Anda di halaman 1dari 10

Aditya Herutama

0802513134
Komunikasi Politik
Marketing Politik
PENDAHULUAN
Marketing dapat bermanfaat bagi partai politik dan calon presiden
untuk membangun hubungan dengan pemilih. Penerapan metode dan
konsep marketing dalam dunia politik disebut sebagai marketing politik.
Marketing politik merupakan metode dan konsep aplikasi marketing dalam
konteks politik. Tentunya terdapat hal-hal mendasar yang perlu disesuaikan
dalam marketing politik, karena memang kondisi dan situasi dunia politik
berbeda dengan dunia komersial.
Marketing politik menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan di era
seperti sekarang ini. Dalam iklim politik yang penuh dengan persaingan
terbuka dan transparan, kontestan membutuhkan suatu metode yang dapat
memfasilitasi mereka dalam memasarkan inisiatif politik, gagasan politik, isu
politik, ideologi partai karakteristik pemimpin partai, dan program kerja partai
kepada masyarakat. Perlu suatu strategi untuk dapat memenangkan
persaingan politik.
Agar suatu kontestan dapat memenangkan pemilihan umum, ia harus
dapat membuat pemilih berpihak dan memberikan suaranya. Hal ini hanya
akan dapat dicapai apabila kontestan memperoleh dukungan yang luas dari
pemilih. Lantas metode dan cara apa yang dapat digunakan oleh kontestan
pemilu untuk dapat memperoleh dukungan dari rakyat? Apakah dan
bagaimana marketing dapat membantu politikus dalam mengembangkan
hubungan dengan pemilih?
Kebutuhan itu semakin nyata ketika kita dihadapkan pada suatu
fenomena pemilu. Seperti halnya fenomena social lainnya, pemilu adalah
perhelatan besar bangsa, termasuk Indonesia. Tidak hanya kontestan,
namun pemerintah, masyarakat, media massa dan lembaga internasional
pun akan terlibat secara intens untuk memerhatikan jalannya proses
peralihan kekuasaan. Dengan Negara, pemilu tidak hanya di Indonesia tetapi
juga di banyak Negara adalah suatu proses social yang melibatkan hampis
semua unsur yang terdapat di suatu Negara.

KERANGKA TEORI
HINGAR-BINGAR POLITIK KONTEMPORER
Media lokal dan global
Media global adalah media yang memiliki cakupan internasional dan
hadir di banyak Negara yang memiliki karakteristik saling berbeda satu sama
lain. Stasiun TV berita global seperti CNN, BCC, NBC, dan Aljazeera
menjadi mudah diakses di banyak Negara. Melalui teknologi satelit, kita bisa
menyaksikan siaran berita dari stasiun-stasiun TV tersebut, hampir-hampir di
seluruh pelosok dunia. Selain itu, majalah global seperti Business Week dan
The Economist seringkali memuat informasi dan berita yang dapat dibaca di
banyak Negara. Hadirnya media-media global ini memudahkan suatu
permasalahan lokal diangkat menjadi fenomena regional atau internasional.
Namun demikian, harus selalu diingat bahwa betapa pun objektifnya mediamedia global, dan betapa pun komitmen yang mereka nyatakan tentang hakhak asasi manusia, dibalik kepala para pengasuh media ini tersimpan
ideology tertentu. Tidak berarti bahwa kita harus dengan picik menganggap
bahwa apa pun yang mereka katakan salah atau harus selalu curiga bahwa
mereka memusuhi orang-orang yang berideologi lain.
Media di Indonesia terjadi perkembangan yang sangat cepat, terutama
sejak swasta diberi kesempatan untuk mengelola televise. Sejak akhir 80-an
sampai sekarang tercatat terdapat 11 stasiun TV nasional (TVRI, TPI, RCTI,
SCTV, ANTV, METRO TV, INDOSIAR, TRANS TV, GLOBAL TV, TV7, dan
TVOne), ditambah dengan stasihn-stasiun TV lokal di tiap-tiap daerah seperti
JAK-TV di Jakarta, C-TV di Banten, Bali-TV dan lainnya.
Belum lagi perkembangan yang terjadi di media cetak dan radio.
Hiruk-pikuk media global maupun lokal ini telah membawa imlikasinya sendiri
yang sangat besar bagi dunia politik. Keterbukaan dan kebebasan
mengungkapkan pendapat telah menjadi tren global dewasa ini. Kecurangan
politik dapat dengan mudah diangkat menjadi isu nasional maupun isu global.
Persaingan politik
Dalam persaingan politik untuk memperebutkan hati masyarakat luas,
hal yang paling penting dilakukan para kontestan adalah memuaskan
kebutuhan masyarakat luas. Terdapat pergeseran pola dalam kehidupan
politik. Kalau semua mereka memperebutkan hati penguasa, sekarang
mereka harus memperebutkan hati masyarakat. Pada masa otoriter atau

system politik tertutup, partai politik atau calon individu adalah kepanjangan
tangan dari penguasa atau rezim yang sedang berkuasa. Untuk memerpkuat
posisi politik, banyak kontestan yang berlomba-lomba mendekati para
penguasa. Soalnya, penguasalah yang memiliki semua akses politik.
Pasar dan Konsumen Politik
Cara-cara yang dilakukan dalam politik sifatnya kapitalistik. Untuk itu
marketing diperlukan dalam dunia politik untuk menarik perhatian
masyarakat. Dunia politik terdiri dari konsumen dan produsen politik. Sebagai
produsennya adalah partai-partai atau kontestan individu yang menjadi pihak
yang penghasil produk politik. Seperti halnya dalam bisnis, produk itu akan
ditawarkan kepada masyarakat. Dipihak lain, masyarakat dalam hal ini
adalah pihak yang menjadi konsumen politik.
PENDEKATAN BARU DALAM DUNIA POLITIK
Menuju hubungan relasional
Hubungan politik antara partai politik dengan konstituen merupakan
hubungan satu arah yang bisa dikatakan hanya bermanfaat bagi partai politik.
Konstituen yang mempunyai ikatan ideologis atau emosional dengan partai
tertentu menyerahkan sepenuhnya nasib mereka pada partai.
Vargo dan Lusch (2004) menyarankan bahwa pertukaran antara
produsen dengan konsumen menjadi model utama dalam aktivitas social.
Sementara itu, kalau kita simak dengan cermat, hubungan antara partai
politik dengan masyarakat sebenarnya sangat sesuai dengan konsep
perusahaan jasa. Dalam hubungan ini, partai politik menawarkan jasa, yakni
menyediakan solusi bagi pemecahan persoalan msayarakat.
Komunikasi dua arah
Dalam politik komunikasi tidak cukup satu arah, membutuhkan umpanbalik (feedback) atas informasi yang telah diberikan kepada masyarakat.
Komunikasi dua arah ini juga menuntut partai politik untuk memahami
bagaimana reaksi konstituen dan masyarakat luas terhadap apa yang sudah
dilakukan oleh suatu partai politik.
Menggunakan pendekatan dua arah yang dikembangkan Gioia dan
Chittipeddi (1991), hubungan antara partai politik dengan masyarakat adalah
hubungan iterasi. Kedua pihak terlibat dalam membangun pemahaman
bersama. Hal ini perlu dilakukan karena partai politik dan masyarakat
memiliki kerangka berpikir yang berbeda. Melalui media komunikasi, proses

membangun pemahaman bersama untuk menciptakan kesamaan pengertian


dimasyarakat dapat dilakukan secara intensif.
Metode komunikasi politik
Media massa tidak lagi berada di bawah kendali pemerintah yang
berkuasa. Media masa pasti akan mendapatkan tekanan-tekanan dari pihak
yang berkuasa. Media juga diberi iming-iming atas konsesi tertentu apabila
mau mendukung pihak yang berkuasa. Namun, dengan semakin globalnya
jaringan kelompok-kelompok masyarakat dunia, perilaku aliansi media massa
dengan pihak yang berkuasa akan dapat direduksi semaksimal mungkin.
Kebebasan berekspresi dan pemberitaan adalah salah satu ciri
masyarakat konyemporer dewasa ini. Pendekatan kominikasi politik tidak
dapat lagi menggunankan cara-cara lama. Manipulasi dan eksploitasi
berlebihan mengenasi suatu peristiwa dalam masyarakat akan dapat dengan
mudah dideteksi dan diberitakan oleh media massa. Media massa sendiri
terdiri dari beragam media seperti TV, Koran, radio, internet, sampai contentprovider dalam SMS. Informasi bergerak dengan cepat dan sangat dinamis.
Masyarakat juga semakin mendapatkan banyak alternative sumber dan
akses informas
MENGENALI WARNA-WARNI PEMILIH
Perilaku pemilih
Perilaku pemilih dalam pemilu juga diabalisis oleh Schumpeter (1966).
Menurut dia, pemilih mendapatkan informasi politik dalam jumlah besar dan
beragam, seringkali berasal dari berbagai macam sumber yang sangat
mungkin bersifat kontradiktif. Di tengah-tengah informasi yang melimpah ini,
pemilih dihadapkan pada kondisi yang sangat sulit untuk memilah-milah
informasi. Misalnya apakah informasi yang diterima berasal dari sumber yang
memiliki kredibilitas yang baik atau hanya sekadar rumor politik yang tidak
memiliki landasan kuat dan hanya berdasarkan persepsi serta judgement
saja.
Sementara itu, Brennan dan Lomasky (1977) serta Fiorina (1976)
menyatakan bahwa keputusan memilih selama pemilu adalah perilaku
ekspresif. Perilaku ini tidak jauh berbeda dengan perilaku supporter yang
memberikan dujungannya pada sebuah tim sepakbola. Menurut mereka,
perilaku memilih sangat dipengaruhi oleh loyalitas dan ideology. Keputusan
untuk memberikan dukunngan dan suara tidak akan terjadi apabila tidak
terdapat loyalitas pemilih yang cukup tinggi kepada partai politik jagoannya.

Begitu juga sebaliknya, pemilih tidak akan memberikan suaranya kalau


mereka menganggap bahwa suatu partai politik tidak loyal serta tak konsisten
terhadap janji dan harapan yang telah mereka berikan.
Pemilih rasional
Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik
atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau platform
partai bisa dianalisis dalam dua hal: (1) kinerja partai di masa lampau
(backward-looking), dan (2) tawaran program untuk menyelesaikan
permasalahan nasional yang ada (forward-looking).
Pemilih jenis ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan
ikatan ideology kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Factor
seperti paham, asal-usul, nilai tradisional, budaya, agama dan psikografis
memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan. Pemilih
dalam hal ini ingin melepaskan hal-hal yang bersifat dogmatis, tradisional,
dan ikatan lokasi dalam kehidupan politiknya. Analisis kognitif dan
pertimbangan logis sangat dominan dalam proses pengambilan keputusan.
Hal yang terpenting bagi jenis pemilih ini adalah apa yang bisa (dan yang
telah) dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan, daripada paham
dan nilai partai atau kkontestan.
Pemilih kritis
Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada
kemampuan partai politik atau seorang konyestan dalam menuntaskan
permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hak-hal yang
bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitad pemilih
terhadap sebuah partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak
semudah rational voter untuk berpaling ke partai lain.
Ada dua mekanisme untuk menjadi jenis pemilih ini. Pertama, jenis
pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan
kepada pertain politik mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka
akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan. Kedua, bisa
juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu dengan program kerja yang
ditwarkan sebuah partai/kontestan baru kemudian mencoba memahami nilainilai dan paham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan.

Pemilih tradisional
Pemilih tradisional adalah jenis pemikih yang bisa dimobilisasi selama
periode kampanye (Rohrscheneider, 2002). Loyalitas tinggi merupakan salah
satu ciri khas yang paling kelihatan bagi pemilih jenis ini. Ideology dianggap
sebagai suatu landasan dalam membuat suatu keputusan serta bertindak,
dan terkadang kebenarannya tidak bisa diganggugugat. Oleh sebab itu, apa
saja yang diutarakan pemimpin politik dianggap sebagai petunjuk dalam
bersikap dan bertindak. Meskipun ideology, dalam hal ini, diasumsikan sulit
sekali berubah, bukan bersrti tidak bisa mengalami evokusi seiring dengan
perjalanan waktu.
Di Indonesia pemilih jenis ini masih merupakan mayoritas. Secara
unum, masyarakat masih berpegang pada ideology, kendati terlihat gejala
semakin berkurangnya antusiasme para pendukung yang fanatic terhadap
suatu partai. Bengkoknya para pemimpin partai membuat para pemilih
tradisional menjadi semakin kritis. Dahulu mereka mudah sekali dimobilisasi
oleh para pemimpin. Sekarang juga masih mudah namun harus ada
imbalan.
Pemilih skeptis
Jenis pemilih ini tidak memiliki orientasi ideology cukup tinggi dengan
sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan
sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai
politik pada pemilih jenis ini sangat krang, karena ikatan ideologis mereka
memang rendah sekali. Meeka juga kurang memedulikan platform dan
kebijakan sebuah partai politik.
Mereka berkeyakinan bahwa siapa pun dan partai apa pun yang
memenangkan pemilu tidak akan bisa membawa bangsa kearah perbaikan
yang mereka harapkan. Selain itu, mereka tidak memiliki ikatan emosional
dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan.
Menjadi tanggung jawab bersama untuk memberikan kepercayaan
bagi jenis pemilih ini, karena pemilihan umum dianggap sebagai salah satu
pilar bagi berjalannya seuah system demokrasi (Golder, 2005). Akan timbul
sebuah persoalan nasional ketika struktur pemilih didominasi oleh jenis
pemilih skeptis.

PEMBAHASAN
Dalam kerangka teori yang telah terpaparkan di atas, banyak yang
dapat dijadikan pembahasan untuk memperbaiki system politik atau pun
marketing politik. Teori dalam buku ini sangat berhubungan dengan politikus
dan masyarakat. Masyarakat berpengaruh besar terhadap peran politik, dan
sebaliknya pelaku politik dapat mempengaruhi masyarakat melalui program
kerja yang ditawarkan.
Untuk mewujudkan apa yang diinginkan oleh suatu institusi politik
dapat melalu media massa, dengan media massa infromasi apa pun dapat
tersebar dengan luas dan cepat. Hal itu dilakukan untuk membuat
kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Namun, kini media yang
tidak sepenuhya dipegang oleh pemerintah, media dapat dipengaruhi oleh
penguasa politik.
Selain media, dalam politik komunikasi juga penting untuk menarik
perhatian masyarakat. Komunikasi dua arahlah yang menjadi kunci dalam
dunia politik. Metode ini untuk mengetahui informasi dari masyarakat
bagaimana tanggapan mereka terhadap partai politik. Hal itu untuk
mengevaluasi partai politik agar kedepannya tahu bagaimana menarik
pemilih yang lebih banyak.
Pemilih hal penting bagi partai politik, apalagi dalam ajang pemilu.
Saat pemilu banyak partai politik menggunakan berbagai cara agar merauk
pemilih yang banyak. Untuk mendapatkan pemilih, kontestan politik harus
dapat menyetarakan persepsi masyarakat sesuai dengan yang diinginkan
kontestan politik tersebut. Hal itu semua dapat dilakukan dengan marketing
politik yang tepat.
Secara sederhana marketing politik adalah merupakan serangkaian
kegiatan pemasaran yang bertujuan untuk memasarkan produk politik.
Alasan untuk memasarkan produk politik ini adalah agar konstituan
mengetahui, memahami kemudian membeli produk yang dipasarkan.
Hubungan media dan marketing politik begitu erat. Media sebagai
sarana utama bagi partai politik atau kandidat tertentu untuk memberikan
informasi kepada masyarakat tanpa harus bertatap muka langsung dan
terlebih lagi media digunakan sebagai sarana pencitraan.

STUDI KASUS
Terdapat contoh kasus di dalam buku ini seperti media dapat
mempengaruhi politik seperti Barack Obama mempunyai website agar
masyarakat tahu apa saja program-program Barack Obama. Selain kemajuan
informasi dan media massa, pendidikan politik oleh banyak sekali LSM.
Lembaga ini sebagai perwujudan masyarakat madani telah menjelma
menjadi institusi formal seperti Negara. LSM memainkan peranan penting,
tidak hanya dalam memberikan informasi tentang hak dan kewajiban
berpolitik sebagai warga Negara.
Banyak LSM yang berberan pula sebagai lembaga pengawas
pelaksanaan jalannya pemilihan umum. Tidak sedikit LSM lokal merupakan
bagian dari jaringan LSM internasional, sehingga dukungan internasional
akan dapat dengan mudah mereka dapatkan. Sebagai contohnya di
Indonesia adalah KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu). Lembaga ini
melakukan pemantauan pemilu secara mandiri tanpa bantuan dana dari
pemerintah. Dengan sifatnya yang mandiri itu, komisi tersebut bisa
melakukan pemantauan yang kritis tanpa beban yang menyangkut
pertentangan kepentingan.
Dalam pemilu, jenis pemilih ada berbagai macam. Salah satunya
pemilih skeptis yang cenderung golput. Ada survey karakteristik sosiologis
golput di dalam Pilkada DKI Jakarta yang tercatat umur 20-29 tahun 34,3%,
umur 30-39 tahun 28,5 %, umur 40-49 tahun 20,5 %, dan umur 50 tahun di
atasnya 10,5%.

KESIMPULAN
Politik adalah suatu domain aktivitas sosial yang menyangkut
terjadinya perebutan dan distribusi kekuasaan. Pola interaksi dalam dunia
politik yang terjadi sangat dipengaruhi oleh sistem nilai (value of system)
yang berkembang dalam masyarakat. Karena sistem nilai dalam masyarakat
selalu dinamis, pola interaksi politik dalam masyarakat pun bersifat dinamis
Jika dilihat dari perkembangannya, politik di Indonesia mengalami
banyak fase. Dilihat dari segi pemilih, interaksi politik di Indonesia mengalami
beberapa perubahan. Pada awalnya, partisipasi politik warga negara hampir
sebagian besar didasarkan pada ideologi. Para pemilih macam ini memilih
partai berdasarkan kesamaan pandangan ideologi. Pemilih macam ini tidak
mempertimbangkan apa dan bagaimana program kerja partai. Pemilihpemilih ini terbagi-bagi ke dalam partai-partai yang mengusung ideologi
berbeda.
Seiring dengan meningkatnya pendidikan masyarakat, terjadi
perubahan paradigma pemilih. Perubahan ini di antaranya dari pemilih yang
mendasarkan pilihannya pada ideologi ke program kerja partai. Pemilih tipe
ini mendasarkan pilihannya pada apa yang telah, sedang, dan akan
dilakukan partai politik. Dengan perkataan lain, pemilih tipe ini mendasarkan
pilihan mereka pada program kerja yang diusung partai politik
Berikutnya ada tipe pemilih skeptis, tipe pemilih ini adalah tipe pemilih
yang menganggap ada atau tidak ada partai politik sama saja. Tipe pemilih ini
beranggapan bahwa partai politik tidak membawa perubahan apa pun dalam
kehidupan masyarakat. Ikatan ideologi atau program kerja partai politik tak
menarik perhatian tipe pemilih macam ini. Biasanya, tipe pemilih ini menjadi
golongan putih. Jika pun memang memilih, tipe pemilih ini akan memilih
dengan cara acak atau random. Hal tersebut disebabkan partai politik mana
saja sama di mata mereka. Partai politik tidak akan membawa perubahan
apa pun. Indikator yang menyebabkan hal tersebut di antaranya rendahnya
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi-institusi pemerintahan.
Berikutnya ialah tipe pemilih yang memilih berdasarkan alasan
ekonomis. Tipe pemilih macam ini datang ke TPS, tablig akbar, rapat umum,
karena kepentingan ekonomi. Mereka datang ke acara partai jika ada
amplop yang diberikan partai politik. Kecenderungan yang terjadi pada
pemilih tipe ini adalah siapa yang memberi amplop dengan nilai yang lebih
besar, partai itulah yang akan dipilih.

Seiring dengan perkembangan pendidikan dan pengetahuan calon


pemilih, seyogianya partai politik kini memikirkan strategi yang tepat untuk
mendekati para calon pemilih. Partai politik saat ini tidak hanya dituntut untuk
menggembar-gemborkan ideologi, tokoh, dan kebesaran partai saja. Akan
tetapi, partai politik dituntut untuk melakukan manuver-manuver yang bisa
menarik perhatian calon pemilih. Marketing politik adalah satu di antara
beberapa strategi yang dapat dilakukan partai politik.
Politik yang penuh dengan persaingan terbuka dan transparan
kontestan membutuhkan suatu metode yan dapat memfasilitasi mereka
dalam memasarkan inisiatif politik, gagasan politik, isu politik, ideology partai,
karakteristik pemimpin partai, dan progam kerja partai kepada masyarakat.
Perlu suatu strategi untuk dapat memenangkan peraingan politik. Agar suatu
kontestan dapat memenangkan pemilihan umum, ia harus dapat membuat
pemilih berpihak dan memebrikan suaranya. Hal ini hanya akan dapat dicapai
apabila kontestan memperoleh dukungan yang luas dari pemilih.

Anda mungkin juga menyukai