Anda di halaman 1dari 3

Dalam satu diskusi salah seorang teman menyampaikan pertanyaan salah seorang aparat penegak

hukum. Pertanyaannya adalah apa benar menurut perpres 54/2010 sebagaimana diubah dengan
Perpres 70 keuntungan penyedia tidak boleh lebih dari 15%?
Setelah ditanya balik menurut beliau bagaimana? Jawabannya justru mengejutkan, menurut
beliau tidak mungkin kita membatasi keuntungan yang harus ditawarkan penyedia. Maka
sayapun sependapat. Keuntungan penyedia adalah mekanisme pasar. Siapa yang bisa
memastikan mekanisme pasar? Paling banter memperkirakan saja. Maka dari itu Perpres 54/2010
sebagaimana diubah dengan perpres 70/2012 hanya mengatur tata cara menyusun Harga
PERKIRAAN Sendiri.
Dalam memperhitungkan keuntungan dipasar dasarnya adalah opportunity. Peluang untuk
mendapatkan keuntungan yang optimal dengan pengorbanan tertentu. Bahkan menurut pendapat
ahli ekonomi lama prinsipnya adalah mendapatkan keuntungan yang maksimal dengan
pengorbanan
yang
minimal.
Inilah
hukum
pasarnya.
Yang membingungkan adalah ketika beberapa ahli atau yang dianggap ahli pengadaan
barang/jasa pemerintah tidak sependapat dengan hukum pasar ini. Kemudian menyatakan bahwa
dalam pengadaan barang/jasa pemerintah keuntungan penyedia itu maksimal 15%. Dari manakah
simpulan yang mengingkari hukum kodrati pasar ini?
Ternyata dasarnya adalah penjelasan pasal 66 Ayat (8) yang menyebutkan Contoh keuntungan
dan biaya overhead yang wajar untuk Pekerjaan Konstruksi maksimal 15% (lima belas
perseratus).
Sepertinya harus kita coba cari asbabun nuzul munculnya penjelasan ini. Pertama; Penjelasan
pasal ini berada dalam Bagian Ketujuh Perpres 54/2010 sebagaimana diubah dengan perpres
70/2012 yang khususan membahas Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Artinya sangat jelas ketika
berbicara keuntungan dalam lingkup bagian ini semua terkait dengan tata cara menyusun HPS.
Sesuai dengan nomenklaturnya HPS adalah Perkiraan. Menurut KBBI, perkiraan adalah yg
diperkirakan; hasil mengira-ngira; pertimbangan; perhitungan. Dari sini jelas bahwa HPS
bukanlah sesuatu yang pasti. Menyusun HPS adalah tentang seni dan keahlian memperkirakan
harga pasar dengan metode perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun demikian
perkiraan tetaplah perkiraan tidak punya kebenaran dan ketepatan absolut. Ada sampling error
yang menjadi bagian tak terpisahkan darinya.
Simpulannya HPS sangat mungkin salah. Kesalahan menyusun HPS adalah kesalahan
menyusun perkiraan yang tidak selalu jahat. Akan jahat apabila kesalahan perhitungan dibuat
dengan sengaja untuk tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau golongan tertentu.
Bukankah kesalahan tidak selalu kejahatan, meski kejahatan selalu mengandung kesalahan.
Yang dihukum mestinya adalah kejahatan bukan kesalahan. Justru karena pernah salah kita
bisa berbuat benar kedepannya.
Kapan HPS ketahuan salah? Ketika bertemu dengan harga pasar yang tercipta pada saat
pelelangan/pemilihan penyedia! Sangat jarang ditemukan HPS yang absolut benar karena

hukumnya memang begitu. Lihat pasal 66 ayat 5 fungsi HPS adalah alat untuk menilai
kewajaran penawaran termasuk rinciannya dan dasar untuk menetapkan batas tertinggi
penawaran yang sah.
Dari aturan ini maka dapat dipastikan 99% HPS adalah salah karena penawaran kalau tidak
diatas HPS ya dibawah HPS. Sangat jarang ditemukan HPS dan Harga Penawaran sama persis.
Kalau sama persis potensi kejahatannya sangat besar, meski belum tentu juga kejahatan .
Apalagi untuk struktur biaya yang terdiri dari rincian. Bukankah rincian HPS hukumnya rahasia,
jika HPS sama dengan Harga Penawaran kemungkinan besar rincian bocor.
Ketika Harga Penawaran dibawah HPS. Artinya HPS tidak mampu menangkap Harga Pasar
sebenarnya. Kesalahan ini lah yang kemudian menjadi bahan pembenahan HPS pengadaan
barang serupa dimasa yang akan datang. Ini juga diatur oleh pasal 66 ayat 7 huruf c. bahwa salah
satu sumber informasi HPS adalah biaya Kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan
mempertimbangkan faktor perubahan biaya.
Kembali ke pembahasan keuntungan. Dari uraian sebelumnya jelas bahwa keuntungan yang
dijelaskan dalam pasal 66 ayat 8 tersebut adalah perkiraan keuntungan dalam menyusun HPS.
Bukan dalam menentukan keuntungan penyedia dalam pengadaan barang/jasa. Jika HPS sudah
disusun, dikalkulasikan secara keahlian berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan
maka keuntungan penyedia dalam Harga Penawaran bukanlah kejahatan. Keuntungan penyedia
seperti ini tidak dapat dibatasi karena tingkat persaingan telah dibatasi melalui HPS. Untuk itu
tidak ada alasan memeriksa atau mengejar penyedia untuk menyampaikan bukti pembelian
kepada distributor atau pabrikan.
Kedua; Penjelasan pasal 66 ayat 8 hanya mencontohkan saja. Artinya angka maksimal 15% itu
hanyalah contoh. Kemudian angka tersebut tidak bercerita tentang batas keuntungan tetapi batas
keuntungan ditambah overhead. Tidak ada persentase berapa keuntungan dan berapa overheadnya. Lebih kemudian lagi contoh ini hanya untuk contoh pekerjaan konstruksi. Bukan untuk
pengadaan barang, jasa lainnya atau konsultansi.
Parahnya argumen ini dipatahkan oleh Perka LKPP 14/2012 tentang petunjuk teknis Perpres
70/2012. Dimana dalam menjelaskan penyusunan HPS Barang disebutkan dengan tegas bahwa :
Dalam menyusun HPS telah memperhitungkan:
1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN); dan
2. keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar bagi Penyedia maksimal 15%
(lima belas perseratus) dari total biaya tidak termasuk PPN;
Sepertinya ini PR besar kebijakan karena hal ini terus terang berpotensi menyesatkan pelaksana,
pemerhati, pengawas dan penindak terkait pengadaan barang/jasa. Ada tafsiran yang belum
sinkron antara batang tubuh dengan petunjuk teknis.

Untuk pengadaan barang keuntungan sangat-sangat tergantung dengan mekanisme pasar pada
saat proses pengadaan dilakukan atau pada 28 hari sebelum batas akhir pemasukan. Ada
persoalan supply dan demand disana. Ada persoalan peta persaingan pasar penyedia dan
sebagainya. Yang hukum pasarnya sudah ditelurkan dalam beratus-ratus teori. Contoh kecil jika
jumlah barang dipasaran sedikit sementara pembeli/kebutuhan meningkat maka secara otomatis
harga pasar tinggi. Meski harga pokok pembelian penyedia sebelum permintaan meningkat
sangat murah tidak bisa dijahatkan penyedia menawarkan harga tinggi.
Pengakuan tentang ini sebenarnya tertuang pada perpres 54/2010 sebagaimana diubah dengan
Perpres 70/2012 Paragraf Tentang Penyesuaian Harga Pasal 92 ayat 3 bahwa dalam penyesuaian
harga untuk menetapkan Koefisien Tetap yang terdiri atas keuntungan dan overhead jika
penawaran tidak mencantumkan besaran komponen keuntungan dan overhead maka
Koefisien Tetap = 0,15 (15%). Ini maknanya dalam memperhitungkan keuntungan pada harga
penawaran penyedia diserahkan kepada penyedia. Terkecuali penyedia tidak mencantumkan
maka baru diambil simpulan 15%.
Disamping itu tidak ada satu literatur lain yang menyebutkan persentase tertentu untuk
menentukan keuntungan yang wajar pengadaan barang. Kalau untuk pekerjaan konstruksi
memang ada. Salah satunya Standar penyusunan Analisa Harga Satuan Pekerjaan (AHSP)
Balitbang Kementerian PU tahun 2012 dimana disebutkan Jumlah Harga pekerjaan seluruh
mata pembayaran ditambah dengan biaya umum dan keuntungan 15%, serta PPN 10%
sehingga merupakan perkiraan (estimasi) biaya kegiatan pekerjaan. Estimasi ini juga
didasarkan pada nilai optimum yang relatif dekat dengan tingkat Suku Bunga Bank Indonesia
(SBI). Yang digaris bawahi adalah bahwa nilai optimum tersebut adalah Harga Pekerjaan yang
terdiri dari komponen material, pekerja dan peralatan, sehingga wajar benchmarknya SBI. Kalau
untuk material/barang tentu tidak beralasan.
Simpulan yang bisa saya ambil, mohon koreksi jika keliru, adalah :
1. 15% bukanlah batas maksimal keuntungan penawaran penyedia.
2. 15% adalah batas maksimal keuntungan yang wajar dalam menyusun HPS pekerjaan
kontstruksi atau pekerjaan yang terdiri dari input material, peralatan dan SDM.
3. 15% bukanlah batas maksimal keuntungan yang wajar dalam menyusun HPS Barang
karena sangat tergantung pada harga pasar 28 hari sebelum batas akhir pemasukan.
Demikian bahasan ini semoga bisa membuka diskusi yang lebih baik dalam menelaah Harga
dalam proses pengadaan barang/jasa.

Anda mungkin juga menyukai