Anda di halaman 1dari 33

1

PENDAHULUAN
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama
karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi.
Sindrom koroner akut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi Unstable Angina Pektoris
(UAP), ST-segment Elevation Myocardial Infarct (STEMI) dan Non ST-segment Elevation
Myocardial Infarct (NSTEMI). SKA tipe STEMI sering menyebabkan kematian mendadak,
sehingga merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan tindakan medis
secepatnya.6
Satu juta orang di Amerika Serikat diperkirakan menderita infark miokard akut (IMA)
tiap tahunnya dan 300.000 orang meninggal karena infark miokard akut sebelum sampai ke
rumah sakit.3 Penyakit jantung cenderung meningkat sebagai penyebab kematian di
Indonesia.
Angka mortalitas dan morbiditas komplikasi IMA yang masih tinggi dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keterlambatan mencari pengobatan, kecepatan serta
ketepatan diagnosis dan penanganan dokter yang menangani. Kecepatan penanganan dinilai
dari time window antara onset nyeri dada sampai tiba di rumah sakit dan mendapat
penanganan di rumah sakit. Apabila time window berperan dalam kejadian komplikasi, maka
perlu dikaji apa saja yang menjadi faktor keterlambatannya. Ketepatan dinilai dari modalitas
terapi yang dipilih oleh dokter yang menangani. Evaluasi tentang kecepatan dan ketepatan
penanganan terhadap pasien IMA diperlukan untuk mencegah timbulnya komplikasi.
Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan segera yaitu tindakan
reperfusi, berupa terapi fibrinolitik maupun Percutaneous Coronary Intervention (PCI), yang
diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam. Pada pasien STEMI yang datang
terlambat (>12 jam) dapat dilakukan terapi reperfusi bila pasien masih mengeluh nyeri dada
yang khas infark (ongoing chest pain).

BAB I
LAPORAN KASUS
I.1. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. P

Usia

: 64 tahun

Alamat

: Rempoah 06/03, Baturaden

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Pendidikan

: SD

Pekerjaan

: Supir

Status Marital

: Menikah

Agama

: Islam

Kelompok Pasien

: BPJS umum

Waktu Masuk

: 3/8/2016

I.2. DATA DASAR


I.2.1. Anamnesis (Subjektif)
Autoanamnesis tanggal 3 Agustus 2016 pukul 07.15 di ruang IGD
Keluhan Utama : Nyeri dada kiri
Keluhan tambahan : Sesak napas, lemas, mual, keringat dingin
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan merasa nyeri pada dada kiri
timbul mendadak ketika pasien sedang menyupir dan tidak membaik dengan
istirahat, dengan karakteristik sakit dada seperti tertindih, menjalar ke bahu kiri,
nyeri berlangsung lebih dari 20 menit, dan disertai gejala lain seperti berkeringat
dan mual. Nyeri dada tidak dicetuskan oleh aktivitas fisik, emosi, tidak bersifat
sangat hebat seperti dirobek, dan tidak bertambah berat apabila pasien batuk.
Keluhan nyeri dada tidak didahului keluhan nyeri pada daerah perut ataupun
daerah ulu hati. Pasien juga merasa sesak, dirasakan muncul bersamaan dengan
keluhan nyeri dada. Sesak tidak disertai mengi, demam, mual dan muntah. Pasien
merasa tubuhnya lemas, mual dan keluar keringat dingin bersamaan dengan
timbulnya nyeri dada. Buang air kecil dan buang air besar dalam batas normal.
Pasien tidak pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya.
2

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat Penyakit Diabetes

: Tidak tahu

Riwayat Hipertensi

: Tidak tahu

Riwayat Alergi

: Disangkal

Riwayat Stroke

: Disangkal

Riwayat Penyakit ginjal

: Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluarga pasien memiliki keluhan yang sama seperti pasien.
Penyakit jantung

: Disangkal

Hipertensi

: Tidak tahu

Asma

: Disangkal

Diabetus melitus

: Disangkal

Riwayat Penyakit Jantung

: Disangkal

Riwayat Penggunaan Obat


Alergi obat : Pasien belum minum obat untuk keluhannya saat ini
Pasien juga tidak mengkonsumsi obat untuk keluhan hipertensinya
Riwayat Pribadi Sosial dan Ekonomi
Merokok

: Pasien merokok + 1 bungkus/hari

Minum alkohol

: Disangkal

Penggunaan narkoba

: Disangkal

Riwayat olahraga

: Jarang berolahraga

Diet

: Sering makan makanan yang berlemak dan gorengan

I.2.2. PEMERIKSAAN FISIK (Obyektif)


Tanggal 3 Agustus 2016
Keadaan umum

: Tampak sesak dan kesakitan

Kesadaran

: Compos mentis

Status Gizi

: BB : 65 kg
TB : 168 cm
BMI : 23,030
3

Kesan normoweight
Tanda vital

: TD : 150/105 mmHg
Nadi: 70 x/menit, pulsus alternans
Suhu: 36,40C, RR: 24x/menit

Kulit

: Sawo matang, ikterik (-)

Kepala

: Normocephal, rambut hitam, distribusi merata

Wajah

: Simetris, ekspresi gelisah

Mata

: Edema palpebra -/-, conjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-

Telinga

: Bentuk normal, simetris, lubang lapang, serumen -/-

Hidung

: Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, sekret -/-

Mulut

: Mukosa bibir basah, faring tidak hiperemis, Tonsil T1-T1

Lehe

: Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada


deviasi trakhea, tidak teraba pembesaran KGB

Thorak

: Retraksi suprasternal (-)

Pulmo
I : Normochest, dinding dada simetris
P : ekspansi dada simetris
P : Sonor di kedua lapang paru
A : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor
I : Tidak tampak ictus cordis
P : Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
P : Batas Kiri atas ICS II linea parasternal sinistra
Batas Kanan atas ICS II linea parasternal dextra
Batas kiri bawah ICS IV linea midclavicula
Batas kanan bawah ICS IV linea stemalis dextra
A : BJ I dan II reguler, Gallop -/-, Murmur -/Abdomen

:
I : Perut datar
A : Bising usus (+) normal
P : Dinding perut supel, turgor kulit baik, hepatomegali (-), spleenomegali (-), nyeri
tekan (-)
P : Timpani

Ekstremitas

: Akral dingin, edema tungkai (-), sianosis (-),capilary refill <2detik


4

I.2.3. PEMERIKSAAN PENUNJANG


I.2.3.1 EKG

Interpretasi EKG :
Irama

: Sinus ryhthm,

Rate

: 65x/menit, reguler

Axis

: normal axis

Durasi p-wave : 0,08 s


Durasi QRS-complex : 0,10 s
Elevasi segmen ST di lead V1, V2, V3 0,3 mv
I.2.3.2 PEMERIKSAAN LAB
Hasil lab darah rutin tanggal 3 Agustus 2016
Hematologi

HASIL

NILAI RUJUKAN

Hemoglobin

11,6

L : 14-18 P : 12-16 g/dL

Lekosit

8.500

4.800-10.800/uL

Hematokrit

38,0

L : 40-54 P: 35-47 %

Trombosit

231.000

150.000-400.000 / uL

Hasil lab kimia darah tanggal 3 Agustus 2016


Kimia Klinik

HASIL

NILAI RUJUKAN

Glukosa sewaktu

188

< 200 mg/dl

Kolesterol total

180

< 200 mg/dl

Trigliserida

99

< 150 mg/dl

Urea

39

15-39 mg/dl

Kreatinin

2,06

L : 0,9-1,3 mg/dl P: 0,6-1,1 mg/dl

SGOT

108

<65 U/L

SGPT

54

<50 U/L

Uric acid

L : 3,5-7,2 mg/dl P: 2,6-6,0 mg/dl

I.2.3.3 RONTGEN THORAKS AP


Kesan hasil foto rongten pada pasien adalah :
o Besar cor : CTR > 50%
o Pulmo : bronkopneumonia dd pleuritis
o Tulang intak
I.2.4. ASSESMENT
1. CAD STEMI anteroseptal
2. Hipertensi stage II

I.2.4. PLANNING
Ruang rawat : ICU
1. Farmakologi
Terapi awal di IGD :

O2 3 Lpm

Infus RL 500 cc/24 jam

Aspilet 160 mg (kunyah)

Clopidogrel 150 mg (telan)

ISDN SL 5 mg 3 x -> masih nyeri diberikan Inj. Morvin 2,5 mg (IV)

Terapi lanjutan di ruang ICU :

Inj. Fondaparinux sodium 1 x 2,5 mg (SC)

Inj. Ranitidin 2 x 1 ampul (IV)

Aspilet 2 x 80 mg

ISDN 3 x 5 mg

Captopril 3 x 25 mg

Bisoprolol 1 x 2,5 mg

Clopidogrel 1 x75 mg

Simvastatin 1 x 5 mg

Diazepam 1 x 5 mg (malam)

2. Non Farmakologi

Pasang DC

Tirah baring dan monitor EKG, observasi keluhan dan tanda vital

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infark Miokard Akut (IMA)
2.1.1 Definisi, etiologi, faktor risiko, dan patofisiologi
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di
sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau
alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan
mengalami infark.12
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarct)
merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina
pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.11
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana
injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.11
Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia, jenis
kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang masih dapat diubah,
sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik, antara lain kadar serum lipid,
hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh,
9

kolesterol, serta kalori.13


Setiap bentuk penyakit arteri koroner dapat menyebabkan IMA. Penelitian angiografi
menunjukkan bahwa sebagian besar IMA disebabkan oleh trombosis arteri koroner.
Gangguan pada plak aterosklerotik yang sudah ada (pembentukan fisura) merupakan suatu
nidus untuk pembentukan trombus.1
Infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi, sehingga
terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.11
Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika
fibrous cap tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Gambaran patologis klasik pada STEMI
terdiri atas fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI
memberikan respon terhadap terapi trombolitik.11
Berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit pada
lokasi ruptur plak, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2
(vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu, aktivasi trombosit memicu perubahan
konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap
sekuen asam amino pada protein adhesi yang terlarut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2
platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan platelet dan agregasi setelah
mengalami konversi fungsinya.11,12
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue activator pada sel endotel yang
rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protombin menjadi trombin,
yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat akan
mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri atas agregat trombosit dan fibrin.11,12
Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli arteri
koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria terisolasi, arteritis trauma,
gangguan hematologik, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.14
2.1.2 Klasifikasi IMA
Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasar EKG 12 sandapan menjadi
-

Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) : oklusi total dari arteri koroner yang
menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium,
yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.

Infark miokard akut non ST-elevasi (NSTEMI) : oklusi sebagian dari arteri
10

koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada


elevasi segmen ST pada EKG.
2.1.3 Gejala dan Tanda IMA
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum yang terasa
berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke leher, rahang,
epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di dada. IMA sering didahului
oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun, nyeri pada IMA biasanya
berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan
biasanya tidak banyak berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan
lemah, pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai
30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama terjadi pada pasien dengan
diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut.1,11
2.1.4 Diagnosis IMA
Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri
dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2 mm, minimal pada 2 sandapan
prekordial yang berdampingan atau >1 mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim
jantung terutama troponin T yang meningkat akan memperkuat diagnosis.11
2.1.5. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat
(gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal
>30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat adanya STEMI.11
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien
STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi. Pemeriksaan petanda
kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase CKMB dan cardiac specific
troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini
juga akan diikuti peningkatan CKMB.11
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST dan gejala
IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim diatas dua
kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung.11
1) CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis,
11

dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.


2) cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTnT masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari. Pemeriksaan enzim
jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK), Lactic dehydrogenase
(LDH).
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang
dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit
dapat mencapai 12.000-15.000/ul.1
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada
atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai
landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak
diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat
STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara
kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. EKG
sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi kemungkinan
infark ventrikel kanan.11
2.1.7 Tatalaksana IMA
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST mengacu pada data-data dari evidence based
berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang ataupun konsensus
dari para ahli sesuai pedoman (guideline).11
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat, menghilangkan
nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang mungkin dilakukan,
memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat penunjang. Terdapat beberapa
pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun
2009 dan ESC tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masingmasing tempat dan kemampuan ahli yang ada.11,16
2.1.7.1 Tatalaksana awal
2.1.7.1.1 Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar diakibatkan adanya fibrilasi
12

ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala dan lebih dari
separuhnya terjadi pada jam pertama, sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada
pasien yang dicurigai STEMI antara lain7,11,16 :
1) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
2) Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi
3) Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf
medis dokter dan perawat yang terlatih.
4) Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien disebabkan oleh lamanya waktu
mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini dapat
diatasi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai
pentingnya tatalaksana dini.11,16
Pemberian fibrinolitik pre hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedik di
ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan EKG dan managemen STEMI serta
ada kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi.7,11,16
2.1.7.1.2 Tatalaksana di ruang emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien
risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien
dengan STEMI.7,11,16
2.1.7.1.3 Tatalaksana umum
1)

Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi


oksigen <95%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama
6 jam pertama.

2)

Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan


dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.

3)

Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.

4)

Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis
13

160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg.
5)

Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian
penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg
tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit,
tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm
dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral
dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.7,11
2.1.7.1.4 Tatalaksana di rumah sakit
ICCU

1)

Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama

2)

Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12
jam karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard.

3)

Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan


periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5mg, oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam
0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali/hari

4)

Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek menggunakan


narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering mengakibatkan konstipasi, sehingga
dianjurkan penggunaan kursi komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan
penggunaan pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200
mg/hari).7,11

2.1.8
1)

Komplikasi IMA
Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan ketebalan
pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal
jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan
ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks
ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih
14

sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.11


2)

Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di
rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark)
dan sesudahnya. 11

3)

Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi
selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.11

4)

Infark ventrikel kanan


Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat
(distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa
hipotensi.11

5)

Aritmia paska STEMI


Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf
autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona
iskemi miokard.11
6) Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien
STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam
mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.11
7) Takikardia dan fibrilasi ventrikel
Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia sebelumnya
dalam 24 jam pertama.
8) Fibrilasi atrium
9) Aritmia supraventrikular
10) Asistol ventrikel
11) Bradiaritmia dan Blok
12) Komplikasi Mekanik : Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel,
ruptur dinding ventrikel.11

2.1.9 Prognosis
15

Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA11 :


1) Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop,
kongesti paru dan syok kardiogenik

Tabel 2. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut


Klas

Definisi

Mortalitas (%)

Tak ada tanda gagal jantung


I
II

kongestif
+S3 dan atau ronki basah

6
17

III

Edema paru

30-40

IV

Syok kardiogenik

60-80

2.2.Terapi pada pasien STEMI


2.2.1 Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang
menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.11
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi fibrinolitik
dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam 90
menit.7,11
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting terhadap
luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam menghancurkan trombus
tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam
jam pertama) dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan angka kematian.11
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapi
reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko perdarahan
dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak
tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko.
Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat
16

dikerjakan.11
2.2.1.1

Percutaneous Coronary Interventions (PCI)


Intervensi

koroner

perkutan

(angioplasti

atau

stenting)

tanpa

didahului

fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan perfusi
pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih
efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan
outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. 11,16 PCI primer lebih
dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan
meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih
matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal
personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di
beberapa rumah sakit.11,16
2.2.1.2

Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to needle
time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya adalah merestorasi
patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain
tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang
bekerja dengan memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan
trombus fibrin.11,16
Aliran di dalam arteri koroner yang terlibat digambarkan dengan skala kualitatif
sederhana dengan angiografi, disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading
system :
1) Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena
infark.
2) Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi
tetapi tanpa perfusi vaskular distal.
3) Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke arah distal
tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri normal.
4) Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan
17

aliran normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 karena perfusi penuh pada arteri
koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya
infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri, dan menurunkan laju mortalitas, 11 selain itu,
waktu merupakan faktor yang menentukan dalam reperfusi, fungsi ventrikel kiri, dan
prognosis penderita. Keuntungan ini lebih nyata bila streptokinase diberikan dalam 6 jam
pertama setelah timbulnya gejala, dengan anjuran pemberian streptokinase sedini mungkin
untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin.17
Indikasi terapi fibrinolitik : 11
Kelas I :
1) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien
STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan elevasi ST > 0,1 mV pada minimal 2
sandapan prekordial atau 2 sandapan ekstremitas
2) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik diberikan pada pasien STEMI
dengan onset gejala < 12 jam dan LBBB baru atau diduga baru.
Kelas II a
1) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada pasien
STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan EKG 12 sandapan konsisten dengan
infark miokard posterior.
2) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada pasien
STEMI dengan onset mulai dari < 12 jam sampai 24 jam yang mengalami
gejala iskemi yang terus berlanjut dan elevasi ST 0,1 mV pada sekurangkurangnya 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau minimal 2 sandapan
ekstremitas.
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi
segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik tidak menunjukkan
hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska CABG datang dengan IMA, cara reperfusi
yang lebih disukai adalah PCI.
Kontraindikasi terapi fibrinolitik : 11
Kontraindikasi absolut :
18

1)

Setiap riwayat perdarahan intraserebral

2)

Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)

3)

Terdapat neoplasia ganas intrakranial

4)

Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam

5)

Dicurigai diseksi aorta

6)

Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)

7)

Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan

Kontraindikasi relatif :
1) Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2) Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau TDS>110 mmHg)
3) Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui patologi
intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
4) Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi besar (<3
minggu)
5) Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6) Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7) Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya atau reaksi
alergi sebelumnya terhadap obat ini
8) Kehamilan
9) Ulkus peptikum aktif

Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang pernah
terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena
terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup
harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakranial yang rendah.9
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies to Open
Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari
sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun, tPA
harganya lebih mahal disbanding SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit
lebih tinggi.18
19

3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding


SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis bolus lebih mudah
karena waktu paruh yang lebih panjang.19
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki spesisfisitas
fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1).
Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3
flow dan komplikasi perdarahan yang sama Terapi fibrinolitik pada STEMI akut
merupakan salah satu terapi yang manfaatnya sudah terbukti, tetapi mempunyai
beberapa risiko seperti perdarahan. Perdarahan diklasifikasikan oleh American
College of Surgeons' Advanced Trauma Life Support (ATLS) menjadi : 20
- Kelas I : melibatkan hingga 15% dari volume darah, tidak ada perubahan dalam
tanda-tanda vital dan tidak diperlukan resusitasi cairan.
- Kelas II : melibatkan 15-30% dari volume darah total, ditandai dengan takikardi
(denyut jantung cepat) dan penyempitan perbedaan antara tekanan darah sistolik
dan diastolik. Transfusi darah biasanya tidak diperlukan.
- Kelas III : melibatkan hilangnya 30-40% dari volume sirkulasi darah yang
ditandai penurunan tekanan darah pasien, peningkatan denyut jantung,
hipoperfusi perifer (syok). Resusitasi cairan dengan kristaloid dan transfusi
darah biasanya diperlukan.
- Kelas IV : melibatkan hilangnya> 40% dari volume sirkulasi darah. Batas
kompensasi tubuh tercapai dan resusitasi agresif diperlukan untuk mencegah
kematian.

2.2.2 Terapi lainnya


ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien dengan
STEMI

diberikan

terapi

dengan

menggunakan

anti-platelet

(aspirin,

clopidogrel,

thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH) / Low Molecular Weight


Heparin (LMWH), nitrat,

penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor

Blocker.7,8,9

20

1) Anti trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI berperan
dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Aspirin
merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Menurut penelitian ISIS-2 pemberian aspirin
menurunkan mortalitas vaskuler sebesar 23% dan infark non fatal sebesar 49%.21
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi trombosis
pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan abciximab
dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan hasil penurunan kematian, reinfark, atau
revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stenting. 22
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractionated
heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan
obat trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan memantapkan serta
mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah
bolus 60 U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000
U/jam). Activated partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai
1,5-2 kali.11
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif,
riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan
risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus mendapatkan terapi antitrombin kadar
terapetik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3
bulan.11
2) Thienopiridin
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien dengan
hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang menjalani reperfusi
primer atau fibrinolitik.7,8
Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators mempelajari
pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI yang mendapat perawatan
dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan penurunan kejadian kasus jantung dan
pembuluh darah serebral (kematian, reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam
penurunan kematian terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang
memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi (18%).
3) Penyekat Beta
21

Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu manfaat yang
terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika
obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Penyekat beta intravena
memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri,
mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.11
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk
yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien
dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung,
hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).11
4) Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan manfaat
terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian
SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE pada pasien dengan risiko
tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau fungsi
ventrikel kiri menurun global). Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang
mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI. Pemberian
inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung,
pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri
secara global, atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif. 11

22

BAB III
ANALISA KASUS
S (Subjektif)
Pada pasien terdapat gejala nyeri dada kiri dengan onset mendadak, dengan
karakteristik sakit dada seperti tertindih, menjalar ke bahu kiri, nyeri berlangsung lebih dari
20 menit, dan disertai gejala lain seperti berkeringat dan mual. Nyeri dada tidak dicetuskan
oleh aktivitas fisik, emosi, tidak bersifat sangat hebat seperti dirobek, dan tidak bertambah
berat apabila pasien batuk. Dari karakteristik gejala, infark miokard akut dapat dipikirkan
menjadi penyebab timbulnya keluhan nyeri dada pada pasien. Nyeri dada yang dialami oleh
pasien yang mengalami infark miokard akut menggambarkan suatu gejala klasik angina
pectoris, namun dengan kualitas yang lebih berat, lebih lama, dan menjalar lebih luas. Sensasi
yang timbul merupakan hasil pelepasan mediator-mediator seperti adenosine dan laktat dari
sel-sel miokard yang mengalami iskemia. Mediator-mediator ini kemudian akan merangsang
ujung-ujung saraf sensoris di daerah tersebut. Karena iskemia yang terjadi pada infark
miokard akut terjadi terus-menerus dan berlanjut menjadi nekrosis, substansi-substansi
tersebut berakumulasi dan mengaktivasi saraf-saraf aferen dalam waktu yang lebih lama.
Penjalaran sering terjadi sepanjang regio dermatom C7 T4, termasuk leher, bahu, dan
lengan.2 Sensasi nyeri dapat menjalar sampai setinggi oksipital namun tidak pernah sampai
melewati umbilikus.3
Pada pasien ini selain sakit dada, juga terdapat gejala lain seperti keringat dingin dan
mual. Keringat dingin dan mual termasuk gejala-gejala sistemik otonom yang disebabkan
oleh peningkatan respons saraf simpatis. Peningkatan tonus saraf simpatis terjadi melalui
pelepasan katekolamin endogen sebagai respon terhadap kombinasi ketidaknyamanan yang
terus menerus (intense discomfort) dan rangsangan terhadap baroreseptor. Faktor-faktor
risiko perlu dicari apabila menghadapi kasus keluhan nyeri dada. Karena dengan
ditemukannya faktor-faktor risiko tersebut, maka diagnosis SKA menjadi lebih kuat. Adapun
faktor-faktor risiko pada pasien tersebut adalah sebagai berikut. :

23

Jenis kelamin laki-laki


Usia lanjut
Riwayat hipertensi dan merokok

Hipertensi dapat mengakselerasi proses pembentukan aterosklerosis melalui beberapa


jalan. Peningkatan tekanan darah dapat menyebabkan kerusakan endotel dan meningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah terhadap lipoprotein. Merokok (tobacco smoking)
dapat meningkatkan proses oksidasi LDL, mengurangi kadar HDL, dan merusak endotel
melalui stres oksidatif, peningkatan kecenderungan adhesi dari trombosit, dan stimulasi
berlebihan saraf simpatis oleh nikotin.2 Dislipidemia, khususnya peningkatan kadar LDL
berkorelasi dengan peningkatan kejadian aterosklerosis. Jika kadar dalam tubuh berlebihan,
LDL dapat berakumulasi pada ruang subendotelial dan kemudian merusak tunika intima
pembuluh darah. Diabetes mellitus juga merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis,
berhubungan dengan kerusakan fungsi endotel.
O (Objektif)
Hasil pemeriksaan fisik pada SKA biasanya bervariasi sesuai lokasi dan luas infark
yang terjadi. Pasien yang mengalami STEMI sering datang dalam keadaan cemas, banyak
bergerak mencari posisi dimana dapat mengurangi sensasi ketidaknyamanan yang ada.
Frekuensi denyut jantung dapat bervariasi dari bradikardi sampai takikardi yang reguler
maupun ireguler, bergantung dari ritme dasar dan derajat kegagalan ventrikel kiri. Sebagian
besar pasien-pasien dengan STEMI tanpa komplikasi datang dalam keadaan normotensif,
walaupun penurunan stroke volume diikuti dengan takikardi dapat menyebabkan penurunan
tekanan sistolik dan tekanan nadi, serta peningkatan tekanan darah diastolik. Pada pasienpasien yang awalnya memiliki tekanan darah normal, peningkatan tekanan darah dapat
terlihat pada jam-jam pertama awitan. Peningkatan tekanan darah ini dapat dianggap sebagai
pengaruh peningkatan aktivitas adrenergik sebagai respon sekunder terhadap nyeri,
kecemasan, dan agitasi. Pasien-pasien yang awalnya memiliki tekanan darah tinggi sering
menjadi normotensif tanpa pengobatan setelah STEMI, walaupun banyak pada kelompok ini
terjadi peningkatan tekanan darah kembali setelah 3-6 bulan pasca infark. Harus diperhatikan
apakah pada pasien terjadi syok kardiogenik sebagai komplikasi dari STEMI. Syok
kardiogenik didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik dibawah 90 mmHg dan terdapat
bukti terjadi end-organ hypoperfusion. Pasien-pasien dengan infark inferior sering mengalami
penurunan tekanan darah sistolik di bawah 90 mmHg yang bersifat transien. Hal ini
disebabkan terjadinya aktivasi refleks Bezold Jarisch. Hipotensi ini akan kembali normal
24

secara spontan, atau dipercepat dengan pemberian atropine IV (0,5-1 mg), dan memposisikan
pasien dalam posisi Trendelenburg. Kadang-kadang, lebih dari setengah pasien dengan
STEMI inferior terjadi stimulasi parasimpatis yang berlebihan, berupa hipotensi dan
bradikardi. Sebaliknya setengah pasien dengan STEMI anterior terlihat peningkatan stimulasi
simpatis meliputi hipertensi dan takikardi. Pada kebanyakan pasien dengan STEMI yang luas
dapat terjadi demam. Demam yang terjadi merupakan respon non-spesifik terhadap nekrosis
jaringan, dalam 24-48 jam sejak awitan infark. Terjadi pelepasan sitokin seperti interleukin
1(IL-1), dan tumor necrosis factor (TNF) dari makrofag dan endotel vaskular seagai respon
terhadap kerusakan jaringan. Suhu tubuh mulai meningkat dalam 4-8 jam setelah onset
infark, dimana suhu rektal dapat mencapai 38,3-38,9 C. Suhu tubuh biasa kembali normal
pada hari keempat atau kelima setelah awitan infark.2
Frekuensi nafas dapat meningkat sedikit segera mengikuti perkembangan STEMI. Pada
pasien yang datang tanpa gagal jantung, hal ini disebabkan oleh kegelisahan dan sensasi nyeri
yang ada. Pada pasien dengan gagal jantung kiri, frekuensi nafas berkorelasi dengan derajad
berat dari gagal jantung yang terjadi. Pasien dengan edema paru dapat datang dengan
frekuensi napas lebih dari 40 kali/menit.
Pada pasien ini pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan keadaan umum pasien yang
tampak gelisah. Tanda-tanda vital pada pasien dalam batas normal, dan tidak didapatkan
tandatanda gagal jantung akut pada pasien berupa penampakan sesak, sianosis, ataupun
ronkhi pada auskultasi paru. Namun pada pasien terdapat tanda peningkatan stimulasi otonom
berupa kulit teraba lembab dan berkeringat. Namun tidak terdapat tanda-tanda hipoperfusi
end-organ, berupa akral dingin dan capillary refill time yang melambat
Kelainan pada pemeriksaan elektrokardiografi menggambarkan aktivitas listrik
abnormal yang terjadi akibat SKA. Penilaian ST elevasi dilakukan pada J-point dan
ditemukan pada 2 lead yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis
STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar lead adalah 0,1mV. Pada lead V1-V3
nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai
ambang elevasi segmen ST di lead V1-V3 untuk pria usia 40 tahun adalah 0,2 mV, pada
pria usia kurang dari 40 tahun adalah 0,25mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang
elevasi segmen ST di lead V1-V3 tanpa memandang usia adalah 0,15mV. Bagi pria dan
wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sandapan V3R dan V4R adalah 0,05mV, kecuali
pria usia kurang dari 30 tahun, nilai ambang 0,1mV dianggap lebih tepat.4
Depresi segmen ST yang resiprokal, sandapan yang berhadapan dengan permukaan
tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di
25

midanterior (V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama


dengan LBBB (komplet) baru / persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat
terapi reperfusi. Oleh karena itu, pasien dengan EKG yang diagnostik STEMI dapat segera
mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan cardiac marker tersedia.4
Pada pasien dilakukan perekaman EKG 12 sandapan pertama kali pada pk 07:30,
segera setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik singkat. Adapun hasil pemeriksaan EKG
pada pasien sebagai berikut, intepretasi gambaran EKG pertama pada pasien adalah Sinus
ryhthm, laju 65 x/menit, normal axis, durasi p-wave 0,08 s, durasi QRS-complex 0,10 s,
Elevasi ST-segment di lead V1, V2, dan V3 sebesar 0,3 mv. Gambaran EKG ini sudah
memenuhi kriteria gambaran elevasi segmen ST pada kasus STEMI.
A (Assesment)

CAD STEMI anteroseptal


Hipertensi stage II
Berdasarkan gejala dan tanda pada pasien ini dimana terdapat angina tipikal dan

gambaran EKG diagnostik, walau hasil cardiac marker belum tersedia, pasien dapat
ditetapkan sebagai definitif SKA.
P (Planning)
1. Farmakologi
Terapi awal di IGD :

O2 3 Lpm

Infus RL 500 cc/24 jam

Aspilet 160 mg (kunyah)

Clopidogrel 150 mg (telan)

ISDN SL 5 mg 3 x -> masih nyeri diberikan Inj. Morvin 2,5 mg (IV)

Terapi lanjutan di ruang ICU :

Inj. Fondaparinux sodium 1 x 2,5 mg (SC)

Inj. Ranitidin 2 x 1 ampul (IV)

Aspilet 2 x 80 mg

ISDN 3 x 5 mg

Captopril 3 x 25 mg

Bisoprolol 1 x 2,5 mg

Clopidogrel 1 x75 mg
26

Simvastatin 1 x 5 mg

Diazepam 1 x 5 mg (malam)

2. Non Farmakologi

Pasang DC

Tirah baring dan monitor EKG, observasi keluhan dan tanda vital

Berdasarkan hal ini maka perlu diberikan terapi awal (initial management). Menurut
ACLS AHA 2010, dijelaskan bahwa pemberian terapi awal berupa morfin, oksigen, nitrat,
aspirin (MONA) dikerjakan secara simultan bersamaan dengan proses penentuan diagnosis
pada pasien dengan keluhan sugestif iskemia atau infark jantung.8
Berdasarkan pedoman tatalaksana sindrom koroner akut menurut PERKI yang
dimaksud terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
kemungkinan SKA atau definitif SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat,
sebelum ada pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung (cardiac marker). Patut diketahui
bahwa terapi awal merupakan tatalaksana yang sangat penting pada pasien-pasien dengan
SKA. Dokter umum sebagai penyedia pelayanan primer memiliki peran yang sangat besar
dalam membantu penanganan SKA. Hal ini disebabkan mereka sering menjadi tenaga medis
pertama (first medical contact) yang menghadapi pasien dengan SKA. Sebelum sampai di
fasilitas kesehatan yang mampu melakukan tatalaksana lanjut, pasien dengan dugaan SKA
harus diberikan terapi awal, karena telah terbukti bahwa terapi ini dapat menurunkan angka
mortalitas SKA sampai dengan di atas 50%.9
Adapun terapi awal yang diberikan pada pasien ini adalah sebagai berikut.

Tirah baring
Tirah baring dilakukan disertai monitor EKG secara kontinyu untuk
mendeteksi kejadian iskemia dan aritmia pada pasien-pasien dengan gejala

nyeri dada yang masih berlangsung. (Kelas I-C)10


Oksigen 3 L/menit via nasal kanul.
Suplementasi oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi
oksigen arteri < 95% atau yang mengalami distres respirasi. (Kelas I-C) Pada
pasien ini tidak ada keluhan sesak nafas, tidak tampak tanda distres
pernafasan, dan tidak diketahui kadar saturasi oksigen arteri, namun oksigen
tetap diberikan atas dasar bahwa suplemen oksigen dapat diberikan pada
semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi

oksigen arteri. (Kelas IIa-C)


Aspirin 160 mg, dikunyah
27

Pemberian aspirin segera sudah diketahui menurunkan mortality rate melalui


beberapa clinical trial. Oleh karena itu, kecuali pasien diketahui memiliki
alergi terhadap aspirin atau perdarahan gastrointestinal aktif, aspirin
nonenterik harus diberikan sesegera mungkin kepada semua pasien yang
dicurigai mengalami SKA. (Kelas I-A)8. Dosis yang diberikan adalah 160
(Kelas I-B) sampai 325 mg ( Kelas I-C ) dan dikunyah untuk mempercepat
penyerapan. Aspirin merupakan antiplatelet dan termasuk dalam terapi
antitrombotik, dimana tujuan pemberiannya adalah untuk mencegah
perkembangan sumbatan intrakoroner. Aspirin secara ireversibel menghambat
enzim siklooksigenase (COX-2 inhibitor). Enzim ini diperlukan untuk proses
konversi asam arakhidonat dari trombosit menjadi tromboksan A2.
Tromboksan A2 merupakan agen yang berperan dalam proses agregrasi dan
vasokonstriksi. Normalnya, endotel pembuluh darah akan memproduksi
prostasiklin sebagai respon terhadap agregrasi trombosit, dimana merupakan
inhibitor yang kuat dan vasodilator yang poten. Namun pada disfungsi endotel,
produksi prostasiklin menurun.11 Obat-obatan anti inflamasi non-steroid
(OAINS) lainnya merupakan kontraindikasi pada pasien-pasien dengan SKA,
karena dapat meningkatkan risiko mortalitas, kejadian re-infark, hipertensi,

gagal jantung, dan ruptur miokardium.(Kelas III-C)8


Isosorbid dinitrate (ISDN) 5 mg sublingual
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga
konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi
pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami
aterosklerosis. Nitrat menyebabkan relaksasi pada otot polos pembuluh darah
melalui konversi menjadi nitric oxide pada membran plasma otot polos
pembuluh darah. Senyawa ini kemudian akan mengaktivasi guanilat siklase
untuk memproduksi cyclic guanosine monophosphate (cGMP), dan akumulasi
cGMP di intrasel akan menyebabkan relaksasi otot polos.2 Pasien-pasien
dengan keluhan nyeri dada iskemik harus mendapat nitrat sublingual sampi
maksimal 3 kali pemberian, dengan interval 3-5 menit, sampai gejala nyeri
berkurang atau tekanan darah mencapai batas rendah nya. (Kelas I-B). Adapun
kontraindikasi penggunaan nitrat adalah pada pasien-pasien dengan hipotensi
(tekanan darah sistolik 90 mmHg, bradikardia 50 mmHg, takikardia tanpa
28

disertai gagal jantung, dan infark ventrikel kanan. (Kelas III-C) . Nitrat juga
tidak boleh diberikan pada pasien yang baru mengkonsumsi obat-obatan yang
mengandung inhibitor fosfodiesterase yaitu sidenafil dalam 24 jam, dan tadafil
dalam 48 jam.

Inj. Morvin 2,5 mg (IV)


Pada pasien yang tidak responsif dengan pemberian nitrat, dapat diberikan
analgesia berupa morfin intravena. Morfin adalah analgesia pilihan untuk
pasien-pasien dengan STEMI. (Kelas I-C).8 Morfin sulfat 1-5 mg intravena
dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak responsif dengan
terapi tiga dosis nitrat sublingual. (Kelas IIa-B)4

Clopidogrel 150 mg (telan) -> Lanjut 1x75 mg per oral


Clopidogrel adalah derivat thienopyridine, dimana menghambat aktivasi
reseptor P2Y12ADP pada trombosit. Clopidogrel direkomendasikan sebagai
antiplatelet pengganti pada pasien-pasien yang alergi aspirin. Kombinasi
aspirin dan clopidogrel lebih superior dibandingkan aspirin sendiri dalam
mengurangi mortalitas kardiovaskular, kejadian penyakit jantung rekuren, dan
stroke pada pasien UAP atau NSTEMI.

Captopril 3x25 mg per oral


ACE inhibitor berguna dalam mengurangi remodelling dan menurunkan angka
kematian penderita pasca infark miokard yang disertai gangguan fungsi
sistolik jatung, dengan atau tanpa gagal jantung. Penggunaannya terbatas pada
pasien dengan karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor
risiko PJK atau yang telah terbukti menderita PJK, beberapa penelitian
memperkirakan adanya efek antiaterogenik.4
ACE inhibitor diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI (kecuali
ada kontraindikasi) pada pasien dengan ejeksi ventrikel kiri 40% dan pasien
dengan diabetes mellitus, hipertensi atau penyakit ginjal kronik (Kelas I-A)
Sebagai alternatif dari ACE inhibitor ARB dapat digunakan (KelasI-B)4

Simvastatin 1x5 mg per oral


Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor HMG-CoA reductase (statin) harus diberikan pada
semua penderita SKA, termasuk mereka yang telah menjalani terapi
revaskulariasi, jika tidak terdapat kontraindikasi. (Kelas I-A) Terapi statin

29

hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi
untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100mg/dL (Kelas I-A).

Diazepam 1 x 5 mg
Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan periode
inaktivitas dengan penenang.

Bisoprolol 1 x 2,5 mg
Penyekat beta memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard,
mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko
kejadian aritmia ventrikel yang serius kecuali pada pasien dengan
kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri
sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).

Inj. Fondaparinux sodium 1 x 2,5 mg (SC)


Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan
terapi antiplatelet (Kelas I-A). Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan
risiko perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen
tersebut. (Kelas I-C). Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil
keamanan berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5
mg setiap hari secara subkutan.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Antman EM, Braunwald SE. ST-elevation myocardial infarction:pathology,


pathophysiology, and clinical features. Dalam : Libby P.Bonow RO, Mann DL., Zipes
DP, penyunting. Braunwalds heart disease: a textbook of cardiovascular. Edisi ke-9.
Philadelphia: Elsevier Saunders:2012. Pg.1088-1109.
2. Lilly LS. Acute Coronary Syndrome. Pathophysilogy of Heart Disease. Edisi ke-5.
Baltimore:Wolters Kluwe:2011. Pg.161-189
3. Antman EM, Braunwald SE. ST-elevation myocardial infarction. Dalam : Loscalzo J.
Harrisons Cardiovascular Medicine. Edisi ke-17. New York:Mc.Graw Hill:2010. Pg.
395-413
4. Perhimpunan Kardiovaskular Indonesia. Sindrom Koroner Akut Segmen ST elevasi.
Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta:2014. Halaman 42-73
5. Liwang F. Wijaya I.P. Penyakit Jantung Koroner. Kapita Selekta Kedokteran. Essentials
of medicine. Jakarta : Media Aesculapius:2014, halaman 749-755
6. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial
Infarction :A Report of the American College of Cardiology Foundation/American
Heart Association. Task Force on Practive Guidelines. Available at:
http://circ.ahajournals.org/content/early/2012/12/17/CIR.0b013e3182742cf6.citation
7. Cadogan M. Sgarbossa Criteria. Life in the fast lane. Available at:
http://lifeinthefastlane.com/ecglibrary/basics/sgarbossa/
8. OConnor, et.al. Part 10: Acute Coronary Syndromes: 2010 American Heart
AssociationGuidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency

31

Cardiovascular Care. Circulation. Journal of The American Heart Association.


Available at :http://circ.ahajournals.org/cgi/content/full/122/18_suppl_3/S787
9. Kumar A. Cannon C.P. Acute Coronary Syndrome : Diagnosis and Management, Part I.
Available at : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2755812/
10. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With Unstable Angina and Non
ST-Segment Elevation Myocardial Infarction: Executive Summary and
RecommendationsA Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on the Management of
Patients With Unstable Angina) available at :
http://circ.ahajournals.org/content/102/10/1193.full
11. Khan M.G. Antiplatelet Agents, Anticoagulants, and Specifi Thrombin Inhibitors.
Cardiac Drug Therapy. 7th edition. New Jersey : Humana Press :2007. Pg. 331-348
12. ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal 2012;33:2569-2619
13. Creager A.M. Results of the CAPRIE trial: efficacy and safety of clopidogrel. Available
at : http://vmj.sagepub.com/content/3/3/257.full.pdf
14. The Evidence for Current Cardiovascular Disease Prevention Guidleines: Antiplatelet
and Anticoagulant Therapy Evidence and Guidelines. Available at :
http://www.slideshare.net/TurgunHAMT/2-accprevention-antiplatelet-and
anticoagulant-29239209
15. 2005 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Part 8: Stabilization of the Patient With Acute
Coronary Syndromesavailable at: http://circ.ahajournals.org/content/112/24_suppl/IV89/F2.expansion.html
16. Arixtra (Fondaparinux). Prescribing Information. Available at :
http://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2005/021345s010lbl.pdf

32

33

Anda mungkin juga menyukai