limfosit B
Limfosit T
Trombosit
2.2 Hemostasis
Hemostasis adalah penghentian perdarahan melalui mekanisme vasokontriksi dan
koagulasi fisiologis atau melalui cara-cara bedah (Dorland, 2011). Menurut Sherwood
(2011), hemostasis adalah penghentian perdarahan dari suatu pembuluh darah yang rusak.
Perdarahan terjadi ketika pembuluh darah mengalami kerusakan dan tekanan di
bagian dalam pembuluh darah lebih besar daripada tekanan di luarnya sehingga memaksa
darah keluar dari defek tersebut (Sherwood, 2011).
Menurut Sherewood (2011), hemostasis melibatkan tiga langkah utama, yaitu
spasme vaskuler (vasokontriksi), pembentukan sumbat koagulasi (platelet plug) dan
koagulasi darah (pembentukan bekuan darah).
2.2.1
(endotel) pembuluh darah yang cedera. Kontriksi atau spasme vaskuler ini memperlambat
darah mengalir melalui defek dan memperkecil kehilangan darah. Permukaan-permukaan
endotel yang saling berhadapan juga saling menekan oleh spasme vaskuler awal ini
sehingga permukaan tersebut menjadi lekat satu sama lain dan semakin menambal
pembuluh yang rusak. Tindakan-tindakan fisik ini tidak cukup untuk mencegah secara
sempurna pengeluaran darah lebih lanjut tetapi dapat memininalkan aliran darah melalui
pembuluh yang rusak sampai tindakan hemostasis lain dapat benar-benar menyumbat
kebocoran tersebut (Sherwood, 2011).
2.2.2
tromboksan A2), yang memicu konstriksi kuat pembuluh yang bersangkutan untuk
memperkuat vasospasme awal, (3) sumbat trombosit membebaskan bahan-bahan kimia
lain yang meningkatkan koagulasi darah. Meskipun mekanisme pembentukan sumbat
trombosit saja sering sudah cukup untuk menambal robekan-robekan kecil di kapiler dan
pembuluh halus lain yang terjadi berkali-kali dalam sehari, lubang yang lebih besar di
pembuluh darah memerlukan pembentukan bekuan darah agar perdarahan dapat
dihentikan seluruhnya (Sherwood, 2011).
2.2.3
Menurut Price dan Wilson (2005), faktor-faktor pembekuan adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Faktor-faktor Pembekuan
Faktor-faktor Pembekuan
I
Fibrinogen: prekursor fibrin (protein terpolimerisasi).
II
Protrombin: prekursor enzim proteolitik trombin dan mungkin akselerator
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
XI
protrombin.
Pendahulu tromboplastin plasma (PTA): suatu faktor plasma yang
XII
XIII
pengaktivasi kontak.
2.3 Gangguan Hemostasis
Menurut Hoffbrand (2005), perdarahan abnormal dapat disebabkan oleh kelainan
vaskuler, trombositopenia, gangguan fungsi trombosit atau gangguan koagulasi.
Pola perdarahan yang terjadi relatif dapat diduga tergantung pada etiologinya.
Kelainan vaskuler dan trombosit cenderung disertai perdarahan dari selaput lendir pada
kulit, sedangkan pada kelainan koagulasi darah sering terjadi pada sendi atau jaringan
lunak (Hoffbrand, 2005).
Kelainan vaskuler adalah sekelompok keadaan heterogen, yang ditandai oleh
mudah memar dan perdarahan spontan dari pembuluh darah kecil. Kelainan yang
mendasari terletak dalam pembuluh darah itu sendiri atau dalam jaringan ikat
perivaskuler. Sebagian besar kasus perdarahan akibat defek vaskuler saja tidak bersifat
parah. Perdarahan yang seringkali terjadi terutama pada kulit menimbulkan petekie,
ekimosis atau keduanya. Pada beberpa kelainan, terdapat juga perdarahan dari selaput
lendir (Hoffbrand, 2005).
Perdarahan abnormal yang berkaitan dengan trombositopenia atau fungsi
trombosit yang abnormal yang ditandai oleh purpura kulit spontan, perdarahan mukosa
dan perdarahan berkepanjangan setelah trauma (Hoffbrand, 2005).
Gangguan pembekuan yang didapat biasanya berkaitan dengan defisiensi berbagai
faktor pembekuan, misalnya defisiensi vitamin K dapat menyebabkan gangguan
pembekuan yang parah, karena zat gizi tersebut esensial untuk sintesis protrombin dan
faktor pembekuan VII, IX dan X. Hati merupakan tempat pembentukan beberapa faktor
pembekuan; oleh karena itu, penyakit parenkim hati sering merupakan penyebab diatesis
perdarahan (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007).
Selain itu dapat terjadi defisiensi herediter dari setiap faktor pembekuan.
Defisiensi ini biasanya terjadi secara tunggal (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007).
Menurut Hoffbrand (2005), penyakit yang sering dijumpai pada kelainan pembekuan
darah herediter adalah hemofilia A, hemofilia B dan penyakit von Willebrand.
2.4 Hemofilia
2.4.1
Definisi Hemofilia
Menurut Price dan Wilson (2005), hemofilia merupakan gangguan koagulasi
herediter atau didapat yang paling sering dijumpai, bermanifestsi sebagai episode
perdarahan intermiten.
Hemofilia adalah diatesis hemoragik herediter akibat defisiensi faktor koagulasi
darah (Dorland, 2011).
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah
yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada kromosom X (Xh). Meskipun
hemofilia merupakan penyakit herediter tetapi sekitar 20-30 % pasien tidak memiliki
riwayat keluarga dengan gangguan pembekuan darah, sehingga diduga terjadi mutasi
spontan akibat lingkungan endogen maupun eksogen (Sudoyo dkk, 2009).
2.4.2
Epidemiologi Hemofilia
Penyakit ini bermanifestasi klinik pada laki-laki. Angka kejadian hemofilia A
sekitar 1:10.000 orang dan hemofilia B sekitar 1:25.000-30.000 orang. Belum ada data
mengenai angka kekerapan di Indonesia, namun diperkirakan sekitar 20.000 kasus dari
200 juta penduduk Indonesia saat ini. Kasus hemofilia A lebih sering dijumpai
dibandingkan hemofilia B, yaitu berturut-turut mencapai 80-85% dan 10-15% tanpa
memandang ras, geografi dan keadaan sosial ekonomi. Mutasi gen secara spontan
diperkirakan mencapai 20-30% yang terjadi pada pasien tanpa riwayat keluarga (Sudoyo
dkk, 2009).
2.4.3
2.4.4
Klasifikasi Hemofilia
Menurut Sudoyo dkk (2009), Legg mengklasifikasikan hemofilia berdasarkan
kadar atau aktivitas faktor pembekuan normal sekitar 0,5-1,5 U/dl (50-150%); sedangkan
pada hemofilia berat bila kadar faktor pembekuan <1 1-5="" 5-30="" akibat="" atau=""
berarti="" berat="" cukup="" dan="" dapat="" ekstraksi="" gigi="" hemofilia="" iris=""
jarang="" jatuh="" kecuali="" kuat="" lain-lain="" luka="" lutut="" mengalami=""
pada="" pasien="" perdarahan="" ringan="" sedang="" sedangkan="" sekali="" sendi=""
seperti="" serta="" siku="" sirkumsisi="" span="" spontan="" terbentur="" terdeteksi=""
terjadi="" tidak="" trauma="" yang="">
Tabel 3. Hubungan Aktivitas Faktor Pembekuan dengan Manifestasi Klinis
Perdarahan
Hubungan aktivitas F VIII dan F XI dengan Manisfestasi Klinis Perdarahan
Berat
Sedang
Ringan
Aktivitas F VIII <0 span="">
0,01-0,05 (1-5)
> 0,05 (>5)
15
15
A (%)
Frekuensi Hemofilia 50
30
20
B (%)
Usia awitan
Gejala neonatus
1 tahun
1-2 tahun
>2 tahun
sering PCB kejadian sering PCB jarang tidak pernah PCB
ICH
Perdarahan otot atau tanpa trauma
ICB
trauma ringan
sendi
Perdarahan SSP
risiko tinggi
Perdarahan
post sering dan fatal
risiko sedang
butuh bebat
jarang
pada operasi besar
operasi
Perdarahan
dapat terjadi
kadang terjadi
lebih
sering
mengalami
hemartrosis
dibanding
sendi
peluru,
karena
Menurut Behrman, Kliegman dan Arvin (1999), ciri khas hemofilia adalah
hemartrosis. Perdarahan ke dalam sendi siku, lutut dan pergelangan kaki menyebabkan
rasa nyeri dan pembengkakan serta pembatasan gerakan sendi.
Hematoma intramuskuler terjadi pada otot-otot fleksor besar, khususnya pada otot
betis, otot-otot regio iliopsoas (sering pada panggul) dan lengan bawah. Hematoma ini
sering menyebabkan kehilangan darah yang nyata, sindrom kompartemen, kompresi saraf
dan kontur otot (Sudoyo dkk, 2009).
2.4.6
Diagnosis Hemofilia
Menurut Sudoyo dkk (2009), sampai saat ini riwayat keluarga masih merupakan
cara terbaik untuk melakukan tapisan pertama terhadap kasus hemofilia, meskipun
terdapat 20-30% kasus hemofilia terjadi akibat mutasi spontan kromosom X pada gen
penyadi F VIII atau F IX. Seseorang anak laki-laki diduga menderita hemofilia jika
terdapat riwayat perdarahan berulang (hemartrosis, hematom) atau riwayat perdarahan
memanjang setelah trauma atau tindakan tertentu dengan atau tanpa riwayat keluarga.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting sebelum memutuskan pemeriksaan
penunjang lainnya.
Kelainan laboratorium ditemukan pada gangguan uji hemostatis, seperti
pemanjangan masa pembekuan (CT) dan masa tromboplastin partial teraktivasi (aPTT),
abnormalitas uji thromboplastin generation, dengan masa perdarahan dan masa
protrombin (PT) dalam batas normal (Sudoyo dkk, 2009).
Diagnosis definitif ditegakkan dengan berkurangnya aktivitas F VIII atau F IX
dan jika sarana pemeriksaan sitogenetik tersedia dapat dilakukan pemeriksaan petanda
gen F VIII atau F IX. Aktivitas F VIII atau F IX dinyatakan dalam U/ml dengan arti
aktivitas faktor pembekuan dalam 1 ml plasma normal adalah 100%. Nilai normal
aktivitas F VIII atau F IX adalah 0,5-1,5 U/ml atau 50-150%. Harus diingat adalah
membedakan hemofilia A dengan penyakit von Willebrand, dengan melihat rasio F
VIIIc : F VIIIag dan aktivitas FvW (uji ristosetin) rendah (Sudoyo dkk, 2009).
Tabel 4. Gambaran Klinis dan Laboratorium
Diagnosis antenatal sebenarnya dapat dilakukan pada ibu hamil dengan risiko.
Pemeriksaan aktivitas F VIII dan kadar antigen F VIII dalam darah janin pada trimester
kedua dapat membantu menentukan status janin terhadap kerentanan hemofilia A.
Identifikasi gen F VIII dan petanda gen tersebut lebih baik dan lebih dianjurkan (Sudoyo
dkk, 2009).
Menurut Sudoyo dkk (2009), seorang perempuan diduga sebagai pembawa sifat
hemofilia (karier) jika dia memiliki lebih dari satu saudara laki-laki dan seorang anak
laki-laki pasien hemofilia atau ayahnya pasien hemofilia.
Deteksi pada hemofilia A karier dapat dilakukan dengan menghitung rasio
aktivitas F VIIIc dengan antigen F VIIIvW. Jika nilai kurang dari 1 memiliki ketepatan
dalam menentukan hemofilia karier sekitar 90%; namun hati-hati pada keadaan hamil,
memakai kontrasepsi hormonal dan terdapatnya penyakit hati karena dapat meningkatkan
aktivitas F VIIIc. Aktivitas F VIII rata-rata pada karier 50% tetapi kadang-kadang < 30%
dan dapat terjadi perdarahan sesudah trauma atau pembedahan. Analisis genetika dengan
menggunakan DNA probe, yaitu dengan cara mencari lokus polimorfik pada kromosom
X akan memberikan informasi yang lebih tepat (Sudoyo dkk, 2009).
2.4.7
Patogenesis Hemofilia
Faktor VIII dan faktor IX diperlukan dalam pembentukan tenase complex yang
akan mengaktifkan faktor X. Defisiensi faktor VIII atau faktor IX mengganggu jalur
intrinsik sehingga menyebabkan berkurangnya pembentukan fibrin. Akibatnya terjadilah
gangguan koagulasi (Bakta, 2006).
2.4.8
Tatalaksana Hemofilia
A. Terapi Suportif
Menurut Sudoyo dkk (2009), pengobatan rasional pada hemofilia adalah
menormalkan kadar faktor anti hemofilia yang berkurang. Namun ada beberapa hal yang
1)
2)
harus diperhatikan:
Melakukan pencegahan baik menghindari luka atau benturan.
Merencanakan suatu tidakan operasi serta mempertahankan kadar aktivitas faktor
5)
6)
B.
C.
Kriopresipitat AHF
Kriopresipitat AHF adalah salah satu komponen darah non seluler yang
merupakan konsentrat plasma tertentu yang mengandung F VIII, fibrinogen dan faktor
von Willebrand. Dapat diberikan apabila konsentrat F VIII tidak ditemukan. Satu kantong
kriopresipitat berisi 80-100 U F VIII. Satu kantong kriopresipitat yang mengandung 100
U F VIII dapat meningkatkan F VIII 35%. Efek samping dapat terjadi reaksi alergi dan
demam (Sudoyo dkk, 2009).
E.
F.
Antifibrinolitik
Preparat antifibrinolitik digunakan pasien hemofilia B utnuk menstabilisasikan
bekuan atau fibrin dengan cara menghambat proses fibrinolisis. Hal ini ternyata sangat
membantu dalam pengelolaan pasien hemofilia dengan perdarahan; terutama pada kasus
perdarahan mukosa mulut akibat ekstraksi gigi karena saliva banyak mengandung enzim
fibrinolitik. Epsilon aminocaproic acid (EACA) dapat diberikan secara oral maupun
intravena dengan dosis awal 200 mg/kgBB, diikuti 100 mg/kgBB setiap 6 jam
(maksimum 5g setiap pemberian). Asam traneksamat diberikan dengan dosis 25
mg/kgBB (maksimum 1,5g) secara oral, atau 10 mg/kgBB (maksimum 1g) secara
intravena setiap 8 jam. Asam traneksamat juga dapat dilarutkan 10% bagian dengan
cairan parenteral, terutama salin normal (Sudoyo dkk, 2009).
G.
Terapi Gen
Penelitian terapi gen dengan mengunakan vektor retrovirus, adenovirus dan
adeno-associated virus memberikan harapan baru bagi pasien hemofilia. Saat ini sedang
intensif dilakukan penelitian invivo dengan memindahkan vektor adenovirus yang
membawa gen antihemofilia ke dalam sel hati. Gen F VIII relatif lebih sulit dibandingkan
gen F IX, karena ukurannya (9 kb) lebih besar; namun akhir tahun 1998 para ahli berhasil
melakukan pemindahan plamid-based factor VIII secara ex vivo ke fibroblas (Sudoyo
dkk, 2009).
2.4.9
Komplikasi Hemofilia
Perdarahan berulang pada hemofilia dapat menyebabkan perubahan degeneratif,
osteoporosis, atrofi otot dan akhirnya sendi yang tidak dapat digunakan atau tidak dapat
digerakkan. Perdarahan intrakranial dan perdarahan ke dalam leher merupakan gawat
darurat yang mengancam nyawa (Behrman, Kliegman dan Alvin, 1999).
Menurut Sudoyo dkk (2009), komplikasi yang sering ditemukan adalah artropati
hemofilia yaitu penimbunan darah intra artikuler yang menetap dengan akibat degenerasi
kartilago dan tulang sendi secara progresif. Hal ini menyebabkan penurunan sampai
rusaknya fungsi sendi. Hemartrosis yang tidak dikelola dengan baik juga dapat
menyebabkan sinovitis kronik akibat proses peradangan jaringan sinovial yang tidak
kunjung henti. Sendi yang sering mengalami komplikasi adalah sendi lutut, pergelangan
kaki dan siku. Perdarahan yang berkepanjangan akibat tindakan medis sering ditemukan
jika tidak dilakukan terapi pencegahan dengan memberikan faktor pembekuan darah bagi
hemofilia sedang dan berat sesuai dengan macam tindakan medis itu sendiri (cabut gigi,
sirkumsisi, apendektomi, operasi intra abdomen atau intra torakal), sedangkan perdarahan
akibat trauma sehari-hari yang tersering berupa hemartrosis, perdarahan intramuskuler
dan hematom. Perdarahan intrakranial jarang terjadi, namun jika terjadi berakibat fatal.
Perdarahan berulang ke dalam sendi menyebabkan degenerasi kartilago artikularis
disertai gejala-gejala artritis (Price dan Wilson, 2005).
Perdarahan jaringan lunak, terutama perdarahan subkutis dan intramuskulus dapat
menyebabkan kerusakan pada otot dan saraf akibat tekanan. Hematoma ke dalam
jaringan lunak kepala dan leher dapat menekan jalan napas dan menyebabkan kematian
melalui asfiksia. Perdarahan ke dalam saluran kemih dan pencernaan sering terjadi, tetapi
biasanya tidak menyebabkan penyulit jangka-panjang. Perdarahan intrakranium, di pihak
lain, kadang-kadang terjadi tanpa predisposisi trauma yang nyata dan dapat sangat
membahayakan (Sacher dan Richard, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.
Behrman, Kliegman dan Arvin. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta:
EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Dorland, W.A. Newman. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.
Hoffbrand, A.V., dkk. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC.
Kumar, Cotran dan Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: EGC.
Price dan Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta: EGC.
Sacher dan Richard. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Jakarta: EGC.
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
InternaPublishing.