Bab I-II
Bab I-II
BAB I
PENDAHULUAN
Melayu-Luar
Jawa
memiliki
corak
sintetis-sentrifugal.
Sintetisme dalam hal kepercayaan adalah meyakini bahwa Islam adalah satusatunya agama yang diakui dengan meninggalkan kepercayaan local yang dulu
dianutnya. Sementara Sentripetal Jawa terdapat pada pandangan hidup
Manunggaling Kawula Gusti bersatunya antara Diri dengan Tuhan yang
membentuk corak kepemimpinan yang cenderung totaliter dan absolut. Sementara
Sentrifugal Luar Jawa dapat dibuktikan dengan pandangan Raja adil raja
disembah, raja lalim raja disanggah hingga melahirkan corak kepemimpinan
yang cenderung egaliter dan demokratis.
Dari pemaparan Prof Muchtar Naim di atas setidaknya terdapat beberapa
hal yang perlu untuk dijadikan catatan. Pertama, Naim memiliki kesepahaman
bahwa Jawa merupakan bagian dari Melayu, namun keduanya dibedakan dengan
tegas dalam hal world view. Kedua, Islam merupakan pemisah antara corak
kebudayaan Melayu-Jawa dengan Melayu-Luar Jawa. Islam yang sesungguhnya
secara subyektif dilekatkan oleh Naim hanya kepada Melayu-Luar Jawa. Ketiga,
Melayu-Luar Jawa merupakan otokritik terhadap jalannya roda pemerintahan
modern Indonesia, dan seolah menjadi solusi atas persoalan yang terjadi pada
bangsa saat ini. Keempat, kajian yang dilakukan Naim dianggapnya sebagai
kajian Antropologis, namun dilakukan pada setting geografis dan subyek
penelitian yang tidak biasanya dilakukan oleh antropolog. Contohnya, field
research tidak dilakukan, jika dilakukan dengan baik maka terma Jawa dengan
kebudayaannya tidak dapat disama ratakan antara Jawa pesisir dengan Jawa di
lingkaran Keraton. Begitu juga dengan konteks kepemimpinan, Konsep Ratu Adil
misalnya, banyak ditemukan dan dipercayai sebagai konsep tandingan atas
kepemimpinan Raja Jawa.
konflik kekerasan pun menuntut munculnya daerah baru dengan tujuan agar putra
daerah dapat menduduki pemerintahan di daerah.
Penelitian
ini
berupaya
menggali
prinsip-prinsip
kepemimpinan
demokrasi
yang
seperti
apa
yang
cocok
di
Indonesia?
1.
10
11
Prasasti
Boom
Baru/Palembang,
Prasasti
Dharmamasray, Prasasti Karang Berahi, Prasasti Kedukan Bukit dan Prasasti Kota
Kapur. Selain itu penyebutan Melayu juga terdapat pada kitab Pararaton dan
Negarakertagama dari kerajaan Majapahit.
12
13
14
hikayat Raja-Raja Hitu, para raja di sana memiliki hubungan erat dengan Sunan
Giri. Selain itu, kekerabatan ulama-ulama di seluruh Nusantara baik di Jawa
maupun di luar Jawa sangat erat dan menuju pada satu pangkal Mekkah sebagai
pusat spiritual dan pendidikan Islam. Tidak dapat disangkal bahwa peran para
ulama-ulama tersebut sangat besar dalam menumbuhkan semangat nasionalisme
Indonesia. Terma Bilad Al Jawah menunjukkan parameter geografis mengenai
satu komunitas (ummah) Islam di seluruh Nusantara. Diskursus tersebut membuat
suatu chemistry tentang semangat kesamaan dan satu nasib yang dibungkus dalam
satu iman Islam bagi para ulama di seluruh Nusantara. Perang Padri, Perang Jawa,
Pembenerontakan Banten, Perang Aceh, merupakan bukti kongkrit tumbuhnya
rasa ketidakpuasan para ulama akibat penjajahan (Laffan, 2003).
Bukti lain, bahwa Islam mampu menumbuhkan semangat nasionalisme
dalam alam Melayu-Indonesia dapat dilihat dari cikal bakal Pers di Indonesia.
Pramodya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru mengungkapkan Medan
Prijaji adalah salah satu koran terawal dalam Bahasa Melayu yang dibuat oleh
R.M Tirto Adisurjo seorang prijaji anak bupati di Jawa. Ia juga menggunakan
Islam sebagai suatu ideology pemersatu sekaligus menumbuhkan semangat anti
kolonialisme dalam koran serta perhimpunan Syarekat Islam versinya.
Semangat Islam dalam mempersatukan etnis-etnis di Indonesia tampak
dari gerakan Syarekat Islam di bawah kepemimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Islam
mampu membawa semangat persatuan dan sangat populis. Ia mampu menjadikan
SI sebagai organisasi terbesar dengan jumlah anggota hingga ke luar Jawa.
Bahkan Abdoel Moeis dan H.Agoes Salim dari Minangkabau turut serta dalam
membesarkan Syarekat Islam.
Dari bukti-bukti tersebut, ditambah dengan fakta bahwa terma Melayu
adalah konstruksi dalam suatu komunitas yang imajiner, penelitian ini akan
melihat Melayu dengan tidak mengkotakkan antara Jawa dan Luar Jawa dalam
suatu kategori yang solid. Namun melihatnya sebagai satu kesatuan yang
membentuk suatu peradaban Melayu-Indonesia. Islam adalah faktor paling utama
15
dari pembentukan peradaban Melayu, maka melihat Islam haruslah dilihat dalam
bingkai Nusantara.
F. TINJAUAN PUSTAKA
Studi mengenai Melayu seringkali memisahkan antara Melayu Luar Jawa
dan Melayu-Jawa. Kedua etnis tersebut seolah dipisahkan dalam sebuah kotak
yang kongkrit. Kajian Benedict Ben Anderson (1990) yang berjudul Language
and Power: Exploring Political Culture in Indonesia menyebutkan bagaimana
budaya politik yang berkembang di Indonesia adalah kebudayaan politik Jawa.
Anderson melihat kepemimpinan Indonesia era Soekarno dan Soeharto sebagai
kepemimpinan yang mengambil pola kepemimpinan raja-raja Jawa yang
cenderung totaliter dan absolut. Pengaruh Islam dalam model kepemimpinan itu
sangat lemah dan lebih didominasi dari budaya yang singkretik, dan cenderung
melekat pada tradisi Hindu-Buddha pra Islam. Penelitian lainnya mengenai
kepemimpinan Indonesia adalah Ann Ruth Wilner dengan judul The
Neotraditional Accomodation to Political Independence: the Case of Indonesia
dan Allen Sievers yang berjudul menyebutkan bahwa model kepemimpinan
Indonesia cenderung bersifat Jawasentris. Menurutnya Republik Indonesia yang
baru didirikan adalah suatu warisan daripada kerajaan Mataram sebelum colonial.
Sebaliknya, kajian mengenai kepemimpinan budaya Melayu disematkan
dengan mengambil contoh pemerintahan Malaysia, seperti yang dilakukan oleh
Tony Shome Malay Political Leadership. Menurutnya kepemimpinan Malaysia
dan keberhasilannya terletak pada kemampuan seorang pemimpin yang progresif
dan inovatif dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan modernitas, sekaligus
masih mempertahankan nilai-nilai tradisionalitasnya. Kebudayaan Malaysia,
dengan nilai-nilai tradisionalitas, memiliki nilai-nilai islam yang memungkinkan
untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman.
Selain itu studi-studi kepemimpinan politik di Indonesia masih
didominasi oleh kajian-kajian berdasarkan biografi individu para pemimpin
bangsa, seperti kajian tokoh: Cokroaminoto (Arifin Melayu, 2000), Soekarno
16
(Dahm, 1966; Legge, 1972), Suharto (Elson, 2001, Feith, 1968), Habibie (Anwar,
2010), (Amir, 2007), Gus Dur (Barton, 2002) Megawati (Mietzner, 2012), dan
Susilo Bambang Yudhoyono (Liddle dan Mujani, 2005).
Kajian mengenai model kepemimpinan yang cukup brillian adalah kajian
Herbert Feith (1962) dalam menyorot model kepemimpinan Proklamator
Sukarno-Hatta. Ia merumuskan dua model kepemimpinan yaitu, kepemimpinan
administrator dan kepemimpinan pemersatu (solidarity maker). Kepemimpinan
administrator adalah kepemimpinan dengan kemampuan untuk mengelola
organisasi. Mengetahui permasalahan dan mampu untuk merumuskan cara
memecahkannya. Sementara kepemimpinan pemersatu, biasanya tidak dibekali
kemampuan manajerial yang baik. Namun dengan charisma yang dimilikinya, ia
mampu mempersatukan perbedaan-perbedaan dalam suatu organisasi.
Kajian-kajian kepemimpinan di Indonesia belum banyak melihat
mengenai akar-akar kepemimpinan politik bangsa ini dengan menggali nilai-nilai
tradisinya, dengan sudut pandang kebudayaan yang menyeluruh baik Jawa
maupun luar jawa. Selain itu kebanyakan kajian-kajian tentang biografi tokoh
sangatlah kontekstual, terkait dengan visi kepemimpinan yang dihubungkan
dengan konteks zamannya. Sementara penelitian ini nantinya, akan melihat secara
makro mengenai kepemimpinan politik melayu Indonesia dengan menggali tradisi
Melayu-Islam di Indonesia.
G. METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kualitatif. Maksudnya
penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan
masalah antara lain; (1) Bagaimana pengaruh Islam terhadap pembentukan
prinsip-prinsip tradisional tentang kepemimpinan politik Melayu-Indonesia?
Untuk menjawab rumusan masalah itu, penelitian ini menggunakan dua tahap
pengumpulan data. Data pertama adalah mencari konsep kepemimpinan politik
Melayu-Indonesia dengan menulusuri literature-literatur klasik Melayu seperti:
Babad Tanah Jawa dan Serat Makutharaja (Pulau Jawa), Hikayat Tanah Melayu,
17
18
H. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab pertama akan menguraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori serta metode yang
digunakan
Bab kedua akan membahas mengenai konstruksi identitas Melayu-Indonesia.
Bab ketiga, prinsip-prinsip dalam kepemimpinan politik Melayu-Indonesia dan
pengaruh Islam terhadap konsep tersebut.
Bab keempat akan membahas mengenai dinamika kepemimpinan politik MelayuIndonesia masa Pergerakan Nasional hingga Kemerdekaan.
Bab kelima berisi simpulan dan saran dari penelitian.
19
BAB II
KONSTRUKSI IDENTITAS MELAYU INDONESIA
A. ASAL-USUL MELAYU
Kajian mengenai Melayu masih tetap menarik untuk dipelajari. Karena,
identifikasi tentang ke-Melayuan masih dalam perdebatan dan kata yang masih
sukar dipahami. Kajian mengenai identifikasi melayu yang banyak dirujuk
biasanya menggunakan studi arkeologis-antropologis, yaitu mencari garis
keturunan asal bangsa Melayu. Contoh, kajian paling popular dari Hendrik Kern,
Heine-Geldern dan Belwood (dikutip dari Omardin, 2011) dengan teori yang
paling popular saat itu,
20
daripada
nenek
21
terjadi sekitar 6000 tahun silam pada masa Holocen Akhir. Sementara
perpindahan petani dari Taiwan ke Asia Tenggara terjadi sekitar tahun 2000
sebelum Masehi. Menurutnya para petani dari Taiwan tersebut mengusir
masyarakat pemburu-pemungut Australoid, hingga ke wilayah Pasifik. Bukti dari
teori ini adalah temuan temuan berupa serpihan tembikar (potsherd), tulang
anjing, alat batu, pisau mengetam (reaping knives), dan beras. Menurutnya barang
barang tersebut hanya terdapat di Taiwan dan Asia Tenggara. Selain itu, terdapat
persamaan perasamaan Bahasa antara penduduk di wilayah Nusantara dengan
penduduk dari Taiwan. Menurutnya Taiwan (kepulauan Formosa) merupakan
tanah asal nenek moyang rumpun penutur bahasa Austronesia, karena kesamaan
temuan barang-barang dan bahasa.
Selain kajian yang antropologis, kajian biologis dan geografis juga
membagi melayu dalam batas-batas geografis tertentu, seperti Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Jawa-madura, Nusa tenggara Barat, Malaysia, Thailand
Selatan, dan kepulauan Filipina yang termasuk ras Melayu, sedangkan ras
Austroloid di Nusa tenggara Timur, kepulauan Maluku, dan Papua tidak termasuk
ras Melayu.
Dari ketiga teori asal-usul bangsa Melayu di atas, setidaknya terdapat
beberapa catatan. Pertama, basis daripada teori-teori tersebut adalah bahwa asalusul selalu dilihat dari temuan yang paling tua antara artefak-artefak. Artefak atau
temuan tersebut memiliki kesamaan dengan artefak di tempat lainnya yang
umurnya lebih muda. Kedua, basis selanjutnya adalah kepadatan populasi pada
suatu wilayah yang sempit akan bermigrasi kepada wilayah yang lebih luas dan
sumber daya yang masih melimpah. Namun setidaknya terdapat beberapa kritik
atas teori di atas. Pertama, teori tersebut membentuk diskursus bahwa penduduk
di nusantara bukanlah penduduk asli dengan kebudayaannya sendiri. Kita
dianggap sebagai bangsa pendatang yang memiliki kebudayaan asli sendiri. Yang
menjadi pertanyaan tentunya, apakah tidak ada penduduk di Nusantara ini
sebelum kedatangan orang asing? Diskursus tersebut tidaklah memiliki makna
apapun untuk membangkitkan kebanggaan terhadap kebudayaan kita yang luhur,
22
namun justru seolah-olah kita merupakan bangsa yang berasal dari bangsa lain
yang sama sekali berbeda dengan kita sebagai penduduk nusantara. Kedua,
teori-teori tersebut tidak melihat proses suatu interaksi antar bangsa yang berbeda
pada masa pra historis, yang dalam antropologi dikenal sebagai difusi antar
kebudayaan.
Oleh sebab itu, sekiranya, sejarah melayu perlu disusun agar bertujuan,
tidak lain untuk selalu mengingat dan merefleksikan peradaban yang adiluhung
yang pernah dimiliki oleh bangsa ini. Untuk itu, kajian selanjutnya akan melihat
bagaimana terma melayu dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi suatu
identitas masyarakat di Nusantara. Kajian-kajian mengenai hal itu dengan
melihatnya dalam suatu sejarah yang berkesinambungan. Karena konstruksi suatu
identitas tidak berhenti pada suatu titik masa tertentu.
B. IDENTIFIKASI MELAYU
Identitas Melayu terbentuk secara berangsur-angsur melalui proses
identifikasi. Dapat dikatakan bahwa melayu sebagai identitas yang ditemukan
(invented). Sebagai penemuan, karena istilah Melayu bukanlah hal yang ada
secara kebetulan, melainkan melalui proses menjadi.
Penyebutan istilah Melayu melalui dua hal, yaitu identifikasi masyarakat pribumi
terhadap dirinya sendiri dan sebutan dari pelawat dari luar Nusantara..
1) Sebelum abad ke-7 Masehi, istilah Melayu sudah ada di pulau Sumatera.
Keberadaan ini dapat dilihat dari prasasti-prasasti seperti: Batu Tarsialah, Prasasti
Batupahat/Bandarbapahat,
Prasasti
Boom
Baru/Palembang,
Prasasti
Dharmamasray, Prasasti Karang Berahi, Prasasti Kedukan Bukit dan Prasasti Kota
Kapur. Selain itu, penyebutan istilah Melayu tidaklah merujuk pada suatu identitas
etnis tertentu. Melayu justru disebut dalam suatu legenda Malaka sebagai anak
sungai yang mengalir dari Bukit Siguntang ke Sungai Musi di Palembang. Meski
begitu, di masa ini justru istilah ini merujuk pada suatu sungai yang justru terletak
di Jambi, bukan di Palembang. Legenda lainnya, istilah ini merujuk kepada suatu
kata sifat yang melekat pada kelompok keluarga kerajaan yang berasal dari Bukit
23
Siguntang seperti Raja-raja Melayu dan Adat Melayu. (Reid, 2011: 82). Selain itu
penyebutan Melayu juga terdapat pada kitab Pararaton dan Negarakertagama dari
kerajaan Majapahit. Identifikasi yang muncul pada masa sebelum Islam, tidak
dapat disangkal, seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa istilah Melayu
merujuk pada tempat dan garis keturunan Sriwijaya bukan pada sekelompok etnis.
Ketika Islam mulai masuk ke Indonesia, dan menjadi suatu nafas spiritualitas baru
pada penduduk muslim terutama di sekitar Malaka, identifikasi terhadap Melayu
justru melekat pada suatu etnis. Di tahun 1511, di akhir masa kerajaan Malaka,
identifikasi ini muncul kepada segolongan masyarakat yang menyatakan diri loyal
terhadap Sultan, memeluk aliran Sunni,
2) Keberadaan Melayu diperoleh melalui catatan-catatan oleh orang luar. Pada
abad ke-2 Ptolemy mencatatkan nama Melayu Kulon di suatu daerah di
Nusantara. Penyebutan Melayu selanjutnya dilakukan oleh Itsing pada abad ke 6
Masehi. Ia menyebut Molo-Yui sebagai suatu daerah di Jambi. Sedang catatan
yang lain menyebutkan bahwa nama Molo-Yui telah berganti menjadi Srivijaya di
Palembang. Agaknya apa yang dicatat oleh Ptolemy empat abad sebelumnya
terletak di Palembang-Jambi, sama seperti apa yang dicatatkan oleh Itsing.
Catatan selanjutnya untuk nama-nama melayu antara lain, catatan Batu Bersurat
Chola tahun 1030 M menyebut nama Malayur. Namun pada catatan itu
membedakan antara Sriwijaya dengan Malaiyur. Catatan Edrisi (Pelawat Arab)
tahun 1030 M menyebutkan kepulauan Malai yang besar, selanjutnya MarcoPolo tahun 1292 menyebutkan nama Malayur pada catatannya.
C. KONSTRUKSI IDENTITAS MELAYU
Beberapa ahli berpendapat bahwa istilah Melayu diperoleh dengan dua
cara (Reid, 2006; Omar Din, 2011). Pertama, istilah tersebut merujuk pada
fenomena penggunaan Bahasa Melayu dari diaspora perdagangan dan difusi
tradisi-tradisi dari kerajaan Melaka ke seluruh daerah-daerah di Nusantara. Kedua,
Melayu merujuk pada klaim keturunan dari kerajaan Melaka-Sriwijya. Meski
begitu terdapat unsur yang masih belum dipertegas, yaitu factor Islam sebagai
24
25
26
27
28
tidak menggunakan bahasa Jawa melainkan Melayu. Hal itulah kenapa Hang Tuah
sebagai legenda Melayu meyebutnya sebagai Melayu Kacokan (Reid, 2011:86)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kata Melayu merujuk kepada
keturunan Sriwijaya dan Minangkabau. Klaim akan Melayu semakin
berkembang luas seiring dengan kajayaan dan charisma pemimpin atau raja-raja
keturunan Melayu, yang menjadi penguasa di Deli dan Langkat di Sumatera
Utara, hingga Pontianak dan Brunei di Pulau Kalimantan. Diaspora Melayu
semakin luas melalui perdagangan. Masyarakat pedagang dan maritime yang
menyaatakan diri loyal terhadap keturunan Melayu membawa kehidupan baru
di berbagai pelabuhan seperti Aceh, Patani, Palembang, Banten, Brunei, Makasar,
Banjarmasin, Kamboja, dan Siam. Identifikasi melayu semakin meluas,
disebabkan para pedagang tersebut mempraktekkan ajaran Islam dan berbahasa
Jawi atau Melayu.
3. Melalui jaringan spiritualitas keIslaman. Sangat sulit memisahkan antara Islam
dan Melayu. Keduanya membentuk satu identitas yang saling melengkapi. Islam
menjadi sangat penting dalam pembacaan sejarah Nusantara. (Mc Ricklefs) Islam
sendiri masuk dan berkembang di wilayah Nusantara sejak abad 12 Masehi.
Ricklefs mencatatkan beberapa temuan mengenai bukti-bukti Islam telah dipeluk
oleh orang-orang di Nusantara. Bukti paling tua adalah berupa makam, seperti
makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik pada tahun (1082) meskipun masih
diperdebatkan mengenai nama Fatimah itu merupakan penduduk Jawa atau dari
seorang pelawat Arab yang memakamkan anaknya. Sementara itu, di utara
Sumatera catatan Marcopolo menunjukkan bahwa Samudra Pasai merupakan
kerajaan Islam pertama, disertai bukti fisik berupa makam Sultan Malik Al Salih
(1297). Jejak Islam di Jawa berikutnya, justru terdapat di Tralaya dan Trowulan
tempat di mana ditemukannya situs dari Kerajaan Majapahit. Di sana ditemukan
makam-makam yang secara tahun, ditulis dalam tahun Saka, 1290 atau 1368-1369
Masehi. Makam-makam tersebut tertulis potongan ayat-ayat Al Quran. Darmais
sebagaimana dikutip oleh Ricklefs, meyakini bahwa yang dikuburkan di sana
adalah anggota dari kerajaan Majapahit. Jadi setidaknya dapat disimpulkan bahwa
29
Islam telah dipeluk oleh anggota kerajaan Majapahit pada masa kerajaan ini
mencapai masa kejayaannya. Kembali ke Sumatera, kerajaan Malaka ditemukan
dengan bukti makam Sultan ke-4 Sultan Mansyur Syah di tahun 822 H/1477 M.
Sementara Sultan pertama kerajaan Pahang, Sultan Muhammad Syah yang
bertulis tahun 880/1475 M. Di mana kedua makam itu dituliskan dalam bahasa
Melayu dengan menggunakan aksara Jawi.
Gambar II.1 Syahadat pada Nisan pada masa Majapahit di Tralaya
Sumber: 2.bp.blogspot.com/
Catatan mengenai Islam di luar Pulau Sumatera dan Jawa ditulis oleh
Tome Pires tahun 1511. Di Maluku (tanah dari rempah-rempah) dicatatkan bahwa
para pedagang muslim dari Sumatera dan Jawa banyak singgah di sana. Penguasa
beberapa kerajaan telah memeluk Islam. Kerajaan Ternate, Tidore dan Bacan
30
memiliki penguasa yang telah masuk Islam. Penguasa Kerajaan Tidore dan Bacan
menggunakan istilah Raja (India) namun Raja Tidore menggunakan istilah Sultan
seperti masa Islam. Dari fakta sejarah di atas, terlihat bawa sebenarnya, Islam
merupakan suatu kanopi spiritualitas yang mampu menyatukan perbedaan antar
etnis di kepulaian Nusantara.
Pengembangan Islam telah meluas hingga ke seluruh Nusantara. Islam
memiliki pegaruh besar dalam pembentukan kebudayaan Melayu-Nusantara
dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dari Kerajaan Pasai di
Aceh, Bugis di Makasar, Kutai di Kalimantan Timur, hingga Mataram Islam di
Jawa. Selanjutnya, konstruksi atas melayu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
ulama dan cendekiawan melalui penulisan kitab-kitab pada abad ke-17.
Kolonialisme Belanda dan Inggris berpengaruh terhadap pengkategorisasian
istilah Melayu terhadap warga pribumi. (Vickers, 2004).
Setelah masuknya Islam ke Nusantara, beberapa Kerajaan-kerajaan yang
sebelumnya memakai Srivijaya sebagai genealogi silsilah dan spiritual, berpindah
kepada sejarah, ajaran dan penguasa Islam di belahan dunia lainnya sebagai
genealogi spiritual untuk mengidealisasikan konsep kekuasaannya. Meski begitu,
sistem pemerintahan Kerajaan Melaka dan Melayu lainnya pun masih
mengidealisasikan konsep Bodhisattva dan Cakravartin khas pengaruh Budha
Mahayana Sriwijaya. Namun hal itu juga disebabkan adanya saling kemiripan
dengan ajaran Islam yaitu konsep Insanul Kamil, seperti yang tampak di Sejarah
Melayu dan Tajussalatin (Milner, 1985:26-27). Masuknya Islam memang
membawa suatu pandangan hidup baru yang membawa ajarannya hingga kepada
pola kenegaraan, ilmu pengetahuan, yang mana penyebarannya tidak lain dibawa
oleh alur perdagangan. Di masa Kerajaan Aceh (abad 16-17) khasanah sastra
Melayu yang berisi ilmu agama, mistik, dan adat istiadat bernuansa Islam mulai
bermunculan, bahkan pengaruhnya sampai ke Jawa pada abad 16-17. Sehingga
munculah sastra-sastra suluk yang sangat kental pengaruh ajaran Hamzah
Fanshuri. Pengaruh sufi mistik dari Hamzah Fansuri ini sangat kental dalam
ajaran-ajaran Sultan Agung. Hingga, akhirnya ikut perubahan dunia Islam di
31
Melayu pada masa Ratu Pakubuwana IV (abad 18) yang sangat kental dengan sufi
syariahnya.
Eratnya hingga sampai pada zaman kebangkitan tradisi Jawa kuno abad 19
yang saat itu diangkat oleh Javanologi berkolaborasi dengan sarjana-sarjana
Belanda, kembali menggali khasanah budaya Jawa kuno (Margono, 2004) yang
nantinya melahirkan polarisasi Jawa Islam dan kejawen (Ricklefs, 2006, 2007;
Budiyanto, 2004).
Keterpautan Islam dengan dunia Melayu secara geografis dan politis
adalah hal yang tak terelakkan sehingga jaringan keislaman Jawa memang terlebih
dahulu tergantung dengan dunia Melayu. Walaupun demikian dalam beberapa
derajat Islam degan tradisi Melayu Lama bisa dikatakan kini lebih banyak
ditemukan di Jawa, yang dikenal dengan dunia Pesantren dan Islam Jawa Keraton.
Ide pembaharuan itupun mula-mula diawali dengan datangnya ajaran sufi syariah
Naruddin Al Raniri yang mendasarkan ajaran sufinya pada fiqh yang ketat lewat
bukunya Siratal Mustaqim (1644) dan tentang hari kiamat di bukunya Akhirah Fi
Ahwatul Qiyamah (1642) di Aceh yang satu persatu mengikis habis apa yang
dianggap tidak sesuai dengan Islam di dunia Timur Tengah ala Arab saat itu.
Proses indentifikasi bangsa inipun semakin mengkristal dan pembedaan antara
Melayu dan Jawa semakin kentara di masa-masa kolonial hingga kini. Dunia
Islam di luar Jawa di masa ini tampak lebih murni daripada Islam di Jawa atau
lainnya. Meskipun demikian, pada pertengahan akhir abad ke 19 dengan
dibukanya terusan Suess, dan teknologi kapal uap, dan disokong oleh kebijakan
Belanda yang baru berkat nasihat Dr. Snouck Hurgonje tentang Islam, gelombang
baru Islam mulai menerobos ke Nusantara, dan Jawa khususnya, lewat para
jemaah haji yang dikenal sebagai orang-orang Jawi yang datang dari negeri di
bawah angin (Azra, 1994; Laffan, 2003).
D. MELAYU DAN JAWA: PEMISAHAN IDEOLOGIS KOLONIAL
Pandangan lain mengenai ke-Melayuan dapat dilihat secara geopolitik
atau identitas Melayu yang melekat dalam Negara. Melayu dapat dikenali sebagai
32
33
pembaharuan Islam di pesisir utara Jawa dan Sumatera di mulai (Ricklefs, 2006,
2007; Budiyanto, 2004).
Lian Kwen Fee dalam artikelnya The Construction of Malay Identity
across Nations: Malaysia, Singapore, and Indonesia (2003: 861-879) dengan
jelas melihat peran besar penguasa kolonial Inggris dan Belanda-
dalam
34
35
36
37
turut serta dalam membesarkan Syarekat Islam.. Seperti kita ketahui Syarikat
Islam merupakan organisasi politik pertama yang memperjuangkan cita-cita
nasional melalui jalur-jalur perundingan.