Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
3. Apabila hukum di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini
diterima secara resmi sebagai landasan kebijakan hukum nasional.
Lebih detail lagi, Kusumaatmadja mengemukakan bahwa: Hukum merupakan suatu alat untuk
memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya
adalah konservatif artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai.
Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang
membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan.
Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang dalam definisi kita berarti masyarakat
yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus
dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang
menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat
konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang
berarti dalam proses pembaharuan.[2]
Antara filsafat hukum dan pembangunan hukum nasional bagai dua sisi mata uang yang berbeda.
Oleh karena filsafat hukum sebagai suatu disiplin keilmuan, sementara pembangunan hukum
merupakan suatu kebijaksanaan yang bersifat nasional dalam bentuk pembangunan di bidang
hukum, namun memiliki titik temu yang sama pada objek pembahasannya yaitu hukum.
Pembangunan hukum nasional merupakan keniscayaan yang mesti diterima oleh bangsa
Indonesia, karena kondisinya sebagai negara yang memiliki tingkat kemajemukan masyarakat
yang sangat tinggi dan pluralitas sosial yang kompleks.
Komposisi masyarakat Indonesia terdiri atas suku, agama, dan identitas kedaerahan yang sangat
majemuk. Sehingga oleh Nurcholis Madjid, kondisi bangsa Indonesia yang dianggap pluralis
tersebut, maka pokok pangkal kebenaran yang universal adalah Ketuhanan Yang Maha Esa atau
tawhid (secara harfia berarti me-Maha esakan Tuhan).[3]
Kondisi kemajemukan, dan masyarakat yang pluralis (beraneka ragam) tersubtitusi dalam
ideology kenegaraan, atau filsafat hukum bangsa Indonesia yakni pancasila. Sementara teori
hukummya berada pada pembukaan UUD NRI Tahun 1945 terutama pada 5 program pokok
pembangunan nasionalnya.
Teori hukum pembangunan yang dikemukakan oleh Kusumaatmadja adalah memperkenalkan
tujuan hukum bukan hanya pada kepastian dan keadilannya. Melainkan pada kedayagunaan dari
hukum itu sebagai sarana pembaru hukum (predictability) di tengah masyarakat yang majemuk.
Pembangunan hukum nasional diusahakan mengakomodasi segala kepentingan dari masyarakat
yang multi-etnik. Dengan demikian dimensi filsafat hukum yang hendak dicapai dalam teori
hukum pembangunan menunjukkan ada 2 (dua) dimensi sebagai inti Teori Hukum Pembangunan
yang diciptakan oleh Kusumaatmadja, yaitu :
1. Ketertiban atau keteraturan dalam rangka pembaharuan atau pembangunan merupakan
sesuatu yang diinginkan, bahkan dipandang mutlak adanya;
2. Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat
pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia yang
dikehendaki ke arah pembaharuan.
Dimensi filsafat hukum yang dimaksud dari hukum pembangunan sebagai yang dikemukakan di
atas adalah dimensi ketertiban, keteraturan, dan kaidah hukum yang dapat menciptakan
pembangunan disegala aspek kehidupan.
Disamping itu, dimensi filsafat hukum yang ditarik dari hukum pembangunan oleh
Kusumaatmadja telah menambahkan defenisi hukum tidak hanya seperangkat kaidah, asas
hukum atau peraturan-peraturan saja, namun dibalik itu adalah bagaimana institusi hukum itu
bergerak atukah berjalan sebagai aturan yang memiliki daya mengikat dan daya keberlakuan.
Lengkapnya Kusumaatmadja memberikan pengertian hukum adalah suatu perangkat kaidah
dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, mencakup pula lembaga
(institution) dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam
kenyataan.[4]
Pengertian hukum oleh Kusumaatmadja yang kemudan disinyalir sebagai salah satu pengertian
hukum berasal dari teori mazhab hukum Unpar adalah mengakomodasi ketiga landasan hukum
sebagaimana muatan, yang juga mutlak dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan
yakni landasan yuridis, sosiologis dan filsufis. Artinya, kalau begitu, hingga kapanpun teori
hukum pembangunan tidak akan pernah berhenti sebagai konsep hukum (legal concept: Peter
Mahmud Marzuki[5]) yang akan menjadi asas ataukah prinsip hukum dalam setiap pembentukan
kaidah-kaidah hukum.
Sementara dalam pembangunan hukum nasional (tidak dikaitkan dengan filsafat hukum) juga
dapat ditemukan beberapa dimensi diantararanya dimensi pemeliharaan, dimensi pembaharuan,
dimensi penciptaan dan dimensi pelaksanaan. [6]
Dimensi pemeliharaan merupakan upaya untuk memelihara tatanan hukum yang ada, walaupun
sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Dimensi ini bertujuan untuk mencegah
kekosongan hukum yang sesungguhnya sebagai konsekuensi logis dari Pasal II Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945, namun dalam pelaksanaannya harus disesuaikan dengan situasi dan
keadaan dengan tetap berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. [7]
Dimensi pembaharuan merupakan upaya untuk meningkatkan dan menyempurnakan hukum
nasional. Usaha tersebut dilakukan dengan mengadakan pembahasan kodifikasi dan unifikasi
hukum.
Dimensi penciptaan yaitu suatu dinamika dan kreatifitas berupa penciptaan suatu hukum yang
sebelumnya tidak ada tetapi diperlukan untuk kesejahteraan bangsa dan negara. Dimensi
pelaksanaan yaitu upaya melaksanakan undang-undang agar undang-undang tersebut berlaku di
masyarakat baik secara filsufis, juridis, sosiologis maupun politis.[8]
Berdasarkan ulasan diatas, dimensi filsafat hukum dalam pembanguan hukum nasional dan
dimensi yang juga terdapat dalam pembangunan hukum nasional sebagai salah satu bentuk
kebijaksanaan bersifat nasional, maka hukum tetap memilki kekuatan yang perskriptif, tanpa
mengabaikan dimensi sosiologi dan filsufisnya. Hal ini sejalan dengan kesimpulan akhir dari
Sidharta dalam disertasi Krakteristik Penalaran Hukum Dalam Kontek Indonesia bahwa
penalaran hukum yang ideal dalam pembangunan hukum nasional adalah aspek ontologisnya
tetap mengartikan hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan;
aspek epistemologisnya memfokuskan tidak saja pada penerapan norma-norma positif terhadap
kasus konkret, melainkan juga pada proses pembentukannya; aspek aksiologisnya adalah
mengarah kepada pencapaian nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan secara simultan, yang
kemudian diikuti dengan kepastian hukum.[9]
Salah satu tawaran yang menarik dari Sidharta adalah akuntabilitas, dan transparansi penegakan
hukum. Terbukti dengan tawarannya dalam penalaran hukum untuk konteks keindonesiaan yakni
hakim harus dikondisikan untuk siap mempertanggungjawabkan setiap argumentasi yang
diutamakannya.
Hukum yang senantiasa diciptakan dalam ruang-ruang institusi hukum dengan pengutamaan
keadilan, maka dituntut asas trasparansi_(lih, juga AAUPB) yang melibatkan publik dalam
setiap pembentukan dan penerapan hukum.
Konsep negara hukum_nomokrasi, telah menjamin prinsip kesamaan hak (equity) di hadapan
hukum (before the law), maka konsep hukum pembangunan yang mengutamakan keterbukaan
(transparansi) sepadan dengan tawaran pembentukan hukum sebagai consensus yang melibatkan
ruang publik (public sphere) komonikasi yang partisipatoris_Habermas atau konsepsi negara
hukum yang mengutamakan demokrasi deliberatif (Budi Hardiman).[10]
Jakarta, WARTA-bphn
Akhir Tahun 2015 merupakan momentum diberlakukan pasar bebas Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA). Kehadiran MEA MEA sebagai salah satu momentum era keterbukaan pasar di ASEAN,
merupakan kelanjutan dari kesepakatan Visi ASEAN 2020 pada bulan Desember 1997 di Kuala
Arahan mengenai hal ini sangat jelas dalam RPJMN, bahwa Pemerintah
menghendaki kesiapan Indonesia di segala bidang secara menyeluruh, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Kesiapan bidang hukum dilakukan dengan
cara mengkaji seluruh ketentuan hukum agar tidak muncul kembali penyakit
inkonsistensi hukum. Dengan demikian, pembentukan peraturan perundangundangan harus dipersepsikan sebagai salah satu upaya pembaharuan hukum agar
mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai
dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut
tingkattingkat kemajuan pembangunan di segala bidang. Diharapkan akan tercapai
ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditunjukkan ke arah
peningkatan terwujudnya kesatuan bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana
menunjang kemajuan dan reformasi yang menyeluruh. Walaupun demikian, tidak
dipungkiri bahwa seringkali implementasi dan penegakan peraturan perundangundangan tidak berjalan secara efektif dan efisien. Dengan kata lain daya guna
peraturan perundang-undangan tidak maksimal untuk mengatur atau
menyelesaikan permasalahan yang ada. Setidaknya ada 3 permasalahan yang
terkait dengan peraturan perundang-undangan, yaitu: pertama permasalahan
materiil/substansi yang terkait dengan dasar hukum yang mendasari peraturan
perundang-undangan, keinginan vs kebutuhan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, disharmoni substansi antara peraturan yang satu dengan
yang lain dan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat yang seringkali
terlalu cepat berubah. Kedua, permasalahan formil/proses pembentukan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan proses pra legislasi (kualitas
penelitian/pengkajian, naskah akademik, penentuan prioritas Prolegnas,
pelaksanaan rapat antarkementerian dan harmonisasi), legislasi (mekanisme
pembahasan di DPR) dan pasca legislasi (diseminasi/sosialisasi). Ketiga,
permasalahan kelembagaan baik yang terkait dengan kelembagaan pembentuk
udang-undang maupun ego sektoral lembaga. Oleh karenanya perlu persiapan yang
matang dalam pembentukan peraturan perundang-undangan agar produk hukum
yang dihasilkan dapat memenuhi tiga kualitas: Pertama, hukum harus
menciptakan stabilitas dengan mengakomodir atau menyeimbangkan kepentingan
yang saling bersaing di lingkungan masyarakat. Kedua, menciptakan kepastian,
sehingga setiap orang dapat memperkirakan akibat dari langkah-langkah atau
perbuatan yang diambilnya. Dan ketiga, hukum harus menciptakan rasa adil dalam
bentuk persamaan di depan hukum, perlakuan yang sama dan adanya standar yang
tertentu. Globalisasi dengan segala dimensinya akan banyak mempengaruhi sistem
hukum di setiap negara tidak terkecuali Indonesia. Globalisasi hukum akan
menyebabkan aturan-aturan negara-negara makin berkembang antara lain
mengenai investasi, perdagangan, jasa-jasa dan bidang ekonomi lainnya mendekati
negara maju (convergency).
Sehingga setiap negara dituntut untuk memiliki produk hukum yang mengatur
tentang hukum-hukum batas kedaulatan negara. Bagi Indonesia sendiri, pengaruh
globalisasi selain menuntut penyesuaian sistem hukum nasional yang dapat
yang dihasilkannya tidak dibatalkan. Politik hukum yang demikian akan menjadikan
Indonesia sebagai negara yang bukan saja maju, sejahtera dan adil, tetapi juga
mandiri. Hanya bangsa mandiri yang bisa tampil dalam kancah pergaulan
internasional dengan posisi terhormat. Kemandirian adalah hakikat dari
kemerdekaan, yaitu hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan
menentukan apa yang terbaik bagi diri bangsanya. Kemandirian bukanlah
kemandirian dalam keterisolasian. Kemandirian mengenal adanya kondisi saling
ketergantungan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat, baik
dalam suatu negara maupun bangsa. Terlebih lagi dalam era globalisasi dan
perdagangan bebas ketergantungan antarbangsa semakin kuat. Kemandirian yang
demikian adalah paham yang proaktif dan bukan reaktif atau defensif. Kemandirian
merupakan konsep yang dinamis karena mengenali bahwa kehidupan dan kondisi
saling ketergantungan senantiasa berubah, baik konstelasinya, perimbangannya,
maupun nilai-nilai yang mendasari dan mempengaruhinya.
Diakhir paparannya Kepala BPHN, Enny Nurbaningsih menekankan bahwa
Pembangunan hukum dapat tercapai jika seluruh cakupan yang terkait dengannya
dapat difungsikan sebagai sarana untuk memperbarui masyarakat (social
engineering). Namun, perekayasaan sosial perlu didukung kajian yang mendalam
tentang hukum yang hidup di masyarakat (living law) dan tingkat kesiapan
masyarakat dalam menyikapi pembaruan yang akan dilakukan. Sejak era reformasi
bergulir tuntutan perbaikan sistem hukum nasional terus bergerak, dalam rangka
menghadirkan dan membangun negara yang membahagiakan rakyatnya.
*tatungoneal