Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBENTUKAN KABINET HATTA I

A. Kondisi Politik Sebelum Kabinet Hatta I


Periode revolusi fisik tahun 1945 sampai 1950 dalam Pemerintah Republik
Indonesia identik dengan jatuh bangunnya kabinet. Menurut Herbert Feith, jatuh
bangunnya kabinet ketika itu karena pemimpin sentral Republik Indonesia
terpecah mengenai berbagai aspek dari pandangan dan persepsi mengenai
Republik Indonesia dan dunia. Dalam bidang politik luar negeri, persaingan antar
elit terjadi di seputar dua pertanyaan, yaitu; pertama, bagaimana menghadapi
Belanda; dan kedua, persoalan perumusan identitas internasional Republik
Indonesia. Mengenai yang pertama, pemerintah Republik Indonesia menghadapi
tekanan politik yang amat kuat dalam perundingan dengan Belanda. Mengenai
yang kedua, para elit bersaing, yang terpecah dalam garis politik dan ideologi,
serta berbeda pandangan dalam konteks bipolarisme dunia. 1 Dari argumen Herbert
Feith dapat diuraikan beberapa contoh peristiwa sebagai berikut:
1. Tekanan Politik Belanda dalam Perundingan.
Pada tanggal 17 Maret 1946 Sutan Syahrir mengajukan satu usul
kompromi dengan memberikan konsesi yang tak sesuai dengan ikrar
proklamasi.2 Salah satunya adalah pengakuan secara de facto Republik
Indonesia atas Jawa dan Sumatra oleh Belanda. Hal ini mengakibatkan
1

Ganewati Wuryandari, Dharurodin Mashad, Tri Nuke Pujiastuti, dkk,


Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 67 - 68.
2

Adam Malik, Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan 45, Jakarta: Gunung
Agung, 1984, hlm. 163.
22

23

pertentangan berbagai golongan mengenai hasil Perjanjian Linggarjati


terutama para pengikut Tan Malaka dalam Persatuan Perjuangan.3
Pada malam hari tanggal 27 Juni 1946 Sutan Syahrir ditangkap oleh
satuan - satuan tentara di Surakarta dalam perjalanan keliling ke Jawa Timur.
Penangkapan Sutan Syahrir ini diharapkan akan memungkinkan Dwitunggal
memberikan

kemerdekaan

100

persen.

Untuk

menyikapi

peristiwa

penangkapan Sutan Syahrir maka tanggal 30 Juni 1946 melalui siaran radio
Presiden

Sukarno

membahayakan

menyatakan

persatuan

bahwa

bangsa.

penangkapan

Pernyataan

Sutan

Presiden

Syahrir
Sukarno

menggoyahkan kepercayaan diri pihak oposisi sehingga tanggal 3 Juli 1946


satuan - satuan tentara membebaskan tawanan dan mengirimkan delegasi
kepada Presiden Sukarno di Yogyakarta supaya presiden membubarkan
kabinet.4 Dikirimlah delegasi untuk menyampaikan tujuan penangkapan Sutan
Syahrir kepada presiden, tetapi mengalami kegagalan.5
Peristiwa 3 Juli 1946 ini menjadi bukti betapa berbahayanya
persaingan elit politik dalam negeri yang dapat menimbulkan perang saudara
di Jawa Tengah. Pemerintah menyalahkan Tan Malaka sebagai orang yang
bertanggung
3

jawab

atas

semua

peristiwa

ini.6

Setelah

penculikan

Ibid., hlm. 164.

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 - 2004, Jakarta: Serambi,


2005, hlm. 449 - 450.
5

Soe Hok Gie, Orang - orang di Persimpangan Kiri Jalan: Kisah


Pemberontakan Madiun September 1948, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,
1997, hlm. 104.
6

M.C. Ricklefs, op.cit., hlm. 450.

24

Sutan Syahrir maka pemerintahan dipegang oleh Presiden Sukarno, tindakan


presiden memegang kekuasaan pemerintah tersebut dilakukan dengan
mendapat persetujuan dari menteri - menteri yang ada. Dengan pengambilan
kekuasaan itu maka otomatis kekuasaan pemerintah langsung dibawah
tanggung jawab presiden, sedangkan Kabinet Syahrir II didemisioner.7
Perundingan selanjutnya dengan Belanda yaitu perundingan Renville.
Penandatanganan Persetujuan Renville menimbukan suatu krisis kabinet
dalam Republik Indonesia. Sebelumnya Masyumi yang merupakan partai
politik terbesar telah mengundurkan diri dari kabinet tanggal 16 Januari 1948.
Masyumi dan PNI menyatakan bahwa mereka tidak dapat mendukung Mr.
Amir Syarifuddin lagi sebagai perdana menteri dan bahwa dukungan mereka
kepada setiap pemerintahan mendatang akan tergantung kepada apakah
mereka mempunyai posisi dominan didalamnya. Mereka tidak akan
mendukung pelaksanaan suatu persetujuan yang tidak mereka setujui itu,
kecuali jika yang memimpin bukan dari kelompok yang bertanggungjawab
atas persetujuan itu.8 Pernyataan Masyumi dan PNI sudah terlihat
ketidaksukaan terhadap kepemimpinan Mr. Amir Syarifuddin setelah
Persetujuan

Renville

dan

mengharapkan

pergantian

kepemimpinan

secepatnya.

Mr. Achmad Sanusi, Perkembangan Sistem Pemerintahan Negara


Republik Indonesia 1945 - 1958. Bandung: Penerbit Universitas, 1958, hlm. 49.
8

George McTurnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik:


Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Semarang: UNS Press, 1995, hlm. 290.

25

Dengan pengunduran diri kedua partai itu, kini Mr. Amir Syarifuddin
hanya mempunyai dukungan dari Sayap Kiri. Karena itu ia lalu
mengundurkan diri sebagai perdana menteri.9 Dibutuhkannya pemimpin yang
kuat dalam menjalankan Persetujuan Renville dikarenakan situasi yang sangat
panas dalam hubungannya dengan Belanda dan Angkatan Perang Republik
Indonesia yang merasa dirugikan. Akan tetapi Masyumi dan PNI tidak
berminat memegang tanggung jawab utama dalam melaksanakan syarat syarat utama yang tidak mereka sukai itu.
2. Persaingan Elit Politik yang Terpecah dalam Garis Politik dan Ideologi.
Tiga pasangan pemimpin angkatan 1945 dengan tiga dinamika
perjuangan memberikan warna khas bagi revolusi Indonesia. Ketiga pasangan
itu yaitu; Ir. Sukarno dengan Drs. Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dengan
Mr. Amir Syarifuddin, dan Tan Malaka dengan Jenderal Sudirman. Ir.
Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta duduk manunggal dalam pucuk pimpinan
negara dan pemerintahan dari kalangan nasionalis, Sutan Syahrir dan Mr.
Amir Syarifuddin membentuk suatu kekuatan baru yang bersendi pada
pemikiran intelektualistis sebagai alumni dari PNI Gaya Baru dan Partindo,
disamping itu pasangan Tan Malaka dan Jenderal Sudirman mempunyai urat
dan akar langsung di kalangan pemuda - pemuda radikal dan anggota pasukan
PETA.10

Ibid., hlm. 291.

10

Adam Malik, op,cit., hlm. 90.

26

Masa kabinet pertama ditandai dengan orang - orang yang menduduki


kabinet sebagai kolaborator Jepang menjadi senjata Belanda dalam melakukan
provokasi, dengan harapan Sekutu menilai pemerintah Republik Indonesia
adalah buatan Jepang. Munculnya isu ini memberikan peluang Sutan Syahrir
untuk melakukan kampanye bahwa perubahan dalam pemerintahan dianggap
perlu

guna memperkokoh kedudukan Republik Indonesia di dunia

internasional, maka muncullah Sutan Syahrir dengan predikat bukan


kolaborator Jepang ke panggung politik sebagai pimpinan eksekutif ditemani
Mr. Amir Syarifuddin. Kampanye Sutan Syahrir untuk merombak pimpinan
pemerintahan dan menghapus kolaborator Jepang menyinggung posisi
Jenderal Sudirman sebagai pimpinan PETA. Maka Jenderal Sudirman
mendekati Tan Malaka sebagai kekuatan penentang Sutan Syahrir.
Semenjak tahun 1946 pimpinan tertinggi pemerintahan dipegang oleh
pasangan Sutan Syahrir dengan Mr. Amir Syarifuddin dan pasangan Ir.
Sukarno dengan Drs. Mohammad Hatta yang mendukung politik diplomasi
Sutan Syahrir. Sebaliknya politik diplomasi ini ditentang oleh kelompok Tan
Malaka dengan Jenderal Sudirman yang condong kepada garis politik keras.
Maka pada proses diplomasi pertama dengan Belanda mengenai Perjanjian
Linggarjati pasangan Tan Malaka dan Jenderal Sudirman menjadi oposisi
terhadap kebijakan Sutan Syahrir melalui Persatuan Perjuangan. Peristiwa 3
Juli 1946 menjadi bukti sikap elit politik terhadap kebijakan Pemerintah.
Reaksi atas peristiwa 3 Juli 1946

pasangan Ir. Sukarno dengan

27

Drs. Mohammad Hatta berperan sebagai penengah, Jenderal Sudirman sendiri


bersikap luwes, sedangkan kelompok Tan Malaka ditangkap.
Salah satu corak sistem pemerintahan parlementer di Republik
Indonesia yaitu menganut banyak partai, maka dalam menjalankan
pemerintahan tidak ada partai yang dominan. Koalisi dari berbagai macam
partai merupakan salah satu cara dalam memperkuat jalannya pemerintahan.
Sedangkan partai yang tidak tergabung dalam koalisi membentuk oposisi.11
Pertentangan tidak hanya muncul dalam setiap individu tetapi juga
muncul dalam partai politik yang bergabung dalam kelompok tertentu. Setelah
muncul Persatuan Perjuangan yang berimbas pada pergolakan Kabinet Syahrir
II, maka harapan muncul dengan menyatukan berbagai kalangan partai politik
dalam Kabinet Syahrir III. Campur tangan presiden dalam pembentukan
komposisi kabinet masih besar, kekuatan nasionalis (Partai Sosialis dan Partai
Nasional Indonesia), agama (Masyumi dan Partai Kristen) dan komunis dari
Partai Komunis Indonesia. Komposisi partai dalam kabinet diharapkan dapat
menghancurkan kekuatan Dr. H.J. van Mook melalui meja perundingan.
Setelah melalui perundingan dengan Belanda dan Agresi Militer Belanda I
memunculkan pertentangan dalam kehidupan kepartaian di Republik
Indonesia.12
Pertentangan ini memecah kekuatan menjadi dua kelompok yang
saling beradu. Kedua kelompok itu ialah partai - partai pendukung pemerintah

11

Mr. Achmad Sanusi, op.cit., hlm. 73.

12

Adam Malik, op.cit., hlm. 155 -176.

28

mengenai

hasil Perjanjian

Linggarjati.

Kelompok

yang

mendukung

Pemerintah dikenal dengan sebutan Sayap Kiri yang berasal dari Partai
Sosialis, Pesindo, Partai Buruh, dan Partai Komunis Indonesia. Kelompok
yang menentang Pemerintah dikenal dengan sebutan Benteng Republik yang
berasal dari PNI, Masyumi, dan Partai Rakyat.
Pertentangan kedua kelompok ini nampak jelas pada rapat pleno KNIP
di Malang yang berlangsung antara tanggal 25 Februari sampai 5 Maret 1947.
Dalam rapat pleno terjadi perdebatan antara Sayap Kiri yang mendukung
Dekrit Presiden dan Benteng Republik yang menentangnya. Dekrit Presiden
ini bertujuan supaya KNIP meratifikasi13 Perjanjian Linggajati. Dalam
keadaan macet ini muncul Wakil Presiden Mohammad Hatta yang
mengancam akan mundurnya Dwitunggal dari jabatan apabila Dekrit Presiden
mengenai jumlah anggota KNIP sampai ditolak dalam sidang. 14

B. Mohammad Hatta Terpilih sebagai Perdana Menteri


Setelah panjang lebar menguraikan berbagai peristiwa sebagai penguat
pernyataan Herbert Feith mengenai akibat jatuh bangunnya kabinet, maka
pembahasan tertuju kepada Drs. Mohammad Hatta sebagai orang yang terpilih

13

Hak ratifikasi diserahkan kepada Presiden untuk melakukan perjanjian


dengan negara lain, menyatakan perang dan lainnya. Setelah keluar Maklumat
Wakil Presiden Nomor X tertanggal 16 Oktober 1945 KNIP di berikan kekuasaan
legislatif dan mempunyai hak ratifikasi juga. Sehingga dalam menyatakan perang,
membuat perdamain dan perjanjian dengan negara lain Presiden harus meminta
persetujuan KNIP. Mr. Assaat, Hukum Tata Negara Republik Indonesia dalam
Masa Peralihan, Yogyakarta: Badan Penerbit Nasional, 1947, hlm. 20 - 21.
14

Adam Malik, op.cit., hlm. 177.

29

untuk memimpin kabinet. Ramalan mengenai terpilihnya Drs. Mohammad Hatta


sebagai pengganti Mr. Amir Syarifuddin sudah tercium jauh hari sebelum Kabinet
Amir Syarifuddin jatuh. Terpilihnya Drs. Mohammad Hatta sebagai perdana
menteri terkait dengan kondisi kabinet sebelumnya sesuai dengan pendapat
Herbert Feith, ditambah dengan besarnya pencitraan pemimpin Republik
Indonesia kala itu dimana terjadi ketergantungan tokoh politik kepada Ir. Sukarno
dan Drs. Mohammad Hatta.
Pada tanggal 24 Januari 1948 Kabinet Amir Syarifuddin menyerahkan
jabatannya sebagai perdana menteri kepada presiden. Malam itu juga presiden
menunjuk Drs. Mohammad Hatta sebagai formatur kabinet.15 Tanggal 6 Februari
1948 Drs. Mohammad Hatta bertemu Ir. Soekarno, pembicaraan kedua tokoh ini
terutama pada krisis kabinet. Menurut Ir. Sukarno banyak pemimpin - pemimpin
partai yang mendekati dia, seperti Dr. Sukiman W., Mangunsarkoro dan Dr. J.
Leimena, mereka menyarankan Wakil Presiden Mohammad Hatta merangkap
sebagai perdana menteri.16 Ketika Drs. Mohammad Hatta baru pulang dari
Sumatra, datanglah Sutan Syahrir, Dr. J. Leimena dan beberapa tokoh lainnya
untuk menjelaskan kondisi yang terjadi dan mereka berpendapat hanya Drs.
Mohammad Hatta yang dapat menyelamatkan keadaan. Selanjutnya mereka
menanyakan kesediaan Drs. Mohammad Hatta untuk menjadi calon perdana

15

Kabinet Amir Bubar, Moh. Hatta Formateur, Kedaulatan Rakyat, 24


Januari 1948.
16

Mohammad Hatta, Memoir, Jakarta: Tintamas, 1979, hlm. 523.

30

menteri, dan tawaran ini diterima Drs. Mohammad Hatta dengan syarat bahwa
PNI dan Masyumi mendukungnya. 17
Kedudukan Dwitunggal tidak hanya merupakan simbol negara dilihat dari
dasar konstitusionalnya tetapi juga sebagai pemimpin - pemimpin besar yang
merupakan pusat dari kepercayaan rakyat. 18 Kelebihan tersebut terbukti pada rapat
pleno KNIP di Malang, dengan campur tangan Dwitunggal sikap tidak percaya
partai oposisi terhadap Pemerintah dapat dihilangkan mengingat kondisi yang
sangat krisis.
Dimasa pemerintahan Republik Indonesia telah dicoba mengubah sistem
pemerintahan presidensil menjadi sistem pemerintahan parlementer yang
dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada BPKNIP.
Presiden dan wakil presiden dilindungi oleh kabinet yang bertanggungjawab
politik, yang setiap waktu dapat diganti kalau perlu. Tetapi dalam praktek ternyata
berbeda, bahwa bukan kabinet yang melindungi presiden dan wakil presiden, dan
memagari mereka dengan tanggungjawabnya, melainkan sebaliknya. Dimana mana presiden dan wakil presiden harus bertindak untuk mempergunakan
kewibawaannya untuk melindungi posisi kabinet dari kecaman dan serangan
rakyat yang tidak puas. Sampai wakil presiden dalam Sidang KNIP terpaksa

17

Soe Hok Gie, op.cit., hlm. 162.

18

Mr. Achmad Sanusi, op.cit., hlm. 70.

31

bersuara untuk mempertahankan politik pemerintah yang digugat dan dikecam


sehebat - hebatnya oleh berbagai golongan didalamnya. 19
Tidak ada jalan lain bagi Presiden Sukarno pada waktu itu untuk
mengatasi pertentangan partai politik, kecuali menunjuk Wakil Presiden
Mohammad Hatta membentuk kabinet yang baru dengan sistem presidensil, yang
bebas dari ikatan partai.20 Mengingat kekuatan Dwitunggal di dalam rakyat yang
besar dapat memungkinkan meyelesaikan kekacauan yang terjadi. Tindakan ini
untuk mengisi kekosongan secepatnya pasca mundurnya Mr. Amir Syarifuddin.
Maka tanggal 29 Januari 1948, Presiden Soekarno mengangkat Drs. Mohammad
Hatta menjadi perdana menteri melalui Maklumat Presiden Nomor 3 Tahun 1948.
Secara pribadi Drs. Mohammad Hatta dikenal sebagai seorang yang jujur,
antikorupsi, memegang teguh prinsip, tegas, terampil berorganisasi, memiliki
intelektualitas tak tertandingkan, dan pemegang paham sosialisme yang setia.
Sifat yang khas dari Drs. Mohammad Hatta adalah sanggup menjadi seorang
rasional tanpa harus kebarat - baratan. Tokoh yang taat beragama ini kerap
dikisahkan menjauhi dansa dan berbagai warna - warni pergaulan barat. Drs.
Mohammad Hatta yang berorientasi kerakyatan mengambil teladan dari barat
dalam urusan disiplin dan berorganisasi. 21

19

Mohammad Hatta, Beberapa Pokok Pikiran, Jakarta: UI-Press, 1992,


hlm. 112 - 113.
20
21

Mr. Achmad Sanusi, op.cit., hlm. 53 - 54.

Salman Alfarisi, Mohammad Hatta: Biografi Singkat (1902 - 1980),


Yogyakarta: Garasi, 2009, hlm. 191 - 192

32

C. Pembentukan Kabinet Hatta I


Pembentukan suatu kabinet presidensil yang bersifat nasional dan
mencakup semua partai, tampaknya merupakan satu - satunya jalan yang cepat
untuk menciptakan pimpinan kuat yang dibutuhkan. Drs. Mohammad Hatta
berusaha membentuk suatu pemerintahan nasional yang mengikutsertakan semua
partai besar.22 Corak kabinet presidensil yang didalamnya terdapat dualisme
fungsi Drs. Mohammad Hatta sebagai perdana menteri dan wakil presiden secara
teori bentuk pertanggungjawaban menteri langsung kepada presiden. Tetapi
dikarenakan presiden tidak mempunyai alat dalam mengawasi kinerja menterinya
maka presiden tidak dapat meminta pertanggungjawaban dengan memuaskan.
Melihat hubungan presiden dengan KNIP maka bentuk pertanggungjawaban
menteri dilakukan dengan cara presiden mempersilahkan menteri memberikan
keterangan dan pembelaannya kepada KNIP. Pertanggungjawaban menteri adalah
pertanggungjawaban presiden juga.23 Drs. Mohammad Hatta dalam posisinya
sebagai wakil presiden bertanggungjawab kepada presiden dan posisinya sebagai
perdana menteri bertanggungjawab kepada KNIP. Dalam praktek Kabinet Hatta I
tidak mutlak menganut sistem pemerintahan presidensil maupun parlementer
tetapi merupakan kabinet kawin silang diantara keduanya.24

22

George McTurnan Kahin, loc.cit.

23

Mr. Assaat, op.cit., hlm. 14.

24

Lambert Giebels, Soekarno Biografi 1901 - 1950, Jakarta: Grasindo,


2001, hlm. 452.

33

Susunan Kabinet Hatta I yang terbentuk pada tanggal 29 Januari 1948


sebagai berikut:25
Kementrian

Nama

Partai

1. Perdana Menteri

: Drs. Mohammad Hatta

Non Partai

2. Menteri Luar Negeri

: Haji Agus Salim

Non Partai

3. Menteri Dalam Negeri

: Dr. Sukiman W.

Masyumi

4. Menteri Pertahanan

: Drs. Mohammad Hatta

Non Partai

5. Menteri Kehakiman

: Mr. Susanto Tirtoprodjo PNI

6. Menteri Penerangan

: Mohamad Natsir

Masyumi

7. Menteri Keuangan

: Mr. A.A. Maramis

PNI

8. Menteri Persediaan Makanan Rakyat : I.J. Kasimo

PKRI

9. Menteri Kemakmuran

: Sjafruddin Prawiranegara Masyumi

10. Menteri Perhubungan

: Ir. Djuanda

Non Partai

11. Menteri Pekerjaan Umum

: Ir. Djuanda26

Non Partai

12. Menteri Perburuhan dan Sosial

: Kusnan

Non Partai28

13. Menteri Pembangunan dan Pemuda : Supeno27

PSI

25

Departemen Penerangan, Susunan dan Program Kabinet Republik


Indonesia Selama 25 Tahun 1945 - 1970, Jakarta: Pradnja Paramita, 1970, hlm. 8.
26

Pada tanggal 13 April 1948 Ir. Djuanda diberhentikan sebagai Menteri


Pek. Umum dan Ir. Laoh dari PNI diangkat sebagai Menteri Pekerjaan Umum
(Keputusan Presiden Tanggal 13 April 1948 No. 40-A C-1948). Ibid.
27

Meninggal pada tanggal 24 Februari 1949. Berhubungan dengan


meninggalnya Supeno dan karena jabatan itu tidak diisi, maka jumlah jabatan
kurang satu. Ibid.
28

Berbeda dengan yang tercantum dalam susunan kementrian dalam


Departemen Penerangan bahwa Kusnan dari Persatuan Guru Republik Indonesia

34

14. Menteri P. P. & K.

: Mr Ali Sastroamidjojo

PNI

15. Menteri Agama

: K.H Masjkur

Masyumi

16. Menteri Kesehatan

: Dr. J. Leimena

Parkindo

17. Menteri Negara

: Sultan HB ke IX

Non Partai

Perdana Menteri Mohammad Hatta dalam pidatonya yang pertama dengan


Badan Pekerja KNIP pada tanggal 16 Februari 1948 memberikan keterangan
menganai sifat kabinet yang dipimpinnya sebagai berikut:
Kabinet ini, seperti dikatahui adalah Kabinet Presiden, dan dimagsud untuk
sementara waktu saja. Apabila telah ada kemungkinan untuk membentuk
suatu Kabinet Parlementer, maka kami bersedia mengundurkan diri dan
memberi jalan akan timbulnya Kabinet Parlemeter itu.29
Keterangan Perdana Menteri Mohammad Hatta dengan pertimbangan
bahwa tidak ada partai yang mengakibatkan Kabinet Amir II jatuh menjadi
formatur, sehingga apabila tidak secepatnya dibentuk kabinet baru akan
menimbulkan krisis yang berkepanjangan. Apabila Masyumi dan PNI menjadi
formatur yang jelas - jelas menentang Persetujuan Renville pasti akan
menimbulkan anggapan negatif dari dunia internasional. Maka dari itu anggota anggota yang menempati kementrian terdiri dari orang - orang yang ahli dan

(PGRI). Penulis cantumkan Kusnan sebagai non partai hal ini didasarkan bahwa
PGRI bukan merupakan partai, diperkuat dengan uraian Kusnan sendiri dan
Kusnan bukan sebagai wakil SOBSI tetapi sebagai perorangan. Rh. Koesnan,
Membantu Perdana Menteri Bung Hatta, Dalam Hatta (Ed), Bung Hatta:
Mengabdi Pada Tjita tjita Perdjoangan Bangsa, Jakarta: Panitia Peringatan
Ulang Tahun Bung Hatta ke 70, 1972, hlm. 223. Dan Menteri Kusnan Bukan
Wakil SOBSI, Kedaulatan Rakyat, 3 Februari 1948.
29

Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato Dari Tahun 1942 sampai dengan


1949, Jakarta: Yayasan Idayu, 1981, hlm 151.

35

terampil, bukan sekedar merupakan perimbangan partai - partai politik yang ada.30
Penempatan Kusnan sebagai menteri perburuhan dan sosial dapat dijadikan bukti
bahwa Drs. Mohammad Hatta menunjuk orang yang ahli dan terampil, dengan
dasar keberanian Kusnan mengkeritik dengan pedas, tatapi jujur dan objektif
terhadap kebijaksanaan pemerintah pada bidang pendidikan dan pengajaran.31
Namun demikian, Drs. Mohammad Hatta tidak mampu mendamaikan
Sayap Kiri. Sayap Kiri mengubah dirinya menjadi kelompok Front Demokrasi
Rakyat (FDR) menuntut minimum sembilan jabatan kabinet32, yaitu Kementrian
Pertahanan, Kementrian Perburuhan dan Sosial, Kementrian Kemakmuran,
Kementrian Pembagian Makanan, Kementrian Penerangan, Kementrian Luar
Negeri, Kementrian Perhubungan, Kementrian P.D.K., Kementrian Kehakiman
dan Kementrian dalam Negeri. 33 Dalam menanggapi tuntutan FDR, Mohammad
Hatta menyatakan bahwa:
Dari sikap FDR itu aku merasa, bahwa mereka akan mengadakan sabotase.
Pendapatku sudah bulat, aku akan menerima satu orang dari antara mereka
dan yang seorang itu ialah Mr. Amir Syarifuddin sendiri, tetapi tidak untuk
Menteri Pertahanan. Menteri Pertahanan akan kurangkap sendiri, sebab
Sultan Hamengkubuwono mengatakan, bahwa ia tidak sanggup mengatasi
T.N.I.34

30

Ibid., hlm. 153.

31

Rh. Koesnan, Membantu Perdana Menteri Bung Hatta, Dalam Hatta


(Ed), loc.cit.
32

Berbeda dalam bukunya George McTurnan Kahin, dimana Sayap Kiri


menuntut empat jabatan kabinet. George McTurnan Kahin, op.cit., hlm. 292.
33

Mohammad Hatta, Memoir, op.cit., hlm. 525.

34

Ibid., hlm. 526.

36

Tuntutan Sayap Kiri dengan Mr. Amir Syarifuddin sebagai menteri


pertahanan ditentang oleh Masyumi dikarenakan dengan pertimbangan kejadian kejadian dahulu. Dalam kabinet ini Masyumi dan PNI adalah yang dominan,
kabinet ini juga meliputi Partai Katolik dan Kristen, dan anggota - anggota dari
Partai Sosialis Syahrir.35

35

George McTurnan Kahin, loc.cit.

Anda mungkin juga menyukai