Anda di halaman 1dari 8

Definisi

Leukemia atau kanker darah dalah sekelompok penyakit neoplastik yang beragam, ditandai
oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah
di sumsum tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan
oleh sel tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan
di dalam darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau
proses pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh penderita. Kata leukemia berarti
darah putih, karena pada penderita ditemukan banyak sel darah putih sebelum diberi terapi.
Sel darah putih yang tampak banyak merupakan sel yang muda, misalnya promielosit. Jumlah
yang semakin meninggi ini dapat mengganggu fungsi normal dari sel lainnya. Sedangkan
leukemia limfoblastik akut adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid
(Underwood, 2000).
B.

Klasifikasi

Kemajuan dalam klasifikasi leukemia pada anak penting untuk memahami patofisiologi
penyakit ini dan perkembangan metode terapi yang lebih spesifik. Dalam istilah yang paling
luas, leukemia pada anak dapat diklasifikasikan sebagai akut, kronik, atau kongenital. Akut
dan kronis sebenarnya menunjukkan durasi relatif ketahanan hidup, tetapi dengan penemuan
kemoterapi yang efektif, sekarang leukemia akut menunjukkan proliferasi maligna sel
immatur (yaitu blastik). Jika proliferasi itu sebagian besar melibatkan jenis sel yang lebih
matur (yaitu berdiferensiasi), leukemia itu diklasifikasikan sebagai kronis. Tidak seperti
leukemia pada orang dewasa, pada anak biasanya adalah jenis akut dan limfoblastik.
Leukemia limfositik atau limfoblastik akut (ALL) meliputi kira-kira 80% leukemia akut pada
anak, dan sisanya sebagian besar adalah leukemia mieloid akut (non-limfoblastik) (AML).
Leukemia kongenital atau neonatal adalah leukemia yang terdiagnosis dalam 4 minggu
pertama kehidupan bayi (Rudolph, 2006).

Adapun perbedaan antara leukemia akut dan leukemia kronis adalah:


Leukemia akut

Leukemia kronis

Umur

Semua umur

Dewasa

Onset penyakit

Tiba-tiba

Perlahan

Perjalanan penyakit

<6 bulan

26 tahun

Sel leukemia

Sel tidak matang

Sel matang

Anemia, trombositopenia

Menonjol

Ringan

Jumlah leukosit

Bervariasi

Meningkat

Pembesaran kelenjar

Ringan

Jelas

Pembesaran limpa

Ringan

Jelas

(Staf IKA, 2007)


C.

Epidemiologi

Pada ALL, puncak usia timbulnya penyakit adalah antara umur 3 dan 4 tahun, sedangkan
pada anak dengan AML tampak tidak ada usia puncak. Insiden ALL lebih tinggi pada anak
kulit putih daripada anak kulit berwarna, tetapi prediksi rasial belum diperlihatkan baik untuk
AML maupun CML. Temuan baru-baru ini mengenai kelainan genetik sel yang leukemia
identik pada pasangan kembar monozigot menunjukkan bahwa metastasis intrauterin
menyebabkan leukemia yang sama. Suatu resiko yang lebih tinggi dari normal untuk
perkembangan leukemia telah dihubungkan dengan berbagai macam kelainan (Rudolph,
2006).
D.

Etiologi

Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak diketahui. Faktor keturunan dan sindroma
predisposisi genetik lebih berhubungan dengan LLA yang terjadi pada anak-anak. Beberapa
faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungan dengan LLA adalah: (Sudoyo, 2007)
1.

Radiasi ionik, orang yang selamat dari ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki

mempunyai resiko relatif keseluruhan 9,1 untuk berkembang menjadi LLA.

2.

Paparan benzene dengan kadar tinggi dapat menyebabkan aplasi sumsum tulang,

kerusakan kromosom, dan leukemia.


3.

Merokok sedikit meningkatkan resiko LLA pada usia di atas 60 tahun

4.

Obat kemoterapi

5.

Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3

6.

Pasien dengan sindroma Down dan Wiskott-Aldrich mempunyai resiko yang

menningkat untuk menjadi LLA


Dewasa ini, mutasi spontan telah menjadi hipotesis sebagai penyebab utama ALL pada anak.
Karena sel target untuk ALL, sel progenitor limfoid, memiliki kecepatan proliferasi yang
tinggi dan kecenderungan yang tinggi untuk pengaturan kembali gen selama masa kanakkanak awal, mereka lebih rentan untuk mengalami mutasi. Diperdebatkan bahwa satu, atau
lebih mungkin dua, mutasi sel, yang mengalami tekanan proliferasi dapat terjadi pada
frekuensi yang cukup untuk bertanggung jawab terhadap kebanyakan kasus ALL pada anakanak (Rudolph, 2006)
E.

Patogenesis

Teori umum tentang patofisiologi leukemia adalah bahwa satu sel induk mutan, ammpu
memperbaharui

diri

secara

tidak

terhingga,

menimbulkan,

prekursor

hemopoetik

berdiferensiasi buruk maligna yang membelah diri pada kecepatan yang sama atau lebih
lambat daripada pasangannya yang normal. pada studi glukosa 6-fosfat dehidrogenase
(G6PD), perkembangan uniseluler dari neoplasma telah diperlihatkan dengan menemukan
satu jenis G6PD dalam sel ganas dari pasien heterozigot yang memiliki pola enzim ganda
dalam jaringan normal mereka. Penentuan pola metilasi dari polimorfisme panjang-fragmenrestriksi yang terkait-X pada perempuan heterozigot merupakan metode sensitif lain dalam
pada prinsip analisis yang sama. Akumulasi sel blas menghambat produksi normal granulosit,
eritrosit, dan trombosit, sehingga mengakibatkan infeksi, anemia, dan perdarahan. Sel
leukemia dapat menginfiltrasi setiap organ dan menyebabkan pembesaran dan gangguan
fungsi organ tersebut (Rudolph, 2004).

F.

Manifestasi Klinis

Presentasi klinis LLA sangat bervariasi. Pada umumnya gejala klinis menggambarkan
kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi selsel limfoblas ganas di sumsum tulang menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah perifer
dan gejala klinis dapat berhubungan dengan anemia, infeksi, dan perdarahan. Demam atau
infeksi yang jelas dapat ditemukan pada separuh pasien LLA, sedangkan gejala perdarahan
yang berat jarang terjadi (Mansjoer, 2000).
Gejala dan tanda klinis yang dapat ditemukan, antara lain: (Sudoyo, 2007)
1.

Anemia (mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada)

2.

Anoreksia

3.

Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel leukemia)

4.

Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme)

5.

Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis, atau sepsis. Penyebab yang

paling sering adalah stafilokokus, streptokokus, dan bakteri gram negatif usus, serta berbagai
spesies jamur
6.

Perdarahan kulit, perdarahan gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna, perdarahan otak

7.

Hepatomegali

8.

Splenomegali

9.

Limfadenopati

10. Massa di mediastinum (sering pada LLA sel T)


11. Leukemia sistem saraf pusat (nyeri kepala, muntah, perubahan dalam status mental,
kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII, kelainan neurologik fokal)
12. Keterlibatan organ lain (testis, retina, kulit, pleura, perikardium, tonsil)
G.

Pemeriksaan Laboratorium

Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi diagnostik LLA, klasifikasi


prognostik dan perencanaan terapi yang tepat, yaitu: (Sudoyo, 2007)

1.

Hitung darah lengkap dan apus darah tepi

Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis. Hiperleukositosis
(>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat melebihi 200.000/mm3. Pada
umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blas pada hitung leukosit
bervariasi dari 0-100%. Kira-kira sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit kurang dari
25.000/mm3.
2.

Aspirasi dan biopsi sumsum tulang

Spesimen yang didapat harus diperiksa untuk analisis histologi, sitogenetik dan
immunophenotyping. Apus sumsum tulang tampak hiperseluler dengan limfoblas yang sangat
banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang seluruhnya
digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga
touch imprint dari jarinngan biopsi penting untuk evaluasi gambaran sitologi.
3.

Sitokimia

Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang
negatif. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari
prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas LMA. Sitokimia juga berguna
untuk membedakan precursor B dan B-ALL dari T-ALL. Pewarnaan fosfatase asam akan
positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada
pewarnaan periodic acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh limfoblas dapat dideteksi
dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow cytometry.
4.

Imunofenotip (dengan sitometri arus/flow cytometry)

Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Pada sekitar 15-54% LLA
dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi adalah
CD13, CD15, dan CD33. Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid dapat
ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini jarang, dan perjalanan penyakitnya buruk.
5.

Sitogenetik

Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan


dengan subtipe LLA tertentu, dan dapat memberikan informasi prognostik.
6.

Biologi molekular

Teknik molekular dikerjakan bila analisis sitogenetik rutin gagal, dan untuk mendeteksi yang
tidak terdeteksi dengan sitogenetik standar. Teknik ini juga harus dilakukan untuk mendeteksi
gen BCR-ABL yang mempunyai prognosis buruk.
7.

Pemeriksaan lainnya

Parameter koagulasi biasanya normal dan koagulasi intravaskular diseminata jarang terjadi.
Kelainan metabolik seperti hiperurikemia dapat terjadi terutama pada pasien dengan sel-sel
leukemia yang cepat membelah dan tumor burden yang tinggi. Pungsi lumbal dilakukan pada
saat diagnosis untuk memeriksa cairan serebrospinal. Perlu atau tidaknya tindakan ini
dilakukan pada pasien dengan banyaknya sel blas yang bersirkulasi masih kontroversi.
Definisi keterlibatan susunan saraf pusat (SPP) adalah bila ditemukan lebih dari 5
leukosit/mL cairan serebrospinal dengan morfologi sel blas pada spesimen sel yang
disentrifugasi.

H.

Diagnosis Banding

Adapun diagnosis banding untuk penyakit LLA antara lain: (Sudoyo, 2007)
1.

Limfositosis, limfadenopati, dan hepatosplenomegali yang berhubungan dengan infeksi

virus dan limfoma


2.
I.

Anemia aplastik
Terapi

Strategi dasar untuk pengobatan ALL terdiri atas: (Rudolph, 2004)


1.

Kemoterapi intensif jangka pendek untuk menimbulkan remisi komplet

2.

Fase konsolidasi, biasanya diberikan lebih dari 2-4 minggu

3.

Pengobatan sistem saraf pusat presimtomatis

4.

Kesinambungan terapi selama 2 atau 3 tahun untuk meneruskan penghancuran sel

leukemia

Sel leukemia dari anak dengan ALL biasanya cukup sensitif terhadap kemoterapi pada saat
diagnosis. Pengobatan induksi secara tipikal meliputi glukokortikoid (deksametason atau
prednison), alkaloid tumbuhan (vinkristin), dan enzim asparaginasse, semuanya diberikan
selama 4 minggu. Obat-obat ini segera menghancurkan sel leukemia, dengan toksisitas organ
yang minimal dan gangguan hematopoesis normal yang minnimal. Untuk leukemia resiko
tinggi, sebagian besar penelitian klinis menggunakan agen tambahan untuk induksi remisi.
Dengan kemoterapi modern dan perawatan suportif, 97-98% anak dapat mencapai remisi
sempurna. Setelah tercapai remisi sempurna tujuan terapi selanjutnya adalah meneruskan
perusakan sisa-sisa limfoblas sampai kadar yang sesuai dengan keadaan sembuh.
Pengurangan populasi sel leukemik yang cepat ssebelum munculnya klon yang resisten, telah
dicapai dengan fase konsolidasi atau intensif.
Metode standar terapi selama remisi adalah penggunaan terapi preventif sistem saraf pusatterapi langsung. Karena lamanya remisi komplet secara progresif menjadi lebih panjang,
frekuensi keterlibatan sistem saraf pusat meningkat, biasanya selama remisi sumsum tulang.
Alasan yang jelas untuk komplikasi ini adalah kegagalan obat antileukemik untuk melewati
selaput otak dan cairan serebrospinal dalam konsentrasi efektif. Didasarkan pada teori bahwa
sel leukemik berada pada selaput otak pada saat diagnosis, maka tujuan terapi preventif
sistem saraf pusat adalah untuk menghilangkan sel-sel ini pada saat jumlahnya masih sedikit
dan tidak terdeteksi melalui pemeriksaan klinis.
Dahulu, pengobatan lanjutan yang biasa diberikan adalah merkaptopurin oral harian dan
metotreksat mingguan. Dewasa ini, regimen intensif telah digunakan dalam upaya untuk
meningkatkan kemungkinan sembuh, terutama pada pasien yang memiliki resiko relaps yang
tinggi. Pada beberapa anak, metotreksat telah digunakan dalam dosis yang lebih tinggi
daripada dosis konvensional tidak hanya pada awal remisi tetapi meliputi seluruh pengobatan
untuk mempertahankan remisi. Beberapa regimen meliputi penggunaan periodik dari obat
yang sama yang digunakan untuk induksi remisi, sedangkan yang lain menggunakan
pemberian obat yang periodik dari jenis obat yang berbeda seperti siklofosfamid, sitarabin,
dan epipodofilotoksin, terutama untuk penyakit sel-T atau sel pra-B, diberikan secara berkala
(Rudolph, 2004).
J.

Komplikasi

Komplikasi metabolik pada anak dengan ALL dapat disebabkan oleh lisis sel leukemik akibat
kemoterapi atau secara spontan dan komplikasi ini dapat mengancam jiwa pasien yang

memiliki beban sel leukemia yang besar. Terlepasnya komponen intraseluler dapat
menyebabkan hiperurisemia, hiperkalsemia, dan hiperfosfatemia dengan hipokalsemia
sekunder. Beberapa pasien dapat menderita nefropati asam urat. Jarang sekali timbul
urolitiasis dengan obstruksi ureter setelah pasien diobati untuk leukemia. Infiltrasi leukemik
yang difus pada ginjal juga dapat menimbulkan gagal ginjal (Rudolph, 2006).

K.

Prognosis

Kebanyakan pasien LLA dewasa dapat mencapai remisi tapi tidak sembuh dengan
kemoterapi saja, dan hanya 30% yang bertahan hidup lama. Kebanyakan pasien yang sembuh
dengan kemoterapi adalah usia 15-20 tahun dengan faktor prognostik baik lainnya. Harapan
sembuh untuk pasien LLA dewasa lainnya tergantung dari terapi yang lebih intensif dengan
transplantasi sumsum tulang (Sudoyo, 2007).

Anda mungkin juga menyukai