Anda di halaman 1dari 37

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Indonesia disebut sedang mengalami krisis kepemimpinan politik. Krisis
tersebut dilihat dari berbagai perspektif mulai dari persoalan hokum, seperti
korupsi, hingga kegagalan pemimpin dalam mengelola pluralitas masyarakat
Indonesia. Terkait dengan persoalan terakhir, selalu saja konflik antar kelompok
baik etnis maupun agama, atau antara kelompok dengan Negara dalam setiap
kepemimpinan pemerintah Indonesia.
Banyak sudah yang menawarkan solusi atas krisis kepemimpinan politik
bangsa, namun kebanyakan solusi yang ditawarkan terkadang tidak bermuara
pada inti peradaban, atau world view kita sebagai bangsa Melayu-Indonesia yang
memiliki kekhasan tersendiri dan berbeda dengan kebudayaan yang dimiliki
bangsa lain. Sebut contoh, kepemimpinan dilandaskan pada nilai-nilai demokrasi,
sementara demokrasi sering dipahami dalam diskursus barat dan modern. Solusi
itu sering juga berdasarkan ajaran agama tertentu tanpa dikontekskan dengan
kekhasan kita sebagai bangsa Melayu-Indonesia. Dalam hal ini banyak orang
menawarkan perspektif Islam tanpa melihat lagi bagaimana konteks Islam
Melayu-Indonesia yang khas dan tidak terdapat pada Islam yang melekat pada
bangsa lainnya.
Studi mengenai kepemimpinan politik Melayu seringkali memisahkan
antara Melayu Luar Jawa dan Melayu-Jawa. Kedua etnis tersebut seolah
dipisahkan dalam sebuah kotak yang kongkrit. Kajian Bennedict Ben Anderson
(1990) yang berjudul Language and Power: Exploring Political Cultures in
Indonesia menyebutkan bagaimana budaya politik yang berkembang di
Indonesia adalah kebudayaan politik Jawa. Ben melihat kepemimpinan Indonesia
era Soekarno dan Soeharto sebagai kepemimpinan yang mengambil pola

kepemimpinan raja-raja Jawa yang cenderung totaliter dan absolut. Pengaruh


Islam dalam model kepemimpinan itu sangat lemah dan lebih didominasi dari
budaya yang singkretik, dan cenderung melekat pada tradisi Hindu-Buddha pra
Islam. Sebaliknya, kajian mengenai kepemimpinan budaya Melayu disematkan
dengan mengambil contoh pemerintahan Malaysia, seperti yang dilakukan oleh
Tony Shome Malay Political Leadership. Menurutnya kepemimpinan Malaysia
dan keberhasilannya terletak pada kemampuan seorang pemimpin yang progresif
dan inovatif dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan modernitas, sekaligus
masih mempertahankan nilai-nilai tradisionalitasnya. Kebudayaan Malaysia,
dengan nilai-nilai tradisionalitas, memiliki nilai-nilai Islam yang memungkinkan
untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman.
Pemisahan antara peradaban Melayu-Jawa dengan Melayu juga tampak
dari pemaparan makalah Prof. Muchtar Naim yang berjudul Idealisasi
Kepemimpinan Bangsa Sudut Antropologi Orang Melayu, Dulu dan Sekarang
dalam seminar internasional Melayu-Islam yang diselenggarakan oleh IAIN
Raden Fatah Palembang pada 15 Oktober 2014 silam. Ia memaparkan adanya
dikotomi politik identitas antara Melayu-Jawa dan Melayu-luar Jawa dengan
sangat tajam bahkan saling bertentangan.
Menurutnya, Jawa memiliki konsep kebudayaan yang sangat berbeda
dengan melayu dalam hal world view. Jawa dicirikan memiliki corak sinkretiksentripetal. Sinkretisme Jawa adalah keterpaduan antara berbagai agama dan
kepercayaan jawa yang animis. Itu membentuk suatu pandangan bahwa semua
agama adalah sama.
Sementara

Melayu-Luar

Jawa

memiliki

corak

sintetis-sentrifugal.

Sintetisme dalam hal kepercayaan adalah meyakini bahwa Islam adalah satusatunya agama yang diakui dengan meninggalkan kepercayaan local yang dulu
dianutnya. Sementara Sentripetal Jawa terdapat pada pandangan hidup
Manunggaling Kawula Gusti bersatunya antara Diri dengan Tuhan yang
membentuk corak kepemimpinan yang cenderung totaliter dan absolut. Sementara

Sentrifugal Luar Jawa dapat dibuktikan dengan pandangan Raja adil raja
disembah, raja lalim raja disanggah hingga melahirkan corak kepemimpinan
yang cenderung egaliter dan demokratis.
Dari pemaparan Prof Muchtar Naim di atas setidaknya terdapat beberapa
hal yang perlu untuk dijadikan catatan. Pertama, Naim memiliki kesepahaman
bahwa Jawa merupakan bagian dari Melayu, namun keduanya dibedakan dengan
tegas dalam hal world view. Kedua, Islam merupakan pemisah antara corak
kebudayaan Melayu-Jawa dengan Melayu-Luar Jawa. Islam yang sesungguhnya
secara subyektif dilekatkan oleh Naim hanya kepada Melayu-Luar Jawa. Ketiga,
Melayu-Luar Jawa merupakan otokritik terhadap jalannya roda pemerintahan
modern Indonesia, dan seolah menjadi solusi atas persoalan yang terjadi pada
bangsa saat ini. Keempat, kajian yang dilakukan Naim dianggapnya sebagai
kajian Antropologis, namun dilakukan pada setting geografis dan subyek
penelitian yang tidak biasanya dilakukan oleh antropolog. Contohnya, field
research tidak dilakukan, jika dilakukan dengan baik maka terma Jawa dengan
kebudayaannya tidak dapat disama ratakan antara Jawa pesisir dengan Jawa di
lingkaran Keraton. Begitu juga dengan konteks kepemimpinan, Konsep Ratu Adil
misalnya, banyak ditemukan dan dipercayai sebagai konsep tandingan atas
kepemimpinan Raja Jawa.

(Kuntowijoyo, 2004) Akibatnya, banyak terdapat

reduksi atas pandangan tersebut.


Seterotype atas Jawa dan Luar-Jawa memang tidak bisa dihindarkan di
Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintahan berpusat di Jawa.
Pengalaman sejarah membuktikan beberapa kegagalan pemerintah dalam
pengelolaan etnis di Indonesia. Pergolakan PRRI-Permesta pada masa
pemerintahan Soekarno adalah wujud dari kegagalan pemerintah melakukan
distribusi hasil-hasil ekonomi di daerah. Rezim Suharto memiliki kebijakan yang
sangat sentralistik dan mengarah pada absolutisme. Tidak mengherankan jika
reformasi direspon dengan mobilisasi politik identitas yang menghendaki
desentralisasi dan memicu kekerasan. Bahkan di daerah yang tidak mengalami

konflik kekerasan pun menuntut munculnya daerah baru dengan tujuan agar putra
daerah dapat menduduki pemerintahan di daerah.
Penelitian

ini

berupaya

menggali

prinsip-prinsip

kepemimpinan

berdasarkan kebijaksanaan atas kebudayaan Melayu-Indonesia untuk Indonesia


kedepan, berdasarkan pada pertimbangan. (1) Mencari kebijaksanaan dalam
kebudayaan Melayu-Indonesia hendaknya tidak memisahkan Jawa-dan Luar Jawa
secara tajam, seolah-olah keduanya sedang dalam pertarungan antar kelas social
berdasarkan etnis untuk menuju kepada kebangkitan Indonesia.
Jawa merupakan bagian dari Melayu secara utuh bersama daerah-daerah
yang lain. Pemisahan antara Jawa-Melayu justru untuk merujuk kepada dua
Negara satu rumpun yaitu Indonesia dan Malaysia. (Tirtosudharmo, 2005)
Memisahkan melayu Indonesia secara solid antara melayu Jawa dan Melayu luar
Jawa tidaklah beralasan. Pertama, karena sejarah membuktikan bahwa
perjumpaan Jawa dengan etnis-etnis di Indonesia selalu terjadi sepanjang sejarah
kehidupan manusia di wilayah Nusantara. Akibatnya, difusi bahkan percampuran
budaya menjadi tidak terelakkan dan bersama-sama membentuk kebudayaan
Melayu Indonesia. Kedua, Bahasa Indonesia adalah bahasa lingua franca yang
dipakai oleh setiap etnis dari Sabang-Merauke. Bukan sebaliknya, bahasa menjadi
pemisah antar etnis. Ketiga, Islam selalu dilihat sebagai pemisah dari budaya Jawa
dengan luar Jawa. Padahal, sejarah membuktikan eratnya hubungan antar ulama
Jawa dan luar Jawa bahkan dari ujung Sumatera hingga kepulauan Maluku.
Contohnya, seperti yang tertera dalam hikayat Raja-Raja Hitu yang memiliki
hubungan erat dengan Sunan Giri. Ini membuktikan bahwa Islam adalah
pemersatu yang melekat membentuk komunitas yang dibayangkan (imagined
community) dalam skup Melayu-Indonesia. Oleh sebab itu penelitian ini akan
melihat mengenai akar kebudayaan bangsa ini dalam konsep kepemimpinan
politik masa lampau melalui kajian literature baik klasik seperti babad atau
hikayat dan modern seperti kajian-kajian yang berkaitan dengannya.

Kedua, banyak yang meyakini konsep kepemimpinan politik yang ideal


adalah mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi. Yang menjadi pertanyaaan
kemudian,

demokrasi

yang

seperti

apa

yang

cocok

di

Indonesia?

Mengimplementasikan demokrasi ala Barat tidak selalu bisa diadaptasi dengan


baik di Indonesia. Satu contoh, desentralisasi mengakibatkan banyak terjadi kasus
despotism politik di daerah, dinasti kepemipinan, politik etnisitas, hingga
kecurangan-kecurangan dalam pilkada langsung. Perbaikan-perbaikan selalu
dilakukan dan biasanya menyesuaikan konteks politik saat itu juga, namun tidak
ada salahnya jika solusi itu didapatkan dan dicoba melalui kebijaksanaankebijaksanaan indigenous pada kebudayaan yang kita miliki sendiri, dengan tidak
melupakan visi akan dinamika zaman. Kebudayaan Melayu-Indonesia masa
lampau tentang konsep kepemimpinan politik kemungkinan besar telah
diimplementasikan secara konkrit pada rumusan konstitusi UUD 1945. Asumsi
awal dapat dilihat dari bagaimana Panitia Sembilan dalam merumuskan
Pembukaan UUD 1945 dengan mengacu pada Piagam Madinah (Islam) dan unsur
kebudayaan lokal Indonesia yang tertera pada kelima sila Pancasila yang
dirumuskan oleh Muhammad Yamin (Sumatera), Soekarno dan Supomo (Jawa).
Selain itu konsep kepemimpinan politik juga dirumuskan dalam beberapa pasal
UUD 1945 oleh BPUPKI-PPKI. Selain itu perkembangan kemudian, UUD 1945
diamandemen pertama kalinya di tahun 1950 dan melahirkan Undang-Undang
Dasar Sementara 1950, nilai-nilai masa lampau masih menjadi dasar dari
pembuatan konstitusi itu. Namun sayangnya setelah Reformasi, amandemen UUD
1945 tidak lagi menggali nilai-nilai masa lampau, hanya menyesuaikan pada
kebutuhan politik masa itu.
Ketiga, studi-studi kepemimpinan politik di Indonesia masih didominasi
oleh kajian-kajian berdasarkan biografi individu para pemimpin bangsa, seperti
kajian Cokroaminoto (Arifin Melayu, 2000), Soekarno (Dahm, 1966), Suharto
(Elson, 2001), Habibie (Anwar, 2010), (Amir, 2007), Gus Dur (Barton, 2002)
Megawati (Mietzner, 2012), dan Susilo Bambang Yudhoyono (Liddle dan Mujani,
2005). Kajian-kajian kepemimpinan di Indonesia belum banyak melihat mengenai

akar-akar kepemimpinan politik bangsa ini dengan menggali nilai-nilai tradisinya.


Kebanyakan kajian-kajian tentang biografi tokoh sangatlah kontekstual, terkait
dengan visi kepemimpinan yang dihubungkan dengan konteks zamannya.
Sementara penelitian ini nantinya, akan melihat secara makro mengenai
kepemimpinan politik melayu Indonesia dengan menggali tradisi melayu-Islam di
Indonesia.
Kajian ini akan melihat elemen-elemen kepemimpinan politik bangsa
Melayu-Indonesia melalui kajian atas literature-literatur Islamnya MelayuIndonesia. Selanjutnya, akan dilihat prinsip-prinsip kepemimpinan politik Islam
Melayu Indonesia yang diimplementasikan dalam penyusunan Konstitusi UUD
1945. Jika sasaran dari studi ini nantinya adalah solusi dari persoalan bangsa
Indonesia, maka perbedaan-perbedaan yang tajam antar etnis di Indonesia
seharusnya tidak terlalu ditonjolkan, namun lebih mencari persamaan-persamaan
untuk menuju kepada kemajuan Indonesia. Sementara, kemajuan Indonesia tidak
terlepas dari kemampuannya untuk mampu menyesuakan diri dari perkembangan
zaman.
B. RUMUSAN MASALAH
Selama ini kajian mengenai nilai-nilai dalam kepemimpian politik dari
sudut pandang kebudayaan Melayu-Indonesia masih dilihat secara parsial dengan
memisahkan antara Jawa dan Melayu yang berada di luar Jawa. Padahal jika
sudah merujuk pada Melayu-Indonesia, sebagai suatu komunitas yang
dibayangkan, maka itu meliputi kesatuan etnis-etnis di Indonesia, di mana Islam
sebagai pembentuk utamanya. Studi-studi kepemimpinan politik di Indonesia
masih didominasi oleh kajian-kajian berdasarkan biografi individu para pemimpin
bangsa. Sementara penelitian ini menawarkan perspektif yang berbeda, yaitu
menggali tradisi kepemimpinan politik Melayu-Indonesia dengan menelusuri
kebijaksanaan pada masa lampau untuk dijadikan acuan bagi kepemimpinan
politik yang akan datang. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian
ini akan menjawab rumusan masalah berikut.

1.

Bagaimana pengaruh Islam terhadap pembentukan prinsip-prinsip tradisi

tentang kepemimpinan politik Melayu-Indonesia?


2. Bagaimana dinamika kepemimpinan politik Melayu-Indonesia hingga awal
kemerdekaan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Kajian ini akan melihat bagaimana bentuk kepemimpinan politik tradisional
dan perkembangannya hingga masa pra kemerdekaan pada peradaban MelayuIndonesia, dan menggali pengaruh Islam dalam pembentukan nilai tersebut,
2. Menggali elemen-elemen kepemimpinan politik tradisional pada peradaban
Melayu-Indonesia
3. Mencari Pengaruh Islam dalam pembentukan kepemimpinan politik MelayuIndonesia
4. Untuk mengetahui dinamika bentuk kepemimpinan Melayu Indonesia hingga
awal kemerdekaan sebagai referensi bagi prinsip-prinsip kekuasaan berdasarkan
tradisi di Nusantara.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Di bidang akademik, penelitian ini akan menambah khazanah keilmuan bidang
kebudayaan Melayu Indonesia, khususnya terkait dengan kepemimpinan politik.
Selama ini kajian mengenai kepemimpinan politik dari perspektif budaya masih
memisahkan antara kebudayaan Jawa dan Melayu. Namun, penelitian ini akan
menggali tradisi kepemimpinan politik Melayu-Indonesia secara keseluruhan
dengan mencari persamaan prinsip-prinsip kepemimpinan politik melayu
Indonesia seperti terejawatahkannya nilai-nilai kebudayaan nasional dalam
Pancasila dan UUD 1945. Meski begitu, kajian ini tidak menafikkan perbedaan
antara kebudayaan-kebudayaan dalam etnisitas, namun lebih kepada upaya untuk
mencari kesamaan dalam kebijaksanaan dalam perbedaan.

2. Prinsip-prinsip kepemimpnan politik yang akan digali diharapkan mampu untuk


menjadi refleksi untuk ditanamkan kepada generasi saat ini untuk mencetak
pemimpin yang memiliki karakter dan visi untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa
ini.
E. KERANGKA KONSEPTUAL
1. Kepemimpinan Politik
Kepemimpinan politik merupakan suatu tema yang masih mempesona
untuk dipelajari, karena tidak mudah untuk dipahami secara esensial. Berbagai
macam kebudayaan memiliki bayangan tersendiri tentang kepemimpinan. Begitu
pula coraknya yang selalu dinamis di setiap waktu dan keadaan. Setiap pemimpin
pastilah memiliki gaya memimpin yang berbeda satu dengan lainnya.
Kepemimpinan secara umum kita mengerti sebagai pemandu, orang yang
memiliki pengaruh besar, orang yang mampu menyelesaikan persoalan dan
membawa hasil kepemimpinan yang baik. Ini adalah suatu kepercayaan yang
diberikan kepada seseorang, karena hanya sedikit sekali orang yang mampu
melakukan itu. Kata politik yang disematkan kepada kepemimpinan lebih merujuk
kepada pemimpin suatu kelompok masyarakat yang memiliki tujuan bersama.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kepemimpinan berarti hal yang
berhubungan dengan pemimpin dan cara memimpin berarti mengetuai atau
mengepalai, memandu, melatih dan mendidik. (KBBI Daring, diunduh tanggal 26
Mei 2015 jam 19.30) Dalam Bahasa Indonesia arti kepemimpinan terletak pada
bagaimana cara-cara untuk menjadi seorang yang mampu mengepalai, memandu,
dan mengarahkan atau memberi contoh kepada anggotanya.
Sementara kepemimpinan atau leadership dalam bahasa Inggris diartikan
sebagai:
The dignity, office, or a position of a leader; ability to lead; the position of a
group of people leading or influencing others within a given context; the group
itself; the actions or influences necessary for the direction or organization of
effort in a group undertaking. (Oxford English Dictionary)

Dari pengertian itu setidaknya kepemimpinan berarti kewibawaan, jabatan


atau posisi pemimpin dalam satu kelompok orang yang memiliki kemampuan
untuk memimpin atau mempengaruhi yang lain dan memberikan arahan terhadap
kelompoknya.
Suatu kepemimpinan terdapat beberapa unsur. Pertama, kepemimpinan
politik merupakan hasil dari proses sebab, seperti pemilihan. Kedua,
kepemimpinan selalu berhubungan dengan orang lain atau suatu kelompok. Oleh
karena itu, ketiga, kepemimpinan berarti memiliki karakter untuk menjadi
pemimpin. Pemimpin haruslah mampu untuk menggerakkan pengikutnya (dengan
pengaruh dan wibawanya) untuk menerima dan menyadari suatu solusi dan
kebijakan yang ditawarkannya untuk mengatasi masalah-masalah kolektif dan
krisis. Keempat, karena berhubungan dengan kelompok dan hidup dalam konteks
tertentu, kepemimpinan berarti mampu untuk memandu atau mengepalai
kelompoknya untuk mencapai tujuan bersama.
Di sini berarti terdapat dua hal yang perlu menjadi penekanan dalam aspek
kepemimpinan yaitu, pertama, masalah alamiah karakter ataupun sifat yang
harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Karakter tersebut sangat tergantung dari
suatu kebudayaan tertentu, artinya tidak semua kebudayaan memiliki karakter
kepemimpinan yang sama. Misalnya, karakter seperti apa yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin agar dianggap berwibawa dan mampu untuk mempengaruhi
dan memobilisasi kelompoknya. Weber melihat terdapat karisma sebagai
karakter yang kuat dalam kepemimpinan. Karisma sendiri adalah kemampuan
yang dimiliki oleh seorang pemimpin di mana tidak/tidak banyak dimiliki orang
lain dalam kelompoknya. Selain masalah karakter konsep kepemimpinan erat
kaitannya dengan masalah social bagaimana seorang pemimpin berinteraksi
dengan pengikut maupun lingkungannya seperti, kemampuan pemimpin membaca
situasi dan kemampuannya dalam mencapai tujuan bersama dalam konteks
tertentu.

10

Dari kedua aspek kepemimpinan di atas, penelitian ini akan menurunkan


elemen-elemen dalam kepemimpinan politik dari perspektif etik (Nye, 2008)
antara lain.
a. Kepercayaan mengenai kepemimpinan. Ini terkait tentang kepercayaan atau
penerimaan bahwa kehadiran pemimpin adalah sebuah keharusan di tengah
masyarakat. Kepercayaan yang demikian tidak luput simbol-simbol dan
terlembaga secara kuat membentuk konstruksi berfikir masyarakat mengenai
sosok pemimpin.
b. Etika Kultural kepemimpinan pada peradaban Melayu-Indonesia. Hal ini terkait
dengan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, apa yang harus dan tidak harus
dilakukan oleh seorang pemimpin.
c. Bentuk relasi kuasa antara pemimpin dan pengikut. Relasi kuasa adalah
mengenai bagaimana pemimpin berinteraksi dengan yang dipimpinnya. Ini terkait
dengan dua hal, yaitu bagaimana pemimpin menggunakan kekuasaan atas yang
dipimpinnya, dan sebaliknya, bagaimana yang dipimpin mampu berinteraksi
dengan pemimpinnya.
d. Bentuk pengambilan keputusan, yaitu cara-cara yang digunakan untuk
merumuskan suatu keputusan demi mencapai tujuan bersama.
e. Hasil dari pada kepemimpinan. Hal ini terkait dengan penilaian mengenai hasil
dari kepemimpinan. Ini terkait tentang hal-hal apa yang dianggap baik dalam
memimpin, dan apa hal yang dianggap gagal dalam memimpin.
2. Islam Melayu-Indonesia
Kajian mengenai Melayu masih tetap menarik untuk dipelajari. Karena,
identifikasi tentang ke-Melayuan masih dalam perdebatan dan kata yang masih
sukar dipahami. Kajian mengenai identifikasi melayu yang banyak dirujuk
biasanya menggunakan studi arkeologis-antropologis mengenai garis keturunan
asal bangsa Melayu. Contoh, kajian paling popular dari Hendrik Kern, HeineGeldern dan Belwood (dikutip dari Omardin, 2011) dengan teori yang paling

11

popular saat itu,

Teori Migrasi dan Kereta Api Ekspres. Teori itu

menggambarkan ketururunan garis melayu yang bermigrasi dari selatan tanah


Tiongkok dan kepulauan Formosa. Selain kajian antropologis, kajian biologis dan
geografis juga membagi melayu dalam batas-batas geografis tertentu, seperti
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa-madura, Nusa tenggara Barat, Malaysia,
Thailand Selatan, dan kepulauan Filipina yang termasuk ras Melayu, sedangkan
ras Austroloid di Nusa tenggara Timur, kepulauan Maluku, dan Papua tidak
termasuk ras Melayu..
Pandangan lain mengenai ke-Melayuan dapat dilihat secara geopolitik
(Negara) atau identitas Melayu yang melekat dalam Negara. Melayu dapat
dikenali sebagai Melayu-Indonesia, Melayu-Malaysia dan Melayu Brunei. Sedang
secara etnisitas di Indonesia, hampir sebagian besar etnis-etnis di Indonesia
mengidentifikasi sebagai melayu. Jawa, Minang, Aceh, Kerinci, Mandailing,
Banjar, Bugis, Sasak, dan sebagainya. Jika landasannya adalah bahasa, bahasa
Melayu adalah lingua franca. Itu telah digunakan di seluruh nusantara, bahkan
hingga di kepulauan Maluku, dan Papua. Seperti yang diketahui, pembentuk
utama dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebenarnya adalah peradaban
Melayu-Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis dan disatukan dalam bahasa.
Identitas Melayu terbentuk secara berangsur-angsur melalui proses
konstruksi. Dapat dikatakan bahwa melayu sebagai identitas yang ditemukan
(invented). Sebagai penemuan, karena istilah Melayu bukanlah hal yang ada
secara kebetulan, melainkan melalui proses menjadi. Pembentukan Melayu
melalui proses antara lain sebagai berikut.
1) Sebelum abad ke-7 Masehi, keberadaan Melayu sudah ada di pulau Sumatera.
Keberadaan ini dapat dilihat dari prasasti-prasasti seperti: Batu Tarsialah, Prasasti
Batupahat/Bandarbapahat,

Prasasti

Boom

Baru/Palembang,

Prasasti

Dharmamasray, Prasasti Karang Berahi, Prasasti Kedukan Bukit dan Prasasti Kota
Kapur. Selain itu penyebutan Melayu juga terdapat pada kitab Pararaton dan
Negarakertagama dari kerajaan Majapahit.

12

2) Keberadaan Melayu diperoleh melalui catatan-catatan oleh orang luar. Pada


abad ke-2 Ptolemy mencatatkan nama Melayu Kulon di suatu daerah di
Nusantara. Penyebutan Melayu selanjutnya dilakukan oleh Itsing pada abad ke 6
Masehi. Ia menyebut Molo-Yui sebagai suatu daerah di Jambi. Sedang catatan
yang lain menyebutkan bahwa nama Molo-Yui telah berganti menjadi Srivijaya di
Palembang. Agaknya apa yang dicatat oleh Ptolemy empat abad sebelumnya
terletak di Palembang-Jambi, sama seperti apa yang dicatatkan oleh Itsing.
Catatan selanjutnya untuk nama-nama melayu antara lain, catatan Batu Bersurat
Chola tahun 1030 M menyebut nama Malayur, catatan Edrisi (Pelawat Arab)
tahun 1030 M menyebutkan kepulauan Malai yang besar, selanjutnya MarcoPolo tahun 1292 menyebutkan nama Malayur pada catatannya.
3) Islam sangat identik dengan Melayu. Sangat sulit memisahkan antara
keduanya. Islam dan Melyu membentuk satu identitas yang saling melengkapi.
Islam masuk di wilayah Nusantara sejak abad 14 Masehi. Bahasa Jawi (Bahasa
Melayu) telah mulai tumbuh menjadi Bahasa lingua franca yang digunakan untuk
keperluan dagang dan syiar. Bahasa itu merupakan campuran dari Bahasa
Austroasia-Austronesia, Bahasa Sanskrit dan Bahasa Arab. Meskipun Bahasa
Melayu menjadi bahasa resmi yang digunakan oleh kesultanan Melaka, namun hal
itu tidak menegasikan fakta bahwa bahasa melayu bukanlah milik etnis tertentu.
Sementara, pengembangan Islam telah meluas hingga ke seluruh Nusantara. Islam
memiliki pegaruh besar dalam pembentukan kebudayaan Melayu-Nusantara
dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dari Kerajaan Pasai di
Aceh, Bugis di Makasar, Kutai di Kalimantan Timur, hingga Mataram Islam di
Jawa. Selanjutnya, konstruksi atas melayu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
ulama dan cendekiawan melalui penulisan kitab-kitabnya pada abad ke-17.
Kolonialisme Belanda dan Inggris berpengaruh terhadap pengkategorisasian
istilah Melayu terhadap warga pribumi. (Vickers, 2004)

13

Beberapa ahli berpendapat bahwa istilah Melayu diperoleh dengan dua


cara (Reid, 2006; Omar Din, 2011). Pertama, Melayu merujuk pada klaim
keturunan dari kerajaan Melaka. Kedua, istilah tersebut merujuk pada fenomena
penggunaan Bahasa Melayu dari diaspora perdagangan dan difusi tradisi-tradisi
dari kerajaan Melaka ke seluruh daerah-daerah di Nusantara. Pendapat para ahli
itu tiada yang salah, namun seolah menegasikan Jawa dari kebudayaan Melayu
sepenuhnya.
Padahal hubungan antara Melayu dan Jawa tidaklah demikian berbeda
dengan tegasnya, bahkan cenderung cair. Hal itu karena alasan sebagai berikut.
Pertama, sebelum meletusnya gunung Krakatau tahun 1172, tanah Sumatera dan
Jawa belumlah terpisah. Kedua, Kerajaan Sriwijaya sebagai cikal-bakal identitas
Melayu bahkan menempatkan Jawa (Mataram Kuno) sebagai pusat spiritual.
(Magetsari, 1997). Ketiga, bahasa Jawa juga memiliki pengaruh yang kuat dalam
pembentukan bahasa Melayu. (Collins, 2000).
Dari alasan di atas, maka kategorisasi istilah Melayu dan Jawa dalam
hubungan yang sangat terpisah tidaklah beralasan. Dari satu sisi, kategorisasi ini
merupakan produk dari kolonial. Misalnya, pemisahan itu dapat dilihat dari
kebijakan Hindia Belanda yang memisahkan etnis Jawa dan Melayu pada sensus
penduduk pada tahun 1930, meskipun kebijakan tersebut tidaklah muncul begitu
saja.
Islam seringkali menjadi pemisah antara Melayu dan Jawa. Hal tersebut
karena diskursus ke-Islaman di Jawa seringkali diidentikkan dengan agama masa
lalu (Hindu-Buddha) dan kepercayaan local setempat. Jika terdapat percampuran
antara Islam dan unsur budaya local, hal itu menunjukkan kekhasan Islam di
Indonesia, dibandingkan dengan Islam-Islam lainnya di penjuru dunia. Sementara
proses Islamisasi di Sumatera dianggap cenderung lebih sukses karena minimnya
proses akulturasi dengan dan resistensi oleh budaya local. Meski begitu, sejarah
menunjukkan eratnya hubungan antar ulama Jawa dan luar Jawa bahkan dari
ujung Sumatera hingga kepulauan Maluku. Contohnya, seperti yang tertera dalam

14

hikayat Raja-Raja Hitu, para raja di sana memiliki hubungan erat dengan Sunan
Giri. Selain itu, kekerabatan ulama-ulama di seluruh Nusantara baik di Jawa
maupun di luar Jawa sangat erat dan menuju pada satu pangkal Mekkah sebagai
pusat spiritual dan pendidikan Islam. Tidak dapat disangkal bahwa peran para
ulama-ulama tersebut sangat besar dalam menumbuhkan semangat nasionalisme
Indonesia. Terma Bilad Al Jawah menunjukkan parameter geografis mengenai
satu komunitas (ummah) Islam di seluruh Nusantara. Diskursus tersebut membuat
suatu chemistry tentang semangat kesamaan dan satu nasib yang dibungkus dalam
satu iman Islam bagi para ulama di seluruh Nusantara. Perang Padri, Perang Jawa,
Pembenerontakan Banten, Perang Aceh, merupakan bukti kongkrit tumbuhnya
rasa ketidakpuasan para ulama akibat penjajahan (Laffan, 2003).
Bukti lain, bahwa Islam mampu menumbuhkan semangat nasionalisme
dalam alam Melayu-Indonesia dapat dilihat dari cikal bakal Pers di Indonesia.
Pramodya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru mengungkapkan Medan
Prijaji adalah salah satu koran terawal dalam Bahasa Melayu yang dibuat oleh
R.M Tirto Adisurjo seorang prijaji anak bupati di Jawa. Ia juga menggunakan
Islam sebagai suatu ideology pemersatu sekaligus menumbuhkan semangat anti
kolonialisme dalam koran serta perhimpunan Syarekat Islam versinya.
Semangat Islam dalam mempersatukan etnis-etnis di Indonesia tampak
dari gerakan Syarekat Islam di bawah kepemimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Islam
mampu membawa semangat persatuan dan sangat populis. Ia mampu menjadikan
SI sebagai organisasi terbesar dengan jumlah anggota hingga ke luar Jawa.
Bahkan Abdoel Moeis dan H.Agoes Salim dari Minangkabau turut serta dalam
membesarkan Syarekat Islam.
Dari bukti-bukti tersebut, ditambah dengan fakta bahwa terma Melayu
adalah konstruksi dalam suatu komunitas yang imajiner, penelitian ini akan
melihat Melayu dengan tidak mengkotakkan antara Jawa dan Luar Jawa dalam
suatu kategori yang solid. Namun melihatnya sebagai satu kesatuan yang
membentuk suatu peradaban Melayu-Indonesia. Islam adalah faktor paling utama

15

dari pembentukan peradaban Melayu, maka melihat Islam haruslah dilihat dalam
bingkai Nusantara.
F. TINJAUAN PUSTAKA
Studi mengenai Melayu seringkali memisahkan antara Melayu Luar Jawa
dan Melayu-Jawa. Kedua etnis tersebut seolah dipisahkan dalam sebuah kotak
yang kongkrit. Kajian Benedict Ben Anderson (1990) yang berjudul Language
and Power: Exploring Political Culture in Indonesia menyebutkan bagaimana
budaya politik yang berkembang di Indonesia adalah kebudayaan politik Jawa.
Anderson melihat kepemimpinan Indonesia era Soekarno dan Soeharto sebagai
kepemimpinan yang mengambil pola kepemimpinan raja-raja Jawa yang
cenderung totaliter dan absolut. Pengaruh Islam dalam model kepemimpinan itu
sangat lemah dan lebih didominasi dari budaya yang singkretik, dan cenderung
melekat pada tradisi Hindu-Buddha pra Islam. Penelitian lainnya mengenai
kepemimpinan Indonesia adalah Ann Ruth Wilner dengan judul The
Neotraditional Accomodation to Political Independence: the Case of Indonesia
dan Allen Sievers yang berjudul menyebutkan bahwa model kepemimpinan
Indonesia cenderung bersifat Jawasentris. Menurutnya Republik Indonesia yang
baru didirikan adalah suatu warisan daripada kerajaan Mataram sebelum colonial.
Sebaliknya, kajian mengenai kepemimpinan budaya Melayu disematkan
dengan mengambil contoh pemerintahan Malaysia, seperti yang dilakukan oleh
Tony Shome Malay Political Leadership. Menurutnya kepemimpinan Malaysia
dan keberhasilannya terletak pada kemampuan seorang pemimpin yang progresif
dan inovatif dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan modernitas, sekaligus
masih mempertahankan nilai-nilai tradisionalitasnya. Kebudayaan Malaysia,
dengan nilai-nilai tradisionalitas, memiliki nilai-nilai islam yang memungkinkan
untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman.
Selain itu studi-studi kepemimpinan politik di Indonesia masih
didominasi oleh kajian-kajian berdasarkan biografi individu para pemimpin
bangsa, seperti kajian tokoh: Cokroaminoto (Arifin Melayu, 2000), Soekarno

16

(Dahm, 1966; Legge, 1972), Suharto (Elson, 2001, Feith, 1968), Habibie (Anwar,
2010), (Amir, 2007), Gus Dur (Barton, 2002) Megawati (Mietzner, 2012), dan
Susilo Bambang Yudhoyono (Liddle dan Mujani, 2005).
Kajian mengenai model kepemimpinan yang cukup brillian adalah kajian
Herbert Feith (1962) dalam menyorot model kepemimpinan Proklamator
Sukarno-Hatta. Ia merumuskan dua model kepemimpinan yaitu, kepemimpinan
administrator dan kepemimpinan pemersatu (solidarity maker). Kepemimpinan
administrator adalah kepemimpinan dengan kemampuan untuk mengelola
organisasi. Mengetahui permasalahan dan mampu untuk merumuskan cara
memecahkannya. Sementara kepemimpinan pemersatu, biasanya tidak dibekali
kemampuan manajerial yang baik. Namun dengan charisma yang dimilikinya, ia
mampu mempersatukan perbedaan-perbedaan dalam suatu organisasi.
Kajian-kajian kepemimpinan di Indonesia belum banyak melihat
mengenai akar-akar kepemimpinan politik bangsa ini dengan menggali nilai-nilai
tradisinya, dengan sudut pandang kebudayaan yang menyeluruh baik Jawa
maupun luar jawa. Selain itu kebanyakan kajian-kajian tentang biografi tokoh
sangatlah kontekstual, terkait dengan visi kepemimpinan yang dihubungkan
dengan konteks zamannya. Sementara penelitian ini nantinya, akan melihat secara
makro mengenai kepemimpinan politik melayu Indonesia dengan menggali tradisi
Melayu-Islam di Indonesia.
G. METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kualitatif. Maksudnya
penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan
masalah antara lain; (1) Bagaimana pengaruh Islam terhadap pembentukan
prinsip-prinsip tradisional tentang kepemimpinan politik Melayu-Indonesia?
Untuk menjawab rumusan masalah itu, penelitian ini menggunakan dua tahap
pengumpulan data. Data pertama adalah mencari konsep kepemimpinan politik
Melayu-Indonesia dengan menulusuri literature-literatur klasik Melayu seperti:
Babad Tanah Jawa dan Serat Makutharaja (Pulau Jawa), Hikayat Tanah Melayu,

17

Hikayat Iskandar Zulkarnaen, Taj al Salatin (Pulau Sumatera), sebagai sumber


primer dan penelitian-penelitian mengenai literature Melayu Klasik. Selanjutnya
mencari pengaruh Islam dalam konsep kepemimpinan politik melayu didapatkan
dari literature-literatur tersebut.
(2) Bagaimana dinamika kepemimpinan politik Melayu-Indonesia untuk
perkembangan kebudayaan saat ini dan kedepan? Pertanyaan mengenai dinamika
kepemimpinan politik Melayu-Indonesia akan dilihat dalam konteks kebangkitan
nasional hingga awal kemerdekaan. Lebih spesifiknya, penelitian ini akan
menggali visi kepemimpinan dan cita-cita nasional Indonesia sebagai subyek
penelitiannya.

Oleh sebab itu, penelusuran literature terkait subyek tersebut

didapatkan melalui Transkrip Notulensi Proses Pembahasan Konstitusi UUD 1945


(Mahkamah Konstitusi) dan sumber sekunder terkait Penelitian-penelitian yang
memuat tentang konten Kepemimpinan Politik Masa Kebangkitan Nasional dan
masa awal kemerdekaan.
Analisis yang dilakukan didasarkan pada pendekatan dalam penelitian ini
yaitu grounded theory. Pendekatan itu dilakukan dengan mensingkronkan dan
memilah data berdasarkan pada teori kepemimpinan politik menurut Nye (2008)
untuk menganalisis rumusan masalah yang pertama. Selanjutnya analisis pada
rumusan masalah ke dua, didasarkan pada teori diskursus analisis, yaitu
mengimplementasikan konsep yang abstrak menjadi suatu realitas yang taken for
granted, mengejawantah dalam bentuk yang lebih materiil. Teknik pengambilan
kesimpulan dilakukan dengan cara triangulasi, yaitu keterkaitan antara premispremis yang didapatkan dari dua jawaban dari rumusan masalah yang telah
dijawab sebelumnya.

18

H. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab pertama akan menguraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori serta metode yang
digunakan
Bab kedua akan membahas mengenai konstruksi identitas Melayu-Indonesia.
Bab ketiga, prinsip-prinsip dalam kepemimpinan politik Melayu-Indonesia dan
pengaruh Islam terhadap konsep tersebut.
Bab keempat akan membahas mengenai dinamika kepemimpinan politik MelayuIndonesia masa Pergerakan Nasional hingga Kemerdekaan.
Bab kelima berisi simpulan dan saran dari penelitian.

19

BAB II
KONSTRUKSI IDENTITAS MELAYU INDONESIA

A. ASAL-USUL MELAYU
Kajian mengenai Melayu masih tetap menarik untuk dipelajari. Karena,
identifikasi tentang ke-Melayuan masih dalam perdebatan dan kata yang masih
sukar dipahami. Kajian mengenai identifikasi melayu yang banyak dirujuk
biasanya menggunakan studi arkeologis-antropologis, yaitu mencari garis
keturunan asal bangsa Melayu. Contoh, kajian paling popular dari Hendrik Kern,
Heine-Geldern dan Belwood (dikutip dari Omardin, 2011) dengan teori yang
paling popular saat itu,

Teori Migrasi dan Kereta Api Ekspres. Teori itu

menggambarkan ketururunan garis melayu yang bermigrasi dari selatan tanah


Tiongkok dan kepulauan Formosa.
Hendrik Kern (Belanda) memiliki pandangan bahwa nenek moyang orang
Melayu yang disebutnya penutur bahasa Austronesia merupakan bangsa yang berasal
dari Tonkin, terletak di antara utara Vietnam dan selatan China. Spekulasi itu
berdasarkan pada persamaan Bahasa vegetasi dan dan binatang di wilayah
tersebut yang memiliki kesamaan dengan di wilayah Nusantara. Wilayah Tonkin
dianggapnya bejana manusia ke Nusantara karena penduduk di wilayah tersebut
sangat padat daripada di Nusantara. Menurutnya, jumlah populasi yang padat
tersebut membuat penduduk dari wilayah tersebut mencari sumber penghidupan
yang jauh lebih layak yaitu di wilayah nusantara. (Omardin, 2011:3)
Istilah Deutro Melayu dan Proto Melayu yang sangat popular menjadi
rujukan hampir seluruh sejarawan dan guru-guru sejarah di Indonesia, Malaysia,
Brunei, selatan Filipina dan Thailand selatan diperkenalkan oleh Robert Heine van
Geldern, dari Austria. Penyelidikannya tidak terjun ke lapangan (Nusantara),
namun meneliti bahan-bahan dari museum-musium di Eropa. Kata Deutero
yang berarti kaum yang bermigrasi diambil dari dalam kitab Yahudi yang
berjudul Deuteronomy. Menurut van Geldern asal-usul nenek moyang penduduk

20

pribumi di seluruh Asia Tenggara, Oceania dan Pasifik merupakan bangsa


penghijrah dari Yunan,di sebelah selatan tanah Tiongkok. Robert Heine van
Geldern berteori bahwa perpindahan penduduk pribumi di Asia Tenggara
mengalami dua fase yaitu: Migrasi pertama dilakukan pada sekitar 2,500 tahun
silam. Sekumpulan etnis yang bermigrasi pertama kali disebutnya dengan istilah
Proto-Melayu. Menurutnya nenek moyang kumpulan etnik tersebut meliputi
orang Seman (Negrito), Temiar (Senoi), Seman, Jakun, Sakai dan beberapa
kelompok lagi. Bukti yang ditunjukkan berupa benda-benda purbakala pada
zaman batu. Menurutnya etnis Proto Melayu adalah juga nenek moyang bangsa
Mon, Khmer dan beberapa kumpulan etnis lain di Thailand, Kemboja, Loas dan
Burma (Myanmar). Di Indonesia etnis yang menjadi nenek moyang bangsa Proto
Melayu terdiri dari etnis-etnis Dayak dalam dan Nias. (Omardin, 2011:4)
Migrasi Kedua menurut van Geldern adalah terdiri

daripada

nenek

moyang orang Melayu. Menurutnya, nenek moyang orang Melayu bermigrasi


ke Asia Tenggara sekitar 1,500 tahun silam. Menurutnya asal usul masyarakat
Deutero-Melayu berasal dari daerah yang bernama Dong Song, dalam
wilayahYunan di Tiongkok bagian selatan Bukti yang dijadikan rujukan berupa
bahan-bahan yang terbuat dari logam gangsa (dalam bentuk gendang dan kapak)
di Asia Tenggara yang mempunyai ciri-ciri sama dengan alat-alat yang sama di
Dongsong. Beliau menamakan teorinya sebagai Teori Persamaan Ciri-ciri
Dongsong (Dongsong Affirmative Theory) karena terdapat persamaan temuantemuan pada bahan dan motif di Asia Tenggara dengan di Dong Song.
Menurutnya bahan-bahan logam seperti itu banyak dihasilkan oleh masyarakat di
Dongsong dan memiliki banyak kemiripan dengan bahan-bahan yang ditemukan
di Nusantara. (Omardin, 2011:5)
Model Kereta Api Ekspres dari Taiwan ke Polinesia didapatkan dari
model rancangan Bellwood (1991, 1997). Menurut Bellwood, nenek moyang
rumpun penutur bahasa Austronesia dan Polinesia berasal daripada para petani
purba di Selatan Tiongkok. Kemudian para petani tersebut bermigrasi ke wilayah
Asia Tenggara, Oceania dan Pasifik. Menurutnya, migrasi dari China ke Taiwan

21

terjadi sekitar 6000 tahun silam pada masa Holocen Akhir. Sementara
perpindahan petani dari Taiwan ke Asia Tenggara terjadi sekitar tahun 2000
sebelum Masehi. Menurutnya para petani dari Taiwan tersebut mengusir
masyarakat pemburu-pemungut Australoid, hingga ke wilayah Pasifik. Bukti dari
teori ini adalah temuan temuan berupa serpihan tembikar (potsherd), tulang
anjing, alat batu, pisau mengetam (reaping knives), dan beras. Menurutnya barang
barang tersebut hanya terdapat di Taiwan dan Asia Tenggara. Selain itu, terdapat
persamaan perasamaan Bahasa antara penduduk di wilayah Nusantara dengan
penduduk dari Taiwan. Menurutnya Taiwan (kepulauan Formosa) merupakan
tanah asal nenek moyang rumpun penutur bahasa Austronesia, karena kesamaan
temuan barang-barang dan bahasa.
Selain kajian yang antropologis, kajian biologis dan geografis juga
membagi melayu dalam batas-batas geografis tertentu, seperti Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Jawa-madura, Nusa tenggara Barat, Malaysia, Thailand
Selatan, dan kepulauan Filipina yang termasuk ras Melayu, sedangkan ras
Austroloid di Nusa tenggara Timur, kepulauan Maluku, dan Papua tidak termasuk
ras Melayu.
Dari ketiga teori asal-usul bangsa Melayu di atas, setidaknya terdapat
beberapa catatan. Pertama, basis daripada teori-teori tersebut adalah bahwa asalusul selalu dilihat dari temuan yang paling tua antara artefak-artefak. Artefak atau
temuan tersebut memiliki kesamaan dengan artefak di tempat lainnya yang
umurnya lebih muda. Kedua, basis selanjutnya adalah kepadatan populasi pada
suatu wilayah yang sempit akan bermigrasi kepada wilayah yang lebih luas dan
sumber daya yang masih melimpah. Namun setidaknya terdapat beberapa kritik
atas teori di atas. Pertama, teori tersebut membentuk diskursus bahwa penduduk
di nusantara bukanlah penduduk asli dengan kebudayaannya sendiri. Kita
dianggap sebagai bangsa pendatang yang memiliki kebudayaan asli sendiri. Yang
menjadi pertanyaan tentunya, apakah tidak ada penduduk di Nusantara ini
sebelum kedatangan orang asing? Diskursus tersebut tidaklah memiliki makna
apapun untuk membangkitkan kebanggaan terhadap kebudayaan kita yang luhur,

22

namun justru seolah-olah kita merupakan bangsa yang berasal dari bangsa lain
yang sama sekali berbeda dengan kita sebagai penduduk nusantara. Kedua,
teori-teori tersebut tidak melihat proses suatu interaksi antar bangsa yang berbeda
pada masa pra historis, yang dalam antropologi dikenal sebagai difusi antar
kebudayaan.
Oleh sebab itu, sekiranya, sejarah melayu perlu disusun agar bertujuan,
tidak lain untuk selalu mengingat dan merefleksikan peradaban yang adiluhung
yang pernah dimiliki oleh bangsa ini. Untuk itu, kajian selanjutnya akan melihat
bagaimana terma melayu dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi suatu
identitas masyarakat di Nusantara. Kajian-kajian mengenai hal itu dengan
melihatnya dalam suatu sejarah yang berkesinambungan. Karena konstruksi suatu
identitas tidak berhenti pada suatu titik masa tertentu.
B. IDENTIFIKASI MELAYU
Identitas Melayu terbentuk secara berangsur-angsur melalui proses
identifikasi. Dapat dikatakan bahwa melayu sebagai identitas yang ditemukan
(invented). Sebagai penemuan, karena istilah Melayu bukanlah hal yang ada
secara kebetulan, melainkan melalui proses menjadi.
Penyebutan istilah Melayu melalui dua hal, yaitu identifikasi masyarakat pribumi
terhadap dirinya sendiri dan sebutan dari pelawat dari luar Nusantara..
1) Sebelum abad ke-7 Masehi, istilah Melayu sudah ada di pulau Sumatera.
Keberadaan ini dapat dilihat dari prasasti-prasasti seperti: Batu Tarsialah, Prasasti
Batupahat/Bandarbapahat,

Prasasti

Boom

Baru/Palembang,

Prasasti

Dharmamasray, Prasasti Karang Berahi, Prasasti Kedukan Bukit dan Prasasti Kota
Kapur. Selain itu, penyebutan istilah Melayu tidaklah merujuk pada suatu identitas
etnis tertentu. Melayu justru disebut dalam suatu legenda Malaka sebagai anak
sungai yang mengalir dari Bukit Siguntang ke Sungai Musi di Palembang. Meski
begitu, di masa ini justru istilah ini merujuk pada suatu sungai yang justru terletak
di Jambi, bukan di Palembang. Legenda lainnya, istilah ini merujuk kepada suatu
kata sifat yang melekat pada kelompok keluarga kerajaan yang berasal dari Bukit

23

Siguntang seperti Raja-raja Melayu dan Adat Melayu. (Reid, 2011: 82). Selain itu
penyebutan Melayu juga terdapat pada kitab Pararaton dan Negarakertagama dari
kerajaan Majapahit. Identifikasi yang muncul pada masa sebelum Islam, tidak
dapat disangkal, seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa istilah Melayu
merujuk pada tempat dan garis keturunan Sriwijaya bukan pada sekelompok etnis.
Ketika Islam mulai masuk ke Indonesia, dan menjadi suatu nafas spiritualitas baru
pada penduduk muslim terutama di sekitar Malaka, identifikasi terhadap Melayu
justru melekat pada suatu etnis. Di tahun 1511, di akhir masa kerajaan Malaka,
identifikasi ini muncul kepada segolongan masyarakat yang menyatakan diri loyal
terhadap Sultan, memeluk aliran Sunni,
2) Keberadaan Melayu diperoleh melalui catatan-catatan oleh orang luar. Pada
abad ke-2 Ptolemy mencatatkan nama Melayu Kulon di suatu daerah di
Nusantara. Penyebutan Melayu selanjutnya dilakukan oleh Itsing pada abad ke 6
Masehi. Ia menyebut Molo-Yui sebagai suatu daerah di Jambi. Sedang catatan
yang lain menyebutkan bahwa nama Molo-Yui telah berganti menjadi Srivijaya di
Palembang. Agaknya apa yang dicatat oleh Ptolemy empat abad sebelumnya
terletak di Palembang-Jambi, sama seperti apa yang dicatatkan oleh Itsing.
Catatan selanjutnya untuk nama-nama melayu antara lain, catatan Batu Bersurat
Chola tahun 1030 M menyebut nama Malayur. Namun pada catatan itu
membedakan antara Sriwijaya dengan Malaiyur. Catatan Edrisi (Pelawat Arab)
tahun 1030 M menyebutkan kepulauan Malai yang besar, selanjutnya MarcoPolo tahun 1292 menyebutkan nama Malayur pada catatannya.
C. KONSTRUKSI IDENTITAS MELAYU
Beberapa ahli berpendapat bahwa istilah Melayu diperoleh dengan dua
cara (Reid, 2006; Omar Din, 2011). Pertama, istilah tersebut merujuk pada
fenomena penggunaan Bahasa Melayu dari diaspora perdagangan dan difusi
tradisi-tradisi dari kerajaan Melaka ke seluruh daerah-daerah di Nusantara. Kedua,
Melayu merujuk pada klaim keturunan dari kerajaan Melaka-Sriwijya. Meski
begitu terdapat unsur yang masih belum dipertegas, yaitu factor Islam sebagai

24

penyelubung spiritualitas yang mampu menyatukan perasaan perbedaan etnisitas.


Proses menjadi Melayu terdapat beberapa tahap antara lain:
1) Melalui unsur Bahasa. Bahasa melayu selama berabad abad telah banyak
digunakan oleh beberapa etnis di Nusantara. Sebelumnya bahasa yang disebut
Melayu Kuno, yang ditemukan di Palembang, memiliki kemripan dengan bahasa
Jawa Tinggi (Collins, 2000). Meski begitu, belum dapat dipastikan bahwa bahasa
tersebut dipakai secara khusus oleh etnis yang disebut Melayu. Beberapa ahli
mengemukakan bahwa bahasa melayu kuno sudah menjadi bahasa untuk
kepentingan perdagangan di Nusantara, sehingga cukuplah bijak jika mengatakan
bahasa melayu kuno sudah menjadi bahasa persatuan dan bukan milik sebuah
kelompok masyarakat tertentu. (Tirtosudarmo 2005; lihat pula Vickers, 2004;
Houben, 1992; Van Dijk, 1992). Bahasa Melayu yang kita kenal saat ini
merupakan campuran dari Bahasa Austroasia-Austronesia, Bahasa Sanskrit dan
Bahasa Arab. Perubahan itu terjadi sejak abad 16, terutama ketika Islam telah
menyebar luas di Nusantara. Bahasa Melayu menjadi sarana untuk berdagang dan
syiar bagi pelawat muslim arab di Nusantara. Pada awal abad 17 aksara dalam
bahasa melayu telah menggunakan huruf Jawi, huruf Arab dalam menulis bahasa
melayu.

Bahasa Melayu memang pernah secara resmi pernah menjadi bahasa

yang digunakan oleh Kesultanan Melaka. Meski begitu, dengan mendasarkan


fakta di atas, menurut penulis, bahasa inilah yang menjadi penanda atas identitas
awal bahwa melayu adalah Nusantara itu sendiri. Bahasa melayu mampu
berkembang menjadi bahasa lingua franca disebabkan oleh:
a. Sederhana dan adaptif mampu menyesuaikan diri dengan pengaruh dari luar
b. Cenderung longgar, tidak memiliki keterikatan pada tingkatan tutur, atau
memiliki level tutur yang sama.
c. Struktur yang relatif mudah, memiliki tingkatan kata.yang tidak terlalu banyak.

25

2) Melalui proses hibrida identitas dan diaspora.

Ketika pada abad 7-10 Sriwijaya memegang peranannya sebagai kerajaan


yang berupaya menyatukan wilayah Nusantara. Penyatuan wilayah Nusantara ini
kemudian menjadikan kerajaan-kerajaan lainnya takluk dan mengakui Sriwijaya
sebagai Penguasa Jagad. Pengaruh Sriwijaya bahkan tidak hilang setelah
runtuhnya pada abad ke 15, bahkan beberapa kerajaan Islam masih mentahbiskan
diri sebagai keturunan Sriwijaya. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
bahwa kata Melayu pada awalnya dikonstruksikan sebagai keturunan dari
Sriwijaya.
Penaklukkan kerajaan pada pada masa kerajaan Sriwijaya tidak bertujuan
untuk memberangus peradaban, namun lebih kepada penundukan dalam bentuk
pengakuan kekuasaan sebagai yang terkuat sebagai Cakravartin, Raja Penguasa
Jagad. Kekuasaan daerah taklukan bersifat otonom dan diwajibkan membayar
upeti. Apalagi, hubungan pernikahan antara yang kuasa dan dikuasa merupakan
hal yang biasa sebagai mengikat persekutuan. Srivijaya yang merupakan legenda
penguasa tunggal Nusantara sejak abad 7-10 menjadi patron bagi kerajaankerajaan di Nusantara. Pertalian keluarga kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan
penguasa Srivijaya (Wangsa Syailendra) menjadikan kerajaan-kerajaan di
semenanjung Melayu bisa disebut sebagai satu keluarga. Akibatnya, ketika
Srivijaya pudar kekuasaannya, mereka saling berebut pengaruh kekuasaan politik
dan ekonomi. Namun demikian Srivijaya masih dijadikan sebagai garis legitimasi
penguasa Nusantara. Sebagaimana di Jawa, para penguasa-penguasa Melayu juga
mengambil legitimasi dari Syailendra. Penguasa Melayu Islam abad ke 14 pun
menuliskan silsilah mereka dari Srivijaya sebagai legitimasinya. Di Hikayat
Melayu atau Sulalat al-Salatin, Melaka, di Hikayat Siak, Pekanbaru, di Sejarah
Melayu Minangkabau, semua merujuk kerajaan mereka sebagai penerus kejayaan
Srivijaya.
Namun demikian, untuk sementara kerajaan Jawalah yang masih kuat
sebagai pemangku penguasa yang mengklaim sebagai keturunan Srivijaya. Dari
Raja Kertanegara abad 11 hingga penguasa Demak abad 15, Ki Ageng Sela,

26

semua merunut pada garis keturunan sah Syailendra. di bawah Balaputradewa,


adalah wangsa yang menjadi ikon kejayaan masa Srivijaya. Raja Kertanegara juga
mengaku sebagai keturunan dari wangsa Girindra, sedangkan Ki Ageng Sela
pemangku spiritualitas Jawa legendanya adalah pemegang petir. Girindra adalah
permutasi dari Giri dan Indra, sedangkan Giri kata lainnya adalah Syela/Syai/Cela
yang berarti batu/keraton/atau tempat, sedangkan Ki Ageng dari Sela adalah
pemegang/pewaris Petir (Indra), sang Syailendra penguasa Srivijaya.
Dalam Kitab Nagarakartagama Pupuh XLI Sloka 1, disebutkan adanya
ekspidisi Pamalayu (1275 M) oleh Raja Kertanegara dari Jawa Timur yang
membebaskan daerah Melayu, yakni Jambi, dari serangan orang jahat bernama
Cayaraja. Di masa Kertanegara dari Kerajaan Singosari inilah Srivijaya berhasil
ditaklukkan, setelah itu tumbuhlah Jambi sebagai kerajaan terkuat di pulau
Sumatera yang masih memeluk ajaran Hindu-Budha. Namun seiring dengan
kegiatan penyatuan Nusantara ini, Singosari mulai kehabisan energi akibat konflik
internal. Pudarnya Singosari semenjak masa perebutan kekuasaan, dan lemahnya
Srivijaya membuat daerah semenanjung Sumatera mulai bergerak ke arah
spiritualitas baru, maka dengan sokongan kerajaan Delhi Islam di India, Samudera
Pasai didirikan pada 1285 M. Kejatuhan kejayaan Pasai dan Srivijaya pada abad
15 oleh serangan Majapahit (1349 M), menjadikan kekuasaan kerajaan-kerajaan
Melayu menjadi tidak menentu. Di masa inilah menurut Houben (1992:218)
terjadi kesalingpengaruhan antara budaya tinggi di jazirah Melayu dengan
Majapahit. Bahkan Ras menyebutkan bahwa Melayu ada semenjak adanya
Majapahit. Hal itu tidak lain daripada pembentukan kerajaan di Sumatera yang
memiliki keterikatan erat dengan Majapahit, seperti halnya Kerajaan Pagarruyung
yang didirikan oleh Adityawarman (1500 M) adalah salah satu anak dari Raden
Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit. Di Sumatera inilah Adityawarman
menyatakan dirinya sebagai penguasa Malayapura yang dipahat pada Arca
Amoghapasa yang bertanggal 1347 Masehi. Semenjak Adityawarman inilah,
terma Melayu tidak hanya dimiliki oleh keturunan Sriwijaya melainkan juga
keturunan dari Minangkabau.

27

Sebelum keruntuhan Sriwijaya, hibrida identitas yang ikut berperan serta


membentuk Melayu menurut Anthony Reid diakibatkan oleh perdagangan di Jalur
Sutra Maritim. Pada masa Dinasti Yuan memerintah dataran China pada (12761368 M), pemimpin Dinasti Yuan mengirimkan ekspedisi melalui jalur maritime
hingga ke Jawa. Para pelaut yang dikirimkan terdiri dari multi etnis, orang-orang
Persia, Arab, bahkan beberapa terdiri dari orang-orang yang berasal dari penduduk
maritime di Asia Tenggara. Ketika Dinasti Ming berhasil menaklukkan Dinasti
Yuan pada tahun 1368, penguasa Dinasti Ming memerintahkan Zheng He (Cheng
Ho) beserta para pelaut yang telah ada sejak Dinasti Yuan melakukan ekspedisi
terluas dalam sejarah dunia hingga ke wilayah Nusantara. Setelah runtuhnya
kerajaan Sriwijaya di awal tahun 1400 an, ekspedisi yang dikirimkan Dinasti
Ming dengan dipimpin oleh Cheng Ho berhasil menguasai perdagangan di
berbagai pelabuhan di Teluk Siam, Singapura, pelabuhan-pelabuhan di Pesisir
Jawa, Brunei dan Manila. Pelabuhan-pelabuhan tersebut menjadi pusat
perdagangan internasional, Perdagangan membawa daerah-daerah yang telah
disebutkan tadi menjadi daerah yang kosmolopitan. Pedagang dari China, Arab
dan banyak berdatangan ke pelabuhan-pelabuhan tersebut dan membaur dengan
penduduk local.
Pelawat Portugis (1511) memberitakan bahwa pada pelabuhan pelabuhan
di Sumatera, Malaka, Palembang, pesisir jawa seperti Demak, Jepara, Gresik dan
Surabaya mengemukakan adanya dua etnis yang menguasai perdagangan. Antara
lain yaitu etnis Java yaitu orang-orang yang lebih berasal dari China berada di
pesisir Jawa. Hal ini menunjukkan adanya kosmopolitanisme di pesisir Jawa dan
sesuai dengan pendapat para ahli yang menyatakan bahwa penguasa di Demak,
Japara, Gresik dan Surabaya merupakan keturunan dari China. Etnis lainnya
adalah orang Jawi yang berada di pesisir Sumatera. Jawi sendiri merupakan istilah
yang masih ambigu, menunjuk pada suatu terma yang lebih luas dari Java yaitu
mereka yang mempergunakan bahasa melayu dan terikat erat dengan Islam. Meski
begitu berita dari Pelawat Portugis tersebut tidak dapat dipergunakan untuk
memberikan istilah Melayu. Hal ini karena, beberapa fakta menunjukkan bahwa
orang-orang Jawa adalah populasi terbesar dalam perdagangan di Malaka, mereka

28

tidak menggunakan bahasa Jawa melainkan Melayu. Hal itulah kenapa Hang Tuah
sebagai legenda Melayu meyebutnya sebagai Melayu Kacokan (Reid, 2011:86)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kata Melayu merujuk kepada
keturunan Sriwijaya dan Minangkabau. Klaim akan Melayu semakin
berkembang luas seiring dengan kajayaan dan charisma pemimpin atau raja-raja
keturunan Melayu, yang menjadi penguasa di Deli dan Langkat di Sumatera
Utara, hingga Pontianak dan Brunei di Pulau Kalimantan. Diaspora Melayu
semakin luas melalui perdagangan. Masyarakat pedagang dan maritime yang
menyaatakan diri loyal terhadap keturunan Melayu membawa kehidupan baru
di berbagai pelabuhan seperti Aceh, Patani, Palembang, Banten, Brunei, Makasar,
Banjarmasin, Kamboja, dan Siam. Identifikasi melayu semakin meluas,
disebabkan para pedagang tersebut mempraktekkan ajaran Islam dan berbahasa
Jawi atau Melayu.
3. Melalui jaringan spiritualitas keIslaman. Sangat sulit memisahkan antara Islam
dan Melayu. Keduanya membentuk satu identitas yang saling melengkapi. Islam
menjadi sangat penting dalam pembacaan sejarah Nusantara. (Mc Ricklefs) Islam
sendiri masuk dan berkembang di wilayah Nusantara sejak abad 12 Masehi.
Ricklefs mencatatkan beberapa temuan mengenai bukti-bukti Islam telah dipeluk
oleh orang-orang di Nusantara. Bukti paling tua adalah berupa makam, seperti
makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik pada tahun (1082) meskipun masih
diperdebatkan mengenai nama Fatimah itu merupakan penduduk Jawa atau dari
seorang pelawat Arab yang memakamkan anaknya. Sementara itu, di utara
Sumatera catatan Marcopolo menunjukkan bahwa Samudra Pasai merupakan
kerajaan Islam pertama, disertai bukti fisik berupa makam Sultan Malik Al Salih
(1297). Jejak Islam di Jawa berikutnya, justru terdapat di Tralaya dan Trowulan
tempat di mana ditemukannya situs dari Kerajaan Majapahit. Di sana ditemukan
makam-makam yang secara tahun, ditulis dalam tahun Saka, 1290 atau 1368-1369
Masehi. Makam-makam tersebut tertulis potongan ayat-ayat Al Quran. Darmais
sebagaimana dikutip oleh Ricklefs, meyakini bahwa yang dikuburkan di sana
adalah anggota dari kerajaan Majapahit. Jadi setidaknya dapat disimpulkan bahwa

29

Islam telah dipeluk oleh anggota kerajaan Majapahit pada masa kerajaan ini
mencapai masa kejayaannya. Kembali ke Sumatera, kerajaan Malaka ditemukan
dengan bukti makam Sultan ke-4 Sultan Mansyur Syah di tahun 822 H/1477 M.
Sementara Sultan pertama kerajaan Pahang, Sultan Muhammad Syah yang
bertulis tahun 880/1475 M. Di mana kedua makam itu dituliskan dalam bahasa
Melayu dengan menggunakan aksara Jawi.
Gambar II.1 Syahadat pada Nisan pada masa Majapahit di Tralaya

Sumber: 2.bp.blogspot.com/
Catatan mengenai Islam di luar Pulau Sumatera dan Jawa ditulis oleh
Tome Pires tahun 1511. Di Maluku (tanah dari rempah-rempah) dicatatkan bahwa
para pedagang muslim dari Sumatera dan Jawa banyak singgah di sana. Penguasa
beberapa kerajaan telah memeluk Islam. Kerajaan Ternate, Tidore dan Bacan

30

memiliki penguasa yang telah masuk Islam. Penguasa Kerajaan Tidore dan Bacan
menggunakan istilah Raja (India) namun Raja Tidore menggunakan istilah Sultan
seperti masa Islam. Dari fakta sejarah di atas, terlihat bawa sebenarnya, Islam
merupakan suatu kanopi spiritualitas yang mampu menyatukan perbedaan antar
etnis di kepulaian Nusantara.
Pengembangan Islam telah meluas hingga ke seluruh Nusantara. Islam
memiliki pegaruh besar dalam pembentukan kebudayaan Melayu-Nusantara
dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dari Kerajaan Pasai di
Aceh, Bugis di Makasar, Kutai di Kalimantan Timur, hingga Mataram Islam di
Jawa. Selanjutnya, konstruksi atas melayu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
ulama dan cendekiawan melalui penulisan kitab-kitab pada abad ke-17.
Kolonialisme Belanda dan Inggris berpengaruh terhadap pengkategorisasian
istilah Melayu terhadap warga pribumi. (Vickers, 2004).
Setelah masuknya Islam ke Nusantara, beberapa Kerajaan-kerajaan yang
sebelumnya memakai Srivijaya sebagai genealogi silsilah dan spiritual, berpindah
kepada sejarah, ajaran dan penguasa Islam di belahan dunia lainnya sebagai
genealogi spiritual untuk mengidealisasikan konsep kekuasaannya. Meski begitu,
sistem pemerintahan Kerajaan Melaka dan Melayu lainnya pun masih
mengidealisasikan konsep Bodhisattva dan Cakravartin khas pengaruh Budha
Mahayana Sriwijaya. Namun hal itu juga disebabkan adanya saling kemiripan
dengan ajaran Islam yaitu konsep Insanul Kamil, seperti yang tampak di Sejarah
Melayu dan Tajussalatin (Milner, 1985:26-27). Masuknya Islam memang
membawa suatu pandangan hidup baru yang membawa ajarannya hingga kepada
pola kenegaraan, ilmu pengetahuan, yang mana penyebarannya tidak lain dibawa
oleh alur perdagangan. Di masa Kerajaan Aceh (abad 16-17) khasanah sastra
Melayu yang berisi ilmu agama, mistik, dan adat istiadat bernuansa Islam mulai
bermunculan, bahkan pengaruhnya sampai ke Jawa pada abad 16-17. Sehingga
munculah sastra-sastra suluk yang sangat kental pengaruh ajaran Hamzah
Fanshuri. Pengaruh sufi mistik dari Hamzah Fansuri ini sangat kental dalam
ajaran-ajaran Sultan Agung. Hingga, akhirnya ikut perubahan dunia Islam di

31

Melayu pada masa Ratu Pakubuwana IV (abad 18) yang sangat kental dengan sufi
syariahnya.
Eratnya hingga sampai pada zaman kebangkitan tradisi Jawa kuno abad 19
yang saat itu diangkat oleh Javanologi berkolaborasi dengan sarjana-sarjana
Belanda, kembali menggali khasanah budaya Jawa kuno (Margono, 2004) yang
nantinya melahirkan polarisasi Jawa Islam dan kejawen (Ricklefs, 2006, 2007;
Budiyanto, 2004).
Keterpautan Islam dengan dunia Melayu secara geografis dan politis
adalah hal yang tak terelakkan sehingga jaringan keislaman Jawa memang terlebih
dahulu tergantung dengan dunia Melayu. Walaupun demikian dalam beberapa
derajat Islam degan tradisi Melayu Lama bisa dikatakan kini lebih banyak
ditemukan di Jawa, yang dikenal dengan dunia Pesantren dan Islam Jawa Keraton.
Ide pembaharuan itupun mula-mula diawali dengan datangnya ajaran sufi syariah
Naruddin Al Raniri yang mendasarkan ajaran sufinya pada fiqh yang ketat lewat
bukunya Siratal Mustaqim (1644) dan tentang hari kiamat di bukunya Akhirah Fi
Ahwatul Qiyamah (1642) di Aceh yang satu persatu mengikis habis apa yang
dianggap tidak sesuai dengan Islam di dunia Timur Tengah ala Arab saat itu.
Proses indentifikasi bangsa inipun semakin mengkristal dan pembedaan antara
Melayu dan Jawa semakin kentara di masa-masa kolonial hingga kini. Dunia
Islam di luar Jawa di masa ini tampak lebih murni daripada Islam di Jawa atau
lainnya. Meskipun demikian, pada pertengahan akhir abad ke 19 dengan
dibukanya terusan Suess, dan teknologi kapal uap, dan disokong oleh kebijakan
Belanda yang baru berkat nasihat Dr. Snouck Hurgonje tentang Islam, gelombang
baru Islam mulai menerobos ke Nusantara, dan Jawa khususnya, lewat para
jemaah haji yang dikenal sebagai orang-orang Jawi yang datang dari negeri di
bawah angin (Azra, 1994; Laffan, 2003).
D. MELAYU DAN JAWA: PEMISAHAN IDEOLOGIS KOLONIAL
Pandangan lain mengenai ke-Melayuan dapat dilihat secara geopolitik
atau identitas Melayu yang melekat dalam Negara. Melayu dapat dikenali sebagai

32

Melayu-Indonesia, Melayu-Malaysia dan Melayu Brunei. Sedang secara etnisitas


di Indonesia, hampir sebagian besar etnis-etnis di Indonesia mengidentifikasi
sebagai melayu. Jawa, Minang, Aceh, Kerinci, Mandailing, Banjar, Bugis, Sasak,
dan sebagainya. Jika landasannya adalah bahasa, bahasa Melayu adalah lingua
franca. Itu telah digunakan di seluruh nusantara, bahkan hingga di kepulauan
Maluku, dan Papua.

Seperti yang diketahui, pembentuk utama dari Negara

Kesatuan Republik Indonesia sebenarnya adalah peradaban Melayu-Indonesia


yang terdiri dari berbagai etnis dan disatukan dalam bahasa. Sebelumnya etnisitas
antara Melayu dan Jawa tidaklah demikian berbeda dengan tegasnya, bahkan
cenderung cair, sebelum konstruksi identitas yang dilakukan oleh kaum colonial.
Tidak tampak perbedaan antar etnis,.antara Jawa dan Melayu, sebelum meletusnya
gunung Krakatau tahun 1172 hal ini tanah Sumatera dan Jawa belumlah terpisah.
Selain itu Kerajaan Sriwijaya sebagai cikal-bakal identitas Melayu bahkan
menempatkan Jawa (Mataram Kuno) sebagai pusat spiritual. (Magetsari, 1997).
Bahkan bahasa Jawa juga memiliki pengaruh yang kuat dalam pembentukan
bahasa Melayu. (Collins, 2000). Meski begitu setelah, saat kolonialisme BelandaInggris hubungan antara keduanya mulai meregang.
Pudarnya Pasai dan kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera dan naiknya
pamor Kerajaan Melaka yang di sokong Inggris menjadikan Melayu Melaka
menjadi kiblat kebudayaan Islam. Kerajaan Melaka menjadi rujukan peradaban
Islam tersendiri yang lebih mendunia. Jawa hingga akhir abad 16 masih memiliki
kontak dengan dunia Islam Melayu hingga masa datangnya konsolidasi kekuasaan
Jawa oleh Sultan Agung di awal abad 17 yang membawa Jawa mengalami sedikit
stagnasi kebudayaan dengan dunia luar karena lebih sibuk di dalam. Saat itu Jawa
tengah mencoba menegosiasikan Islam dengan kultur lokal sekaligus modernitas
Kolonial di abad 18-19. Akibatnya, Kejawaan Islam menjadi lebih menguat di
pedalam Jawa dibanding dengan pesisir utara Jawa hingga datangnya babak baru
di abad 19-20. Yakni lewat datangnya gelombang Haji abad 19, antara lain H.
Ahmad Rifai di Pekalongan dan Imam Bonjol di Padang, awal babak baru

33

pembaharuan Islam di pesisir utara Jawa dan Sumatera di mulai (Ricklefs, 2006,
2007; Budiyanto, 2004).
Lian Kwen Fee dalam artikelnya The Construction of Malay Identity
across Nations: Malaysia, Singapore, and Indonesia (2003: 861-879) dengan
jelas melihat peran besar penguasa kolonial Inggris dan Belanda-

dalam

membentuk wacana identitas politis kemelayuan di tingkat elite dari masyarakat


kebanyakan dan kaum elite aristokrat. Identitas Melayu, dikutip dari Milner
(1998:151-153), adalah kerja ideologis. Ia adalah konsep yang diciptakan yang
dapat terus berkembang dan penuh kontestasi. Yang menarik adalah bagi
aristokrat masa pra kemerdekaan Islam sebagai lekatan identitas melayu tidaklah
kuat, identitas melayu adalah identitas elitis yang berdasar pada keturunan rajaraja melayu terutama yang merujuk pada keturunan Sultan Melaka (hlm 863-864).
Justru wacana kemelayuan sebagai bangsa tumbuh dari dari mayarakat
kebanyakan terutama berkat wacana yang dibangun oleh pujangga keturunan
Tamil-Arab Munshi Abdullah yang terdidik dari pemikiran barat liberal (lewat
ide-ide post-enlightment Inggris) yang sebenarnya untuk mengkonter kemelayuan
aristokrat yang elitis dan tidak membuat kemakmuran bagi bangsanya seiring
dengan kuatnya kelompok India dan China secara ekonomi. Lewat terbitnya koran
Utusan Melayu yang dikawal oleh Muhammad Eunos sejak 1915 inilah ide-ide
Munshi Abdullah disemaikan (hlm. 865). Ide-ide ini semakin matang pada tahun
1930an dan mendapat tentangan dari Ulama dan Kerajaan (Milner 1995:246).
Dimana nantinya wacana etnisasi kemelayuan di semenanjung Malaya banyak
ditemukan di naskah-naskah Melayu abad kesembilan belas. Di mana dalam
dekade berikutnya negoisasi yang panjang antara Otoritas Inggris dan perwakilan
komunitas Melayu, China, dan India atas hak berbagi kuasa, konstitusi negara
yang berdaulat, dan kewarganegaraan dan kebangsaan terus diperjuangkan
(Nagata 1984:4).
Pada 1824 perjanjian Inggris dan Belanda telah membagi kemelayuan
kerajaan Riau-Johor, di mana semenanjung Malaya ada di bawah Inggris
sedangkan kemelayuan sebelah selatan Singapura di bawah Belanda. Semenjak

34

inilah Riau mengalami kemunduran sementara Singapore dan Malaka semakin


makmur hingga pada pertengahan abad 19 M Riau telah menjadi sangat
terbelakang akibat politik pecah belah Belanda yang mengadu-domba penguasa
Bugis dengan Melayu Riau di kerajaan Riau Lingga. Penguasa Bugis menyokong
Belanda menyingkirkan penguasa Riau yang dianggap tidak islami, sebelum
akhirnya kekuasaan Bugis sebagai Yamtuan di singkirkan Belanda ke Singapura
pada 1911 (hlm. 869; lihat pula Andaya 1997:148). Namun demikian di saat inilah
peran Bugis di Panyengat yang mengusung Islam sebagai jiwa identitas adat dan
kebudayaan Melayu dipromosikan sebagai tandingan budaya Singapura yang kian
maju, kosmopolit, dan modern ala Barat. Lewat karya keturunan pujangga Bugis
di Panyengat, Raja Ali Haji dengan Tuhfat al-Nafs nya (1860) inilah wacana
legitimasi peran Bugis dan Islam dalam kebudayaan dan sejarah Melayu
digemakan. Meski sezaman dengan Abdullah Munshi namun Raja Ali Haji tidak
pernah menyinggung karya ataupun nama Abdullah Munshi dalam karyakaryanya (hlm 869; lihat pula Maier, 1997:683). Menandingi wacana ini, 60 tahun
kemudian kerajaan Riau-Lingga membuat naskah Keringkasan Sejarah Melayu
(KSM) yang mengkonter wacana peran Bugis pada Melayu. Di dalam Tuhfat,
sesuai dengan pandangan Bugis, tidak menyebutkan peran kerajaan Melayu di
Riau selain hal yang negatif. Meskipun begitu KSM tidak menyebut peran Islam
sebagai penyokong kesultanan Riau, melainkan melihat dari garis keturunan
Sultan Melaka. Singkatnya dari sisi kerajaan, identitas Melayu dilihat dari garis
keturunan Palembang-Melaka. Sedangkan dari sisi Bugis yang berada dalam kelas
politik dan militer di kerajaan melayu inilah yang menciptakan kepemimpinan
intellectual masyarakat melayu Riau yang menggemakan Islam dan bahasa
Melayu lewat media cetak yang menantang otoritas tradisional penguasa Melayu.
Bugis mewakili ulama dan Aristokrat melayu mewakili kerajaan (hlm 869-870;
lihat pula Matheson, 1988:22-24). Melaka yang secara de facto menjadi ukuran
kebudayaan Melayu di abad 14-18, oleh para intelektual Bugis, diintegralkan
secara lebih intens dangan purifikasi Islam yang terus baru sesuai dengan
perubahan Islam di Timur Tengah.

35

Namun demikian, gerakan purifikasi islam itu sendiri sebenarnya telah


berlangsung sejak abad 17. Satu-persatu tradisi yang non Islam di masa Melayu
abad 13-17 mulai dipertanyakan dan dihapuskan secara pasti dimulai dengan
dantangnya Sufi yang berorientasi syariah yang di bawa oleh Nurrudin Arraniri
pada 1637 diteruskan dengan sufi syariah yang lebih moderat lewat Abdul Samad
(1779-1789) yang menterjemahkan Ihya Ulumuddin-nya Al Ghazali, lalu Daud
ibn Abdillah ibn Idris Patani yang juga menterjemahkan karya al Ghazali lainnya
Kitab Asrar dan Kitab al kurbat ila Allah yang di terbitkan di Mekah 1824.
Seiring dengan semakin intensnya kontak dengan sumber islam di Timur Tengah
dan dunia islam lainnya, kini di abad 20 bahkan ada larangan dari dunia Melayu
Malaysia bahwa khasanah dunia Hindu-Budha tidak boleh diajarkan dalam sastra
Melayu.
Sementara itu di Jawa hingga awal abad 20 hingga kini, meskipun semakin
jarang, masih dikenalkan epik Mahabarata dan Ramayana. Di Malaysia yang ada
hanyalah hikayah-hikayah yang bertutur tentang dunia Islam terutama dari tradisi
Islam Persia seperti Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman, dan Hikayat
1001 malam (yang aslinya adalah saduran dari tradisi India yakni kitab
Pancatantra; hingga kini masih dibacakan di Bali). Meskipun ada Hikayat Sri
Rama, Hikayat Pendawa Lima, dan lainnya lambat laun karya sastra Islam yang
berbau Hindu-Budha itupun mulai disingkirkan dari khasanah Melayu Islam di
Malaysia. Tidak ada lagi pengetahuan tentang kisah-kisah epik Mahabarata dan
Ramayana di Malaysia. Semua itu digantikan dengan karya-karya sastra popular
dari Eropa. Di Malaysia, khasanah literatur Barat modern dianggap paling netral
yang menjadi inspirasi demi makna Islam, kemajuan, dan modernitas
Dari berbagai pemaparan di atas, maka kategorisasi istilah Melayu dan
Jawa dalam hubungan yang sangat terpisah tidaklah beralasan. Dari satu sisi,
kategorisasi ini merupakan produk dari kolonial. Misalnya, pemisahan itu dapat
dilihat dari kebijakan Hindia Belanda yang memisahkan etnis Jawa dan Melayu
pada sensus penduduk pada tahun 1930, meskipun kebijakan tersebut tidaklah
muncul begitu saja.

36

E. MELAYU YANG SATU DALAM NASIONALISME INDONESIA


Islam mampu menumbuhkan semangat nasionalisme dalam alam Melayu
Indonesia. Hal ini dimulai dari perjuangan merebut wilayah yang telah dikuasai
oleh penjajah asing. Islam mampu tampil sebagai ideology perlawanan, dalam
memerangi penjajah. Rakyat gerah dengan kehadiran pihak asing yang telah
melakukan ekspoitasi besar-besaran yang merugikan rakyat di sebagian besar
wilayah nusantara. Seluruhya disatukan dalam semangat agama Islam dalam
melakukan perlawanan, sebagai usaha untuk merebut hak-haknya, juga tidak rela
ketika terjadi penetrasi dari agama lain yang dianggap merusak akidah dari
masyarakat pribumi. Semangat Islam dalam mengusir penjajahan inilah sebagai
suatu fenomena kesamaan dalam perlawanan, dari Aceh hingga kepulauan di
Maluku. Terma Bilad Al Jawah menunjukkan parameter geografis mengenai
satu komunitas (ummah) Islam di seluruh Nusantara. Diskursus tersebut membuat
suatu chemistry tentang semangat kesamaan dan satu nasib yang dibungkus dalam
satu iman Islam bagi para ulama di seluruh Nusantara. Perang Padri, Perang Jawa,
Pembenerontakan Banten, Perang Aceh, merupakan bukti kongkrit tumbuhnya
rasa ketidakpuasan para ulama akibat penjajahan (Laffan, 2003)
Bukti lain, bahwa Islam mampu menumbuhkan semangat nasionalisme
dalam alam Melayu-Indonesia dapat dilihat dari cikal bakal Pers di Indonesia.
Pramodya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru mengungkapkan Medan
Prijaji adalah salah satu koran terawal dalam Bahasa Melayu yang dibuat oleh
R.M Tirto Adisurjo seorang prijaji anak bupati di Jawa. Ia juga menggunakan
Islam sebagai suatu ideology pemersatu sekaligus menumbuhkan semangat anti
kolonialisme dalam koran serta perhimpunan Syarekat Islam versinya.
Selain itu semangat Islam dalam mempersatukan etnis-etnis di Indonesia
tampak dari gerakan Syarekat Islam di bawah kepemimpinan H.O.S
Tjokroaminoto. Islam mampu membawa semangat persatuan dan sangat populis.
Ia mampu menjadikan SI sebagai organisasi terbesar dengan jumlah anggota
hingga ke luar Jawa. Bahkan Abdoel Moeis dan H.Agoes Salim dari Minangkabau

37

turut serta dalam membesarkan Syarekat Islam.. Seperti kita ketahui Syarikat
Islam merupakan organisasi politik pertama yang memperjuangkan cita-cita
nasional melalui jalur-jalur perundingan.

Anda mungkin juga menyukai