PENDAHULUAN
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama
karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi.
Sindrom koroner akut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi Unstable Angina Pektoris
(UAP), ST-segment Elevation Myocardial Infarct (STEMI) dan Non ST-segment Elevation
Myocardial Infarct (NSTEMI). SKA tipe STEMI sering menyebabkan kematian mendadak,
sehingga merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan tindakan medis
secepatnya.6
Satu juta orang di Amerika Serikat diperkirakan menderita infark miokard akut (IMA)
tiap tahunnya dan 300.000 orang meninggal karena infark miokard akut sebelum sampai ke
rumah sakit.3 Penyakit jantung cenderung meningkat sebagai penyebab kematian di
Indonesia.
Angka mortalitas dan morbiditas komplikasi IMA yang masih tinggi dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keterlambatan mencari pengobatan, kecepatan serta
ketepatan diagnosis dan penanganan dokter yang menangani. Kecepatan penanganan dinilai
dari time window antara onset nyeri dada sampai tiba di rumah sakit dan mendapat
penanganan di rumah sakit. Apabila time window berperan dalam kejadian komplikasi, maka
perlu dikaji apa saja yang menjadi faktor keterlambatannya. Ketepatan dinilai dari modalitas
terapi yang dipilih oleh dokter yang menangani. Evaluasi tentang kecepatan dan ketepatan
penanganan terhadap pasien IMA diperlukan untuk mencegah timbulnya komplikasi.
Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan segera yaitu tindakan
reperfusi, berupa terapi fibrinolitik maupun Percutaneous Coronary Intervention (PCI), yang
diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam. Pada pasien STEMI yang datang
terlambat (>12 jam) dapat dilakukan terapi reperfusi bila pasien masih mengeluh nyeri dada
yang khas infark (ongoing chest pain).
BAB I
LAPORAN KASUS
I.1. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. P
Usia
: 64 tahun
Alamat
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
: Supir
Status Marital
: Menikah
Agama
: Islam
Kelompok Pasien
: BPJS umum
Waktu Masuk
: 3/8/2016
: Tidak tahu
Riwayat Hipertensi
: Tidak tahu
Riwayat Alergi
: Disangkal
Riwayat Stroke
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
Hipertensi
: Tidak tahu
Asma
: Disangkal
Diabetus melitus
: Disangkal
: Disangkal
Minum alkohol
: Disangkal
Penggunaan narkoba
: Disangkal
Riwayat olahraga
: Jarang berolahraga
Diet
Kesadaran
: Compos mentis
Status Gizi
: BB : 65 kg
TB : 168 cm
BMI : 23,030
3
Kesan normoweight
Tanda vital
: TD : 150/105 mmHg
Nadi: 70 x/menit, pulsus alternans
Suhu: 36,40C, RR: 24x/menit
Kulit
Kepala
Wajah
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Lehe
Thorak
Pulmo
I : Normochest, dinding dada simetris
P : ekspansi dada simetris
P : Sonor di kedua lapang paru
A : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor
I : Tidak tampak ictus cordis
P : Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
P : Batas Kiri atas ICS II linea parasternal sinistra
Batas Kanan atas ICS II linea parasternal dextra
Batas kiri bawah ICS IV linea midclavicula
Batas kanan bawah ICS IV linea stemalis dextra
A : BJ I dan II reguler, Gallop -/-, Murmur -/Abdomen
:
I : Perut datar
A : Bising usus (+) normal
P : Dinding perut supel, turgor kulit baik, hepatomegali (-), spleenomegali (-), nyeri
tekan (-)
P : Timpani
Ekstremitas
Interpretasi EKG :
Irama
: Sinus ryhthm,
Rate
: 65x/menit, reguler
Axis
: normal axis
HASIL
NILAI RUJUKAN
Hemoglobin
11,6
Lekosit
8.500
4.800-10.800/uL
Hematokrit
38,0
L : 40-54 P: 35-47 %
Trombosit
231.000
150.000-400.000 / uL
HASIL
NILAI RUJUKAN
Glukosa sewaktu
188
Kolesterol total
180
Trigliserida
99
Urea
39
15-39 mg/dl
Kreatinin
2,06
SGOT
108
<65 U/L
SGPT
54
<50 U/L
Uric acid
I.2.4. PLANNING
Ruang rawat : ICU
1. Farmakologi
Terapi awal di IGD :
O2 3 Lpm
Aspilet 2 x 80 mg
ISDN 3 x 5 mg
Captopril 3 x 25 mg
Bisoprolol 1 x 2,5 mg
Clopidogrel 1 x75 mg
Simvastatin 1 x 5 mg
Diazepam 1 x 5 mg (malam)
2. Non Farmakologi
Pasang DC
Tirah baring dan monitor EKG, observasi keluhan dan tanda vital
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infark Miokard Akut (IMA)
2.1.1 Definisi, etiologi, faktor risiko, dan patofisiologi
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di
sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau
alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan
mengalami infark.12
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarct)
merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina
pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.11
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana
injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.11
Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia, jenis
kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang masih dapat diubah,
sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik, antara lain kadar serum lipid,
hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh,
9
Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) : oklusi total dari arteri koroner yang
menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium,
yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.
Infark miokard akut non ST-elevasi (NSTEMI) : oklusi sebagian dari arteri
10
ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala dan lebih dari
separuhnya terjadi pada jam pertama, sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada
pasien yang dicurigai STEMI antara lain7,11,16 :
1) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
2) Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi
3) Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf
medis dokter dan perawat yang terlatih.
4) Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien disebabkan oleh lamanya waktu
mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini dapat
diatasi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai
pentingnya tatalaksana dini.11,16
Pemberian fibrinolitik pre hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedik di
ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan EKG dan managemen STEMI serta
ada kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi.7,11,16
2.1.7.1.2 Tatalaksana di ruang emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien
risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien
dengan STEMI.7,11,16
2.1.7.1.3 Tatalaksana umum
1)
2)
3)
Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
4)
Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis
13
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg.
5)
Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian
penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg
tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit,
tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm
dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral
dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.7,11
2.1.7.1.4 Tatalaksana di rumah sakit
ICCU
1)
2)
Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12
jam karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard.
3)
4)
2.1.8
1)
Komplikasi IMA
Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan ketebalan
pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal
jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan
ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks
ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih
14
Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di
rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark)
dan sesudahnya. 11
3)
Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi
selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.11
4)
5)
2.1.9 Prognosis
15
Definisi
Mortalitas (%)
kongestif
+S3 dan atau ronki basah
6
17
III
Edema paru
30-40
IV
Syok kardiogenik
60-80
dikerjakan.11
2.2.1.1
koroner
perkutan
(angioplasti
atau
stenting)
tanpa
didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan perfusi
pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih
efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan
outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. 11,16 PCI primer lebih
dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan
meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih
matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal
personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di
beberapa rumah sakit.11,16
2.2.1.2
Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to needle
time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya adalah merestorasi
patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain
tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang
bekerja dengan memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan
trombus fibrin.11,16
Aliran di dalam arteri koroner yang terlibat digambarkan dengan skala kualitatif
sederhana dengan angiografi, disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading
system :
1) Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena
infark.
2) Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi
tetapi tanpa perfusi vaskular distal.
3) Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke arah distal
tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri normal.
4) Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan
17
aliran normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 karena perfusi penuh pada arteri
koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya
infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri, dan menurunkan laju mortalitas, 11 selain itu,
waktu merupakan faktor yang menentukan dalam reperfusi, fungsi ventrikel kiri, dan
prognosis penderita. Keuntungan ini lebih nyata bila streptokinase diberikan dalam 6 jam
pertama setelah timbulnya gejala, dengan anjuran pemberian streptokinase sedini mungkin
untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin.17
Indikasi terapi fibrinolitik : 11
Kelas I :
1) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien
STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan elevasi ST > 0,1 mV pada minimal 2
sandapan prekordial atau 2 sandapan ekstremitas
2) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik diberikan pada pasien STEMI
dengan onset gejala < 12 jam dan LBBB baru atau diduga baru.
Kelas II a
1) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada pasien
STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan EKG 12 sandapan konsisten dengan
infark miokard posterior.
2) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada pasien
STEMI dengan onset mulai dari < 12 jam sampai 24 jam yang mengalami
gejala iskemi yang terus berlanjut dan elevasi ST 0,1 mV pada sekurangkurangnya 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau minimal 2 sandapan
ekstremitas.
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi
segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik tidak menunjukkan
hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska CABG datang dengan IMA, cara reperfusi
yang lebih disukai adalah PCI.
Kontraindikasi terapi fibrinolitik : 11
Kontraindikasi absolut :
18
1)
2)
3)
4)
Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam
5)
6)
7)
Kontraindikasi relatif :
1) Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2) Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau TDS>110 mmHg)
3) Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui patologi
intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
4) Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi besar (<3
minggu)
5) Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6) Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7) Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya atau reaksi
alergi sebelumnya terhadap obat ini
8) Kehamilan
9) Ulkus peptikum aktif
Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang pernah
terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena
terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup
harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakranial yang rendah.9
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies to Open
Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari
sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun, tPA
harganya lebih mahal disbanding SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit
lebih tinggi.18
19
diberikan
terapi
dengan
menggunakan
anti-platelet
(aspirin,
clopidogrel,
Blocker.7,8,9
20
1) Anti trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI berperan
dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Aspirin
merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Menurut penelitian ISIS-2 pemberian aspirin
menurunkan mortalitas vaskuler sebesar 23% dan infark non fatal sebesar 49%.21
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi trombosis
pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan abciximab
dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan hasil penurunan kematian, reinfark, atau
revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stenting. 22
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractionated
heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan
obat trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan memantapkan serta
mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah
bolus 60 U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000
U/jam). Activated partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai
1,5-2 kali.11
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif,
riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan
risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus mendapatkan terapi antitrombin kadar
terapetik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3
bulan.11
2) Thienopiridin
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien dengan
hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang menjalani reperfusi
primer atau fibrinolitik.7,8
Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators mempelajari
pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI yang mendapat perawatan
dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan penurunan kejadian kasus jantung dan
pembuluh darah serebral (kematian, reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam
penurunan kematian terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang
memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi (18%).
3) Penyekat Beta
21
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu manfaat yang
terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika
obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Penyekat beta intravena
memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri,
mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.11
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk
yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien
dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung,
hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).11
4) Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan manfaat
terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian
SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE pada pasien dengan risiko
tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau fungsi
ventrikel kiri menurun global). Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang
mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI. Pemberian
inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung,
pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri
secara global, atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif. 11
22
BAB III
ANALISA KASUS
S (Subjektif)
Pada pasien terdapat gejala nyeri dada kiri dengan onset mendadak, dengan
karakteristik sakit dada seperti tertindih, menjalar ke bahu kiri, nyeri berlangsung lebih dari
20 menit, dan disertai gejala lain seperti berkeringat dan mual. Nyeri dada tidak dicetuskan
oleh aktivitas fisik, emosi, tidak bersifat sangat hebat seperti dirobek, dan tidak bertambah
berat apabila pasien batuk. Dari karakteristik gejala, infark miokard akut dapat dipikirkan
menjadi penyebab timbulnya keluhan nyeri dada pada pasien. Nyeri dada yang dialami oleh
pasien yang mengalami infark miokard akut menggambarkan suatu gejala klasik angina
pectoris, namun dengan kualitas yang lebih berat, lebih lama, dan menjalar lebih luas. Sensasi
yang timbul merupakan hasil pelepasan mediator-mediator seperti adenosine dan laktat dari
sel-sel miokard yang mengalami iskemia. Mediator-mediator ini kemudian akan merangsang
ujung-ujung saraf sensoris di daerah tersebut. Karena iskemia yang terjadi pada infark
miokard akut terjadi terus-menerus dan berlanjut menjadi nekrosis, substansi-substansi
tersebut berakumulasi dan mengaktivasi saraf-saraf aferen dalam waktu yang lebih lama.
Penjalaran sering terjadi sepanjang regio dermatom C7 T4, termasuk leher, bahu, dan
lengan.2 Sensasi nyeri dapat menjalar sampai setinggi oksipital namun tidak pernah sampai
melewati umbilikus.3
Pada pasien ini selain sakit dada, juga terdapat gejala lain seperti keringat dingin dan
mual. Keringat dingin dan mual termasuk gejala-gejala sistemik otonom yang disebabkan
oleh peningkatan respons saraf simpatis. Peningkatan tonus saraf simpatis terjadi melalui
pelepasan katekolamin endogen sebagai respon terhadap kombinasi ketidaknyamanan yang
terus menerus (intense discomfort) dan rangsangan terhadap baroreseptor. Faktor-faktor
risiko perlu dicari apabila menghadapi kasus keluhan nyeri dada. Karena dengan
ditemukannya faktor-faktor risiko tersebut, maka diagnosis SKA menjadi lebih kuat. Adapun
faktor-faktor risiko pada pasien tersebut adalah sebagai berikut. :
23
secara spontan, atau dipercepat dengan pemberian atropine IV (0,5-1 mg), dan memposisikan
pasien dalam posisi Trendelenburg. Kadang-kadang, lebih dari setengah pasien dengan
STEMI inferior terjadi stimulasi parasimpatis yang berlebihan, berupa hipotensi dan
bradikardi. Sebaliknya setengah pasien dengan STEMI anterior terlihat peningkatan stimulasi
simpatis meliputi hipertensi dan takikardi. Pada kebanyakan pasien dengan STEMI yang luas
dapat terjadi demam. Demam yang terjadi merupakan respon non-spesifik terhadap nekrosis
jaringan, dalam 24-48 jam sejak awitan infark. Terjadi pelepasan sitokin seperti interleukin
1(IL-1), dan tumor necrosis factor (TNF) dari makrofag dan endotel vaskular seagai respon
terhadap kerusakan jaringan. Suhu tubuh mulai meningkat dalam 4-8 jam setelah onset
infark, dimana suhu rektal dapat mencapai 38,3-38,9 C. Suhu tubuh biasa kembali normal
pada hari keempat atau kelima setelah awitan infark.2
Frekuensi nafas dapat meningkat sedikit segera mengikuti perkembangan STEMI. Pada
pasien yang datang tanpa gagal jantung, hal ini disebabkan oleh kegelisahan dan sensasi nyeri
yang ada. Pada pasien dengan gagal jantung kiri, frekuensi nafas berkorelasi dengan derajad
berat dari gagal jantung yang terjadi. Pasien dengan edema paru dapat datang dengan
frekuensi napas lebih dari 40 kali/menit.
Pada pasien ini pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan keadaan umum pasien yang
tampak gelisah. Tanda-tanda vital pada pasien dalam batas normal, dan tidak didapatkan
tandatanda gagal jantung akut pada pasien berupa penampakan sesak, sianosis, ataupun
ronkhi pada auskultasi paru. Namun pada pasien terdapat tanda peningkatan stimulasi otonom
berupa kulit teraba lembab dan berkeringat. Namun tidak terdapat tanda-tanda hipoperfusi
end-organ, berupa akral dingin dan capillary refill time yang melambat
Kelainan pada pemeriksaan elektrokardiografi menggambarkan aktivitas listrik
abnormal yang terjadi akibat SKA. Penilaian ST elevasi dilakukan pada J-point dan
ditemukan pada 2 lead yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis
STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar lead adalah 0,1mV. Pada lead V1-V3
nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai
ambang elevasi segmen ST di lead V1-V3 untuk pria usia 40 tahun adalah 0,2 mV, pada
pria usia kurang dari 40 tahun adalah 0,25mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang
elevasi segmen ST di lead V1-V3 tanpa memandang usia adalah 0,15mV. Bagi pria dan
wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sandapan V3R dan V4R adalah 0,05mV, kecuali
pria usia kurang dari 30 tahun, nilai ambang 0,1mV dianggap lebih tepat.4
Depresi segmen ST yang resiprokal, sandapan yang berhadapan dengan permukaan
tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di
25
gambaran EKG diagnostik, walau hasil cardiac marker belum tersedia, pasien dapat
ditetapkan sebagai definitif SKA.
P (Planning)
1. Farmakologi
Terapi awal di IGD :
O2 3 Lpm
Aspilet 2 x 80 mg
ISDN 3 x 5 mg
Captopril 3 x 25 mg
Bisoprolol 1 x 2,5 mg
Clopidogrel 1 x75 mg
26
Simvastatin 1 x 5 mg
Diazepam 1 x 5 mg (malam)
2. Non Farmakologi
Pasang DC
Tirah baring dan monitor EKG, observasi keluhan dan tanda vital
Berdasarkan hal ini maka perlu diberikan terapi awal (initial management). Menurut
ACLS AHA 2010, dijelaskan bahwa pemberian terapi awal berupa morfin, oksigen, nitrat,
aspirin (MONA) dikerjakan secara simultan bersamaan dengan proses penentuan diagnosis
pada pasien dengan keluhan sugestif iskemia atau infark jantung.8
Berdasarkan pedoman tatalaksana sindrom koroner akut menurut PERKI yang
dimaksud terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
kemungkinan SKA atau definitif SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat,
sebelum ada pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung (cardiac marker). Patut diketahui
bahwa terapi awal merupakan tatalaksana yang sangat penting pada pasien-pasien dengan
SKA. Dokter umum sebagai penyedia pelayanan primer memiliki peran yang sangat besar
dalam membantu penanganan SKA. Hal ini disebabkan mereka sering menjadi tenaga medis
pertama (first medical contact) yang menghadapi pasien dengan SKA. Sebelum sampai di
fasilitas kesehatan yang mampu melakukan tatalaksana lanjut, pasien dengan dugaan SKA
harus diberikan terapi awal, karena telah terbukti bahwa terapi ini dapat menurunkan angka
mortalitas SKA sampai dengan di atas 50%.9
Adapun terapi awal yang diberikan pada pasien ini adalah sebagai berikut.
Tirah baring
Tirah baring dilakukan disertai monitor EKG secara kontinyu untuk
mendeteksi kejadian iskemia dan aritmia pada pasien-pasien dengan gejala
disertai gagal jantung, dan infark ventrikel kanan. (Kelas III-C) . Nitrat juga
tidak boleh diberikan pada pasien yang baru mengkonsumsi obat-obatan yang
mengandung inhibitor fosfodiesterase yaitu sidenafil dalam 24 jam, dan tadafil
dalam 48 jam.
29
hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi
untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100mg/dL (Kelas I-A).
Diazepam 1 x 5 mg
Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan periode
inaktivitas dengan penenang.
Bisoprolol 1 x 2,5 mg
Penyekat beta memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard,
mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko
kejadian aritmia ventrikel yang serius kecuali pada pasien dengan
kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri
sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).
30
DAFTAR PUSTAKA
31
32
33