***
**
*
e-Book
Terjemah Kitab
Syeikh Husain Manshur al-Hallaj
ashakimppa.blogspot.com
At Thowasin Al Azal
Hussain bin Manshur Al-Hallaj
1. Thosin Al Siroj (Pelita Nubuwah Nabi Muhammad S.A.W)
2. Thosin Al Fahm (Pemahaman)
3. Thosin Al Shofa (Kebeningan)
4. Thosin Al Dairoh (Lingkaran)
5. Thosin Al Nuqthah (Titik)
6. Thosin Al Azal wa al Iltibas (Kebahagiaan dan Derita
Eterniti / Keabadian dan Kekeliruan Pemahaman)
7. Thoasin Al Masyi-ah (Kehendak)
8. Thoasin Al Tauhid (Keesaan)
9. Thosin Al Asror fi al Tauhid (Kesadaran Diri Dalam Tauhid)
10. Thosin Al Tanzih (Kesucian, Keterbebasan)
11. Thosin Bustan Al Marifah (Taman Pengetahuan/Marifat)
9. Maha Suci Alloh! Adakah yang lebih nyata, lebih tampak, lebih agung, lebih
masyhur, lebih kemilau, lebih perkasa ataupun cendekia, yang lebih darinya? Ia
sungguh telah dikenal sebelum penciptaan sesuatu, yang ada, juga semesta.
Ia senantiasa diingat sebelum adanya sebelum dan setelah adanya setelah,
juga sebelum ada substansi dan kualitas.
Substansinya adalah cahaya semata, ucapannya adalah nubuwah, hikmahnya
adalah wahyu, gaya bahasanya adalah Arab, kesukuannya adalah tiada Timur
dan tiada Barat [Q. 24: 35], silsilahnya adalah garis kebapakan, misinya adalah
damai, dan sebutannya adalah ummi (awam).
10. Segenap mata terbuka dengan isyaratnya, segenap rahasia dan segenap jiwa
terasa dengan kehadirannya yang ada. Adalah Alloh yang membuatnya fasih
menghafalkan rangkaian Firman-Nya, dan menjadi Bukti (Al-Hujjah) yang
meneguhkannya. Juga Alloh yang mengutusnya, dan ia adalah Bukti
senyatanya Bukti. Adalah ia yang memuaskan dahaga hati pedamba yang
kehausan, yang tidak tersentuh apa pun, tidak terkatakan lidah, tidak juga
terekayasa, yang menyatu dengan Alloh tanpa terpisahkan, bahkan jauh di
luar jangkauan pikiran. Pokoknya ia yang mengabarkan adanya akhir, dan
akhirnya akhir, serta akhir-akhirnya akhir.
11. Ia singkapkan awan, dan menunjuk ke Rumah Suci (Bayt al-Haram). Ia adalah
pembeda, bahkan ia adalah panglima perang. Adalah ia yang diperintah untuk
meluluhlantakkan berhala-berhala, juga ia yang diutus kepada ummat manusia
untuk membasmi pemujaan.
12. Di atasnya awan bergemuruh menyambarkan kilat, dan di bawahnya kilat
menyambar gemuruh, berkilatan, mencurahkan hujan, serta menyuburkan.
Segenap pengetahuan hanyalah setetes dari samuderanya, segenap kearifan
hanyalah secauk dari bengawannya, dan segenap waktu hanyalah sesaat dari
masanya.
13. Alloh (ada) bersamanya, dan bersamanya adalah hakikat. Ia yang pertama
dalam kesatuan (penciptaan) dan terakhir yang diutus sebagai Rasul, yang
hakikatnya bersifat batin, dan marifatnya bersifat lahir.
14. Tiada seorang pakar pun yang pernah mencapai hikmahnya, bahkan para filsuf
niscaya tersadar atas kearifannya.
15. Alloh tidak menyerahkan [hakikat-Nya] itu kepada makhluk-Nya, sebab ia
adalah ia, dan ia adanya bersama Dia, sedangkan Dia adalah Dia.
16. Tidak ada apa pun yang keluar dari Mim ( )-nya Muhammad ( ), dan
tidak ada yang masuk ke Ha ( )-nya. Adapun Ha ()-nya
sebagaimana Mim ()-nya yang kedua, sedangkan Dal ()-nya
seperti Mim ()-nya yang pertama. Mim ()-nya yang pertama adalah
peringkat (maqam)-nya, serta Ha ()-nya adalah keadaan (hal) spritualnya,
sebagaimana Mim ( )-nya yang kedua.
17. Alloh membuat bicaranya jelas, menambah nilainya, dan membuat
bukti (hujjah)-nya dikenal. Dia menurunkan wahyu Pembeda [AlFurqan] kepadanya. Dia membuat lidahnya fasih, dan Dia membuat hatinya
terang. Dia membuat ummat sezamannya tidak mampu [memalsu AlQuran].Dia pun mengakui kejelasannya, dan memuji kemuliaannya.
18. Andaikan kau melarikan diri dari kewenangan syariat-nya, adakah jalan (lain)
yang dapat kau tempuh, tanpa adanya pembimbing, hai orang yang malang?
Ketahuilah, segenap fatwa para filsuf berantakan, seperti gundukan pasir,
dibandingkan hikmahnya.
__________________________________________________
ungkapan yang penuh kesan. Ia berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api
dalam hasratnya untuk mencapai Penyatuan (Tawhid) yang sempurna.
3. Cahayanya nyala api adalah Pengetahuan ('llm) hakikat, panasnya adalah
Kenyataan ('Ayn) hakikat, dan Penyatuan dengannya adalah
Kebenaran (Haqq) hakikat.
4. Ia merasa tidak puas dengan cahayanya ataupun dengan panasnya, sehingga ia
melompat ke dalam nyala api langsung. Sementara itu, teman-temannya
menantikan kedatangannya, supaya ia menceritakan kepada mereka
tentang 'penglihatan' aktualnya, karena ia merasa tidak puas dengan kabar
angin saja. Tetapi, ketika itu ia tengah tuntas sirna (fana'),
musnah dan buyar ke dalam serpihan-serpihan, yang tersisa tanpa wujud,
tanpa jasad ataupun tanda pengenal. Jadi, dalam peringkat (maqam) apa ia
dapat kembali ke teman-temannya? Dan, keadaan (hal) spiritual apa yang
tengah dicapainya sekarang? Ia yang sampai pada pandangan (bashirah) batin
niscaya sanggup terlepas dari pekabaran saja.
Juga ia yang sampai pada inti pandangan batin tidak lebih prihatin tentang
pandangan batinnya.
5. Pemaknaan (masalah) ini tidak menyangkut manusia yang alpa, tidak juga
manusia yang maya, atau manusia yang penuh dosa, ataupun manusia yang
menuruti hawa-nafsunya semata.
6. Wahai kau yang ragu-ragu! Jangan persamakan 'aku' (insani)
dengan 'Aku' Ilahi -- janganlah sekarang, janganlah di masa depan nanti,
janganlah pula di masa lampau dulu.
Bahkan, kendatipun 'aku' itu merupakan pencapaian seorang 'Arif, kendatipun
ini merupakan keadaan (hal) spiritual, namun itu bukanlah kesempurnaan.
Kendatipun 'aku' adalah milik-Nya, namun 'aku' bukanlah Dia.
7. Bila kau memahami ini, maka pahamilah juga bahwa pemaknaan (masalah) itu
bukanlah kebenaran bagi siapa pun kecuali (bagi) Muhammad (sholallohu
'alaihi wasallam), dan "Muhammad bukanlah bapak dari salah seorang
kerabatmu" (Q. 33: 40) tapi Rasululloh (Utusan Alloh) dan penutup para
nabi (khatam an-nabiyyin). Ia mem-fana'-kan dirinya dari manusia dan jin,
serta memejamkan matanya ke (arah) 'mana' pun, hingga tidak lagi tersisa
kepalsuan hati ataupun kemunafikan.
8. Ada suatu "jarak sepanjang dua busur" lebarnya (Q. 53: 9), atau lebih dekat
lagi, saat ia mencapai gurun Pengetahuan hakikat, dan "ia beritahukan hal itu
dari hati lahirnya (fu'ad)" (Q. 53: 10). Ketika sampai pada Kebenaran hakikat,
ia menanggalkan hasratnya di situ, dan mempersembahkan dirinya naik ke
Hadirat Sang Pengasih. Setelah mencapai Kebenaran (Alloh), ia pun kembali
sambil berkata: "Hati-batinku bersujud kepada-Mu, dan hati-lahirku beriman
kepada-Mu." Ketika mencapai Pohon-Batas Penghabisan, ia berkata: "Aku tidak
dapat memuji-Mu sebagaimana mestinya Engkau dipuji." Dan, ketika mencapai
Kenyataan hakikat, ia berkata: "Hanya Engkau Sendiri yang dapat memuji DiriMu." Ia menanggalkan lagi hasratnya, dan menuruti panggilan tugasnya,
"hatinya tidak berdusta tentang apa yang dilihatnya" (Q. 53:11)
di maqam dekat Pohon-Batas-Terjauh (Sidrat al-Muntaha). (Q. 53:14) Ia tidak
berpaling ke kanan, ke arah hakikat sesuatu, tidak juga ke kiri, ke arah
Kenyataan hakikat. Penglihatan (Nabi Muhammad) tidak berkisar daripada
menyaksikan Dengan tepat (akan pemandangan Yang indah di situ Yang
diizinkan melihatnya), dan tidak pula melampaui batas." (Q. 53: 17)
__________________________________________________
Maqam terakhir ini adalah maqam-nya orang-orang yang Hatinya tenang dan
suci (shufi).
2. Tiap maqam memiliki keadaan (hal) spiritualnya sendiri sebagai pahalanya,
yang sebagiannya mungkin diperoleh dan sebagian lainnya tidak.
3. Adapun sang Ghorib yang telah mengarungi gurun (hakikat) dan
menyeberanginya, telah mencakupnya serta memahaminya secara keseluruhan.
Ia tidak memperoleh sesuatu yang lazim ataupun biasa, tidak di gunung
ataupun di darat.
4. "Ketika Musa (as) menunaikan tugasnya", ia meninggalkan ummatnya karena
hakikat akan merengkuhnya sebagai 'milik'-Nya. Tapi, masih juga ia berpuas
dengan penerangan semu tanpa pandangan (bashirah) batin langsung,
sehingga ada perbedaan antara ia dan sang Insan Kamil [Muhammad saw].
Karena itu ia (Musa as) berkata: "Siapa tahu aku dapat membawa sedikit
penerangan untukmu." [Q. 20: 10]
5. Andaikan sang Pembimbing Utama puas dengan penerangan semu, bagaimana
dapat seseorang yang menempuh jalan (thariqah) tidak mencukupkan dirinya
dengan jejak semu.
6. Dari Semak yang Terbakar, di Bukit Sinai, apa yang kedengarannya
difirmankan Semak bukanlah dari Semak atau belukarnya, tetapi (firman)
Alloh.
7. Dan peranan 'aku' adalah seperti 'Semak' itu.
8. Jadi, hakikat adalah 'hakikat' dan makhluk adalah 'makhluk'. Makanya
buanglah sifat kemakhlukanmu, supaya kau sesuai dengan-Nya, beserta Dia -kau pun dalam liputan hakikat.
9. 'Aku' sejati adalah subyek, dan obyek yang terurai adalah subyek dalam
hakikatnya. Soalnya adalah bagaimana itu terurai?
10. Alloh berfirman kepada Musa (as): "Kau bimbinglah (ummatmu) pada
Bukti (al-Hujjah)," tapi bukan pada Obyeknya Bukti. Adapun bagi-Ku, Aku
adalah 'Bukti' dari setiap bukti.
7. Inilah makna tentang Kebenaran. Ia lebih licin dari lingkaran Asal, ataupun
rancangan Bidang. Dan, yang lebih licin lagi adalah memfungsikan kearifan
secara batin, karena ketersembunyiannya (Kebenaran) dari khayalan.
8. Ini karena sang pengkaji hanya mengkaji lingkaran dari wilayah luar,
bukannya dari wilayah dalam.
9. Adapun tentang pengetahuannya-pengetahuan Kebenaran, sang pengkaji
tidak memahaminya, karena ia tidak mampu. Pengetahuan menunjukkan
tempat, sedang lingkaran itu tempat yang terlarang [haram].
10. Makanya mereka menamakan Sang Rasul (saw): Haramy, sebab hanya ia
seorang yang keluar dari Lingkarang Haram itu.
11. Ia penuh kegentaran dan keterpesonaan, serta mengenakan jubah Kebenaran.
Ia keluar dan menyerukan Ah!!! ( )kepada segenap makhluk.
_________________________________________________
21. Ini tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan, (QS. 53: 4) dari Cahaya
ke Cahaya.
22. Ubahlah bicaramu! Kosongkan dirimu dari khayalan, angkatlah kakimu tinggitinggi dari manusia serta makhluk lainnya. Bicaralah tentang Dia dengan
selaras dan sekadarnya! Jadilah berghairah, dan tenggelamlah dalam
keghairahanmu. Ketahuilah bahwa kau akan terbang melampaui gunung dan
lembah, gunung kesadaran dan lembah perlindungan, agar melihat Dia yang
kau puja-puja. Dan, puasa wajib pun berakhir dengan datang ke Rumah
Suci (Kabah).
23. Maka, ia begitu dekatnya kepada Alloh, seperti seorang asyiq yang
memasuki Masyuq. Selanjutnya ia memaklumkan bahwa itu terlarang. Itu
seperti sebuah rintangan yang lebih dari cukup untuk melemahlunglaikan. Ia
melintas dari Maqam Pembersihan ke Maqam Pencelaan, dan
dari Maqam Pencelaan ke Maqam Kedekatan. Ia begitu dekat sebagai pencari,
dan ia kembali secara berlari. Ia begitu dekat sebagai pendoa, dan ia kembali
sebagai Abdi. Ia begitu dekatnya sebagai penyeru, dan kembali
dengan baiat sebagai Qarib-Nya Ilahi. Ia begitu dekatnya sebagai seorang
saksi, dan kembalinya sebagai ahli tafakur.
24. Jarak di antara keduanya adalah dua rentangan busur. Ia membidik tanda di
mana [ayna] dengan panah di antara [bayna]. Ia menyatakan bahwa ada dua
rentangan busur untuk menetapkan ketepatan tempat-nya, baik karena tiada
terlukiskannya sifat Zat, atau karena serasa lebih akrab pada Zatnya-Zat.
25. Sang Faqir yang Luar dari Biasa (Khariq ul-Addah) Al-Husain ibn Manshur AlHallaj, berkata:
26. Aku tidak percaya bahwa ungkapan kita di sini dapat dipahami, kecuali untuk
orang yang sampai pada rentangan busur kedua, yang adanya melampaui
Lembaran yang Terjaga [Lawh ul-Mahfudz].
27. Itulah suratan yang tidak mempergunakan huruf Arab ataupun Persia.
28. Kecuali satu huruf saja, yaitu huruf mim ( ) , yang merupakan huruf pertanda
apa yang ia pancarkan.
29. Mim ( ) yang menandakan Yang Terakhir.
30. Mim ( ) yang juga merupakan untaian Yang Terawal. Rentangan busur
pertamanya adalah Alam Kegagahan (Jabarut), dan yang keduanya
adalah Alam Kerajaan (Malakut). Sedangkan Sifat-Nya adalah untaian
dua Alam itu. Serta Zat-Nya yang Khusus Beriluminasi (tajalliy khasysy) adalah
panah yang Mutlak, panahnya dua rentangan.
31. Panahnya itu dari Seseorang yang menyalakan api Iluminasi (tajalliy).
32. Dia berfirman bahwa kepantasan dari pembicaraan adalah yang
pengertiannya merupakan gambaran kedekatan. Adapun sang Firman dari
pemaknaan ini adalah Kebenaran Alloh, bukan metode ciptaan-Nya. Dan,
kedekatan ini juga hanya berlaku dalam lingkaran ketepatan yang amat sangat
tepat.
33. Kebenaran dan Kebenarannya-Kebenaran (Alloh) ini terdapat dalam halusnya
perbedaan, lewat pengalaman sebelumnya, dengan memakai penangkal yang
dibuat oleh sang pecinta, untuk membalas keterputusannya dengan segenap
kecintaan (makhluk), di pelananya yang sampai secara berbarengan, karena
bahaya terus mengancam, serta tajamnya perbedaan, yang diatasinya
dengan ayat pembebasan. Inilah jalan (shufi) yang terpilih dalam
memperhatikan Diri pribadi. Dan, kedekatannya terlihat sebagai areal luas,
agar sang arif (irfan) yang taat mengikuti jalannya tradisi nubuwah ini dapat
dipahami adanya.
34. Sang Junjungan Yatsrib (Muhammad), shalawat dan salam atasnya,
memaklumkan keagungan yang kerasukan jiwa anggun ini, yang tak-tergugat,
yang terawat dalam Kitab Tersembunyi (QS. 56: 78), sebagaimana Dia
menyatakannya dalam Kitab (alam) Terbuka, dalam Kitab Tertulis yang
menerangkan makna bahasa burung, ketika Dia mengangkatnya ke sana.
35. Apabila kau memahami ini, hai pecinta, pahamilah bahwa Tuhan tidak
berbicara kecuali dengan Diri-Nya, atau dengan Sahabat-Nya (waly).
36. Untuk menjadi Sahabat-Nya, janganlah punya Guru ataupun Murid. Jadilah
tanpa pilihan, tanpa perbedaan, tanpa kepura-puraan atau sok-nasihat, jangan
mengakui sesuatu itu miliknya atau darinya. Tapi, apa yang ada padanya
cukuplah sebagai apa yang ada padanya, tanpa merasa adanya itu padanya,
sebagaimana gurun tanpa air di suatu gurun tanpa air, juga sebagaimana
pertanda di suatu pertanda.
2. Telah dikatakan kepada Iblis: "Sujudlah!" (QS. 2: 34) dan kepada Muhammad:
"Tengoklah!" (QS. 53: 13) Namun, Iblis tidak bersujud, dan Muhammad pun
tidak menengok. Ia tidak berpaling ke kanan atau ke kiri, "Matanya tidak
celingukan, tidak juga jelalatan." (QS. 53: 17)
3. Sementara Iblis, setelah menyatakan misinya, ia tidak kembali ke kemampuan
awalnya.
4. Sedangkan Muhammad, ketika menyatakan misinya, ia kembali ke
kemampuannya.
5. Dengan pernyataan ini: "Bersama Engkau semata aku merasa bahagia, dan
kepada Engkau semata aku mengabdikan diriku." Dan: "Wahai Engkau yang
membolak-balik hati." Serta: "Aku tidak tahu bagaimana memuji-Mu
sebagaimana mestinya Engkau dipuji."
6. Di antara penghuni surga tidak ada pemuja sekaligus peng-Esa (Tawhid) yang
seperti Iblis.
7. Karena Iblis 'di situ' telah 'melihat' penampakan Zat Ilahi. Ia pun tercegah
bahkan dari mengedipkan mata kesadarannya, dan mulailah ia memuja Sang
Esa Pujaan dalam pengasingan khusyuknya.
8. Ia dikutuk ketika menjangkau pengasingan ganda, dan ia didakwa ketika
menuntut kesendirian (Alloh) mutlak.
9. Alloh berfirman kepadanya: "Sujudlah (kepada Adam as)!" Ia menjawab:
"Tidak, kepada yang selain Engkau." Dia berfirman lagi kepadanya: "Bahkan,
apabila kutuk-Ku jatuh menimpamu?" Ia menjawab lagi: "Itu tidak akan
mengazabku!"
10. "Pengingkaranku adalah untuk menegaskan Kesucian-Mu, dan alasanku
(ingkar) niscaya melanggar bagi-Mu. Tetapi, apalah Adam dibandingkan
dengan-Mu, dan siapalah aku -- Iblis, hingga dibedakan dari-Mu!"
11. Ia jatuh ke Samudera Keluasan, ia menjadi 'buta', dan berkata: "Tidak ada jalan
bagiku kepada yang lain selain dari-Mu. Aku pecinta yang 'buta'!" Dia
berfirman kepadanya: "Kau telah takabur!" Ia menjawab: "Apabila ada satu
saja kilasan pandang di antara kita, itu cukup membuatku sombong dan
takabur. Kendati begitu, aku adalah 'ia' yang mengenal-Mu sejak ke-baqa'-an
masa Terdahulu, dan "aku lebih baik daripadanya" (QS. 7: 12), sebab aku lebih
lama mengabdi kepada-Mu. Tidak ada satu pun, di antara dua jenis makhluk
(Adam dan Iblis) ini, yang mengenal-Mu secara lebih baik daripadaku!" "Ada
Kehendak-Mu bersamaku, dan ada kehendakku bersama-Mu, sedangkan
keduanya mendahului Adam. Apabila aku bersujud kepada yang selain Engkau,
ataupun tidak bersujud, niscaya harus bagiku untuk kembali ke asalku. Karena
Engkau menciptakan aku dari api, dan api kembali ke 'api', menuruti
keseimbangan (sunnah) dan pilihan yang adanya milik-Mu."
12. "Tidak ada jarak dari-Mu padaku, karena aku yakin bahwa jarak dan
kedekatan itu 'satu'!" "Bagiku, apabila aku dibiarkan, pengabaian-Mu justru
menjadi mitraku.
Jadi, seberapa pun jauhnya lagi, pengabaian dan cinta tetap 'menyatu'!"
"Terpujilah Engkau, dalam taufiq-Mu dan Zat-Mu yang tiada terjangkau, bagi
sang pemuja setia ini, yang tiada bersujud ke yang selain Engkau!"
13. Musa (as) bertemu Iblis di lereng Bukit Sinai, dan bertanya kepadanya: "Hai
Iblis, apa yang mencegahmu dari bersujud?" Ia (Iblis) menjawab: "Yang
mencegahku adalah pernyataan ikrarku mengenai Sang Pujaan yang Unik. Dan,
jika aku bersujud, aku akan menjadi sepertimu. Karena kau hanya perlu
dipanggil sekali, "Tengoklah ke gunung," kau langsung menengok. Sementara
aku, aku telah dipanggil ribuan kali untuk menyujudkan diriku kepada Adam,
aku tidak bersujud, karena aku bersiteguh dengan 'Tujuan' Ikrarku."
14. Musa (as) bertanya: "Kau membangkangi perintah?" Iblis pun menjawab: "Itu
sebuah ujian, bukannya perintah." Musa bertanya lagi: "Tanpa dosa? Kendati
wajahmu berubah begitu?" Iblis menyahut: "Hai Musa, keadaanku ini sekadar
kemenduaan dari penampilan-lahir, sementara keadaan (hal) spiritualku tidak
bergantung atasnya, bahkan tidak berubah. Ma'rifat tetaplah benar
sebagaimana pada awalnya, dan itu tidak berubah kendatipun pribadinya
berubah."
15. Musa (as) bertanya: "Adakah kau mengingat-Nya (zikir) sekarang?" "Hai Musa,
pikiran yang murni tidak membutuhkan daya-ingat, -- dengan itu aku
mengingat (Dia) dan Dia mengingat (aku). Ingatan-Nya adalah ingatanku, dan
ingatanku adalah ingatan-Nya.
Bagaimana mungkin, ketika kami saling mengingat, kami berdua berlainan
satu sama lain?" "Pengabdianku sekarang lebih murni, waktuku lebih lapang,
ingatanku lebih agung, sebab aku mengabdi kepada-Nya secara mutlak demi
keberuntunganku, bahkan sekarang aku mengabdi kepada-Nya demi Diri-Nya."
16. "Aku mencabut keserakahan dari segenap apa pun yang mencegahku atau
menahanku, baik demi kerugian ataupun keuntungan. Dia mengasingkanku,
membuatku mabuk-kepayang, melinglungkanku, mengeluarkanku, sehingga
aku tidak dapat berpadu dengan para ruh suci. Dia menjauhkanku dari yang
lain, sebab kecemburuanku (kepada-Nya) supaya Dia Sendiri saja. Dia
mengubahku, sebab Dia mengagumiku. Dia mengagumiku, sebab Dia
membuangku. Dia membuangku, sebab aku pengabdi. Dan, menempatkanku
dalam ahwal terlarang disebabkan kemitraanku. Dia mempertunjukkan
kekurangan nilaiku disebabkan aku memuji Keagungan-Nya. Dia
menyederhanakanku dengan sehelai kain ihram disebabkan kehajianku [hijya].
Dia membiarkanku disebabkan 'penemuan'-ku atas-Nya dalam zikir. Dia
menyingkapkan (kasyf) hijabku disebabkaan penyatuanku.
Dia mempenyatukanku disebabkan Dia memencilkanku. Dan, Dia
memencilkanku disebabkan Dia mencegah hasratku."
17. "Dengan Kebenaran-Nya, maka aku tidak salah dalam memperhatikan titahNya, bukannya aku menolak takdir. Aku tidak peduli sama sekali tentang
perubahan wajahku.
Aku hanya menjaga keseimbanganku (sunnah) melalui hukuman ini."
18. "Kendatipun Dia mengazabku dengan api-Nya sepanjang masa, aku tetap tidak
akan bersujud kepada sesuatu (selain-Nya). Aku tidak akan merundukkan
diriku kepada pribadi atau jasad (Adam as), sebab aku tidak mengaku
berlawanan dengan-Nya! Ikrarku khusyuk, dan aku memang seorang yang
khusyuk dalam 'cinta'!"
19. Al-Hallaj berkata: "Ada beragam teori yang berkenaan dengan keadaan (hal)
spiritualnya 'Azazyl ([ )sebutan Iblis sebelum kejatuhannya]. Seseorang
mengatakan bahwa ia ditugaskan dengan misi di surga, serta dengan suatu
misi (lainnya) di bumi. Di surga ia berkhutbah kepada malaikat, menunjukinya
tentang amalan yang baik.
Dan, di bumi ia berkhutbah kepada manusia dan jin, menunjukinya tentang
perbuatan yang jahat."
20. "Sebab, seseorang tidak akan mengenali sesuatu kecuali dengan (mengenali)
yang sebaliknya. Sebagaimana dengan sutera putih halus, yang hanya dapat
ditenun
dengan menggunakan lakan hitam di belakangnya -- makanya, malaikat
mempertunjukkan amalan baiknya, dan berkata simbolis, "Jika kau beramal,
menyeberang ke yang ketiga, aku mesti menempuh ujian dari (lingkaran) yang
keempat.
3. Maka tidak (la), tidak (la), tidak (la), tidak (la), dan tidak (la)! Bahkan, bila
aku istirah di tidak pertamaku, aku pasti dikutuk sampai aku mengucapkan
(tidak) yang kedua, dan dibuang sampai aku mengucapkan (tidak) yang
ketiga. Jadi, apakah yang keempat berarti bagiku?
4. Kalaulah aku tahu bahwa bersujud (kepada Adam as) pasti menyelamatkan
aku, aku niscaya bersujud. Kendati demikian, aku tahu bahwa setelah lingkaran
(pertama) itu ada lingkaran-lingkaran (kedua, ketiga, dan keempat) lainnya.
Dengan pemikiran begitu, maka kukatakan kepada diriku: Kalaupun aku
selamat dari lingkaran (pertama) ini, bagaimana dapat aku keluar dari
(lingkaran) yang kedua, yang ketiga, dan yang keempat?
5. Adapun Alif ( ) dari La ( ) yang kelima adalah Dia Tuhan, Sang Hidup.
(QS. 2: 255)
_________________________________________________
2.
Alloh adalah Sang Esa, Unik, Sendiri, dan saksi sebagai yang Satu.
3. Sekaligus, Sang Esa dan kesaksian atas Penyatuan (Tawhid) yang Satu,
Adalah di Dia dan dari Dia.
4. Dari-Nya datang jarak pemisah (makhluk) yang lain dari Penyatuan-Nya,
dan itu dapat dilambangkan demikian ini:
[Tauhid terpisah dari Alloh, dan simbol wahdaniyah ini dilambangkan oleh
Alif ( ) panjang, dengan sejumlah dal ( ) di dalamnya. Adapun Alif-nya (
) merupakan Zat, dan dal-nya ( ) sebagai Sifat.]
2.
Alloh adalah Sang Esa, Unik, Sendiri, dan saksi sebagai yang Satu.
3. Sekaligus, Sang Esa dan kesaksian atas Penyatuan (Tawhid) yang Satu,
Adalah di Dia dan dari Dia.
bukanlah sifat Alloh. Zat-Nya itu Unik. Dan, sekaligus, baik Kebenaran maupun
apa yang gaib, tidak mungkin terpancar (keluar) dari Zat-Nya Zat.
10. Jika kukatakan: Tauhid adalah Firman itu sendiri, Firman adalah sifatnya
Zat, bukan Zat itu sendiri.
11. Jika kukatakan: Tauhid maknanya Alloh berhasrat sebagai yang Satu,
Kehendak Ilahi adalah sifatnya Zat, sedangkan hasrat adalah makhluk.
12. Jika kukatakan: Alloh adalah Tauhidnya Zat yang dinyatakan pada dirinya
sendiri, maka aku membuat Zat bertauhid, yang bisa menjadi pergunjingan
kita.
13. Jika kukatakan: Tidak, ia (Tauhid) bukan Zat, lalu dapatkah aku menyatakan
bahwa Tauhid adalah makhluk?
14. Jika kukatakan: Nama dan obyek yang dinamai itu Satu, maka apakah
pengertian (nama) yang dikandung Tauhid?
15. Jika kukatakan: Alloh adalah Alloh, maka adakah aku mengatakan bahwa
Alloh adalah zatnya-Zat, dan ia (Tauhid) adalah Dia?
16. Inilah Tha-Sin yang membicarakan tentang penyangkalan atas alasan-alasan
sekunder, dan inilah lingkaran-lingkarannya, dengan La ( )yang tertulis di
sini sebagai sosoknya:
17. Lingkaran pertama adalah pra-Kelanggengan, yang kedua Keterangjelasannya,
yang ketiga Dimensinya, dan yang keempat Berpengetahuannya.
18. Adapun Zat bukannya tanpa sifat.
19. Sang penempuh (lingkaran) pertama membuka Gerbang Pengetahuan, dan
tidak bertemu. Yang kedua membuka Gerbang Penyucian, dan tidak bertemu.
Yang ketiga membuka Gerbang Pemahaman, dan tidak bertemu. Yang keempat
membuka Gerbang Pemaknaan, dan tidak bertemu. Tidak seorang pun ketemu
Alloh dalam Zat-nya atau dalam Kehendak-Nya, tidak dalam pembicaraan,
apalagi dalam Dia-nya Dia Sejati.
20. Maha Besar Alloh, yang Maha Suci, yang dengan kesucian-Nya tidaklah Dia
terjangkau oleh segenap cara (thariqah) sang arif, apalagi oleh segenap intuisi
orang kebatinan.
21. Inilah Tho-Sin tentang Nafi-Itsbat (Penyangkalan dan Penegasan) dan inilah
penjabarannya:
22. Rumus pertama membicarakan pikiran orang kebanyakan (amm), yang kedua
pemikiran orang terpilih (khasysy). Dan, lingkaran yang
menggambarkan Ilmu Alloh ada di antara keduanya. Adapun La ( )yang
tertutup lingkaran adalah penyangkalan atas segenap dimensi. Dua ha-nya ()
adalah perangkatnya, seperti pilar dua sisinya Tauhid, yang menopangnya ke
atas. Di luar itu berawal ketergantungan (makhluk).
23. Pikiran orang kebanyakan tercebur ke samudera khayal, dan pemikiran orang
terpilih (tercebur) ke samudera kearifan. Tetapi, dua samudera itu akan
mengering, dan jalan yang mereka tandai akan terhapus. Pikiran dan
pemikiran itu akan lenyap, dua pilarnya akan runtuh, dua alam maujudnya
akan hancur, juga pembuktiannya serta pengetahuannya akan musnah.
24. Sedangkan di hadirat Keilahian Alloh, Dia tetap Ada, mengatasi sekalian
makhluk yang bergantung. Segenap puji bagi Alloh, yang tidak terjangkau oleh
alasan sekunder. Bukti-nya sangat kuat, dan kuasa-Nya sangat agung. Dia,
Tuhan Sang Kemegahan dan Keagungan serta Kemuliaan. Maha Satu yang
Tiada-Terbilang dengan kesatuan aritmetis. Tiada patokan, hitungan, awalan
atau akhiran yang menjangkau-Nya. Wujud-Nya Tiada-Terbayang karena Dia
bebas dari maujud. Dia Sendiri saja yang mengetahui Diri-Nya, Penguasa
Keluasan dan Keluhuran (QS. 55: 27), Pencipta (Al-Khaliq) ruh dan jasad.
____________________________________________
A. Biografi Al-Hallaj
Memiliki nama lengkap Abu al-Mughits al-Husein bin Mansur bin Muhammad
al-Baidawi . Beliau dilahirkan pada tahun 244 H (858 M) di Thur bagian
distrik Baida Persia, tempat orang-orang Iran selatan yang telah terArabisasi
yang merupakan sub camp dari jund Basrah, dan kemudian menjadi pusat
militer (dengan sebuah pabrik pembuat koin uang untuk pasukan yang keluar
dari Shiraz ke Khurasan untuk memerangi Turki), sekarang berada di wilayah
Barat Daya Iran. Beliau dibesarkan di Wasit dan Tustar yang dikenal sebagai
tempat perkebunan kapas dan tempat tinggal para penyortir kapas . Ayahnya
adalah seorang penyortir wool (hallaj), oleh karena itu beliau diberi gelar alHallaj . Bersama ayahnya, al-Hallaj berimigrasi ke sebuah pusat tekstil di
Ahwaz dan Tustar. Kakeknya, Muhammad adalah seorang penyembah api,
pemeluk agama Majusi sebelum ia masuk Islam. Ada yang mengatakan bahwa
al Hallaj berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah.
Sejak kecil al-Hallaj sudah banyak bergaul dengan orang-orang sufi terkenal.
Pada saat ia berumur 16 tahun, ia menetap di Tustar dan berguru pada Sahl
ibn Abdullah at-Tustury (wafat 896 M/ 282 H), seorang sufi terkenal yang
pernah belajar pada Sufyan at-Tsaury (Wafat 778 M/ 161 H) . Dua tahun
kemudian ia meninggalkan gurunya at-Tustury dan pindah ke Bashrah untuk
belajar kepada Sufi Amr al-Makki. Kemudian dia masuk ke kota Baghdad dan
belajar kepada al-Junaid al-Baghdadi. Al-Hallaj pernah hidup dalam pertapaan
dari tahun 873-879 M bersama-sama dengan guru sufi al-Tustury, Amr alMakki, dan Junaid al-Baghdadi.
Setelah itu al-Hallaj pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain,
menambah pengetahuan dalam ilmu tasawuf, sehingga tidak ada seorang
syekh ternama yang tidak pernah dimintainya nasehat. Al-Hallaj telah
menunaikan ibadah haji tiga kali selama hidupnya. Dalam perjalanan dan
pengembaraan serta pertemuannya dengan ahli- ahli sufi itulah yang
membentuk pribadi dan pandangan hidup al-Hallaj sehingga dalam usia 53
tahun ia telah menjadi pembicara ulama pada waktu itu karena paham
tasawufnya yang berbeda dengan yang lain. Sampai-sampai seorang ulama
fiqh terkemuka yang bernama Ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa yang
mengatakan bahwa paham dan ajaran al-Hallaj sesat. Atas dasar fatwa ini Al
Hallaj dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat
melarikan diri dengan pertolongan dari seorang penjaga yang menaruh
simpati padanya.
Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus di wilayah Ahwas. Disana ia
bersembunyi selama empat tahun. Namun pada tahun 301H/903M ia
ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke dalam penjara sampai delapan
8. Kitab At Thawwasin.
Kedelapan kitab ini adalah yang terpenting di antara 47 kitab itu. Menurut atTaftazani, kitab At-Thawasin merupakan kitab al-Hallaj yang paling lengkap
dalam menggambarkan paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit
dipahami, sehingga mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang
dimaksudkan penulisnya. Disamping itu, kitab tersebut berisi rumus-rumus
dan istilah-istilah yang tidak gampang dimengerti.
C. Filsafat Al-Hallaj
Inti ajaran al-Hallaj telah dinyatakan dalam bentuk syair (Tawasin) dan juga
kadang dalam prosa (Natsar), dalam susunan kata-kata yang mendalam di
sekililing tiga hal, yaitu :
dua konsep ajaran ini berbeda. Dalam ajaran al-ittihad, diri manusia lebur dan
yang ada hanya diri Alloh Subhanahu Wa Ta'ala. Sedangkan dalam konsep
hulul, diri manusia tidak hancur. Dalam konsep al-ittihad yang dilihat satu
wujud, sedangkan dalam konsep ajaran hulul disana ada dua wujud tetapi
bersatu dalam satu tubuh .
Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri.
Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya
sendiri, yaitu dialog yang di dalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang
dilihat Alloh hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Alloh melihat
kepada dzat-Nya dan Ia pun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat
disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang
banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk copy dari diri-Nya
yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam. Setelah
menjadikan Adam dengan cara itu, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam.
Ia cinta pada Adam, dan pada diri Adam Alloh muncul dalam bentuk-Nya.
Teori ini nampak dalam syairnya:
#
#
Alloh memberi perintah kepada malaikat agar bersujud kepada Adam. Karena
yang berhak untuk diberi sujud hanya Alloh, maka al-Hallaj memahami bahwa
dalam diri Adam (manusia) sebenarnya terdapat unsur ketuhanan. Disisi lain,
hal ini (sujud) dikarenakan pada diri Adam, Alloh menjelma sebagaimana Dia
menjelma dalam diri Isa as.
Kalau sifat-sifat kemanusian itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat
ketuhanan dalam dirinya, disitu baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam
dirinya. dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh
manusia, sebagaimana diungkapkannya dalam syair berikut :
#
#
#
#
Telah bercampur rohMu dalam rohku
Laksana bercampurnya khamar dengan air yang jernih
Bila menyentuh akan-Mu sesuatu, tersentuhlah Aku
Sebab itu, Engkau adalah Aku, dalam segala hal
Aku adalah ia yang kucintai dan ia yang ku cintai adalah aku
Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh
Jika engkau lihat aku, engkau lihat ia
Dan jika engkau lihat ia, engkau lihat kami.
Berdasarkan syair diatas, dapat diketahui bahwa persatuan antara Tuhan
dengan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Yakni dengan
terlebih dahulu menghilangkan sifat kemanusiaannya (nasut). Setelah sifatsifat kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan (lahut) yang
ada pada dirinya, disitulah Tuhan mengambil tempat dalam dirinya, dan
ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.
Menurut al-Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia
dalam kehendak ilahi, sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan,
demikian juga tindakannya. Namun disisi lain al-Hallaj mengatakan:
#
Aku adalah yang Maha Benar
Dan bukanlah yang Maha benar itu aku
Aku hanya satu dari yang Maha Benar
Maka bedakanlah aku dari yang Maha Benar
Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
hulul yang terjadi pada al-Hallaj tidaklah nyata karena membari pengertian
secara jelas bahwa adanya perbedaan antara hamba dengan Tuhan. Dengan
demikian, hulul yang terjadi hanya sekedar kesadaran psikis yang
berlangsung pada kondisi fana, atau sekedar terlebarnya nasut kedalam
lahut, dan diantara keduanya tetap ada perbedaan. Untuk lebih memahami
doktrin hulul ini, lebih jelasnya dapat merujuk kepada rangkaian penjelasan
al-Hallaj berikut ini : Siapa yang membiasakan dirinya dalam
dengan haji yang lain, yaitu dengan haji rohani, dengan membersihkan diri
dan jiwa dan tafakur mengingat Tuhan dalam khalwat, sehingga kabah itu
sendirilah yang datang kedalam khalwatnya menemuinya. Disanapun dia
boleh berthawaf.
Memang, banyak di antara ulama yang tidak bisa menerima ajaran tasawuf
yang diajarkan oleh Al Hallaj ini, tetapi tidak sedikit pula para ulama yang
sependapat dan membelanya. Kebanyakan Ulama fiqih mengkafirkannya.
Dengan alasan bahwasanya mengatakan bahwa diri manusia bersatu dengan
Tuhan adalah syirik yang amat besar. Oleh karena itu Ibn at Taymiyah, Ibn al
Qayyim, Ibn an Nadim dan lain-lain berpendapat bahwa hukuman mati yang
ditimpakan kepada Al Halaj memang patut diterimanya.
Tetapi ulama-ulama fiqih yang lain seperti Ibnu Syuraih seorang ulama yang
sangat terkemuka dari mazhab Malik, memberikan komentar: "Ilmuku tidak
mendalam tentang dirinya, karena itu saya tidak bisa berkata apaapa".
Kesimpulan
1. Al-Hallaj merupakan seorang ahli sufi, filsuf, dan sekaligus wali Alloh yang
hidup pada masa khalifah al-muktadir billah dan beliau wafat karena dihukum