Sinonim
Sinonim
keluarga korban pembantaian dari PKI sebelum meletusnya peristiwa Gerakan 30 September
juga masuk dalam kategori korban.
Minta maaf itu ke siapa, karena kami juga korban, katanya dalam sebuah acara talkshow di
sebuah televisi nasional, Jakarta, Selasa (29/9) malam.
Selain dianggap melakukan pembunuhan sadis pada para Jenderal TNI, pembantaian yang
dilakukan oleh PKI, tercatat juga terjadi di Banyuwangi. Monumen Pancasila Untuk
Mengenang Tragedi Pembantaian 18 Oktober 1965, Di Dusun Cemethuk, Desa Cluring,
Kecamatan Cluring Banyuwangi adalah saksi berdarah peristiwa pembantaian 62 orangorang Anshor oleh anggota PKI.
Kondisi tak adil dalam upaya rekonsiliasi atas kejahatan HAM masa lalu, juga dinyatakan
oleh Budayawan Muslim Taufiq Ismail. Beliau menilai kondisi keadilan (HAM) untuk umat
muslim Indonesia belum tercapai secara optimal. Mengingat, perlakuan para anggota Partai
Komunis Indonesia (PKI) beberapa tahun silam. Tepatnya, pada tahun 1927, 1948 dan 1965,
Taufiq mengisahkan, pemberontakan PKI menelan banyak korban khususnya di kalangan
umat Islam itu sendiri.
Hak asasi yang dilanggar terjadi di 25 kota dan desa, pembunuhan-pembunuhan itu tidak
pernah disebut-sebut, papar Taufik, Agutus lalu, seperti yang dikutip dari Republika.
Tak hanya itu, Taufiq menambahkan, sebelum peristiwa G30S-PKI, teror dan ancaman tidak
henti-hentinya berdatangan kepada para kalangan anti komunis pada 1963 sampai 1964.
Teror dan ancaman itu pun tidak pernah diangkat kepermukaan. Menurutnya, pemerintah
terkesan tidak begitu memperhatikan nasib keadilan HAM umat muslim Indonesia. Serta
acuh dalam menelusuri jejak-jejak sejarah untuk memperjelas apa yang sebenarnya terjadi.
Pemberontakan yang dilakukan PKI pada 1927, 1948 dan 1965 menelan banyak korban jiwa.
Ribuan nyawa melayang akibat pemberontakan PKI di Tanah Air. Mereka menyembelih dan
membantai para kiai dan masyarakat, kata Taufiq.
Beberapa sumber, lanjut Taufiq, menyebutkan komunis telah membunuh sekitar 120 juta jiwa
tak berdosa di seluruh dunia. Pemberontakan PKI yang dipimpin Muso pada 1948 juga telah
membantai para kiai. Berbagai tempat ibadah, langgar maupun masjid dibakar, jelas dia.
Pendapat Taufiq Ismail di atas, didukung oleh fakta misalnya bahwa kabupaten Magetan
selama ini sudah dikenal di dunia sebagai tempat beradanya Lubang-lubang Sumur
Pembantaian (Killing Holes) dan Ladang Pembantaian (Killings Fields) sebagaimana dicatat
dalam buku Lubang-lubang Pembantaian: Pemberontakan FDR/PKI 1948 di Madiun ditulis
Maksum, Agus Sunyoto, Zainuddin (1990); Peristiwa Coup berdarah PKI 1948 di Madiun
ditulis Pinardi (1967); Pemberontakan Madiun: Ditinjau dari hukum negara kita ditulis
Sudarisman Purwokusumo (1951); De PKI in actie: Opstand of affaire (Madiun 1948: PKI
Bergerak) ditulis Harry A.Poeze (2011).
Berdasarkan film resmi pemerintah Pengkhianatan G30S/PKI (sekitar menit 3-5), berikut
ini
adalah
daftar
peristiwa
pasca
1948
yang
melibatkan
PKI:
1. Peristiwa Kanigoro, 13 Januari 1965, penganiayaan: pemukulan seorang kyai dan beberapa
orang
guru,
menginjak-injak
Al
Quran.
2. Peristiwa Kediri (Jengkol), 15 Januari 1965, penganiayaan terkait sengketa tanah:
pengeroyokan
petani
Soetarno
dan
Kepala
Desa.
3. Peristiwa Bandar Betsy, 14 Mei 1965, penganiayaan terkait sengketa tanah: Peltu Soedjono
tewas
dikeroyok.
4. Peristiwa Indramayu, 15 Oktober 1964, penganiayaan tujuh orang polisi hutan.
5. Peristiwa Boyolali, November 1964, bentrok antara PKI dan PNI.
6. Peristiwa Klaten: 25 Maret 1964, sengketa sawah.
Rekonsiliasi?
Dari paparan di atas, bisa dikatakan bahwa, konflik dan saling bantai terjadi di antara PKI
dan anti PKI. Kerap kali PKI berkali-kali dianggap melakukan tindakan kekerasan massal
juga yang banyak mengakibatkan pembunuhan massal, sebelum justru situasi berbalik kepada
PKI sendiri. Walaupun hal ini belum dapat ditemukan dokumentasi dan bukti-bukti sejarah
secara keseluruhan, namun masih banyak saksi hidup dan beberapa monumen yang menjadi
bukti otentik bahwa PKI pun melakukan kekejaman yang sama, sebelum 1965.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, seperti dikutip dari Republika Online, mengatakan
bahwaJalan keluar yang terbaik terkait persoalan tersebut, adalah dengan rekonsiliasi atau
pemulihan hubungan antara pemerintah dan korban. Buang jauh-jauh masa lalu. Mari kita
bersatu
untuk
mengatasi
tantangan-tantangan
ke
depan,
tutur
dia.
Pemerintah saat ini sedang menggodok kebijakan untuk menyelesaikan berbagai kasus
pelanggaran HAM di Indonesia yang terjadi di masa lalu, termasuk pelanggaran HAM tahun
1965-1966 yang menimpa orang-orang yang terkait ataupun terduga anggota Partai Komunis
Indonesia. Salah satu cara yang dipertimbangkan adalah rekonsiliasi.
Hal ini sempat diungkapkan oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, namun menurutnya
kebijakan itu perlu sosialisasi mendalam. Tentu itu suatu niat yang baik tapi proses itu harus
disosialisasikan ke seluruh jajaran dan masyarakat, jangan sampai salah interpretasi apa yang
dimaksud rekonsiliasi dan bagaimana konsepnya, tentu semuanya harus memahami, kata
Badrodin.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri memiliki komitmen untuk
menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia. Hal tersebut
terdapt dalam visi misi dan program aksi berjudul Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang
Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, yang berisi penjabaran dari Nawa Cita.
Dalam naskah tersebut tertulis, Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan
terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang hingga kini masih menjadi beban
sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2,
Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.
Di tingkatan akar rumput, sebetulnya rekonsiliasi sudah terjadi sejak lama dan hampir tidak
ada gesekan horizontal apapun terkait pertarungan ideologis yang berdampak kematian
massal di masa lalu. NU misalnya, seperti dikutip dari NU Online. Sejarawan NU Agus
Sunyoto mengatakan bahwa NU selama ini tidak menyimpan dendam dan usaharekonsiliasi
dengan mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan keturunannya sudah dipraktikan
kiai-kiai NU sejak dulu dengan penuh kesadaran.
Agus menyatakan, fakta itu bisa ditelusuri setelah maraknya janda-janda dan anak-anak yatim
dari keluarga PKI akibat Operasi Trisula di Blitar, Jawa Timur. Kiai-kiai NU secara bijak
mengambil anak tanpa ayah itu untuk dipesantrenkan, disekolahkan, dan dibesarkan.
Salah satu contoh nyata rekonsiliasi menurut Agus, bisa ditemukan di Desa Trisulo,
Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri, yang saat itu seratus persen warganya anggota
PKI. Karena trauma, penduduknya tak menerima ormas apapun masuk ke desa itu. Namun,
KH Ishom Hadziq justru berhasil mengikat persaudaraan dengan membentuk ranting NU
Trisulo dan ranting Ansor Trisulo pada tahun 1997.
Penulis buku Banser Berjihad Menumpas PKI ini merasa janggal ketika sejumlah media
mendorong rekonsiliasi, sebuah ajakan yang sebetulnya sudah dilakukan sejak lama. Dan dia
menduga ada kepentingan pihak ketiga yang sedang menunggangi tuntutan ini, termasuk
upaya pembelokkan sejarah kekejaman PKI. Kalau ada yang seperti ini mereka (keluarga
PKI, red.) pasti ketakutan. Karena setting ini pasti bukan keinginan dari anak-anak PKI dan
pasti ada pihak lain, ujar Agus.
Satu hal yang pasti, rekonsiliasi bukanlah hal yang bisa selesai dengan gembar-gembor di
media massa. Penyelesaian kasus HAM, bukan hanya untuk konsumsi kampanye dan tertulis
dalam program para calon pemimpin agar dipilih oleh rakyat. Rekonsiliasi bukan saja sebuah
tindakan dan aksi sosial, namun juga harus sekaligus menjadi aksi hukum, aksi penulisan
kembali sejarah bangsa. Rekonsiliasi hanya bisa terjadi jika pemegang kekuasaan negeri ini
mau betul-betul menyelesaikan persoalan dengan komprehensif, mengambil aksi dan
tindakan hukum untuk mencari kebenaran dan pada akhirnya menuliskan sejarah yang lebih
baik, yang sesuai faktasecara akademis dan ilmiah,serta bisa diterima oleh semua pihak
dengan jiwa besar.
Apapun itu, jalan sejarah bangsa ini telah tercatatkan dengan persepsi dan alur yang berbeda
sesuai dengan kepentingan yan menuliskannya. Jika hal ini dibiarkan terjadi terus menerus
tanpa kepastian, tanpa proses penyelidikan hukum secara komprehensif dan tanpa tindakan
hukum apapun, maka rekonsiliasi sejati tidak akan pernah terjadi, karena setiap masingmasing merasa menjadi korban dan mengharapkan keadilan sejati. Ya, keadilan sejati untuk
setiap tindakan pelanggaran HAM di negeri ini. Tidak hanya yang terjadi pada PKI,
keluarganya dan yang dianggap berafiliasi dengannya, tapi juga korban-korban PKI. Kasus
Priok, kasus penghilangan aktivis, kasus kudatuli, kasus trisakti, semanggi I & II, kasus
pembunuhan Munir, Marsinah, hingga Salim kancil.
Media
Indonesia,
Minggu,
01
Oktober
2006
SETELAH Orde Baru tumbang, debat tentang G-30-S/PKI seakan tidak pernah berhenti. Ia
terus menjadi kontroversi. Tetapi, ada kecenderungan mereka yang semula meyakini PKI
menjadi dalang Gerakan 30 September 1965, mulai mengendur. Atau sekurangnya mereka
seperti cukup berkata dalam diam. Sementara suara yang menolak atau tak percaya
keterlibatan PKI makin nyaring.
Negara juga cenderung bersikap pasif. Kini selama reformasi, misalnya, setiap 30 September
tak ada lagi aktivitas negara mengibarkan bendera setengah tiang tanda perkabungan
nasional. Para guru di sekolah juga tak lagi segairah dulu menjelaskan kejahatan PKI. Zaman
memang telah berubah, juga pandangan-pandangan masyarakatnya tentang hal-hal yang dulu
dianggap luar biasa. PKI kini memang tak lagi dianggap monster. Ia sebagai ideologi yang
dibicarakan biasa-biasa saja.
Sejarah di mana pun memang sering melahirkan perdebatan tiada henti. Ia bisa menjadi amat
subjektif tergantung dari mana melihatnya. Karena itu, sering pula batas antara pahlawan dan
pengkhianat hanya terpisah oleh batas yang amat tipis, yakni pergantian rezim atau politik.
Tetapi, apa pun alasannya, sebuah bangsa mestinya mempunyai sejarah yang ditulis dengan
jujur. Dan, inilah wilayah para sejarawan untuk menggarapnya.
Dari berbagai diskusi yang mengemuka dan beberapa buku yang telah ditulis mengenai G-30S/PKI sekurangnya ada empat kemungkinan yang mungkin terjadi. Pertama, peristiwa itu
memang benar-benar didalangi oleh Partai Komunis Indonesia. Argumentasinya, komunisme
memang punya tradisi merebut kekuasaan. Terlebih waktu itu partai ini amat kuat hingga
mampu menyelusup memengaruhi tentara.
Kedua, merupakan kudeta halus Pak Harto kepada Bung Karno. Untuk memberi
legitimasinya, kemudian Soekarno diminta mengalihkan kekuasaan kepada Soeharto lewat
Surat Perintah 11 Maret. Sayangnya, benda ini hingga kini masih menjadi misteri, entah di
mana disimpan. Atau boleh jadi memang tidak ada.
Ketiga, rekayasa Soekarno yang waktu itu tidak suka kepada para jenderal, terutama jenderal
Angkatan Darat. Keempat, keterlibatan lembaga intelijen asing, khususnya Amerika, yakni
CIA. Amerika punya kepentingan Soekarno jatuh karena waktu itu sang Presiden dinilai amat
dekat dengan poros komunis.
Kini, siapa pun bisa dan boleh meyakini kemungkinan mana yang paling benar. Tapi, sekali
lagi, bangsa ini butuh sejarah yang jujur. Sejarah yang jujur akan membuat bangsa ini
menjadi kian dewasa dan tidak menjadi beban generasi yang lahir kemudian.
Penguakan misteri G-30-S/PKI bukan untuk meneruskan dendam, tetapi justru agar kita bisa
belajar dari masa silam. Belajar dari kesalahan masa silam juga bisa meningkatkan kualitas
kita sebagai bangsa.***
G-30-S/PKI, adalah satu kalimat yang sebenarnya masih perlu lebih dicermati. G30-S dan PKI semestinya tidak selalu disatukan dalam satu kalimat. Hal ini
dikarenakan disamping uaraian anda sendiri yang memuat empat kemungkinan,
yang masih bersifat hipotesa, maka terjadinya gerakan 30-S tersebut,juga masih
dimungkinkan adanya kemungkinan lain. Kemungkinan lain itu adalah adanya
kepentingan UK dalam mengamankan kepentingan nasionanya di Asia Tenggara,
dalam hal ini, yaitu adanya konfrontasi yang dilakukan Indonesia terhadap
Malaysia, yang dapat berakibat dapat menghambat/ menghilangkan pengaruh
UK. Malaysia, Brunei adalah pemasok utama foundsterling bagi UK saat itu. Naif
jika PKI lebih ditakuti daripada persistensi Soeharto dalam menjerumuskan
Indonesia pada kondisi sekarang. Supersemar tidak jelas, Soekarno juga terlalu
dijadikan ikon Kambing Hitam sementara bangsa-bangsa yang anda sebut
pecinta demokrasi sedang heboh mengakuisisi Iraq dan Afganistan,Komunis yang
anda takuti sudah tumbuh sebagai raksasa (yang dulunya anda cap Komunis itu
tidak akan makmur) Terus terang jangan sok tahu jika anda tidak punya alibi
politik. Grand skenario dari masing-masing poros (Komunis atau Demokrator)
adalah menciptakan isu yang akan ditunggangi insan picik dinegara ketiga( tentu
saja tingkat pendidikan mereka rendah sehingga alibinya berdasarkan feeling
bukan fakta). Dalam konteks yang lebih sempit Jendral yang haus kekuasan
malah punya Grand Strategic bagaimana menguasai elemen negara untuk
memperkaya diri dengan momok semu yang ia sebut PKI, sedap pula ia
berlindung dibalik jubah agama seakan dia pahlawan padahal ideologi Pancasila
yang ia dengungkan adalah ideologi Pancagila, ia memecah belah masyarakat,
melindungi latar belakang kelabunya dengan Soekarno sebagai kambingnya dan
Komunis sebagai musuh, sementara anak cucunya sibuk menguras negara. PKI
isu santer? Omong kosong belaka,anda lebih takut PKI yang sudah mati puluhan
tahun silam tapi tidak takut pada koruptor dan pemimpin yang berlindung dibalik
nama agama? Alibi seperti apa ini?