Anda di halaman 1dari 2

Di Dalam dan Di Luar Silat

Oleh: Shohifur Ridho Ilahi


Silat adalah filsafat kesejatiaan dan keugaharian. Ia selalu membangkitkan masa silam orang
kampung macam saya. Sudah lama saya tidak melihat dan latihan silat. Membaca lagi serial
cerita silat ciptaan begawan Ko Ping Ho, SH. Mintardja, dan Widi Widjajat ialah cara saya
melepas rindu pada kekokohan kuda-kuda. Tetapi, kali ini saya tidak membaca, melainkan
melihat. Koreografer Indonesia kontemporer Ali Sukri (Padang) dan Eko Supriyanto (Solo)
membuka pintu kerinduan saya akan ilmu beladiri dengan cara yang aduhai.
Ali Sukri membawa karya berjudul Tonggak Raso ke Taman Budaya Jawa Tengah,
pada 6 September 2016. Sebelumnya Eko Supriyanto menggelar Tra.jec.to.ry pada tanggal
12 Agustus 2016 di STSI Padangpanjang, Sumatera Barat. Dua pertunjukan ini juga
dipentaskan di Universitas Muria Kudua, Jawa Tengah (08 September 2016) dan di NuArt
Sculptur Park, Bandung, Jawa Barat (10 September 2016). Di beberapa tempat itu, mereka
berdampingan karya, saling bertukar pengalaman tentang silat dari khazanah kebudayaan
masing-masing.
Tonggak Raso dan Tra.jec.to.ry menarik disimak bukan saja karena masing-masing
karya menghadirkan komposisi koreografi yang indah dengan gestur tubuh penari yang
matang, tetapi juga karena masing-masing koreografer sama-sama bertolak dari silat sebagai
dasar penciptaannya. Maka, gelaran yang diberi tajuk Pesona Silat Jawa-Minang itu berhasil
mengajak penonton memasuki rimba raya ilmu beladiri, dan pada saat yang sama
mengingatkan kita pada kisah-kisah pendekar bijak bestari penumpas kejahatan seperti dalam
komik Panji Tengkorak dan Si Buta Dari Gua Hantu.
Ali Sukri menggali khazanah silat Minang dan menempatkannya sebagai mekanisme
pertahanan diri. Tetapi koreografer yang juga pendiri Sukri Dance Theatre itu menarik silat ke
wilayah yang lebih substantif, ke dalam rasa. Dalam hikayat tradisi Minang yang perantau,
misalnya, salah satu bekal untuk anak yang hendak pergi ke negeri seberang adalah ilmu bela
diri (juga agama). Ia adalah tonggak. Maka, pertunjukan Tonggak Raso seperti membuka
jalan bagi relasi yang di dalam dengan yang di luar, yang personal dengan yang sosial.
Relasi itu demikian lapang tergelar pada bilah-bilah besi berkonstruksi seperti meja
yang membingkai cermin. Enam buah cermin itu diberi selotip hitam sehingga benda itu
seolah retak. Cermin yang (seolah) retak seperti mengabarkan masa lalu yang hadir ke
masakini secara tidak lengkap. Cermin tidak bisa memperlihatkan diri secara utuh, ada
bagian-bagian yang tidak tampak. Situasi itu dapat menimbulkan hasrat seseorang untuk
menambal ketidaklengkapan, hasrat kembali ke muasal, ke kondisi primordial yang dalam hal
ini adalah silat.
Komposisi kembangan pencak berpasangan antara dua penari di atas bingkai cermin
menunjukkan bahwa Ali Sukri tidak mengabaikan elemen artistik dalam sejumlah gerakan
silat, ia memanfaatkan potensi itu untuk disulam di dalam karyanya. Tubuh penari
menemukan relasinya dengan cermin ketika benda-benda itu berubah-ubah komposisi dari
memanjang seperti tembok hingga disusun ke atas seperti menara, atau bahkan menjadi
jembatan di mana penari bisa meniti di atasnya.
Kaki-kaki penari begitu lincah berdiri di bingkai-bingkai besi. Benda keras itu seperti
tonggak pertahanan bagi cermin kaca yang rapuh dan mudah pecah. Para penari seolah
menjaga keutuhan cermin agar ia bekerja sebagaimana fungsinya: media melihat diri.
Sementara Tra.jec.to.ry gubahan Eko Supriyanto menampilkan banyak gerakan dan
komposisi yang repetitif. Pertunjukan dimulai dari gulingan ke depan (rolling) dengan
membentuk lingkaran oleh seorang penari hingga sekian putaran. Ia seperti membentuk garis

imajiner ruang luar-dalam. Kemudian beberapa penari turut berputar mengitari panggung dan
mempertegas garis itu.
Garis imajiner itu membangun dimensi ruang di mana semua penari berada di
dalamnya. Mereka berpusat pada satu titik. Berputar di dalam ruang dan di dalam dirinya.
Jika Tonggak Raso membuka jembatan ke luar, ke ruang yang lebih luas melalui pantulan
media cermin, maka Tra.jec.to.ry bersikhusyuk di dalam. Para penari seperti seorang mursyid
yang menempuh perjalanan panjang dan melelahkan untuk masuk ke dalam dirinya,
mengunjungi dan memeluk dirinya sendiri.
Komposisi gerakan Tra.jec.to.ry memang tidak seberlimpah Tonggak Raso, tetapi
kekayaan karya koreografer pendiri Eko Dance Company itu justru karena ia banyak
melakukan gerakan repetisi. Gerakan yang diulang-ulang meninggalkan impresi yang
mendalam ketika gerakan-gerakan semacam itu dihadapkan pada kenyataan hidup kita hari
ini yang serba cepat, instan, dan bergegas. Tra.jec.to.ry memang tidak memperlihatkan secara
jelas bentuk-bentuk silat, cuma properti kain yang ketika dimainkan kadang tampak seperti
pedang dan toya. Kesederhanaan komposisi ciptaan Eko begitu kuat sebab, sebagaimana silat,
Tra.jec.to.ry mengajarkan kepada kita makna kesabaran dan ketulusan, seperti kesabaran
seorang murid menempuh latihan yang sama setiap hari.
Demikianlah, baik Ali Sukri maupun Eko Supriyanto begitu rapi mengelaborasi
elemen dasar silat seperti kekuatan kuda-kuda. Mereka memang tidak lantas
mempertontonkan gerakan menyerang dan bertahan, atau mengunci dan melumpuhkan
lawan, atau menghindar dan menangkis tendangan, melainkan dengan cerdas menakik esensi
silat sebagai sikap, dan mereka meleburkannya menjadi gerakan-gerakan lembut, lentur,
namun kokoh. Dan dua karya itu sungguh segar, memperkaya kosa-gerak dalam koreografi
tari kontemporer Indonesia, dan selalu berhasil menunda saya mengedipkan mata.
Shohifur Ridho Ilahi, pengkhusyuk seni pertunjukan. Tinggal di Yogyakarta.

Email
HP
No. Rek.

: shohifurridho@gmail.com
: 081939022366
: BRI 1753-01-006245-50-7 KK. UIN Sunan Kalijaga a.n. Shohifur Ridhoi

Anda mungkin juga menyukai