Anda di halaman 1dari 36

PRESENTASI KASUS

Benign Prostate Hyperplasia

Disusun oleh :
dr. Anugerah Afrianto

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. BOB BAZAR KALIANDA


LAMPUNG SELATAN
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

LATAR BELAKANG
Benign Prostat Hiperplasia(BPH) atau dalam bahasa umumnya dinyatakan sebagai
pembesaran prostat jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit yang biasaterjadi. Ini dilihat
dari frekuensi terjadinya BPH di dunia, di Amerika secaraumum dan di Indonesia secara
khususnya.Di dunia,diperkirakan bilangan penderita BPH adalah sebanyak 30
juta,bilangan ini hanya pada kaum pria karena wanita tidak mempunyai kelenjar
prostat, maka oleh sebab itu, BPH terjadi hanya pada kaum pria (emedicine,2009).
Di Indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan keduasetelah
penyakitbatu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya,diperkirakan hampir 50
persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun,dengan kini usia harapan hidup
mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakitPPJ atau BPH ini. Kanker prostat, juga
merupakan salah satu penyakit prostat yang sering muncul dan lebih ganas dari BPH
yanghanya melibatkan pembesaran jinak dari prostat. Seperti juga BPH, kanker prostat
juga menyerang pria berusia lebih dari 50 dan pada usia di bawah itu bukan merupakan
suatu yang abnormal.
Melihat tingginya angka kejadian BPH, maka penulis tertarik untuk mempelajari
penyakit ini lebih lanjut.

1.2.

TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan laporan ini adalah sebagai referensi tambahan untuk dokter dan
tenaga medis lainnya untuk mendiagnosis awal penyakit BPH, sehingga dapat melakukan
penanganan dengan cepat dan tepat.

BAB II
STATUS MEDIK
2.1.

2.2.

IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. K
Umur
: 68 tahun
Alamat
: Negeri Pandan
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Status perkawinan
: Menikah
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan
:Petani
Masuk RS
: 6 Januari 2015
ANAMNESIS (Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 6 Januari 2015)
Keluhan Utama
: Pasien datang dengan sulit kencing sejak 3 bulan SMRS
Keluhan Tambahan : nyeri saat kencing,
Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang dengan sulit kencing sejak 3 bulan SMRS.
Kencing keluar sedikit-sedikit dan pada akhirnya pasien tidak dapat kencing sama
sekali.Terkadang pada saat kencing, pasien harus berhenti dulu baru kemudian memulai
lagi kencing yang disertai usaha mengejan.Saat mengejan pasien kadang merasakan
nyeri. Kadang-kadang pasien merasa sangat ingin kencing, dan saat waktu kencing,
kencing hanya keluar menetes saja sehingga pasien merasa tidak puas. Pada malam hari
pasien lebih sering terbangun kencing dibandingkan sebelumnya, kadang 3 sampai 4 kali.
Pasien tidak demam, tidak sakit pada pinggang.tidak mengalami kencing bercampur
darah maupun nanah, tidak ada kencing berpasir maupun batu. Pasien mengeluhkan
adanya rasa kencang pada perut bagian bawah.
Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien pernah alami keluhan serupa 9 bulan yang lalu,
dipasang selang kencing selama 3 bulan, lalu sudah dilepas 6 bulan ini.
Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada keluhanserupa pada keluarga
Riwayat Psikososial
: Pasien saat ini hanya beraktifitas di rumah.

2.3.

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 88 x/menit
Suhu
: 37,1C
3

Pernapasan

: 24 x/menit

Status lokalis
Kepala
: Normocephali
Mata
: Pupil bulat, isokor, refleks cahaya langsung/tidak langsung +/+,
konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/Telinga: Normotia, serumen -/-, darah -/-, Membran timpani intak
Hidung
: Deviasi septum -/-, mukosa hiperemis -/-, odema konka -/-, darah -/Tenggorokan : Uvula di tengah, faring hiperemis (-)
Mulut
: bibir sianosis (-), lidah tidak kotor
Leher
: pembesaran KGB -/-, Trakea tepat di tengah
Thorax
Paru
Inspeksi
: simetris pada saat statis dan dinamis
Palpasi
: vokal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi
: sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi
: vesikuler (+) normal, ronkhi -/-, wheezing -/Jantung
Inspeksi
: ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: ictus cordis tidak teraba
Perkusi
: batas jantung dalam batas normal
Auskultasi
: bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi
: datar
Palpasi
: lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
Perkusi
: timpani
Auskultasi
: bising usus (+) meningkat, Nyeri tekan epigastrium (+)
Ekstremitas : Akral hangat
Status lokalis/status urologis:
a. Regio costovertebral: nyeri ketok tidak ada, bulging tidak ada.
b. Regio suprapubik : massa tidak ada, nyeri tekan tidak ada, full blast (+)
c. Regio genitalia eksterna: tampak kateter terpasang.
d. Colok dubur: sfingter ani menjepit kuat, mukosa licin, ampula kosong.
Prostat: pool bawah membesar, pool atas tidak terjangkau, konsistensi kenyal dan
licin, nodul tidak ada dan tidak nyeri tekan.
Handscoen: feses, darah dan lendir tidak ada
2.4.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang pada pasien.

2.5.

DIAGNOSIS BANDING
Tumor prostat

2.6.

DIAGNOSIS KERJA
Hiperplasia prostat benigna (BPH)
4

2.7.

PENATALAKSANAAN
Pro prostektomi
IVFD RLgtt XII/menit
Ranitidin 1 ampul/12 jam
Antasida 3x1 tablet
Omeprazole 2x1 tablet
Ondancentron 3x1 tablet
Sohobion 1x1 tablet

2.8.

PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

BAB III
PORTOFOLIO
Topik : Hiperplasia Prostat Benigna (BPH)
5

Tanggal (kasus) : 6 Januari 2015


Presenter : dr. Anugerah Afrianto
Tanggal presentasi : Pendamping : dr. Nora I
Tempat presentasi : RSUD dr. Bob Bazar Kalianda
Obyektif presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen
Masalah
Istimewa

Neo

A
Rem
Dewasa
Lansia
Bum
natus
Bayi
nak
aja
il
Deskripsi :Laki-laki 68 tahun dengan sulit kencing sejak 3 bulan yang lalu
Tujuan :Menangani hiperplasia prostat
Bahan bahasan :
Tinjauan
Riset
Kasus Audit
Pusaka
Cara membahas : Diskusi

Presentasi dan
Email Pos
diskusi
Data pasien :
Nama : Tn. K
No. registrasi :Nama klinik :
Telp : Terdaftar sejak : 6 Januari 2015
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosis/Gambaran Klinis : Hiperplasia prostat benigna (BPH)
2. Riwayat Pengobatan : 3. Riwayat Kesehatan/ Penyakit : Pernah alami keluhan serupa 9 bulan yang lalu
4. Riwayat Keluarga/ Masyarakat : Tidak ada keluhan serupa pada keluarga
5. Riwayat Pekerjaan : Petani
6. Lain-lain : kencing menetes, tidak puas kencing, nyeri saat mengedan, perut kencang
Daftar Pustaka :
1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC, 2004.
2. Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat. Majalah
Kedokteran Indonesia volume 48. Jakarta : IDI, 1998.
3. Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2. Jakarta :
EGC, 1994.
4. Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan.
Jakarta : Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto
Mangunkusumo, 1993.
5. Anonim. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah Khusus. Jakarta : Aksara Medisina, 1997.
6. Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi. Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK
UNDIP.
7. Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar-Dasar Urologi. Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000.
8. Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama.
Jakarta : Binarupa Aksara, 1995.
9. Rahardjo, J. 1996. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah. Binarupa
aksara, Jakarta ; 161-703.
Hasil Pembelajaran :
1. Diagnosis BPH
2. Patogenesis BPH
6

3. Penatalaksanaan BPH yang tepat


4. Edukasi tentang penyebab, faktor resiko, dan penatalaksanaan yang tepat
Subyektif : : Pasien datang dengan sulit kencing sejak 3 bulan SMRS. Kencing keluar sedikitsedikit dan pada akhirnya pasien tidak dapat kencing sama sekali. Terkadang pada saat kencing,
pasien harus berhenti dulu baru kemudian memulai lagi kencing yang disertai usaha mengejan.
Saat mengejan pasien kadang merasakan nyeri. Kadang-kadang pasien merasa sangat ingin
kencing, dan saat waktu kencing, kencing hanya keluar menetes saja sehingga pasien merasa
tidak puas. Pada malam hari pasien lebih sering terbangun kencing dibandingkan sebelumnya,
kadang 3 sampai 4 kali. Pasien tidak demam, tidak sakit pada pinggang. tidak mengalami
kencing bercampur darah maupun nanah, tidak ada kencing berpasir maupun batu. Pasien
mengeluhkan adanya rasa kencang pada perut bagian bawah.
Objektif : Palpasi regio supra pubik didapatkan full blast (+). Pada pemeriksaan colok dubur,
pada penilaian prostat didapatkan, pool bawah membesar, pool atas tidak terjangkau, konsistensi
kenyal dan licin.
Assessment : Laki-laki, 68 tahun, datang dengan sulit kencing sejak 3 bulan yang lalu. Kencing
keluar sedikit-sedikit hingga akhirnya tidak dapat kencing sama sekali. Saat kencing harus
berhenti untuk mengedan, saat mengedan terasa nyeri. Kadang pasien ingin sekali kencing, bila
dipaksakan keluar kencing hanya menetes saja sehingga merasa tidak puas. Pasien sering
terbangun malam untuk kencing, hingga 3-4 kali.
Plan
Diagnosis : Hiperplasia prostat benigna (BPH)
Pengobatan : Rencana prostektomi, Pemberian terapi cairan IVFD RL : D5% 2 : 2 untuk
memenuhi kebutuhan cairan preoperasi pada pasien, ketorolac 1 ampul/12 jam diberikan untuk
menghilangkan nyeri post operasi pada pasien, Ranitidin 1 ampul/12 jam diberikan sebagai
profilaksis dinding lambung terhadap efek samping dari pemberian ketorolac.
Konsultasi : Dijelaskan secara rasional mengenai tatalaksana yang sudah diberikan

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
7

4.1.

DEFINISI
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral
prostat mengalami hiperplasia sehingga mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer
dan menjadi simpai bedah.(1,2)

1. Anatomi prostat normal dan hiperplasia prostat.


4.2.

EPIDEMIOLOGI
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum
usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari
lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang berlanjut
sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan
hiperplasia.(3)
Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui, tetapi berdasarkan kepustakaan
luar negeri, diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20-30% penderita akan memerlukan
pengobatan untuk hiperplasia prostat. Yang jelas prevalensinya sangat tergantung pada
golongan umur. Sebenarnya perubahan-perubahan ke arah terjadinya pembesaran prostat
sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopik yang
kemudian bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan
kemudian baru disertai dengan gejala klinis.(4)

Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat


ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan
terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar
50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut akan
menimbulkan gejala dan tanda klinis.(1)
4.3.

ANATOMI PROSTAT
a. Anatomi
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul
fibromuskuler yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian
proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram,
dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal
2,5 cm.(5)
Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :(5,6)
1.
2.
3.
4.

Lobus medius
Lobus lateralis (2 lobus)
Lobus anterior
Lobus posterior

Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan menjadi
satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-kadang tak
tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abu-abu, dengan
kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.(6)
Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain adalah:
zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona
periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang
letaknya pada proximal dari sphincter externus di kedua sisi dari verumontanum dan di
zona periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat.
Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.(4,7)

Gambar 2. Pembagian zona pada kelenjar prostar.


Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara di kanan dari
verumontanum di bagian posterior dari urethra pars prostatika. Di sebelah depan
didapatkan ligamentum pubo prostatika, di sebelah bawah ligamentum triangulare
inferior dan di sebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers.
Fascia denonvillier terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat
dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia
endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang
berisi plexus prostatovesikal.(6)

Gambar 3. Anatomi kelenjar prostat potongan sagital.


10

Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari(5) :


1. Kapsul anatomi
2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian :
i. Bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya
ii. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai
adenomatous zone
iii. Disekitar urethra disebut periurethral gland
Pada BPH kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis(5) :
1. Kapsul anatomis
2. Kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya
(outer zone) sehingga terbentuk kapsul
3. Kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner
zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung banyak
jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior dari lobus
medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering berkembangnya suatu
keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior jarang mengalami hiperplasia karena sedikit
mengandung jaringan kelenjar.(5,6)

Gambar 4. Anatomi kelenjar prostat potongan longitudinal.


4.4.

ETIOLOGI

11

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia
prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).(7)
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat
adalah :
a. Teori hormonal
Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi
BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen
(testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan
bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara
hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun dan
terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan
pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya
hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk
inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk
perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif
testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor
pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat. Dari
berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa dalam
keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon
androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin
bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis)
yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini
mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon
estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua
bagian yaitu sentral sekitar urethra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer
yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
b. Teori growth factor (faktor pertumbuhan)
Peranan dari faktor pertumbuhan ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu : basic transforming

12

growth factor, transforming growth factor 1, transforming growth factor 2 dan


epidermal growth factor.
c. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
d. Teori sel stem
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periurethral pada seorang
dewasa berada dalam keadaan keseimbangan steady state, antara pertumbuhan sel
dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu
dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat
berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga
terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem menyebabkan
produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periurethral prostat menjadi
berlebihan.
e. Teori dihidrotestosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari
kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh
globulin menjadi sex hormone binding globulin (SHBG). Hanya 2% sisanya dalam
keadaan bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam target cell yaitu
sel prostat melewati membran sel langsung ke dalam sitoplasma. Di dalam sel
testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dihidrotestosteron yang
kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi hormone receptor complex.
Kemudian hormone receptor complex ini mengalami transformasi reseptor, menjadi
nuclear receptor yang masuk ke dalam inti yang kemudian melekat pada kromatin dan
menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintesa protein yang
akan menimbulkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.
f. Teori reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma pada
kelenjar periurethral (zona transisi) melainkan suatu mekanisme glandular budding,
yang kemudian bercabang dan menyebabkan timbulnya alveoli pada zona
preprostatik. Persamaan epithelial budding dan glandular morphogenesis yang terjadi
pada embrio dengan perkembangan prostat ini menimbulkan perkiraan adanya
reawakening yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat
13

embriologik, sehingga jaringan periurethral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan di
sekitarnya, sehingga teori ini dikenal dengan nama teori reawakening of embryonic
induction potential of protastic stroma during adulthood.
Selain teori-teori diatas, masih banyak lagi teori yang akan menerangkan tentang
penyebab terjadinya BPH seperti teori tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial, teori
infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan dengan aktifitas
hubungan seks, teori peningkatan kolesterol dan Zn, yang semuanya masih belum
jelas hubungan sebab-akibatnya.(4,5,6,8)
4.5.

PATOFISIOLOGI
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen urethra pars prostatika dan
akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna
melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan
anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sakula dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran
kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala-gejala prostatimus. Dengan semakin meningkatnya resistensi urethra, otot
detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi resistensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi
akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli, tidak terkecuali pada kedua muara ureter.
Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli
ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal
ginjal.(2,7)
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu
komponen mekanik dan dinamik. Kompenen mekanik ini berhubungan dengan adanya
pembesaran kelenjar periurethra yang akan mendesak urethra pars prostatika sehingga
terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infravesikal), sedangkan komponen dinamik
meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan reseptor alpha
14

adrenergik. Stimulasi pada reseptor alpha adrenergik akan menghasilkan kontraksi otot
polos prostat ataupun peningkatan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari
stimulasi saraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen
mekanik.(6)
4.6.

GAMBARAN KLINIS
a. Gejala
Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk(1977) dibagi atas gejala
obstruktif dan iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan urethra
pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot
detrusor untuk berkontraksi cukup kuat atau cukup lama sehingga kontraksinya
terputus-putus. Gejalanya adalah(2,8) :
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (sensation of incomplete bladder emptying)
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hiperplasia prostat masih
tergantung 3 faktor yaitu(4):
1. Volume kelenjar periurethral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi,
sehingga meskipun volume kelenjar periurethral sudah membesar dan elastisitas leher
vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih
dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi
belum dirasakan(11).
Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara
mengukur :
1. Residual urin yaitu setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ini dapat
dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan
kateterisasi setelah miksi spontan atau ditentukan dengan pemeriksaan
ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post
voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya
15

kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas
normal vesika. Sisa urin lebih dari 100cc biasanya dianggap sebagai batas
indikasi untuk melakukan intervensi pada penderita hiperplasia prostat.
2. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik)
atau dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran
urin. Untuk dapat melakukan pemeriksaan uroflow dengan baik diperlukan
jumlah urin minimal di dalam vesika 125 sampai 150 ml. Angka normal untuk
flow rata-rata (average flow rate) 10 sampai 12 ml/detik dan flow maksimal
sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan flow rate dapat menurun
sampai average flow antara 6-8 ml/detik, sedang maksimal flow menjadi 15
ml/detik atau kurang. Dengan pengukuran flow rate tidak dapat dibedakan
antara kelemahan detrusor dengan obstruksi infravesikal.
Obstruksi urethra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal
ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk
menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan
penyulit harus dilakukan secara teratur.(1,7,8)
Gejala iritatif disebabkan karena pengosongan vesika urinaria yang tidak sempurna
pada saat miksi atau disebabkan karena hipersensitivitas otot detrusor karena
pembesaran prostat, menyebabkan rangsangan pada vesika, sehingga vesika sering
berkontraksi meskipun belum penuh. Gejalanya adalah(4):
1.
2.
3.
4.

Bertambahnya frekuensi miksi (frequency)


Nokturia (nocturia)
Miksi sulit ditahan (urgency)
Disuria (pain)

Keempat gejala diatas sering disebut sindroma prostatismus.


Secara klinis derajat berat prostatismus dibagi menjadi(4):
1. Grade I: gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml
2. Grade II: gejala prostatismus + sisa kencing 50-100 ml
3. Grade III: retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas
+ sisa urin > 100 ml
4. Grade IV: retensi urin total

16

Derajat berat gejala klinis hiperplasia prostat ini dipakai untuk menentukan
derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya
volume prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai adalah bertambahnya frekuensi
miksi yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari
disebut nokturia, disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan
juga menurunnya tonus sfingter urethra.
Gejala obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan volume
besar. Apabila vesika urinaria mengalami dekompensasi, maka akan terjadi retensi
urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam vesika, hal ini
menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini terus berlanjut, pada
suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi.
Oleh karena produksi urin akan terus terjadi, pada suatu saat vesika tidak mampu lagi
menampung urin sehingga tekanan intravesika akan naik terus, apabila tekanan vesika
menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter akan terjadi inkontinensia paradoks
(over flow incontinence).
Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluks vesikourethra, dilatasi
ureter dan system pelviokalises ginjal. Akibat tekanan intravesikal yang diteruskan ke
ureter dari ginjal, ginjal akan rusak dan menyebabkan terjadinya gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dapat dipercepat bila terdapat infeksi. Selain itu, kerusakan traktus
urinarius bagian atas, yang merupakan akibat dari obstruksi kronik, menyebabkan
penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi. Tekanan intra abdomen akan
meningkat dan menyebabkan terjadinya hernia dan hemoroid.
Akibat terdapatnya banyak sisa urin dalam vesika urinaria, maka dapat terbentuk
batu endapan di dalam vesika dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuria. Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula
menyebabkan terjadinya sistitis. Apabila terjadi refluks, maka akan timbul
pielonefritis.
Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan
penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH,
dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di
antaranya

skorInternational

Prostate

Skoring

System (IPSS)

yang

diambil
17

berdasarkan skorAmerican Urological Association (AUA). Sistem skoring yang lain


adalah skor Madsen-Iversen dan skor Boyarski. Skor IPSS terdiri dari 7 pertanyaan.
Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan iritatif mereka
dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang,
dan 20-35 berat.Untuk Skor Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa
pertanyaan-pertanyaan untuk menilai derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk gejala
iritatif. Total skor dapat berkisar antara 0-29. Skor <> 20 berat. Perbedaannya dengan
skor AUA adalah dalam skor Madsen Iversen penderita tidak menilai sendiri derajat
keluhannya. Perbedaan ini yang mendasari mengapa skor Madsen-Iversen digunakan
di Sub BagianUrologi RSUPN Cipto Mangunkusumo.

Tabel 1. Skoring IPSS

18

Tabel 2. Skoring Madsen-Iversen


b. Tanda
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan colok dubur atau digital rectal examination (DRE) sangat penting.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus sfingter
ani, refleks bulbo kavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan seperti benjolan di
dalam rektum dan perabaan prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :
1. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
2. Adakah asimetris
3. Adakah nodul pada prostat
4. Apakah batas atas dapat diraba
5. Sulkus medianus prostat
6. Adakah kreptasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan
nodul. Sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat keras, dan atau teraba
nodul, dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan
teraba krepitasi.
Apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang
ginjal dapat teraba, dan bila sudah terjadi pielonefritis akan disertai sakit pinggang
dan nyeri ketok pada pinggang. Vesika urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi
19

retensi total, sedangkan daerah inguinal harus diperhatikan untuk mengetahui adanya
hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya penyebab lain
yang dapat menimbulkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau
urethra anterior, fibrosis daerah urethra, fimosis, condiloma di daerah mearus.
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan
teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat
nyeri tekan supra simfisis.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan pencitraan
1. Foto polos abdomen (BNO)
Dari pemeriksaan ini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit lain yang
menyertai misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis atau divertikel kandung
kemih juga dapat untuk mengetahui adanya metastasis ke tulang dari karsinoma
prostat.
2. Pielografi Intravena (IVP)
i. Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling
defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal
ureter membelok ke atas membentuk seperti mata kail (hooked fish).
ii. Mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter
ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu
adanya trabekulasi, divertikel atau sakulisasi buli-buli.
iii. Foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin
3. Sistogram retrogard
Apabila pasien sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram
retrograde dapat pula memberikan gambaran indentasi.
4. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
i. Deteksi pembesaran prostat
ii. Mengukur volume residu urin
5. MRI atau CT-scan jarang dilakukan
Pemeriksaan lain
1. Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh:
i. Daya kontraksi otot detrusor
ii. Tekanan intravesika
iii. Resistensi urethra

20

Angka normal laju pancaran urin adalah 12 ml/detik dengan puncak laju
pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah
menjadi 6-8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11-15 ml/detik. Semakin besar
derajat obstruksi, semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.
2. Pemeriksaan tekanan pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh dari pemeriksaan uroflowmetri tidak
dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot
detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan
pemeriksaan

tekanan

pancaran

dengan

menggunakan

Abrams-Griffiths

Normogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesika dan laju
pancaran urin dapat diukur.
3. Pemeriksaan volume residu urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat
sederhana dengan memasang kateter urethra dan mengukur berapa volume urin
yang masih tertinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun
kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG.
4.7.

DIAGNOSIS
a. Anamnesis : gejala obstruktif dan iritatif.
b. Pemeriksaan fisik : terutama pada colok dubur, hiperplasia prostat teraba sebagai
prostat yang membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan menonjol
kedalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat, batas atas semakin sulit
diraba.
c. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi
d. Pemeriksaan pencitraan : pada pielografi intravena terlihat adanya lesi defek isian
kontras pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok ke atas
berbentuk seperti mata kail. Dengan trans rectal ultrasonografi (TRUS), dapat terlihat
prostat yang membesar.
e. Uroflowmetri : tampak laju pancaran urin berkurang
f. Mengukur volume residu urin : pada hiperplasia prostat terdapat volume residu urin
yang meningkat sesuai dengan beratnya obstruksi (lebih dari 150 ml dianggap sebagai
batas indikasi untuk melakukan intervensi)
Radiologi (dalam hal ini pemeriksaan barium meal), dapat mengidentifikasi kelainan
struktural dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran

21

ke arah tumor. Pemeriksaan ini terutama bermanfaat pada kelainan yang bersifat
penyempitan/ stenotik/ obstruktif di mana skop endoskopi tidak dapat melewatinya.
4.8.

DIAGNOSIS BANDING
a. Kelemahan detrusor kandung kemih
1. Kelainan medulla spinalis
2. Neuropati diabetes mellitus
3. Pasca bedah radikal di pelvis\
4. Farmakologik
b. Neuropati kandung kemih, disebabkan oleh :
1. Kelainan neurologic
2. Neuropati perifer
3. Diabetes mellitus
4. Alkoholisme
5. Farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)
c. Obstruksi disfungsional :
1. Dissinergi detrusor sfingter, yaitu terganggunya koordinasi antara kontraksi
detrusor dengan relaksasi sfingter
2. Ketidakstabilan detrusor
d. Kekakuan leher kandung kemih, contoh : fibrosis
e. Resistensi urethra yang meningkat disebabkan oleh :
1. Hiperplasia prostat jinak atau ganas
2. Kelainan yang berhubungan dengan penyumbatan urethra
3. Uretrolitiasis
4. Uretritis akut dan kronik
5. Striktur urethra
f. Prostatitis akut dan kronis

4.9.

PENATALAKSANAAN
Hiperplasia prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan
menyebabkan penderita datang kepada dokter. Menurut berat gejala klinik, derajat
22

hiperplasia prostat dibagi hiperplasia prostat dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan
penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin, yaitu:
a. Derajat satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml.
b. Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada derajat satu,
prostat lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml
tetapi kurang dari 100 ml.
c. Derajat tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin
lebih dari 100 ml
d. Derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat
gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHOProstate Symptom Score). Skor ini
berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non
bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan
kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke
atas atau bila timbul obstruksi.
Pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan untuk menentukan
cara penanganan, yaitu :
a. Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat
diberikan pengobatan secara konservatif.
b. Derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi operatif, dan
yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral
resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih belum mau dilakukan
operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan konservatif.
c. Derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup
berpengalaman biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram.
Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai
dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka.
d. Derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan
penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang kateter atau memasang

23

sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi
diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TURP atau operasi terbuka.
Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan
kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan.
Tindakan bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90%
kasus). Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi
non-bedah yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi
bedah. Mengingat gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu
pembesaran kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya
kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan untuk :
a. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
b. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
c. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor
Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan hiperplasia prostat
benigna yang dapat dibagi ke dalam 4 macam golongan tindakan, yaitu :
1. Observasi (watchful waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasihat yang
diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi
nokturia, menghindari obat-obatan dekongestal (parasimpatolitik), mengurangi
minum kopi, dan tidak diperbolehkan minuman alkohol agar tidak sering miksi.
Setiap 3 bulan lakukan kontrol keluhan (sistem skor), sisa kencing dan
pemeriksaan colok dubur.
2. Medikamentosa
i. Obat penghambat adrenergik alpha
Dasar pengobatan ini adalah mengusahakan agar tonus otot polos di dalam
prostat dan leher vesica berkurang dengan menghambat rangsangan alpha
adrenergik. Seperti diketahui di dalam otot polos prostat dan leher vesica
banyak terdapat reseptor alpha adrenergik. Obat-obatan yang sering digunakan
prazosin, terazosin, doksazosin, dan alfuzosin. Obat penghambat alpha
adrenergik

yang

lebih

selektif

terhadap

otot

polos

prostat

yaitu

1a (tamsulosin), sehingga efek sistemik yang tak diinginkan dari pemakai


24

obat ini dapat dikurangi. Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamzulosin
0,2-0,4 mg/hari. Penggunaan antagonis alpha 1 adrenergik untuk mengurangi
obstruksi pada vesica tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
Obat-obatan golongan ini memberikan perbaikan laju pancaran urine,
menurunkan sisa urine dan mengurangi keluhan. Obat-obat ini juga memberi
penyulit hipotensi, pusing, mual, lemas, dan meskipun sangat jarang bisa
terjadi ejakulasi retrograd, biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya
keluhan dalam waktu 1-2 minggu setelah pemakaian obat.
ii. Obat penghambat enzim 5 alpha reduktase
Obat yang dipakai adalah finasterid (proskar) dengan dosis 1x5 mg/hari.
Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan dehidrotestosteron
sehingga prostat yang membesar dapat mengecil. Namun obat ini bekerja
lebih lambat daripada golongan alpha blocker dan manfaatnya hanya jelas
pada prostat yang sangat besar. Salah satu efek samping obat ini adalah
melemahkan libido dan ginekomastia.
iii. Fitoterapi
Merupakan terapi alternatif yang berasal dari tumbuhan. Fitoterapi yang
digunakan untuk pengobatan BPH adalah serenoa repens (disebut juga saw
palmetto berry) dan pumpkin seeds. Keduanya, terutama serenoa repens
semakin diterima pemakaiannya dalam upaya pengendalian prostatisme BPH
dalam konteks watchfull waiting strategy.
Serenoa repens menunjukkan perbaikan klinis dalam hal:
frekuensi nokturia berkurang
aliran kencing bertambah lancar
volume residu di kandung kencing berkurang
gejala kurang enak dalam mekanisme urinaria berkurang.
Mekanisme kerja obat diduga kuat:
Menghambat aktivitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir reseptor
androgen
Bersifat antiinflamasi dan anti oedema dengan cara menghambat aktivitas
enzim cyclooxygenase dan 5 lipoxygenase.
25

3. Operatif
Tindakan operasi ditujukan pada hiperplasi prostat yang sudah menimbulkan
penyulit tertentu, antara lain: retensi urin, batu saluran kemih, hematuri, infeksi
saluran kemih, kelainan pada saluran kemih bagian atas, atau keluhan LUTS yang
tidak menunjukkan perbaikan setelah menjalani pengobatan medikamentosa.
Tindakan operasi yang dilakukan adalah operasi terbuka atau operasi endourologi
transurethra.
a. Prostatektomi terbuka
i. Retropubic infravesica (Terence Millin)
Keuntungan :
Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada
subservikal
Tingkat mortalitas rendah
Langsung melihat fossa prostat
Dapat memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli
Perdarahan lebih mudah dirawat
Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama
membuka vesika
Kerugian :
Dapat memotong pleksus santorini
Mudah berdarah
Dapat terjadi osteitis pubis
Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal
Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan
dari dalam vesika
Komplikasi : perdarahan, infeksi, osteitis pubis, trombosis
ii. Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer)
Keuntungan :
Baik untuk kelenjar besar
26

Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat


Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit :
batu buli, batu ureter distal, divertikel, uretrokel, adanya sistostomi,
retropubik sulit karena kelainan os pubis, kerusakan sphingter eksterna
minimal.
Kerugian :
Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesika
sembuh
Sulit pada orang gemuk
Sulit untuk kontrol perdarahan
Merusak mukosa kulit
Tingkat mortalitas 1-5 %
Komplikasi :
Striktura post operasi (uretra anterior 2 5 %, bladder neckstenosis 4%)
Inkontinensia (<1%)
Perdarahan
Epididimo orchitis
Recurent (10 20%)
Karcinoma
Ejakulasi retrograd
Impotensi
Fimosis
Deep venous trombosis
iii. Transperineal
Keuntungan :
Dapat langssung pada fossa prostat
Pembuluh darah tampak lebih jelas
Mudah untuk pinggul sempit
Langsung biopsi untuk karsinoma

27

Kerugian :
Impotensi
Inkontinensia
Bisa terkena rektum
Perdarahan hebat
Merusak diagframa urogenital
b. Prostatektomi Endourologi
i. Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP)
Yaitu reseksi endoskopik melalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir
seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan
bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa
terjadi ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil dapat mengalami
impotensi. Hasil terbaik diperoleh pasien yang sungguh membutuhkan
tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna
untuk

membedakan

pasien

dengan

obstruksi

dari

pasien

non-

obstruksi. Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya


dilakukan TURP.
Saat ini tindakan TURP merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan
di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan transurethra dengan
mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap
terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan berupa larutan
non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat
operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O
steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga
cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang
terbuka pada saat reseksi. Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya
hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma
TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran
somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi.

28

Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya
jatuh dalam keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP
ini adalah sebesar 0,99%. Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma
TUR P dipakai cairan non ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal daripada
aquades, antara lain adalah cairan glisin, membatasi jangka waktu operasi tidak
melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi suprapubik untuk mengurangi
tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat.
Keuntungan :
Luka insisi tidak ada
Lama perawatan lebih pendek
Morbiditas dan mortalitas rendah
Fibrosa prostat mudah diangkat
Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol
Kerugian :
Teknik sulit
Resiko merusak uretra
Intoksikasi cairan
Trauma sphingter eksterna dan trigonum
Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar
Alat mahal
Ketrampilan khusus
Komplikasi:
Selama operasi: perdarahan, sindrom TURP, dan perforasi
Pasca bedah dini: perdarahan, infeksi lokal atau sistemik
Pasca bedah lanjut: inkontinensia, disfungsi ereksi, ejakulasi retrograd, dan
striktura uretra.
ii. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)
Metode ini diindikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran
prostatnya mendekati normal.Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar
dan pada pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode
29

tersebut atau insisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5
dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat
memakai alat seperti yang dipakai pada TURP tetapi memakai alat pemotong
yang menyerupai alat penggaruk. Sayatan dimulai dari dekat muara ureter
sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul
prostat.Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan
menurunnya kejadian ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TUR.
iii. Trans Urethral Laser of the Prostate (Laser prostatectomy)
Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TURP) untuk mengangkat
prostat yang membesar merupakan operasi yang berdarah, sedang pengobatan
dengan TUMT dan TURF belum dapat memberikan hasil yang sebaik dengan
operasi, maka dicoba cara operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa
perdarahan.
Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk
masing-masing lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada
waktu ablasi akan ditemukan pop corn effect sehingga tampak melalui
sistoskop terjadi ablasi pada permukaan prostat, sehingga uretra pars prostatika
akan segera menjadi lebih lebar, yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi
ikutan yang akan menyebabkan laser nekrosis lebih dalam setelah 4-24
minggu sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat
menyerupai rongga yang terjadi sehabis TURP.
Keuntungan bedah laser ialah :
Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi
retensi akibat bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi
Teknik lebih sederhana
Waktu operasi lebih cepat
Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat
Tidak memerlukan terapi antikoagulan
Resiko impotensi tidak ada
Resiko ejakulasi retrograd minimal
Kerugian :
30

Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional).


4. Invasif minimal
i. Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
Cara memanaskan prostat sampai 44,5C- 47C ini mulai diperkenalkan
dalam tiga tahun terakhir ini. Dikatakan dengan memanaskan kelenjar
periuretral yang membesar ini dengan gelombang mikro (microwave) yaitu
dengan gelombang ultarasonik atau gelombang radio kapasitif akan terjadi
vakuolisasi dan nekrosis jaringan prostat, selain itu juga akan menurunkan
tonus otot polos dan kapsul prostat sehingga tekanan urethra menurun
sehingga obstruksi berkurang.
Cara kerja TUMT ialah antena yang berada pada kateter dapat
memancarkan microwave kedalam jaringan prostat. Oleh karena temperatur
pada antena akan tinggi, maka perlu dilengkapi dengan surface costing agar
tidak merusak mukosa ureter. Dengan proses pendindingan ini memang
mukosa tidak rusak tetapi penetrasi juga berkurang.
Cara TURF (trans Uretral Radio Capacitive Frequency) memancarkan
gelombang radio frequency yang panjang gelombangnya lebih besar daripada
tebalnya prostat juga arah dari gelombang radio frequency dapat diarahkan
oleh elektrode yang ditempel diluar (pada pangkal paha) sehingga efek
panasnya dapat menembus sampai lapisan yang dalam. Keuntungan lain oleh
karena kateter yang ada alat pemanasnya mempunyai lumen sehingga
pemanasan bisa lebih lama, dan selama pemanasan urin tetap dapat mengalir
keluar.
ii. Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)
Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula dikerjakan
dengan jalan melakukan commisurotomi prostat pada jam 12.00 dengan jalan
melalui operasi terbuka (transvesikal).
Prostat

di

tekan

menjadi

dehidrasi

sehingga

lumen

uretra

melebar.Mekanismenya yaitu :
Kapsul prostat diregangkan
31

Tonus otot polos prostat dihilangkan dengan penekanan tersebut


Reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars prostatika
dirusak
iii. Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)
Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk
menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara ini mempunyai prospek yang
baik guna mencapai tujuan untuk menghasilkan prosedur dengan perdarahan
minimal, tidak invasif dan mekanisme ejakulasi dapat dipertahankan.
iv. Stent Urethra
Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra, hanya
saja kateter tersebut dipasang pada uretra pars prostatika. Bentuk stent ada
yang spiral dibuat dari logam bercampur emas yang dipasang diujung kateter
(Prostacath). Stents ini digunakan sebagai protesis indwelling permanen yang
ditempatkan dengan bantuan endoskopi atau bimbingan pencitraan. Untuk
memasangnya, panjang uretra pars prostatika diukur dengan USG dan
kemudian dipilih alat yang panjangnya sesuai, lalu alat tersebut dimasukkan
dengan kateter pendorong dan bila letak sudah benar di uretra pars prostatika
maka spiral tersebut dapat dilepas dari kateter pendorong. Pemasangan stent
ini merupakan cara mengatasi obstruksi infravesikal yang juga kurang invasif,
yang merupakan alternatif sementara apabila kondisi penderita belum
memungkinkan untuk mendapatkan terapi yang lebih invasif.

4.10.

PROGNOSIS
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu,
walaupun gejalanya cenderung meningkat. BPH yang tidak segera ditangani memiliki
prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat. Menurut
penelitian, kanker prostat merupakan penyebab kematian di urutan ke 2 pada pria setelah
kanker paru. BPH yang telah ditangani juga memiliki banyak efek samping yang cukup
merugikan pasien.
32

BAB V
ANALISA KASUS
Penegakan diagnosis pada penderita ini didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik
termasuk colok dubur dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Pada anamnesis didapatkan bahwa usia penderita adalah 68 tahun yang berarti usia ini
merupakan usia dimana sekitar 50% pria dapat mengalami pembesaran prostat jinak dan
33

menampakkan gejala-gejala prostatismus. Gejala BPH sendiri terbagi atas gejala


obstruktif dan gejala iritatif. Pada penderita ini didapatkan kedua gejala tersebut.
Gejala obstruktif pada penderita ini adalah pancaran kencing yang lemah, penderita harus
menunggu lama waktu kencing (hesitancy), waktu kencing penderita harus mengedan
(straining), kencing yang terputus-putus (intermittency), dan merasa tidak puas setelah
berkemih. Gejala-gejala obstruksi ini disebabkan oleh menyempitnya uretra pars
prostatika karena proses hiperplasia dari jaringan kelenjar periuretra yang terdiri dari
stroma murni, jadi disini terjadi hiperplasia stroma. Hiperplasia juga terjadi di zona
transisional yang terdiri dari kelenjar-kelenjar yang berbentuk nodul-nodul sehingga
menyebabkan pembesaran nodul-nodul kelenjar ini. Keadaan ini akan membuat
penekanan pada uretra yang dikelilingi oleh smooth muscle sehingga akan timbul
gejala-gejala obstruksi dari aliran air seni yang melewati urethra. Gejala obstruksi yang
mula-mula terjadi adalah penurunan kekuatan dari berkemih oleh karena penekanan
uretra dan apabila telah menetap dapat menimbulkan perasaan tidak puas waktu berkemih
karena kompensasi otot-otot detrusor akibat peningkatan tekanan yang disebabkan oleh
hambatan di uretra dan apabila otot detrusor buli-buli tidak dapat mengatasi peningkatan
tekanan yang ada maka akan timbul gejala-gejala sukar kencing pada bagian akhir miksi
dan terasa pengosongan buli-buli tidak sempurna karena jumlah residu urin yang banyak
dalam buli-buli. Bila keadaan ini terus berlangsung maka dapat menimbulkan retensi urin
karena otot detrusor mengalami kelelahan.
Gejala iritatif yang terjadi pada penderita ini adalah rasa nyeri saat kencing (dysuria) dan
frekuensi kencing yang bertambah (frequency), terutama pada malam hari (nocturia).
Gejala-gejala ini dapat timbul karena beberapa alasan. Yang pertama adalah karena
pengosongan buli-buli yang tidak sempurna setiap kali berkemih sehingga interval antar
berkemih semakin pendek yang artinya akan semakin sering berkemih. Yang kedua
adalah dengan adanya pembesaran dari prostat (enlargement) akan menyebabkan bulibuli merangsang respon kencing supaya lebih sering lagi, terutama bila prostat
berkembang kedalam buli-buli. Nokturia dapat terjadi karena inhibisi kortikal yang
normal pada malam hari berkurang dan juga karena tonus uretra dan sfingter menurun
selama tidur. Nyeri pada waktu kencing dan urgensi timbul karena tekanan pada otot
detrusor yang meningkat sehingga terjadi inkoordinasi antara kontraksi otot detrusor
34

dengan relaksasi sfingter dan terjadinya stasis urin yang bisa mengakibatkan timbulnya
infeksi dan terbentuknya batu di traktus urinarius.
Pemeriksaan fisik pada penderita ini yang terutama adalah dengan colok dubur. Pada
colok dubur ditemukan bahwa pool bawah membesar, pool atas tidak terjangkau,
konsistensi kenyal, licin, tidak terdapat nodul dan tidak ada nyeri tekan. Hal ini muncul
karena perubahan histopatologi pada BPH hanya terjadi pada jaringan periuretral dan
zona transisional yang terbungkus dengan zona perifer, yang membedakannya dengan
suatu keganasan prostat yang akan teraba keras dan berbenjol-benjol (nodul) karena letak
kelainan biasanya pada zona perifer. Rasa nyeri tekan biasanya terjadi pada prostatitis
dan tidak pada BPH. Pemeriksaan fisik lainnya yang bertujuan untuk mengetahui apakah
telah terjadi komplikasi ke ginjal adalah pemeriksaan pada regio costovertebra, dimana
pada penderita ini tidak ditemukan adanya nyeri ketok ataupun bulging yang biasanya
terjadi pada suatu kelainan ginjal seperti hidronefrosis. Pemeriksaan pada regio
suprapubik dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat batu buli-buli atau sistitis
yang ditandai dengan terabanya masa dan nyeri tekan pada suprapubik. Retensio urin
juga dapat diketahui dengan terabanya masa pada suprapubik.
Rencana penatalaksanaan pada pasien ini adalah :
a. Operatif : Pro prostektomi
b. Medikamentosa
Pemberian terapi cairan IVFD RL gtt 12x/mnt untuk memenuhi kebutuhan cairan
preo perasi pada pasien, ketorolac 1 ampul/12 jam diberikan untuk menghilangkan
nyeri post operasi pada pasien, Ranitidin 1 ampul/12 jam diberikan sebagai
profilaksis dinding lambung terhadap efek samping dari pemberian ketorolac.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC, 2004.
2. Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat. Majalah
Kedokteran Indonesia volume 48. Jakarta : IDI, 1998.
3. Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2. Jakarta : EGC,
1994.
35

4. Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan.


Jakarta : Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto
Mangunkusumo, 1993.
5. Anonim. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah Khusus. Jakarta : Aksara Medisina, 1997.
6. Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi. Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK
UNDIP.
7. Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar-Dasar Urologi. Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000.
8. Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama.
Jakarta : Binarupa Aksara, 1995.
9. Rahardjo, J. 1996. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah. Binarupa aksara,
Jakarta ; 161-703.

36

Anda mungkin juga menyukai