Anda di halaman 1dari 5

Manajemen Risiko dalam Keselamatan dan

Kesehatan
Kerja
Pada
Perusahaan Konstruksi
By. Afis pasita, Asrif yanto, Emmi fauzianti, Irna pebrindo & Jesisca sonya
Pendahuluan
Perusahaan Jasa Konstruksi Menurut Porter (1980) perusahaan adalah sekumpulan kegiatan
yang dilaksanakan untuk merancang, memasarkan, mengantarkan, dan mendukung
produknya. Tujuan suatu perusahaan adalah mempertahankan kelangsungan hidup,
melakukan
pertumbuhan,
serta
meningkatkan
profitabilitas.
Tiga tujuan tersebut merupakan pedoman arah strategis semua organisasi bisnis. Perusahaan
yang tidak mampu bertahan hidup tidak akan mampu memberi harapan kepada pihak-pihak
yang
berkepentingan.
Perusahaan yang kompetitif diindikasikan dengan adanya sumber daya manusia yang
mempunyai keterampilan dan kecakapan kerja yang baik dan inovatif, sehingga perusahaan
tidak mengalami kesulitan dalam persaingan bebas. Selain itu harus mempertimbangkan
kualitas kerja, memiliki kecepatan, menghasilkan produk yang efisien serta memperhatikan
kepuasan
pelanggan.
Industri konstruksi merupakan suatu jenis Industri yang dapat dijadikan indikasi pergerakan
roda ekonomi bersama dengan industry-industri yang lain. Industri konstruksi mempunyai
sifat-sifat
antara
lain
:
1.Berorientasi
pada
tenaga
kerja
2.Cenderung
komplek,
banyak
pihak
yang
terlibat
3.Jangka
waktu
pendek
4.Setiap
proyek
adalah
unik
5.Dibangun
dilapangan
dan
banyak
dipengaruhi
lingkungan
sekitar
6.Banyak
dipengaruhi
oleh
lokasi
dan
budaya
setempat
7.Sering
terjadi
permintaan
perubahan
Selain itu industri konstruksi mempunyai karakteristik yang membedakannya dengan industri
lain,
yaitu
:
1.Orang orang yang terlibat dalam proyek seringkali bekerja secara sementara
2.Tiap proyek adalah unik dan perubahan kondisi mengurangi hasil yang ingin dicapai dari
factor-faktor
pendukung
yang
ada.
3.Keorganisasian bersifat sementara dan sebagai akibatnya tidak ada komitmen antara klien
dan penyedia jasa untuk membangun ketrampilan tenaga kerja dan proyek.
Industri konstruksi adalah industri yang mencakup semua pihak yang terkait dengan proses
konstruksi termasuk tenaga profesi, pelaksana konstruksi dan juga para pemasok yang
bersama-sama memenuhi kebutuhan pelaku dalam industri (Hillebrandt 1985). Dibandingkan
dengan industri lain, misalnya industri pabrikan (manufacture), maka bidang konstruksi
mempunyai karakteristik yang sangat spesifik, bahkan unik. Karakteristik usaha jasa
konstruksi
terdiri
dari
:
1.
Produk
jual
sebelum
proses
produksi
dimulai
2.
Produk
bersifat
custom-made
3.
Lokasi
produk
berpindah-pindah

4.
Proses
produk
berlangsung
dialam
terbuka
5.
Penjualan
produk
dilakukan
dialam
terbuka
6. Proses produk melibatkan berbagai jenis peralatan berbagai klasifikasi dan
kualifikasi
tenaga
kerja,
serta
berbagai
tingkatan
teknologi
7. Penawaran suatu pekerjaan konstruksi umumnya berdasarkan pengalaman
melaksanakan pekerjaan sejenis
Kata jasa konstruksi bermakna sangat luas, pada umumnya bidang-bidang jasa konstruksi
meliputi
:
1.
Bidang
perencanaan
(design)
2.
Bidang
pelaksanaan
(construction)
3.
Bidang
pengawasan
(supervision/construction
management)
4.
Bidang
pengelolaan
lahan
(property
management
5. Bidang pengembangan lahan (developer)
Identifikasi
Bahaya
Pelaksanaan konstruksi mempunyai risiko untung atau rugi yang sangat divergen yang semua
baru dapat diketahui pada saat proyek selesai dilaksanakan secara tuntas.
Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia
proyek konstruksi di negara-negara berkembang, terdapat tiga kali lipat tingkat kematian
dibandingkan
dengan
di
negara-negara
maju.
Masalah umum mengenai K3 ini juga terjadi pada penyelenggaraan konstruksi. Tenaga kerja
di sektor jasa konstruksi mencakup sekitar 7-8% dari jumlah tenaga kerja di seluruh sektor,
dan menyumbang 6.45% dari PDB di Indonesia. Sektor jasa konstruksi adalah salah satu
sektor yang paling berisiko terhadap kecelakaan kerja, disamping sektor utama lainnya yaitu
pertanian, perikanan, perkayuan, dan pertambangan.
identifikasi
risiko
tersebut
dapat
dilihat
berdasarkan
fakta
bahwa
:
1.Jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi yang mencapai sekitar 4.5 juta orang,
2.Sebanyak 53% di antaranya hanya mengenyam pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah
Dasar, bahkan sekitar 1.5% dari tenaga kerja ini belum pernah mendapatkan pendidikan
formal
apapun.
3.Sebagai besar dari mereka juga berstatus tenaga kerja harian lepas atau borongan yang tidak
memiliki ikatan kerja yang formal dengan perusahaan. Kenyataan ini tentunya mempersulit
penanganan masalah K3 yang biasanya dilakukan dengan metoda pelatihan dan penjelasanpenjelasan mengenai Sistem Manajemen K3 yang diterapkan pada perusahaan konstruksi
4.Sumber daya manusia yang bersifat sementara selama proyek berlangsung,
5.Proyek bersifat unik karena tidak ada proyek yang sama satu dengan yang lain,
6.Keorganisasian proyek bersifat sementara.
Sifat sifat dalam proyek konstruksi ini berpotensi mengakibatkan terjadinya hal hal yang
tidak diinginkan menjadi resiko. Resiko tersebut ada dalam semua aspek yang membutuhkan
perencanaan dan pengaturan , akan tetapi kompleksitas dan tingkat risiko dalam tiap-tiap
pekerjaan sangat variatif tergantung seberapa besar pekerjaan dan bidang yang dijalankan.
Resiko dan ketidak pastian ada dalam semua aspek pekerjaan konstruksi tanpa melihat
ukuran , kompleksitas, lokasi, sumber daya , maupun kecepatan konstruksi suatu proyek . Hal
yang terpenting bahwa persepsi terhadap resiko adalah factor kunci dalam membuat
keputusan dan harus diperhitungkan dalam semua prosedur penilaian resiko yang harus
dikelola.
Penilaian Risiko Kecelakaan Kerja Pada Proyek Konstruksi
Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor industri yang memiliki risiko kecelakaan
kerja yang cukup tinggi. Berbagai penilaian dapat dilakukan dalam hal penyebab utama
kecelakaan
kerja
pada
proyek
konstruksi
adalah
:

1.Karakteristik
proyek
konstruksi
yang
bersifat
unik,
2.Lokasi
kerja
yang
berbeda-beda,
terbuka
dan
dipengaruhi
cuaca,
3.Waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis dan menuntut ketahanan fisik yang tinggi,
4.Banyak
menggunakan
tenaga
kerja
yang
tidak
terlatih.
5.Manajemen keselamatan kerja yang sangat lemah, akibatnya para pekerja bekerja dengan
metoda pelaksanaan konstruksi yang berisiko tinggi.
Risiko
Kecelakaan
Kerja
Pada
Proyek
Konstruksi
Pekerjaan-pekerjaan yang paling berbahaya adalah pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian
dan pekerjaan galian. Pada ke dua jenis pekerjaan ini kecelakaan kerja yang terjadi cenderung
serius bahkan sering kali mengakibatkan cacat tetap dan kematian. Jatuh dari ketinggian
adalah risiko yang sangat besar dapat terjadi pada pekerja yang melaksanakan kegiatan
konstruksi pada elevasi tinggi. Biasanya kejadian ini akan mengakibat kecelakaan yang fatal.
Sementara risiko tersebut kurang dihayati oleh para pelaku konstruksi, dengan sering kali
mengabaikan penggunaan peralatan pelindung (personal fall arrest system) yang sebenarnya
telah diatur dalam pedoman K3 konstruksi.
Jenis-jenis kecelakaan kerja akibat pekerjaan galian dapat berupa tertimbun tanah, tersengat
aliran listrik bawah tanah, terhirup gas beracun, dan lain-lain. Bahaya tertimbun adalah risiko
yang sangat tinggi, pekerja yang tertimbun tanah sampai sebatas dada saja dapat berakibat
kematian. Di samping itu, bahaya longsor dinding galian dapat berlangsung sangat tiba-tiba,
terutama apabila hujan terjadi pada malam sebelum pekerjaan yang akan dilakukan pada pagi
keesokan harinya. Data kecelakaan kerja pada pekerjaan galian di Indonesia belum tersedia,
namun sebagai perbandingan, Hinze dan Bren (1997) mengestimasi jumlah kasus di Amerika
Serikat yang mencapai 100 kematian dan 7000 cacat tetap per tahun akibat tertimbun longsor
dinding galian serta kecelakaan-kecelakaan lainnya dalam pekerjaan galian.
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja berdampak ekonomis yang cukup signifikan.
Setiap kecelakaan kerja dapat menimbulkan berbagai macam kerugian. Di samping dapat
mengakibatkan korban jiwa.
Pengelolaan
risiko
Sumber daya manusia didalam organisasi harus dikelola dengan baik, Pengelolaan sumber
daya
manusia
dalam
organisasi
terdiri
dari
:
1.Pengadaan
personil
2.Pengembangan
personil
melalui
pelatihan
dan
pendidikan
3.Pemberian
imbalan
4.Integrasi
personil
kedalam
organisasi
5.Pemeliharaan
terhadap
personil
yang
ada
6.Pemberhentian personil
Langkah-langkah yang dapat di tempuh dalam menanggulangi kecelakaan kerja di industri :
1.
Peraturan
Perundang-undangan.
Untuk memperkecil risiko kecelakaan kerja, sejaka awal tahun 1980an pemerintah telah
mengeluarkan suatu peraturan tentang keselamatan kerja khusus untuk sektor konstruksi,
yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per-01/Men/1980. Adanya
ketentuan dan syarat Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selalu mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi. Penerapan semua ketentuan dan persyaratan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
semenjak tahap perencanaan. Penyelenggaraan pengawasan pelaksanaan K3 langsung di
tempat
kerja.
2.
Standarisasi.
Penyusunan standar tertentu yang bertalian dengan konstruksi dan keadaan yang aman dari

peralatan industri, Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau alat pelindung diri. Dengan adanya
standar K3 yang baik dan maju akan menentukan tingkat kemajuan Keselamatan dan
Kesehatan
Kerja.
3.
Inspeksi
/
Pengawasan.
Pada dasarnya merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka pemeriksaan dan pengujian
terhadap keadaan tempat kerja, mesin, pesawat, alat dan instalasi, sejauh mana masalah ini
masih memenuhi ketentuan dan persyaratan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
4.
R
i
s
e
t.
Riset dapat meliputi antara lain : teknis, medis, psychologis dan statistik, yang dimaksudkan
untuk menunjang tingkat kemajuan bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja sesuai
perkembangan
ilmu
pengetahuan
teknik
dan
teknologi.
5.
Pendidikan
dan
Latihan.
Dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran akan arti pentingnya Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, disamping meningkatkan kualitas pengetahuan dan ketrampilan
Keselamatan
dan
Kesehatan
Kerja.
6.
P
e
r
s
u
a
s
i.
Pendekatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja secara pribadi dengan tidak menerapkan dan
memaksakan
melalui
sangsi

sangsi.
7. A s u r a n s i.
Dapat diterapkan misalnya dengan cara premi yang lebih rendah terhadap perusahaan yang
memenuhi syarat Keselamatan dan Kesehatan Kerja mempunyai tingkat kekerapan (FR) dan
Keparahan kecelakaan (SR) yang rendah di perusahaannya. Penanganan masalah kecelakaan
kerja juga didukung oleh adanya UU No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Berdasarkan UU ini, jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) adalah perlindungan bagi tenaga
kerja dalam bentuk santunan uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau
berkurang dan pelayanan sebagai akibat dari suatu peristiwa atau keadaan yang dialami oleh
tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, tua dan meninggal dunia.
Jamsostek kemudian diatur lebih lanjut melalui PP No. 14/1993 mengenai penyelenggaraan
jamsostek di Indonesia. Kemudian, PP ini diperjelas lagi dengan Peraturan Menteri Tenaga
Kerja RI No. PER-05/MEN/1993, yang menunjuk PT. ASTEK (sekarang menjadi PT.
Jamsostek), sebagai sebuah badan (satu-satunya) penyelenggara jamsostek secara nasional.
Sebagai penyelenggara asuransi jamsostek, PT. Jamsostek juga merupakan suatu badan yang
mencatat kasus-kasus kecelakaan kerja termasuk pada proyek-proyek konstruksi melalui
pelaporan klaim asusransi setiap kecelakaan kerja terjadi. Melalui Keputusan Menteri Tenaga
Kerja No. KEP-196/MEN/1999, berbagai aspek penyelenggaraan program jamsostek diatur
secara khusus untuk para tenaga kerja harian lepas, borongan, Tantangan Masalah
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia dan perjanjian kerja
waktu tertentu, pada sektor jasa konstruksi. Karena pekerja sektor jasa konstruksi sebagian
besar berstatus harian lepas dan borongan, maka KepMen ini sangat membantu nasib mereka.
Para pengguna jasa wajib mengikutsertakan pekerja-pekerja lepas ini dalam dua jenis
program jamsostek yaitu jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Apabila mereka
bekerja lebih dari 3 bulan, pekerja lepas ini berhak untuk ikut serta dalam dua program
tambahan lainnya yaitu program jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan.
PENUTUP
Dari uraian mengenai berbagai aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
penyelenggaraan konstruksi di Indonesia, dapat diambil kesimpulan bahwa bebagai masalah
dan tantangan yang timbul tersebut berakar dari rendahnya taraf kualitas hidup sebagian besar
masyarakat. Dari sekitar 4.5 juta pekerja konstruksi Indonesia, lebih dari 50% di antaranya
hanya mengenyam pendidikan maksimal sampai dengan tingkat Sekolah Dasar. Mereka
adalah tenaga kerja lepas harian yang tidak meniti karir ketrampilan di bidang konstruksi,

namun sebagian besar adalah para tenaga kerja dengan ketrampilan seadanya dan masuk ke
dunia jasa konstruksi akibat dari keterbatasan pilihan hidup.
Permaslahan K3 pada jasa konstruksi yang bertumpu pada tenaga kerja berkarakteristik
demikian, tentunya tidak dapat ditangani dengan cara-cara yang umum dilakukan di negara
maju. Langkah pertama perlu segera diambil adalah keteladanan pihak Pemerintah yang
mempunyai fungsi sebagai pembina dan juga the biggest owner. Pihak pemilik proyek lah
yang memiliki peran terbesar dalam usaha perubahan paradigma K3 konstruksi. Dalam
penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi yang didanai oleh APBN/APBD/Pinjaman Luar
Negeri, Pemerintah antara lain dapat mensyaratkan penilaian sistem K3 sebagai salah satu
aspek yang memiliki bobot yang besar dalam proses evaluasi pemilihan penyedia jasa. Di
samping itu, hal yang terpenting adalah aspek sosialisasi dan pembinaan yang terus menerus
kepada seluruh komponen Masyarakat Jasa Konstruksi, karena tanpa program-program yang
bersifat partisipatif, keberhasilan penanganan masalah K3 konstruksi tidak mungkin tercapai.
DAFTAR
PUSTAKA
Warta
Ekonomi,
K3
Masih
Dianggap
Remeh,
2
Juni
2006
Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja No. Kep.
174/MEN/1986-104/KPTS/1986: Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat
Kegiatan
Konstruksi.
Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 384/KPTS/M/2004 Tentang
Pedoman Teknis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi
Bendungan.
Hinze, J., and Bren, K. (1997). The Causes of Trenching Related Fatalities and Injuries,
Proceedings of Construction Congress V: Managing Engineered Construction in Expanding
Global
Markets,
ASCE,
pp
389-398.
Keppres RI No.22 Tahun 1993 Tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja.
King, R.W. and Hudson, R. (1985). Construction Hazard and Safety Handbook: Safety.
Butterworths,
England.
Occupational Safety and Health Administration (Revisi 2000). Occupational Safety and
Health Standards for the Construction Industry (29 CFR Part 1926) U.S. Department of
Labor.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-01/MEN/1980 Tentang
Keselamatan
dan
Kesehatan
Kerja
pada
Konstruksi
Bangunan.
Peraturan Pemerintah RI No. 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Sosial
Tenaga
Kerja.
Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja No.
Diposkan 9th September 2012 oleh setiyo utomo

Anda mungkin juga menyukai