Anda di halaman 1dari 19

ACARA IV

EVALUASI KADAR PROTEIN TERLARUT PADA BAHAN PANGAN


A. Tujuan
Tujuan dari praktikum Acara IV Evaluasi Kadar Protein Terlarut
pada Bahan Pangan adalah sebagai berikut:
1. Menentukan persamaan kurva standar dari larutan protein BSA.
2. Menentukan

kadar

protein

terlarut

dari

bahan

pangan

dengan

menggunakan metode lowry.


B. Tinjauan Pustaka
Protein dalam bahan biologis biasanya hadir dalam bentuk asli
protein. Protein sering berikatan dengan protein lain membentuk senyawa
yang lebih kompleks. Pada banyak kasus, protein tidak mudah larut pada
bentuk aslinya setelah diisolasi dan harus didenaturasi untuk membantu
kelarutannya. Kelarutan protein merupakan proses pemecahan agregat
protein, termasuk ikatan disulfida, ikatan hidrogen, gaya van der waals,
interaksi ion dan hidrofobik. Apabila interaksi tersebut tidak dapat dicegah,
protein dapat menggumpal (Berkelman, 2004).
Bagian kedua terbesar penyusun serealia adalah protein. Protein
tanaman dibagi atas dua kelompok yaitu protein cadangan dalam biji dan
protein fungsional dalam bagian vegetatif dari tanaman. Protein cadangan
dapat dibagi dalam empat fraksi berdasarkan urutan pelarut yaitu albumin
(protein larut air), globulin (larut garam), prolamin (larut alkohol) dan
glutelin (larut asam dan basa). Pada serealia fraksi utama adalah prolamin dan
globulin,

sedangkan

pada

kacang-kacangan

adalah

globulin

(Muchtadi, 2010).
Menurut kelarutannya, protein globuler dibagi menjadi albumin,
globulin, glutelin, prolamin, histon dan protamin. Albumin merupakan protein
larut air yang terdapat pada telur, serum, dan laktalbumin dalam susu.
Globulin merupakan protein larut garam seperti legumin pada kacangkacangan. Glutelin merupakan protein larut asam dan basa seperti glutenin

dalam gandum dan orizenin dalam beras. Prolamin merupakan protein larut
alkohol seperti zein dalam jagung. Histon merupakan protein larut air dan
tidak larut dalam amonia encer seperti globin dalam hemoglobin. Dan
protamin merupakan protein larut air yang paling sederhana seperti salmin
dalam ikan salmon dan skombrin dalam ikan mackerel (Winarno, 2004).
Protein dalam bahan pangan dapat mengalami penurunan selama
proses pengolahan. Penggunaan media air, dapat menyebabkan penurunan
kandungan protein dan menurunkan daya larut. Pengolahan dengan panas
seperti penggorengan dan perebusan yang dilakukan berlebihan dapat
mengakibatkan berkurangnya protein karena terbentuknya ikatan silang
dalam protein (Astuti, 2014).
Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil
ekstraksi dari kedelai yang dibuat dengan menghaluskan kedelai yang sudah
direndam dengan air.

Susu kedelai mempunyai sifat fungsional karena

mengandung senyawa bioaktif yang dapat menjaga kesehatan dan


menurunkan resiko penyakit. Kedelai merupakan sumber komponen fenol
yang baik dengan aktivitas antioksidan, tinggi isoflavon dan fitoestrogen.
Pemanasan susu kedelai dapat merusak senyawa anti gizi pada susu kedelai
dan memperbaiki daya cerna protein susu kedelai (Jiang, 2013).
Tahu merupakan produk gel protein dengan komposisi yang homogen,
berwarna krem dengan rasa yang lembut dan diproduksi dengan cara
menggumpalkan protein pada susu kedelai yang dipanaskan. Tahu dibuat
dengan menggumpalkan susu kedelai menggunakan CaSO4 atau MgCl2. Tahu
mengandung 8% total protein, 4-5% lipid dan 2% karbohidrat (wb). Tahu
mempunyai kandungan nutrisi spesial karena mengandung 1% serat pangan,
tidak mengandung kolesterol dan tinggi akan vitamin serta mineral
(Stanojevi, 2010).
Tempe merupakan bahan makanan hasil fermentasi kacang kedelai
atau

jenis

kacang-kacangan

lainnya

menggunakan

jamur

Rhizopus

oligosporus dan Rhizopus oryzae. Tempe umumnya dibuat secara tradisional


dan merupakan sumber protein nabati. Di Indonesia pembuatan tempe sudah

menjadi industri rakyat. Tempe mengandung berbagai nutrisi yang diperlukan


oleh tubuh seperti protein, lemak, karbohidrat, dan mineral. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap,
dan dimanfaatkan tubuh. Hal ini dikarenakan kapang yang tumbuh pada
kedelai menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa
sederhana yang mudah dicerna oleh manusia (Dwinaningsih, 2010).
Tempe tidak dimakan mentah, tetapi sebelumnya direbus atau
digoreng kemudian dihidangkan dengan berbagai macam hidangan untuk
melengkapi nilai gizi. Dengan adanya aktivitas enzim protease yang
diproduksi oleh kapang selama fermentasi, meningkatkan kadar protein
terlarut pada tempe. Sehingga tempe lebih mudah dicerna dari pada kedelai
yang tidak difermentasi. Tempe juga mengandung vitamin B12 yang
diproduksi oleh kontaminan alami Klebsiella pneumoniae (Hambali, 2013).
Kandungan protein pada tempe meningkat selama proses fermentasi.
Sedangkan mineral dan gula pada kedelai mengalami penurunan. Masingmasing varietas kedelai akan memiliki kandungan protein yang berbeda dan
menghasilkan tempe dengan kandungan protein yang berbeda pula
(Bavia, 2012).
Metode Lowry merupakan pengembangan dari metode biuret. Reaksi
yang terlibat adalah kompleks Cu (II) protein akan terbentuk sebagaimana
metode biuret, yang dalam suasana alkalis Cu (II) akan tereduksi menjadi Cu
(I). Ion Cu+ kemudian akan mereduksi reagen Folin-Ciocalteu, kompleks
fosfomolibdat-fosfotungstat, menghasilkan hetero-polymolybdenum biru
akibat reaksi oksidasi gugus aromatik (rantai samping asam amino) terkatalis
Cu, yang memberikan warna biru intensif yang dapat dideteksi secara
kolorimetri. Kekuatan warna biru terutama bergantung pada kandungan
residu triptofan dan tirosinnya (Goretti, 2014).
Metode Lowry hanya dapat mengukur molekul peptida pendek dan
tidak dapat mengukur molekul peptida panjang. Prinsip kerja metode Lowry
adalah reduksi Cu2+ (reagen Lowry B) menjadi Cu+ oleh tirosin, triptofan, dan
sistein yang terdapat dalam protein. Ion Cu + bersama dengan fosfotungstat

dan fosfomolibdat (reagen Lowry A) membentuk warna biru, sehingga dapat


menyerap cahaya (Purwoko, 2007).
Meskipun metode lowry dalam penentuan kadar protein sudah teruji
dari waktu ke waktu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Karena
metode ini bergantung pada adanya kesiapan asam amino yang mudah
teroksidasi seperti tirosin, sistein dan triptofan yang mempunyai respon
bervariasi dari protein dengan kandungan asam amino yang berbeda. Maka
dari itu disarankan protein yang digunakan untuk membuat kurva standar
konsisten dari berbagai eksperimen (Biotek, 2006).
Metode lowry sensitif terhadap konsentrasi protein yang rendah.
Range konsentrasi protein yang dapat diuji berkisar antara 0,005-2 mg/ml
protein. Bermacam-macam senyawa dapat mengganggu dalam pengujian
dengan metode lowry. Senyawa tersebut diantaranya asam amino turunan,
buffer, lipid, gula, garam, asam nukleat, reagen sulfihidril, ion amonium dan
thiol. Senyawa-senyawa tersebut perlu dihilangkan sebelum pengujian
(BT, 2013).
C. Metodologi
1. Alat
a.Tabung reaksi
b.

Pipet volume dan propipet

c.Erlenmeyer
d.

Vortex

e.Kertas saring
f. Corong
g.

Spektrofotometer

h.

Neraca Analitik

i. Labu Takar 100 ml


j. Pengaduk
2. Bahan
a. Sari Kedelai
b. Tempe Mentah

c. Tahu Mentah
d. Tempe Goreng
e. Tahu Goreng
f. Aquadest
g. Larutan BSA 4,4mg/5ml
h. Reagen Lowry A
i. Reagen Lowry B
j. Amonium Sulfat Kristal

3. Cara Kerja (flow chart)


a. Persiapan Kurva Standar Larutan Protein
Penentuan absorbansi pada =600 nm dengan spektrofotometer

Pembuatan kurva standar yang menunjukkan hubungan antara absorbansi (y) dan konsentrasi protein (x)

Penentuan persamaan kurva standar

Penggojogan dengan vortex selama 1 menit

Pendiaman selama 20 menit

Gambar 4.1 Diagram Alir Persiapan Kurva Standar Larutan Protein

b. Penentuan Kadar Protein Terlarut


10 g tempe goreng yang
sudah dihancurkan
Pemasukkan ke dalam labu takar 100ml

Aquades
Amonium sulfat kristal

Penambahan sampai tanda tera

Penambahan sampai larutan protein mengendap


Penyaringan menggunakan kertas saring

1 ml larutan protein
Pengambilan
Pemasukkan ke dalam tabung reaksi

Penambahan
8 ml Reagen Lowry B

Penggojogan dengan vortex selama 1 menit

Pendiaman selama 10 menit


1 ml Reagen Lowry A

Penambahan

Penggojogan dengan vortex selama 1 menit

Pendiaman selama 20 menit

Penentuan absorbansi pada =600 nm dengan


spektrofotometer

Penentuan kadar protein terlarut dengan


menggunakan persamaan regresi kurva standar

Gambar 4.2 Diagram Alir Penentuan Kadar Protein Terlarut

D. Hasil dan Pembahasan


Tabel 4.1 Kurva Standar Protein
Larutan Protein BSA
(ml)
0
0,2
0,4
0,6
0,8

Konsentrasi Protein
(mg/ml)(x)
0
0,176
0,352
0,528
0,704

Absorbansi
()(y)
0,060
0,315
0,524
0,735
0,876

Sumber: Laporan Sementara

Pada praktikum penentuan kadar protein terlarut pertama-tama kita


membuat

kurva

standar.

Kurva

standar

merupakan

kurva

yang

memperlihatkan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi. Sehingga


dengan adanya kurva standar, kita dapat mengetahui hubungan antara
absorbansi sampel dengan konsentrasi protein di dalam sampel. Larutan
standar yang digunakan adalah Bovine Serum Albumin (BSA) karena dapat
larut dalam pelarut air. Larutan BSA yang digunakan sebanyak 4,4 mg / 5 ml.
Larutan standar dibuat dengan dengan memasukkan BSA dalam 5 tabung
reaksi yang masing-masing berisi 0; 0,2; 0,4; 0,6 dan 0,8 kemudian
ditambahkan aquades sampai volume 1 ml. Kemudian ditambahkan 8 ml
reagen lowry B yang terdiri dari campuran 100 ml larutan 2% Na 2CO3 dalan
NaOH 1N dengan 1 ml CuSO4.5H2O 1% dan 1 ml Na-K-tartrat 2% dan
dibiarkan 10 menit. Lalu ditambahkan 1 ml reagen lowry A, dihomogenkan
dengan vortex dan dibiarkan 20 menit. Selanjutnya dimasukkan dalam
spektrofotometer, ditera dengan panjang gelombang 600 nm hingga dapat
terbaca absorbansinya. Kemudian dibuat kurva standar yang menunjukkan
hubungan antara absorbansi (y) dan konsentrasi protein (x) serta ditentukan
persamaan kurva standarnya.
Dari hasil pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometer,
didapatkan absorbansi larutan standar mulai dari konsentrasi 0; 0,2 ; 0,4 ; 0,6
dan 0,8 ml larutan standar adalah 0,060 , 0,315 , 0,524 , 0,735 dan
0,876 . Sehingga didapatkan konsentrasi protein (mg/ml) dari masingmasing konsentrasi larutan berturut-turut 0; 0,176; 0,352; 0,528; dan 0,704.

Kemudian dibuat kurva standar hubungan antara absorbansi dengan


konsentrasi.

Gambar 4.3 Kurva Hubungan Antara Konsentrasi Protein BSA (mg/ml) dengan
Absorbansi ()

Pada Gambar 4.3 dapat dilihat hubungan antara konsentrasi protein


dengan absorbansi. Kurva hubungan antara konsentrasi protein BSA (mg/ml)
dengan absorbansi () menunjukkan bahwa konsentrasi protein berbanding
lurus dengan absorbansi. Semakin besar konsentrasi protein maka absorbansi
juga semakin besar. Berdasarkan kurva hubungan antara konsentrasi protein
BSA (mg/ml) dengan absorbansi () juga dapat dilihat bahwa persamaan
kurva standar yang didapat adalah persamaan linier. Dari grafik kurva standar
diperoleh persamaan kurva standar protein yaitu y = 1,1659x + 0,0916.
Persamaan kurva standar ini kemudian digunakan untuk menghitung kadar
protein terlarut (%) dari masing-masing sampel.
Tabel 4.2 Hasil Analisis Kadar Protein Terlarut
Sampel

FP

Sari Kedelai

10

Tahu

100

Tempe

100

Tahu Goreng

100

Tempe Goreng

100

Absorbansi
()
0,333
0,238
0,209
0,221
0,557
0,734
0,732
0,676
0,421
0,435

Kadar Protein Terlarut


(%)
0,021
0,013
0,101
0,111
0,399
0,551
0,549
0,501
0,283
0,295

Sumber: Laporan Sementara

Dalam menentukan kadar protein terlarut dari masing-masing sampel,


pertama-tama sampel dihancurkan, ditimbang 10 g dan dimasukkan ke dalam
labu takar 100 ml. Kemudian ditambahkan aquades hingga tanda tera dan
digojog. Selanjutnya ditambahkan amonium sulfat kristal hingga larutan
mengendap dan disaring dengan kertas saring. Lalu diambil 1 ml larutan
protein dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Ditambahkan 8 ml reagen
lowry B, dihomogenkan dengan vortex selama 1 menit dan didiamkan selama
10 menit. Setelah itu ditambahkan 1 ml reagen lowry A. dihomogenkan
dengan vortex selama 1 menit dan didiamkan selam 20 menit. Ditentukan
absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600nm dan
ditentukan kadar protein terlarutnya dengan persamaan regresi kurva standar.
Dari Tabel 4.2 didapatkan kadar protein terlarut sampel sari kedelai
dengan absorbansi 0,333 () sebesar 0,021% dan absorbansi 0,238 ()
sebesar 0,013%. Untuk sampel tahu dengan absorbansi 0209 () sebesar
0,101% dan absorbansi 0,221 () sebesar 0,111%. Untuk sampel tempe
dengan absorbansi 0,557 () sebesar 0,399% dan absorbansi 0,734 ()
sebesar 0,551%. Untuk sampel tahu goreng dengan absorbansi 0,732 ()
sebesar 0,549% dan absorbansi 0,676 () sebesar 0,501%. Untuk sampel
tempe goreng dengan absorbansi 0,421 () sebesar 0,283% dan absorbansi
0,435 () sebesar 0,295%.
Berdasarkan Tabel 4.2 didapatkan rata-rata kadar protein terlarut dari
sampel sari kedelai sebesar 0,017%, sampel tahu sebesar 0,106%, sampel
tempe sebesar 0,475%, sampel tahu goreng sebesar 0,525% dan sampel tempe
goreng sebesar 0,289%. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa kadar protein
terlarut pada sari kedelai paling rendah diantara semua sampel. Hasil ini
sudah sesuai teori. Kandungan protein pada kedelai lebih rendah dari tempe.
Hal ini dikarenakan tempe dan tahu sudah mengalami fermentasi sehingga
sebagian besar proteinnya sudah diubah menjadi asam amino yang lebih
sederhana. Karena enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe,
maka protein pada tempe lebih mudah dicerna dibanding protein pada kedelai

(Dwinaningsih, 2010). Kadar protein terlarut tempe mentah (0,475%) lebih


tinggi dari pada tempe matang (0,289%). Hasil ini juga sesuai teori. Tempe
matang yang dikenai perlakuan panas akan mengalami penurunan kadar
protein karena terbentuknya ikatan silang dalam protein (Astuti, 2014). Kadar
protein terlarut tahu mentah (0,106%) lebih rendah dari pada tahu matang
(0,525%). Hal ini sesuai dengan teori. Menurut Wang (1984), tahu memiliki
kadar air yang cukup tinggi. Air itu akan menguap ketika digoreng, sehingga
berat total tahu akan menurun dan kadar protein terlarutnya otomatis
meningkat.
Dari hasil praktikum didapatkan kadar protein terlarut pada sari
kedelai sebesar 0,017%, sampel tahu sebesar 0,106%, sampel tempe sebesar
0,475%, sampel tahu goreng sebesar 0,525% dan sampel tempe goreng
sebesar 0,289%. Menurut Nisa (2007), kadar protein terlarut dalam susu
kedelai sebesar 11,18%. Menurut Wijaya (2013), kadar potein terlarut pada
tempe sebesar 10,32%. Dan menurut Harmayani (2009), kadar protein terlarut
pada tahu sebesar 0,19%. Hasil praktikum tidak sesuai dengan teori. Hal ini
mungkin dikarenakan terjadinya penyimpangan selama praktikum.
Metode lowry sensitif terhadap konsentrasi protein yang rendah.
Range konsentrasi protein yang dapat diuji berkisar antara 0,005-2 mg/ml
protein. Bermacam-macam senyawa dapat mengganggu dalam pengujian
dengan metode lowry. Senyawa tersebut diantaranya asam amino turunan,
buffer, lipid, gula, garam, asam nukleat, reagen sulfihidril, ion amonium dan
thiol. Senyawa-senyawa tersebut perlu dihilangkan sebelum pengujian
(BT, 2013).
Protein terlarut merupakan oligopeptida dan mudah diserap oleh
sistem pencernaan (Purwoko, 2007). Contoh dari protein terlarut diantaranya
albumin dalam telur, albumin dalam serum dan laktalbumin serta kasein
dalam susu. Kemudian legumin dalam kacang-kacangan, glutenin dalam
gandum, orizenin dalam beras, salmin dalam ikan salmon dan skombrin pada
ikan mackerel (Winarno, 2004).

Metode Lowry hanya dapat mengukur molekul peptida pendek dan


tidak dapat mengukur molekul peptida panjang. Prinsip kerja metode Lowry
adalah reduksi Cu2+ (reagen Lowry B) menjadi Cu+ oleh tirosin, triptofan, dan
sistein yang terdapat dalam protein. Ion Cu + bersama dengan fosfotungstat
dan fosfomolibdat (reagen Lowry A) membentuk warna biru, sehingga dapat
menyerap cahaya (Purwoko, 2007).
Pada penentuan kurva standar digunakan reagen lowry A, lowry B dan
amonium sulfat kristal. Reagen lowry A akan bereaksi dengan protein
membentuk warna biru. Reagen lowry B akan bereaksi dengan ikatan peptida
membentuk tembaga monovalen (Cu+). Sedangkan amonium sulfat kristal
berfungsi mengendapkan larutan protein (Dewi, 2013).
Protein terlarut dipengaruhi beberapa faktor, seperti faktor lingkungan,
terutama pH dan suhu. Semakin besar suhu maka kemampuan senyawa untuk
larut akan semakin tinggi. Derajat keasaman (pH) larutan mempengaruhi sifat
dan distribusi muatan total protein. Secara umum, protein lebih larut dalam
pH rendah (asam) atau tinggi (alkali) (Fox, 1989).
Pada penentuan kadar protein terlarut dengan metode lowry terdapat
dua reaksi yang berbeda. Reaksi pertama yaitu reaksi terbentuknya tembaga
monovalen (Cu+) ketika larutan protein ditambahkan dengan reagen lowry B
yang berisi Na2CO3 dalam NaOH dan kupri sulfat. Dalam keadaan basa yang
dibentuk oleh Na2CO3 dalam NaOH, ion tembaga divalen (Cu2+) membentuk
suatu kompleks dengan ikatan peptida yang mereduksi Cu 2+ menjadi tembaga
monovalen (Cu+). Reaksi kedua adalah reaksi reduksi dari reagen lowry A
(fosfotungstat dan fosfomolibdat). Ion Cu+ dan gugus radikal dari tirosin dan
triftopan bereaksi dengan reagen lowry A untuk menghasilkan suatu produk
yang tidak stabil yang mereduksi molibdenum sehingga terbentuk warna biru
(Dewi, 2013).

E. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum Acara IV Evaluasi Kadar Protein Terlarut
pada Bahan Pangan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Persamaan kurva standar larutan protein BSA merupakan persamaan linier
dengan persamaan y = 1,1659x + 0,0916.
2. Kadar protein terlarut dari sampel sari kedelai sebesar 0,017%, sampel
tahu sebesar 0,106%, sampel tempe sebesar 0,475%, sampel tahu goreng
sebesar 0,525% dan sampel tempe goreng sebesar 0,289%.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Rahayu, Siti Aminah, Agustin Syamsianah. 2014. Komposisi Zat Gizi
Tempe yang Difortifikasi Zat Besi dan Vitamin A pada Tempe Mentah dan
Matang. Jurnal Agritech Vol. 34(2).
Bavia, Ana Carla Furlan, Carlos Eduardo da Silva, Mrcia Pires Ferrereira,
Rodrigo Santos Leite, Jos Marcos Gontijo Mandarino and Mercedes
Concrdia Carro-Panizzi. 2012. Chemical composition of tempeh from
soybean cultivars specially developed for human consumption. Cinc.
Tecnol. Aliment. Campinas Vol. 32(3): 613-620.
Berkelman, Tom, Mary Grace Brubacher, and Haiyin Chang.2004. Important
Factors Influencing Protein Solubility for 2-D Electrophoresis. Bio-Rad
Laboratories, Inc. USA.
BioTek. 2006. Determination of Total Protein by the Lowry Method Using the
BioTek Instruments ELx808 Microplate Reader. BioTek Instruments, Inc.
USA
BT. 2013. Estimation of Protein By Lowrys Method. Bioseparation Technology
Laboratory. Department of Biotechnology. SRM University.
Dewi, Nia Yuliani. 2013. Penetapan Kadar dan Analisis Profil Protein dan Asam
Amino Ekstrak Ampas Biji Jinten Hitam (Nigella sativa Linn.) dengan
Metode SDS-PAGE dan KCKT. Jurnal Ilmiah Sains dan Teknologi. Vol 5
(1):111-119.
Dwinaningsih, Erna Ayu. 2010. Karakteristik Kimia dan Sensori Tempe dengan
Variasi Bahan Baku Kedelai/Beras dan Penambahan Angkak serta Variasi
Lama Fermentasi. Jurnal Pangan dan Nutrisi.
Goretti, Maria dan M. Purwanto. 2014. Perbandingan Analisa Kadar Protein
Terlarut dengan Berbagai Metode Spektroskopi UV-Visible. Jurnal Ilmiah
Sains dan Teknologi. Vol 7 (2):1-71.
Hambali, Mia Sutranina. 2013. Tempe: A Gift from Indonesia to the World.
Journal of Nutrition Vol.8(8).

Harmayani, Eni, Endang S. Rahayu, Titiek F. Djaafar, Citra Argaka Sari dan Tri
Marwati. 2009. Pemanfaatan Kultur Pediococcus acidilactiti F-11
Penghasil Bakteriosin sebagai Penggumpal pada Pembuatan Tahu. Jurnal
Pascapanen Vo.6(1): 10-20.
Jiang, Susu, Weixi Cai and Baojun Xu. 2013. Food Quality Improvement of Soy
Milk Made from Short-Time Germinated Soybeans. Foods Journal Vol.2:
198-212.
Muhctadi, Tien R, Sugiyono dan Fitriyono Ayustaningwarno. 2010. Ilmu
Pengetahuan Bahan Pangan. Alfabeta. Bandung.
Nisa, Fatma Zahrotun, Y. Marsono dan Eni Harmayani. 2007. Efek
Hipokolesterolemik Susu Kedelai Fermentasi Steril secara In Vitro. Berita
Kedokteran Masyarakat Vol.23(2): 47-51.
Purwoko, Tjahjadi dan Noor Soesanti Handajani. 2007. Kandungan Protein
Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus
oryzae dan R. Oligosporus. Jurnal Biodiversitas Volume 8(2): 223-227.
Stanojevi, Sladjana P., Miroljub B. Bara, Mirjana B. Pesi, Mirjana M.
Milovanovi and Biljana V. Vuceli-Radovi. 2010. Protein Composition
in Tofu of Corrected Quality. APTEFF Vol. 41(1): 77-86.
Wang, Hwa L. 1984. Tofu and Tempeh as Potential Protein Sources in the Western
Diet. JAOCS Vol.61(3): 528-534.
Wijaya, Agustina Intan Pramitasari. 2013. Kadar Protein dan Organoleptik pada
Berbagai Macam Tempe dengan Variasi Bahan dari Koro Pedang
(Canavalia ensiformis L.DC) dan Kedelai (Glycine max (L) Merr). Jurnal
Ilmiah Sains dan Matematika.
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.

Lampiran
A. Perhitungan
1. Konsentrasi Protein
Konsentrasi Protein (x): M1 x V1 = M2 x V2
a.

(4,4/5) x 0

M1 x V1

= M2 x V2

= M2 x 1

M2
b.

(4,4/5) x 0,2

=0
M1 x V1
= M2 x 1

M2

= 0,176

c.

M1 x V1

(4,4/5) x 0,4

= 0,352

d.

M1 x V1

= 0,528

e.

M1 x V1

M2

= M2 x V2

= M2 x 1

M2

(4,4/5) x 0,8

= M2 x V2

= M2 x 1

M2

(4,4/5) x 0,6

= M2 x V2

= M2 x 1
= 0,704

= M2 x V2

2. Kadar Protein Terlarut


Pers. Regresi: y = 1,1659x + 0,0916
0,421 = 1,1659x + 0,0916

x = 0,2825

= 0,283%
B. Dokumentasi

Gambar 4.2 Pemasukkan sampel ke


dalam labu takar 100 ml

Gambar 4.3 Penyaringan


sampel

Gambar 4.2 Penambahan Reagen


Lowry A

Gambar 4.3 Perubahan warna

larutan setelah penambahan


Lowry A

DRAFT 2 ACARA IV
EVALUASI KADAR PROTEIN TERLARUT DALAM
BAHAN PANGAN

KELOMPOK 9
Assifa Rahma K.
Ines Putri L.
Mila Afiani
Nur Saidah
Candra Windu K.
Diyah Kartika D.

(H0913016)
(H0913040)
(H0913057)
(H0913073)
(H1915024)
(H1915008)

Kelas A
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016

Anda mungkin juga menyukai