Anda di halaman 1dari 8

Home / Sosial Politik / Haruskah Presiden Meminta Maaf Kepada PKI?

Haruskah Presiden Meminta Maaf Kepada


PKI?
by admin / Sosial Politik / 30 Sep 2015
Presiden Republik Indonesia diminta meminta maaf kepada keluarga korban pembantaian
anggota PKI, pada 50 tahun silam. Tidak kurang, lembaga negara seperti Komnas HAM,
meminta Presiden mengambil inisiatif untuk meminta maaf atau menyatakan penyesalan
kepada korban pelanggaran HAM pasca 1965 tersebut. Tindakan Presiden itu dianggap
sebagai upaya percepatan penyelesaian kasus tersebut di tengah lambannya pembahasan
Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR).
Kita tidak memiliki pilihan, (kasus dugaan pelanggaran HAM berat pasca 1965) itu harus
diselesaikan. Karena itu menyangkut korban, menyangkut sejarah, menyangkut hak-hak
orang, kata Ketua Komnas HAM Nur Kholis, seperti dikutip dari BBC Indonesia.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, juga mengatakan bahwa pemerintahan
Presiden Joko Widodo dianggap mengabaikan tanggung jawab untuk menuntaskan kasus
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Menurutnya, Salah satu penuntasan kasus
pelanggaran HAM yaitu peristiwa pembersihan orang PKI atau yang dianggap PKI pasca
G30S/PKI. Bonar menilai, dengan tidak meminta maaf kepada masyarakat atas peristiwa
setelah peristiwa 30 September 1965 atau G30S/PKI, dan pelanggaran HAM lainnya, negara
seakan tutup mata sudah melakukan kejahatan kemanusiaan.
Bagi kami, pelanggaran HAM masa lalu adalah sesuatu yang harus menjadi prioritas.
Karena ini sudah 17 tahun setelah reformasi tetapi tidak ada titik terang, kata Bonar Tigor
Naipospos, di kantor Setara Institute, seperti dikutip dari merahputih.com.
Bonar mengatakan, permintaan maaf dengan mengatasnamakan negara adalah kewajiban
yang harus dijalankan oleh pemerintah. Dengan begitu, pemerintah mengakui telah gagal
dalam melindungi warganya di masa lalu.Lebih lanjut, Bonar juga meminta untuk dibentuk
tim komisi ad hoc pengungkapan kebenaran dan pemulihan korban. Namun pembentukan
komisi tersebut bukan perwakilan kementerian atau institusi negara seperti TNI, Polri atau
BIN.
Kami mendesak kepada pemerintah supaya membentuk komisi pengungkapan kebenaran
dan keadilan (korban G30S/PKI). Komisi ini bekerja menggunakan mekanisme yudisial dan
nonyudisial, katanya.

Kejahatan yang Sama Dilakukan PKI


Di sisi lain, Amelia Yani, Putri Jenderal Ahmad Yani, mempertanyakan rencana permintaan
maaf pemerintah atas peristiwa tragedi 1965. Ia menegaskan bukan hanya keluarga anggota
dan terduga PKI saja yang menjadi korban dalam masa itu. Namun ia, keluarganya serta

keluarga korban pembantaian dari PKI sebelum meletusnya peristiwa Gerakan 30 September
juga masuk dalam kategori korban.
Minta maaf itu ke siapa, karena kami juga korban, katanya dalam sebuah acara talkshow di
sebuah televisi nasional, Jakarta, Selasa (29/9) malam.
Selain dianggap melakukan pembunuhan sadis pada para Jenderal TNI, pembantaian yang
dilakukan oleh PKI, tercatat juga terjadi di Banyuwangi. Monumen Pancasila Untuk
Mengenang Tragedi Pembantaian 18 Oktober 1965, Di Dusun Cemethuk, Desa Cluring,
Kecamatan Cluring Banyuwangi adalah saksi berdarah peristiwa pembantaian 62 orangorang Anshor oleh anggota PKI.
Kondisi tak adil dalam upaya rekonsiliasi atas kejahatan HAM masa lalu, juga dinyatakan
oleh Budayawan Muslim Taufiq Ismail. Beliau menilai kondisi keadilan (HAM) untuk umat
muslim Indonesia belum tercapai secara optimal. Mengingat, perlakuan para anggota Partai
Komunis Indonesia (PKI) beberapa tahun silam. Tepatnya, pada tahun 1927, 1948 dan 1965,
Taufiq mengisahkan, pemberontakan PKI menelan banyak korban khususnya di kalangan
umat Islam itu sendiri.
Hak asasi yang dilanggar terjadi di 25 kota dan desa, pembunuhan-pembunuhan itu tidak
pernah disebut-sebut, papar Taufik, Agutus lalu, seperti yang dikutip dari Republika.
Tak hanya itu, Taufiq menambahkan, sebelum peristiwa G30S-PKI, teror dan ancaman tidak
henti-hentinya berdatangan kepada para kalangan anti komunis pada 1963 sampai 1964.
Teror dan ancaman itu pun tidak pernah diangkat kepermukaan. Menurutnya, pemerintah
terkesan tidak begitu memperhatikan nasib keadilan HAM umat muslim Indonesia. Serta
acuh dalam menelusuri jejak-jejak sejarah untuk memperjelas apa yang sebenarnya terjadi.
Pemberontakan yang dilakukan PKI pada 1927, 1948 dan 1965 menelan banyak korban jiwa.
Ribuan nyawa melayang akibat pemberontakan PKI di Tanah Air. Mereka menyembelih dan
membantai para kiai dan masyarakat, kata Taufiq.
Beberapa sumber, lanjut Taufiq, menyebutkan komunis telah membunuh sekitar 120 juta jiwa
tak berdosa di seluruh dunia. Pemberontakan PKI yang dipimpin Muso pada 1948 juga telah
membantai para kiai. Berbagai tempat ibadah, langgar maupun masjid dibakar, jelas dia.
Pendapat Taufiq Ismail di atas, didukung oleh fakta misalnya bahwa kabupaten Magetan
selama ini sudah dikenal di dunia sebagai tempat beradanya Lubang-lubang Sumur
Pembantaian (Killing Holes) dan Ladang Pembantaian (Killings Fields) sebagaimana dicatat
dalam buku Lubang-lubang Pembantaian: Pemberontakan FDR/PKI 1948 di Madiun ditulis
Maksum, Agus Sunyoto, Zainuddin (1990); Peristiwa Coup berdarah PKI 1948 di Madiun
ditulis Pinardi (1967); Pemberontakan Madiun: Ditinjau dari hukum negara kita ditulis
Sudarisman Purwokusumo (1951); De PKI in actie: Opstand of affaire (Madiun 1948: PKI
Bergerak) ditulis Harry A.Poeze (2011).

Sumur-sumur pembantaian dan ladang Pembantaian di Magetan itu berisikan orang-orang


yang menjadi korban pembunuhan PKI. Menurut catatan dari buku-buku di atas, yang sudah
ditemukan ada 7 sumur neraka dan 1 Ladang Pembantaian, yaitu:
1.
Sumur
tua
Desa
Dijenan,
Kec.Ngadirejo,
Kab.Magetan;
2.
Sumur
tua
I
Desa
Soco,
Kec.Bendo,
Kab.Magetan;
3.
Sumur
tua
II
Desa
Soco,
Kec.Bendo,
Kab.
Magetan;
4.
Sumur
tua
Desa
Cigrok,
Kec.Kenongomulyo,
Kab.Magetan;
5.
Sumur
tua
Desa
Pojok,
Kec.Kawedanan,
Kab.Magetan;
6.
Sumur
tua
Desa
Batokan,
Kec.Banjarejo,
Kab.
Magetan;
7.
Sumur
tua
Desa
Bogem,
kec.Kawedanan,
Kab.Magetan;
8. Satu lokasi yang digunakan membantai musuh-musuh PKI adalah ruangan kantor dan
halaman Pabrik Gula Gorang-Gareng di Magetan.
Lain lagi dengan pendapat Asad Said Ali, mantan Waketum PBNU. Beliau mengatakan
bahwa sejarah telah dibalik. Menurutnya, PKI juga telah bertindak sebagai pelaku kekejaman,
namun diubah menjadi pihak yang menjadi korban kekejaman para ulama dan TNI. Dia
menambahkan bahwa PKI membuat berbagai manuver melalui amnesti internasional dan
mahkamah internasional, termasuk Komnas HAM. Karena mereka pada umumnya tidak
tahu sejarah, maka dengan mudah mempercayai pemalsuan sejarah seperti itu. Akhirnya
kalangan TNI, pemerintah dan NU yang membela diri dan membela agama serta membela
ideologi negara itu dipaksa minta maaf, karena dianggap melakukan kekejaman pada PKI,
tulisnya seperti yang dikutip dari laman resmi PBNU.
Mantan Rais Syuriyah PBNU, KH Saifuddin Amtsir mengatakan bahwa untuk memahami
dan membuktikan sejarah kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berlangsung pada
1948-1965 tak cukup hanya bermodalkan buku teks sejarah. Menurutnya, kini sedang terasa
ada pemutarbalikan sejarah dari PKI sebagai pelaku kejahatan menjadi korban yang patut
dikasihani, seperti yang dikutip juga dari laman resmi PBNU.
Menurutnya, buku-buku sejarah yang tersedia banyak tak sesuai dengan realitas yang ia
alami. Padahal, ia melihat secara langsung bagaimana ganasnya PKI melakukan pembantaian
dan makar. Rumah kiai asal Betawi ini bersebelahan dengan pemimpin-pemimpin utama
kebrutalan PKI. Karena itu, Saifuddin merasa heran dengan bantahan para mahasiswa seputar
sejarah PKI yang hanya berpegang pada buku sejarah yang ditengarai sengaja melakukan
pembelokan. Lho ente kan baca buku. Saya kan ngelihat. Tahun 60-an itu udah rame di
Jakarta, ujarnya.
Beberapa daftar kekejaman PKI yang dikutip dari beberapa sumber, yang sebagian besar
masih memerlukan verifikasi sejarah (dikutip dari laman Kompasiana Indra Wibisana):
1. Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo (Gubernur Soerjo), tanggal 10 September 1948
dibunuh di hutan Peleng, Kedunggalar, Ngawi oleh pihak yang tidak diketahui, bersama dua
orang perwira polisi dalam perjalanan dari Yogyakarta ke Surabaya dan jenazahnya
ditemukan tiga hari kemudian. Pihak PKI adalah pihak yang dituduh melakukannya.

2. Pembantaian di daerah Madiun dan sekitarnya tanggal 17-21 September 1948


Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Berdasarkan data pada Monumen
Soco, korban jiwa pada lokasi ini (Sumur 1) berjumlah 108 orang.
Masih di Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan, dijumpai sebuah lokasi lagi
(Sumur
2)
yang
berisi
22
jenazah.
Dusun Batokan, Desa Banjarejo (sekarang Desa Batokan, Kecamatan Banjarejo), sedikitnya
tujuh
korban
jiwa.
Desa Cigrok, Kecamatan Kenongomulyo, Kabuparen Magetan, 22 korban jiwa. Desa
Kepuh
Rejo,
setidaknya
2
orang.
Desa Nglopang, Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan, korban jiwa berjumlah 12 orang
dijumpai
pada
dua
lubang
terpisah.
Dusun Dadapan, Desa Bangsri terdapat 10 korban jiwa.
3. Kawedanan Ngawen, Blora, 20 September 1948, 24 polisi ditawan dan 7 orang polisi
dibunuh.
4. Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, 30 September 1948. Berdasarkan
data pada Monumen Kresek, pada lokasi ini terdapat 17 korban jiwa.
5. Desa Hargorejo, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, 4 Oktober 1948.
Berdasarkan data pada Monumen Tirtomoyo, pada lokasi ini terdapat 58 korban jiwa.
Selain peristiwa di atas, peristiwa-peristiwa yang melibatkan PKI di luar peristiwa
pemberontakan PKI Madiun 1948 menurut Museum Pengkhianatan PKI:
1. Peristiwa Tiga Daerah (Brebes, Tegal, Pekalongan), 4 November 1945, penculikan dan
pembunuhan
pejabat,
jumlah
korban
jiwa
tidak
terverifikasi.
2. Aksi Teror Ce Mamat, 9 Desember 1945, penculikan dan pembunuhan R. Hardiwinangun
(Bupati
Lebak)
di
Jembatan
Sungai
Cimancak.
3. Aksi Kekerasan Pasukan Ubel-Ubel di Sepatan Tangerang, 12 Desember 1945, PKI
dituduh
membunuh
Oto
Iskandar
Dinata
di
daerah
Mauk.
4. Pemberontakan PKI di Cirebon, 12 Februari 1946, melucuti TRI, menduduki gedunggedung
penting
dan
Pelabuhan
Cirebon.
5. Peristiwa Revolusi Sosial di Langkat, 9 Maret 1946, Sultan Langkat Darul Aman dan
keluarganya dibunuh dan merampas harta kerajaan. Jumlah korban jiwa belum terverifikasi.
6.
Pemogokan
Buruh
Sarbupri
di
Delanggu,
23
Juni
1948.
7. Pengacauan Surakarta, 19 Agustus 1948, pembakaran ruang pameran Jawatan
Pertambangan.
8. Serangan Gerombolan PKI di Markas Polisi Tanjung Priok, 6 Agustus 1951, penyerbuan
Asrama Brimob Polisi di Tanjung Priok, merebut 1 pucuk bren, 7 karaben, dan 2 buah pistol.
9. Peristiwa Tanjung Morawa, 16 Maret 1953, aksi demonstrasi menentang sawah
percontohan.

Berdasarkan film resmi pemerintah Pengkhianatan G30S/PKI (sekitar menit 3-5), berikut
ini
adalah
daftar
peristiwa
pasca
1948
yang
melibatkan
PKI:
1. Peristiwa Kanigoro, 13 Januari 1965, penganiayaan: pemukulan seorang kyai dan beberapa
orang
guru,
menginjak-injak
Al
Quran.
2. Peristiwa Kediri (Jengkol), 15 Januari 1965, penganiayaan terkait sengketa tanah:
pengeroyokan
petani
Soetarno
dan
Kepala
Desa.
3. Peristiwa Bandar Betsy, 14 Mei 1965, penganiayaan terkait sengketa tanah: Peltu Soedjono
tewas
dikeroyok.
4. Peristiwa Indramayu, 15 Oktober 1964, penganiayaan tujuh orang polisi hutan.
5. Peristiwa Boyolali, November 1964, bentrok antara PKI dan PNI.
6. Peristiwa Klaten: 25 Maret 1964, sengketa sawah.

Rekonsiliasi?
Dari paparan di atas, bisa dikatakan bahwa, konflik dan saling bantai terjadi di antara PKI
dan anti PKI. Kerap kali PKI berkali-kali dianggap melakukan tindakan kekerasan massal
juga yang banyak mengakibatkan pembunuhan massal, sebelum justru situasi berbalik kepada
PKI sendiri. Walaupun hal ini belum dapat ditemukan dokumentasi dan bukti-bukti sejarah
secara keseluruhan, namun masih banyak saksi hidup dan beberapa monumen yang menjadi
bukti otentik bahwa PKI pun melakukan kekejaman yang sama, sebelum 1965.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, seperti dikutip dari Republika Online, mengatakan
bahwaJalan keluar yang terbaik terkait persoalan tersebut, adalah dengan rekonsiliasi atau
pemulihan hubungan antara pemerintah dan korban. Buang jauh-jauh masa lalu. Mari kita
bersatu
untuk
mengatasi
tantangan-tantangan
ke
depan,
tutur
dia.
Pemerintah saat ini sedang menggodok kebijakan untuk menyelesaikan berbagai kasus
pelanggaran HAM di Indonesia yang terjadi di masa lalu, termasuk pelanggaran HAM tahun
1965-1966 yang menimpa orang-orang yang terkait ataupun terduga anggota Partai Komunis
Indonesia. Salah satu cara yang dipertimbangkan adalah rekonsiliasi.
Hal ini sempat diungkapkan oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, namun menurutnya
kebijakan itu perlu sosialisasi mendalam. Tentu itu suatu niat yang baik tapi proses itu harus
disosialisasikan ke seluruh jajaran dan masyarakat, jangan sampai salah interpretasi apa yang
dimaksud rekonsiliasi dan bagaimana konsepnya, tentu semuanya harus memahami, kata
Badrodin.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri memiliki komitmen untuk
menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia. Hal tersebut
terdapt dalam visi misi dan program aksi berjudul Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang
Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, yang berisi penjabaran dari Nawa Cita.
Dalam naskah tersebut tertulis, Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan
terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang hingga kini masih menjadi beban
sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2,
Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.

Di tingkatan akar rumput, sebetulnya rekonsiliasi sudah terjadi sejak lama dan hampir tidak
ada gesekan horizontal apapun terkait pertarungan ideologis yang berdampak kematian
massal di masa lalu. NU misalnya, seperti dikutip dari NU Online. Sejarawan NU Agus
Sunyoto mengatakan bahwa NU selama ini tidak menyimpan dendam dan usaharekonsiliasi
dengan mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan keturunannya sudah dipraktikan
kiai-kiai NU sejak dulu dengan penuh kesadaran.
Agus menyatakan, fakta itu bisa ditelusuri setelah maraknya janda-janda dan anak-anak yatim
dari keluarga PKI akibat Operasi Trisula di Blitar, Jawa Timur. Kiai-kiai NU secara bijak
mengambil anak tanpa ayah itu untuk dipesantrenkan, disekolahkan, dan dibesarkan.
Salah satu contoh nyata rekonsiliasi menurut Agus, bisa ditemukan di Desa Trisulo,
Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri, yang saat itu seratus persen warganya anggota
PKI. Karena trauma, penduduknya tak menerima ormas apapun masuk ke desa itu. Namun,
KH Ishom Hadziq justru berhasil mengikat persaudaraan dengan membentuk ranting NU
Trisulo dan ranting Ansor Trisulo pada tahun 1997.
Penulis buku Banser Berjihad Menumpas PKI ini merasa janggal ketika sejumlah media
mendorong rekonsiliasi, sebuah ajakan yang sebetulnya sudah dilakukan sejak lama. Dan dia
menduga ada kepentingan pihak ketiga yang sedang menunggangi tuntutan ini, termasuk
upaya pembelokkan sejarah kekejaman PKI. Kalau ada yang seperti ini mereka (keluarga
PKI, red.) pasti ketakutan. Karena setting ini pasti bukan keinginan dari anak-anak PKI dan
pasti ada pihak lain, ujar Agus.
Satu hal yang pasti, rekonsiliasi bukanlah hal yang bisa selesai dengan gembar-gembor di
media massa. Penyelesaian kasus HAM, bukan hanya untuk konsumsi kampanye dan tertulis
dalam program para calon pemimpin agar dipilih oleh rakyat. Rekonsiliasi bukan saja sebuah
tindakan dan aksi sosial, namun juga harus sekaligus menjadi aksi hukum, aksi penulisan
kembali sejarah bangsa. Rekonsiliasi hanya bisa terjadi jika pemegang kekuasaan negeri ini
mau betul-betul menyelesaikan persoalan dengan komprehensif, mengambil aksi dan
tindakan hukum untuk mencari kebenaran dan pada akhirnya menuliskan sejarah yang lebih
baik, yang sesuai faktasecara akademis dan ilmiah,serta bisa diterima oleh semua pihak
dengan jiwa besar.
Apapun itu, jalan sejarah bangsa ini telah tercatatkan dengan persepsi dan alur yang berbeda
sesuai dengan kepentingan yan menuliskannya. Jika hal ini dibiarkan terjadi terus menerus
tanpa kepastian, tanpa proses penyelidikan hukum secara komprehensif dan tanpa tindakan
hukum apapun, maka rekonsiliasi sejati tidak akan pernah terjadi, karena setiap masingmasing merasa menjadi korban dan mengharapkan keadilan sejati. Ya, keadilan sejati untuk
setiap tindakan pelanggaran HAM di negeri ini. Tidak hanya yang terjadi pada PKI,
keluarganya dan yang dianggap berafiliasi dengannya, tapi juga korban-korban PKI. Kasus
Priok, kasus penghilangan aktivis, kasus kudatuli, kasus trisakti, semanggi I & II, kasus
pembunuhan Munir, Marsinah, hingga Salim kancil.

Media
Indonesia,
Minggu,
01
Oktober
2006
SETELAH Orde Baru tumbang, debat tentang G-30-S/PKI seakan tidak pernah berhenti. Ia
terus menjadi kontroversi. Tetapi, ada kecenderungan mereka yang semula meyakini PKI
menjadi dalang Gerakan 30 September 1965, mulai mengendur. Atau sekurangnya mereka
seperti cukup berkata dalam diam. Sementara suara yang menolak atau tak percaya
keterlibatan PKI makin nyaring.
Negara juga cenderung bersikap pasif. Kini selama reformasi, misalnya, setiap 30 September
tak ada lagi aktivitas negara mengibarkan bendera setengah tiang tanda perkabungan
nasional. Para guru di sekolah juga tak lagi segairah dulu menjelaskan kejahatan PKI. Zaman
memang telah berubah, juga pandangan-pandangan masyarakatnya tentang hal-hal yang dulu
dianggap luar biasa. PKI kini memang tak lagi dianggap monster. Ia sebagai ideologi yang
dibicarakan biasa-biasa saja.
Sejarah di mana pun memang sering melahirkan perdebatan tiada henti. Ia bisa menjadi amat
subjektif tergantung dari mana melihatnya. Karena itu, sering pula batas antara pahlawan dan
pengkhianat hanya terpisah oleh batas yang amat tipis, yakni pergantian rezim atau politik.
Tetapi, apa pun alasannya, sebuah bangsa mestinya mempunyai sejarah yang ditulis dengan
jujur. Dan, inilah wilayah para sejarawan untuk menggarapnya.
Dari berbagai diskusi yang mengemuka dan beberapa buku yang telah ditulis mengenai G-30S/PKI sekurangnya ada empat kemungkinan yang mungkin terjadi. Pertama, peristiwa itu
memang benar-benar didalangi oleh Partai Komunis Indonesia. Argumentasinya, komunisme
memang punya tradisi merebut kekuasaan. Terlebih waktu itu partai ini amat kuat hingga
mampu menyelusup memengaruhi tentara.
Kedua, merupakan kudeta halus Pak Harto kepada Bung Karno. Untuk memberi
legitimasinya, kemudian Soekarno diminta mengalihkan kekuasaan kepada Soeharto lewat
Surat Perintah 11 Maret. Sayangnya, benda ini hingga kini masih menjadi misteri, entah di
mana disimpan. Atau boleh jadi memang tidak ada.
Ketiga, rekayasa Soekarno yang waktu itu tidak suka kepada para jenderal, terutama jenderal
Angkatan Darat. Keempat, keterlibatan lembaga intelijen asing, khususnya Amerika, yakni
CIA. Amerika punya kepentingan Soekarno jatuh karena waktu itu sang Presiden dinilai amat
dekat dengan poros komunis.
Kini, siapa pun bisa dan boleh meyakini kemungkinan mana yang paling benar. Tapi, sekali
lagi, bangsa ini butuh sejarah yang jujur. Sejarah yang jujur akan membuat bangsa ini
menjadi kian dewasa dan tidak menjadi beban generasi yang lahir kemudian.
Penguakan misteri G-30-S/PKI bukan untuk meneruskan dendam, tetapi justru agar kita bisa
belajar dari masa silam. Belajar dari kesalahan masa silam juga bisa meningkatkan kualitas
kita sebagai bangsa.***
G-30-S/PKI, adalah satu kalimat yang sebenarnya masih perlu lebih dicermati. G30-S dan PKI semestinya tidak selalu disatukan dalam satu kalimat. Hal ini
dikarenakan disamping uaraian anda sendiri yang memuat empat kemungkinan,
yang masih bersifat hipotesa, maka terjadinya gerakan 30-S tersebut,juga masih
dimungkinkan adanya kemungkinan lain. Kemungkinan lain itu adalah adanya
kepentingan UK dalam mengamankan kepentingan nasionanya di Asia Tenggara,

dalam hal ini, yaitu adanya konfrontasi yang dilakukan Indonesia terhadap
Malaysia, yang dapat berakibat dapat menghambat/ menghilangkan pengaruh
UK. Malaysia, Brunei adalah pemasok utama foundsterling bagi UK saat itu. Naif
jika PKI lebih ditakuti daripada persistensi Soeharto dalam menjerumuskan
Indonesia pada kondisi sekarang. Supersemar tidak jelas, Soekarno juga terlalu
dijadikan ikon Kambing Hitam sementara bangsa-bangsa yang anda sebut
pecinta demokrasi sedang heboh mengakuisisi Iraq dan Afganistan,Komunis yang
anda takuti sudah tumbuh sebagai raksasa (yang dulunya anda cap Komunis itu
tidak akan makmur) Terus terang jangan sok tahu jika anda tidak punya alibi
politik. Grand skenario dari masing-masing poros (Komunis atau Demokrator)
adalah menciptakan isu yang akan ditunggangi insan picik dinegara ketiga( tentu
saja tingkat pendidikan mereka rendah sehingga alibinya berdasarkan feeling
bukan fakta). Dalam konteks yang lebih sempit Jendral yang haus kekuasan
malah punya Grand Strategic bagaimana menguasai elemen negara untuk
memperkaya diri dengan momok semu yang ia sebut PKI, sedap pula ia
berlindung dibalik jubah agama seakan dia pahlawan padahal ideologi Pancasila
yang ia dengungkan adalah ideologi Pancagila, ia memecah belah masyarakat,
melindungi latar belakang kelabunya dengan Soekarno sebagai kambingnya dan
Komunis sebagai musuh, sementara anak cucunya sibuk menguras negara. PKI
isu santer? Omong kosong belaka,anda lebih takut PKI yang sudah mati puluhan
tahun silam tapi tidak takut pada koruptor dan pemimpin yang berlindung dibalik
nama agama? Alibi seperti apa ini?

Anda mungkin juga menyukai