Anda di halaman 1dari 8

Efektivitas Asam Glutamat Sebagai Inhibitor Korosi pada Baja Karbon

dalam Larutan NaCl 1%

2)

3)

Ni Ketut Ketis1), Deana Wahyuningrum2), Sadijah Achmad2) dan Bunbun Bundjali3)


1)
Guru Kimia, SMA Negeri 3 Palu, Palu

Kelompok Keilmuan Kimia Organik, Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Teknologi Bandung, Bandung

Kelompok Keilmuan Kimia Anorganik dan Fisik, Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung, Bandung
e-mail: deana@chem.itb.ac.id
Diterima 13 Juli 2009, disetujui untuk dipublikasikan 23 Maret 2010

Abstrak
Korosi pada permukaan bagian dalam pipa merupakan masalah pelik dalam pertambangan minyak dan gas bumi.
Salah satu solusinya adalah penggunaan inhibitor korosi organik. Asam amino dan turunannya berpotensi sebagai
inhibitor korosi, diantaranya yang dipelajari dalam studi ini adalah asam glutamat. Efektivitas asam glutamat
sebagai inhibitor korosi pada baja karbon dalam larutan NaCl 1% (w/v) jenuh CO2 telah ditentukan menggunakan
metode Tafel dengan optimasi konsentrasi asam glutamat, pH, dan suhu media uji. Asam glutamat memberikan
efisiensi inhibisi korosi paling baik pada suhu kamar (26oC) dengan konsentrasi 8 ppm dalam larutan NaCl 1% da
pH media uji 6,5, yaitu 48,19%. Adanya larutan buffer asetat dalam media uji dan pada kondisi di atas suhu kamar
menyebabkan asam glutamat 8 ppm menjadi tidak efektif lagi digunakan sebagai inhibitor korosi.
Kata kunci: Inhibitor korosi, Baja karbon, Asam glutamat, Metode tafel
Abstract
Corrosion towards the inner parts of oilfield pipelines is one of most disturbing problems in oil and gas industries.
Amino acid and its derivatives have potent as corrosion inhibitor, including glutamic acid, which has been studied
within this research project. The effectivity of glutamic acid as corrosion inhibitor towards carbon steel in 1% (w/v)
NaCl solution saturated by CO2 has been determined utilizing Tafel method with the optimization of glutamic acid
concentration, pH, and temperature of tested medium. Glutamic acid showed the highest corrosion inhibition
efficiency at room temperature (26oC), which is 48.19% at the concentration of 8 ppm in 1% NaCl solution and pH
6.5. The presence of acetate buffer solution in the medium that was being tested and at the temperature higher than
room temperature has caused glutamic acid at the concentration of 8 ppm became ineffective to be applied as
corrosion inhibitor.
Keywords: Corrosion inhibitor, Carbon steel, Glutamic acid, Tafel method
organik. Inhibitor anorganik memiliki inhibisi yang
baik terhadap laju korosi namun menimbulkan
masalah bagi lingkungan bila terakumulasi, sehingga
penggunaan inhibitor organik menjadi pilihan
alternatif karena lebih ramah lingkungan (Bentiss
dkk., 2004; Lopez dkk., 2004). Senyawa organik
yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,
oksigen, sulfur, fosfor, ikatan rangkap atau cincin
aromatik pada molekulnya dapat digunakan sebagai
inhibitor korosi, karena dapat teradsorpsi dengan baik
pada permukaan logam. Senyawa organik yang
mengandung gugus amina dan karboksilat seperti
asam amino juga dapat digunakan sebagai inhibitor
korosi (Srhiri dkk., 1996; Heeg dkk., 1998;
Rajendran dkk., 2001; Stupnisek-Lisac dkk., 2002).
Hal ini disebabkan oleh adanya gugus amina, gugus
karboksilat, dan gugus samping yang mengandung
gugus fungsi belerang, senyawa aromatik dan
heterosiklik nitrogen, yang berpotensi untuk dapat
berinteraksi dengan permukaan logam dan
membentuk lapisan pelindung terhadap lingkungan

Pendahuluan
Korosi merupakan masalah rumit dalam
pertambangan minyak dan gas bumi. Selain
mengandung air, minyak mentah dan gas alam juga
dapat mengandung CO2, asam organik, misalnya
asam asetat, serta senyawa sulfida dan garam-garam
klorida yang bersifat korosif terhadap bagian dalam
pipa baja pengalirnya (Hong and Jepson 2001; Cruz
dkk., 2005). Korosi baja karbon bergantung pada
komposisi anion-anion dalam larutan elektrolit.
Dalam larutan yang mengandung ion Cl (klorida)
dan CO2 terlarut, perilaku korosi baja karbon
dipengaruhi oleh pH, konsentrasi ion dan suhu yang
dapat mempengaruhi potensial korosi (Jones 1992;
Kuznetsov 2002; Perez 2004). Korosi pada
permukaan luar pipa dapat dihambat dengan
pengecatan dan perlindungan katoda, tetapi korosi
pada permukaan bagian dalam pipa hanya dapat
dilakukan menggunakan inhibitor korosi. Ada dua
macam inhibitor korosi, yaitu inhibitor anorganik dan

Ketis, dkk., Efektivitas Asam Glutamat Sebagai Inhibitor Korosi pada Baja Karbon dalam Larutan NaCl 1%
yang korosif. Dengan adanya gugus-gugus tersebut
maka dapat diasumsikan senyawa asam amino dan
turunannya merupakan kandidat yang potensial
sebagai inhibitor korosi. Beberapa penelitian telah
melibatkan beberapa asam amino sebagai inhibitor
korosi, diantaranya adalah asam amino histidin
(Wahyuningrum, 2004, 2006; Mateo dkk., 2003),
sistein (Brolo dkk., 2002; Matos, 2004), dan triptofan
(El-Shafei dkk., 2004). Asam amino lain dan
turunannya yang sudah diteliti memberikan efisiensi
inhibisi (EI) yang baik tetapi secara ekonomi masih
belum menguntungkan (Rajendran dkk., 2001;
Stupnisek-Lisac dkk., 2002). Asam glutamat adalah
asam amino yang memiliki dua gugus karboksilat dan
satu gugus amina yang diharapkan dapat
menginhibisi korosi dengan cara teradsorpsi pada
permukaan baja karbon. Asam glutamat merupakan
senyawa antara dalam pembuatan mono sodium
glutamat (MSG) yang relatif murah di pasaran,
sehingga apabila asam glutamat terbukti berpotensi
sebagai inhibitor korosi, maka secara otomatis asam
glutamat menjadi suatu kandidat inhibitor korosi
yang secara ekonomi relatif murah dan meningkatkan
nilai ekonomis pada produksi MSG secara umum.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
efektivitas asam glutamat sebagai inhibitor korosi
pada baja karbon dalam larutan NaCl 1% jenuh CO2,
dengan optimasi konsentrasi asam glutamat, pH dan
suhu media uji dengan menggunakan metode Tafel.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu
memperkaya khazanah keilmuan mengenai inhibitor
korosi organik, khususnya untuk menghambat
peristiwa korosi pada baja karbon yang biasa
digunakan pada pipa pertambangan minyak dan gas
bumi.
2. Metodologi
Pengukuran laju korosi menggunakan alat
Voltalab potensiostat PGZ 301 dengan metode
Tafel. Secara umum prosedur pengukuran korosi
baja karbon dalam larutan uji, baik tanpa inhibitor
(blanko) maupun dengan inhibitor sebagai berikut: ke
dalam sel elektrokimia yang dilengkapi pengaduk
magnet dituangkan 100 mL larutan uji, lalu ketiga
elektroda dipasang. Ketiga elektroda tersebut adalah
elektroda kerja (baja karbon), elektroda bantu
(platina) dan elektroda pembanding (elektroda
kalomel jenuh, SCE). Elektroda kerja (baja karbon)
yang telah dipoles basah dengan ampelas silikon
karbida (SiC) 1000 grit hingga halus dan rata
kemudian dicuci dengan aquadest, disemprot dengan
gas nitrogen dan dicuci dengan aseton. Selanjutnya
ketiga elektroda dihubungkan dengan potensiostat
PGZ 301, pengaduk magnet dijalankan, gas CO2
dialirkan secara bubbling selama 20 menit untuk
mendesak gas oksigen keluar dari sistem, dan setelah
20 menit potensiostat dijalankan. Pasangan elektroda
kerja dan elektroda pembanding mengukur potensial
sel, pada saat bersamaan pasangan elektroda kerja
dan elektroda bantu mengukur arus korosi. Data yang

dihasilkan dari pengukuran setelah 15 menit


potensiostat dijalankan dan diproses oleh komputer
menggunakan program Voltamaster. Dengan
menggunakan metode ini data yang langsung
diperoleh adalah nilai potensial korosi, Ekor, tahanan
polarisasi, Rp, tetapan Tafel anoda, a, tetapan Tafel
katoda, k, nilai kerapatan arus korosi, ikor (A/cm2),
dan laju korosi, vkor (m/thn).
Penggambaran
polarisasi Tafel dapat dipelajari dari kurva polarisasi
ekstrapolasi Tafel yang dikemukakan oleh Evans dan
Stern dalam bentuk diagram Evans dan Stern seperti
pada Gambar 1 berikut (Perez, 2004).

Gambar 1. Kurva ekstrapolasi polarisasi Tafel


(modifikasi dari Perez, 2004).
Gambar 1 menunjukkan polarisasi Tafel
dengan Eo,H dan Eo,M adalah potensial sirkuit terbuka
untuk hidrogen dan logam M, io,H dan io,M merupakan
perubahan kerapatan arus untuk hidrogen dan logam
M, dan iL adalah limit kerapatan arus. Di sisi lain,
Gambar 1 menunjukkan kebolehjadian elektrokimia
yang didominasi oleh daerah katoda dan daerah
anoda. Kurva tegas putus-putus yang digambarkan
dipengaruhi oleh kemurnian logam dan paduan
logam dimana Ecorr (atau Ekor) adalah potensial korosi
dan icorr (atau ikor) adalah kerapatan arus korosi.
Kedua kurva polarisasi menghasilkan bagian linier
yang disebut sebagai garis Tafel. Garis Tafel ini
digunakan untuk menentukan kemiringan/tetapan
Tafel anoda (a) dan kemiringan/tetapan Tafel katoda
(c). Kurva ekstrapolasi akan berpotongan dan
membentuk garis lurus yang menunjukkan telah
dicapai harga Ekor x ikor (Perez, 2004).
Efisiensi inhibisi korosi ditentukan dengan
membandingkan selisih kerapatan arus korosi logam
dalam larutan blanko dan sampel terhadap kerapatan
arus korosi logam dalam larutan blanko
menggunakan Persamaan (2-1). Efisiensi inhibitor
dapat diungkapkan sebagai suatu ukuran untuk
menunjukkan penurunan laju korosi sebagai berikut
(Kuznetsov, 2002):
Efisiensi Inhibisi (% EI) = 100 x

(ikor blanko - ikor sampel )


ikor blanko

(2-1)
Dalam persamaan tersebut, ikor blanko adalah
kerapatan arus korosi logam pada larutan blanko

3 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, APRIL 2010, VOL. 15 NOMOR 1


(larutan NaCl 1%); sedangkan ikor sampel adalah
kerapatan arus korosi logam pada larutan sampel.
Penentuan efisiensi inhibisi korosi asam
glutamat dilakukan dalam larutan NaCl 1% (w/v)
jenuh CO2 dengan optimasi konsentrasi asam
glutamat, pH dan suhu media uji. Optimasi pH dan
suhu dilakukan pada konsentrasi asam glutamat yang
memberikan %EI maksimum. Asam glutamat yang
digunakan berupa kristal putih kualitas pro analisis
(p.a).
Elektroda kerja merupakan baja karbon
produksi Krakatau Steel dengan komposisi sebagai
berikut (dalam persen, %): Fe (99,5756); C
(0,05991); Si (0,02986); S (0,00731); P (0,0123); Mn
(0,22984); Ni (0,0046); Cr (0,01895); V (0,00291);
Cu (0,0066); W (0,00009); Ti (0,00252); Sn
(0,00136); Al (0,04752); Pb (0,0022); Nb (0,00117);
Zn (0,00237).

seperti ditampilkan pada Tabel 1. Spesi-spesi dalam


media yang dapat mempolarisasi baja karbon ke arah
anoda (positif) adalah yang bermuatan negatif atau
bermuatan parsial negatif. Molekul asam glutamat
memiliki dua gugus bermuatan negatif yaitu gugus
karboksilat dari gugus pokok asam amino dan rantai
sampingnya. Hal ini menyebabkan kerapatan arus
pada proses anoda (iFeFe2+) berkurang, yang juga
berdampak pada penurunan kerapatan arus korosi,
ikor. Oleh karena permukaan baja karbon terpolarisasi
secara anoda dan laju korosi baja karbon diinhibisi
oleh asam glutamat, maka asam glutamat
dikategorikan sebagai inhibitor jenis anoda, yaitu
inhibitor yang menginhibisi pelarutan ion-ion Fe2+
dengan cara menurunkan kerapatan arus pada proses
anoda.
-570
-0.5

3.1 Optimasi konsentrasi asam glutamat dalam


larutan NaCl 1%
Pengukuran efisiensi inhibisi korosi asam
glutamat terhadap baja karbon dilakukan pada
konsentrasi 5, 8 10, 15, 20 dan 25 ppm. Untuk
memperoleh konsentrasi ini dibuat larutan induk
asam glutamat 200 ppm yang diencerkan dengan
larutan NaCl 1% (w/v). Data yang diperoleh
ditampilkan pada Tabel 1 dan Gambar 2 yang
menunjukkan kurva hubungan antara potensial korosi
dan kerapatan arus korosi hasil uji korosi logam baja
karbon dalam larutan blanko (NaCl 1%) dan larutan
asam glutamat pada variasi konsentrasi dalam larutan
NaCl 1%.
Penambahan asam glutamat ke dalam larutan
blanko (larutan NaCl 1% w/v) menyebabkan
potensial korosi, Ekor, bergeser ke arah yang positif

Potensial Korosi, Ekor (mV)

3. Hasil dan Pembahasan

-590

0.5

1.5

2.5

-610

-650

Blank
5 ppm
8 ppm

-670

10 ppm
15 ppm

-690

20 ppm
25 ppm

-630

-710
-730
-750
2

Kerapatan Arus Korosi, i kor (mA/cm )

Gambar 2. Kurva polarisasi Tafel untuk perilaku


korosi baja karbon dalam larutan blanko (NaCl 1%)
dan larutan asam glutamat pada variasi konsentrasi
dalam larutan NaCl 1% pada 26oC.

Tabel 1. Pengaruh konsentrasi asam glutamat terhadap korosi baja karbon dalam larutan NaCl 1 % jenuh CO2 pada
suhu 26oC
Konsentrasi asam glutamat
dalam media uji

Ekor (mV)

ikor (A/cm2)

Laju korosi (m/thn)

% Efisiensi Inhibisi

0 ppm (blanko)

-664,7

56,114

656,2

5 ppm

-643,6

42,910

501,8

23,53

8 ppm

-647,7

29,071

340,0

48,19

10 ppm

-640,6

46,468

543,5

17,19

15 ppm

-643,7

48,198

563,7

14,11

20 ppm

-639,4

38,627

441,8

31,16

25 ppm

-632,7

31,667

370,4

43,57

Konsentrasi asam glutamat yang memberikan


kerapatan arus korosi dan laju korosi paling kecil
memberikan daya inhibisi paling besar, yaitu pada
konsentrasi 8 ppm sebesar 48,19%.
Polarisasi
permukaan baja karbon ke arah lebih positif akibat
terpolarisasi oleh gugus fungsi amina sangat kecil,
sebab gugus tersebut dalam media uji berada dalam

keadaan terprotonasi sebagai gugus amonium,


NH3+. Hal ini berdasarkan nilai pKa1, pKa2, pKa3 dan
pI asam glutamat adalah, secara berturut-turut, 2,2;
9,7; 4,3; dan 3,2 (Solomon dan Fryhle, 2008),
sehingga pada kondisi pengukuran dalam larutan
NaCl 1% yang dijenuhkan oleh gas CO2, yaitu pada
pH 6,5, maka asam glutamat dalam media uji tersebut

Ketis, dkk., Efektivitas Asam Glutamat Sebagai Inhibitor Korosi pada Baja Karbon dalam Larutan NaCl 1%
berada dalam bentuk monoanionnya, dimana gugus
-amina terprotonasi (Gambar 2). Gugus NH3+
cenderung mempolarisasi permukaan baja karbon ke
arah lebih negatif. Dengan demikian, polarisasi
permukaan baja karbon ke arah lebih positif
disebabkan oleh kedua gugus karboksilat yang
bermuatan negatif (COO), dengan gugus COO
rantai samping memegang peran yang lebih besar.
Hal ini didukung oleh data hasil uji efisiensi inhibisi
korosi asam amino glutamin pada konsentrasi yang
sama (8 ppm dalam larutan NaCl 1%) yang
memberikan efisiensi inhibisi korosi jauh lebih kecil
(hanya 8,19%) daripada asam glutamat 8 ppm. Pada
glutamin, nilai pKa1, pKa2 dan pI adalah, secara
berturut-turut, 2,2; 9,1 dan 5,7 (Solomon and Fryhle,
2008), sehingga pada pH media uji, yaitu 6,5,
glutamin berada dalam bentuk zwitter ion-nya
(Gambar 3). Dalam bentuk ini, glutamin hanya
memiliki satu gugus COO yang dapat teradsorpsi
pada permukaan baja karbon, sedangkan gugus
NH3+ pada glutamin memberikan efek sebaliknya
yang menyebabkan efisiensi inhibisi korosi glutamin
terhadap baja karbon menjadi kecil.
a.

pKa3 = 4,3

pKa1= 2,2
HO

OH

NH3

NH3

NH3

HO

pI = 3,2

pKa2 = 9,7

NH2
NH2
HO

OH
O
O

b.

asam glutamat

NH3

OH

NH3

pI = 5,7

H3N

NH3

pKa1 = 2,2

H3N

H2N

Cinh/ , sesuai persamaan berikut (Bentiss dkk., 2004;


Morad dan Kamal El-Dean, 2006), sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 4.
bCinh
(3-2)
=
1 + bCinh
dengan adalah derajat penutupan permukaan dan b
adalah nilai koefisien adsorpsi, yang juga merupakan
nilai tetapan kesetimbangan adsorpsi (Kads) untuk
asam glutamat, yang mengikuti hubungan linier
isoterm adsorpsi Langmuir dalam bentuk senderhana
(Persamaan 3-2). Nilai energi bebas adsorpsi (G0ads,
dalam kJ/mol) dapat ditentukan melalui persamaan
berikut (Morad dan Kamal El-Dean, 2006; Refaey
dkk., 2006; Fouda dkk., 2007):
0
Gads

1
(3-3)
exp

55,55
RT

dengan R = tetapan gas ideal = 8,314 J/mol.K, nilai


55,55 adalah konsentrasi air (H2O) dalam larutan
(dalam satuan mol), dan T adalah suhu dalam K.
Berdasarkan ketiga persamaan tersebut diperoleh
nilai koefisien adsorpsi, b, adalah 9465,4 M-1 dan
energi bebas adsorpsi, G0ads adalah 32,85 kJ/mol.
Nilai G0ads sampai dengan 20 kJ/mol konsisten
dengan adanya adsorpsi fisik (fisiosorpsi), sedangkan
untuk nilai G0ads di atas 40 kJ/mol konsisten
dengan adanya adsorpsi kimia (kemisorpsi) (Migahed
dkk., 2003; Morad dan Kamal El-Dean, 2006).
Dengan demikian asam glutamat termasuk
mengalami interaksi adsorpsi secara fisik (fisiosorpsi)
pada permukaan baja karbon.

K ads =

pKa2 = 9,1

5.00E-04

NH2
H2N

OH

glutamin

3.50E-04

O
O

C/

4.50E-04
4.00E-04

NH2
H2N

3.00E-04
2.50E-04

Gambar 3. Struktur spesi-spesi asam glutamat dan


glutamin pada berbagai kondisi pH

2.00E-04

Sifat adsorpsi asam glutamat pada baja karbon


adalah merupakan adsorpsi fisik, hal ini ditunjukkan
oleh kecilnya nilai G0ads asam glutamat yang
ditentukan menggunakan Persamaan (3-1), (3-2) dan
(3-3). Derajat penutupan permukaan (, degree of
surface coverage) dapat dihitung dari data kerapatan
arus korosi berdasarkan metode Tafel, sebagaimana
dinyatakan oleh persamaan berikut (Khaled, 2003;
Morad dan Kamal El-Dean, 2006)

0.00E+00

y = 2.437x + 1E-05

1.50E-04
1.00E-04

R = 0.8233

5.00E-05

iinh
(3-1)

iuninh
dengan iinh dan iuninh adalah kerapatan arus korosi
(dalam mA/cm2), secara berturut-turut, larutan
sampel dengan dan tanpa inhibitor korosi. Ternyata
data yang dianalisis bersesuaian dengan isoterm
adsorpsi Langmuir dalam bentuk yang paling
sederhana, yaitu grafik linier hubungan antara
konsentrasi sampel inhibitor korosi (Cinh) dengan

= 1

0.00005

0.0001

0.00015

0.0002

C (dalam M)

Gambar 4. Hubungan linier antara Cinh/ dengan


konsentrasi asam glutamat (dalam satuan M) yang
menunjukkan adanya adsorpsi pada permukaan
logam berdasarkan persamaan isoterm adsorpsi
Langmuir
Proses adsorpsi molekul-molekul asam
glutamat pada permukaan baja karbon diasumsikan
membentuk lapis lindung yang diilustrasikan pada
Gambar 5 dengan menggunakan software
ChemOffice 3D ver 8.1.

5 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, APRIL 2010, VOL. 15 NOMOR 1

Gambar 5. Model ilustrasi adsorpsi molekul asam


glutamat pada permukaan baja karbon dengan
menggunakan software Chemoffice 3D ver 8.1.
3.2 Pengaruh pH larutan asam glutamat 8 ppm
dalam Larutan Buffer Asetat
Uji korosi terhadap logam baja karbon dalam
media uji larutan asam glutamat 8 ppm diukur pada
pH 3, 4, 5, dan 6 menggunakan larutan buffer asetat.
Larutan buffer asetat dibuat dengan konsentrasi
natrium asetat tetap dan konsentrasi asam asetat yang
bervariasi. Larutan buffer asetat digunakan sebagai
pelarut larutan induk asam glutamat 200 ppm, yang
kemudian diencerkan menjadi 8 ppm, dan sebagai
pelarut NaCl agar konsentrasinya tetap 1%.
Perlakuan secara rinci adalah sebagai berikut:
sebanyak 4 mL larutan asam glutamat 200 ppm
ditambahkan dengan 1 gram NaCl dan larutan buffer
asetat hingga volume 100 mL, selanjutnya diukur
efisiensi inhibisi korosinya terhadap logam baja
karbon. Data yang diperoleh ditampilkan pada Tabel
2.
Peningkatan pH larutan uji menggeser
potensial korosi ke arah lebih negatif, baik tanpa
inhibitor maupun dengan inhibitor seperti
ditampilkan pada Tabel 2. Nilai persen efisiensi
inhibisi yang negatif menunjukkan bahwa logam baja
karbon menjadi semakin terkorosi dalam media uji
yang mengandung asam glutamat 8 ppm dalam
larutan buffer asetat. Perubahan potensial ke arah
yang lebih negatif menunjukkan pertukaran kerapatan
arus pada proses katoda menurun yang disebabkan
oleh berkurangnya konsentrasi H+ pada larutan,
sehingga potensial korosi, Ekor menurun. Sebenarnya,

pada pH yang lebih tinggi, berdasarkan nilai pKa1,


pKa2, pKa3 dan pI asam glutamat, seharusnya asam
glutamat dalam bentuk monoanionnya dapat
meningkatkan efisiensi inhibisi korosinya. Namun
dalam hal ini, proses korosi pada semua pH dalam
media larutan uji dikendalikan oleh adanya ion asetat,
CH3COO, yang berasal dari larutan natrium asetat
dengan jumlah sama pada setiap pH media larutan
uji. Hadirnya ion asetat dan asam asetat dalam media
uji mengakibatkan kepolaran larutan uji meningkat
yang berdampak pada adanya interaksi antara asam
glutamat yang sudah maupun yang belum teradsorpsi
pada permukaan baja karbon dengan ion asetat dan
asam asetat tersebut secara reaksi asam-basa biasa.
Akibatnya, distribusi asam glutamat yang teradsorpsi
pada permukaan baja karbon menjadi berkurang
karena lebih cenderung berada dalam fasa larutannya,
sehingga permukaan baja karbon menjadi kurang
terlindungi dari proses reaksi oksidasi-reduksi dengan
lingkungannya yang cenderung korosif. Hal ini
didukung oleh fakta bahwa laju korosi baja karbon
dalam larutan CH3COOH 0,1M lebih rendah daripada
dalam larutan buffer asetat pH 3, bahkan laju korosi
baja karbon makin lambat dengan meningkatnya
konsentrasi CH3COOH tetapi makin cepat jika
konsentrasi ion CH3COO diperbesar (Sunarya,
2008). Kenyataan ini diperkuat dengan pernyataan
bahwa produk korosi dalam media yang mengandung
asam asetat dan ion asetat (larutan buffer asetat)
berupa selaput pasif yang kurang berpori (Bundjali,
2005). Selaput yang terbentuk di atas permukaan baja
karbon pada konsentrasi asam asetat yang lebih tinggi
bersifat lebih protektif karena menghasilkan produk
korosi berupa partikel-partikel berukuran butir sangat
halus, yaitu senyawa FeCO3.CH3COO yang semakin
banyak terbentuk pada pH yang rendah (Bundjali,
2005). Pada pH yang semakin tinggi (pH 6), molekul
asam glutamat yang bermuatan 1 semakin banyak,
artinya asam glutamat dalam bentuk monoanionnya,

Tabel 2. Pengaruh pH terhadap efisiensi inhibisi korosi asam glutamat terhadap baja karbon dalam larutan NaCl 1%
jenuh CO2 pada suhu 26oC
pH

Ekor (mV)

ikor (A/cm2)

Laju korosi (m/thn)

% Efisiensi Inhibisi

a
b

-556,9
-504,8

64,562
58,881

755,1
688,6

8,80

a
b

-596,0
-592,7

63,378
64,110

741,2
749,8

-1,58

a
b

-644,2
-643,0

106,500
110,700

1245,0
1295,0

-3,94

a
b

-677,0
-674,5

111,500
121,600

1303,0
3421,7

-9,06

Keterangan: a = blanko; b = sampel

Ketis, dkk., Efektivitas Asam Glutamat Sebagai Inhibitor Korosi pada Baja Karbon dalam Larutan NaCl 1%

disamping adanya ion asetat dalam media uji dengan


konsentrasi tetap, dengan demikian, secara
keseluruhan dalam larutan media uji terdapat lebih
banyak spesi anion. Pada permukaan logam terjadi
arus reduksi membentuk spesi-spesi bermuatan
negatif sehingga terjadi tolak menolak dengan
seluruh spesi anion dalam larutan media uji,
akibatnya kerapatan arus korosi dengan adanya ion
asetat dalam media uji semakin tinggi pada pH yang
semakin besar. Hal ini membuat asam glutamat
menjadi tidak efektif lagi sebagai inhibitor korosi jika
berada dalam media yang mengandung asam asetat
dan garam asetat (larutan buffer asetat).
3.3 Pengaruh suhu terhadap efisiensi inhibisi korosi
asam glutamat 8 ppm
Uji korosi terhadap logam baja karbon
dilakukan pula dalam media uji larutan asam
glutamat 8 ppm pada suhu 40oC, 55oC, 70oC, dan
85oC dalam larutan NaCl 1% jenuh CO2. Data yang
diperoleh ditampilkan pada Tabel 3. Pada tabel
tersebut, semakin tinggi suhu, potensial korosi
bergeser ke arah lebih positif, baik pada larutan uji
tanpa inhibitor maupun dengan penambahan
inhibitor. Nilai persen efisiensi inhibisi yang negatif
menunjukkan bahwa logam baja karbon menjadi
semakin terkorosi dalam media uji yang mengandung
asam glutamat 8 ppm pada suhu di atas suhu kamar.
Peningkatan suhu menurunkan tahanan polarisasi
pada antarmuka elektroda dan larutan uji, akibatnya
zona serangan pada permukaan baja karbon makin
luas (Bundjali, 2005; Sunarya, 2008). Pada suhu
yang semakin tinggi, besi karbonat, FeCO3, sebagai
hasil reaksi Fe2+ dengan CO32 teradsorpsi dengan
baik pada permukaan baja karbon, tetapi dengan
adanya ion-ion Cl kenaikan suhu dapat
meningkatkan serangan ion-ion Cl terhadap lapisan
pasif FeCO3 sehingga terurai menjadi ion-ion Fe2+,
akibatnya arus korosi dan laju korosi semakin besar
(Bundjali, 2005; Sunarya, 2008).

Kenaikan suhu cenderung menurunkan


kekuatan interaksi antara atom-atom besi dengan
gugus fungsi karboksilat dan amina dalam asam
glutamat, sehingga kemampuan inhibisi asam
glutamat pada korosi baja karbon cenderung menurun
bahkan bersifat korosif pada suhu yang lebih tinggi.
Sifat korosif ini disebabkan oleh karena pada suhu
yang lebih tinggi asam glutamat terurai menjadi ion
glutamat dan melepas ion H+ yang membuat larutan
uji semakin korosif. Selain itu, ion-ion korosif seperti
ion Cl dalam larutan uji semakin agresif pada suhu
yang semakin tinggi dan asam glutamat tidak mampu
teradsorpsi pada permukaan baja karbon seperti pada
suhu kamar. Ini berakibat pada bagian anoda yang
tidak seluruhnya ditutupi oleh asam glutamat,
sehingga akan memperluas daerah katoda. Dengan
perbedaan luas ini intensitas serangan ion klorida
pada baja karbon sangat meningkat pada daerah
anoda yang sempit tetapi masih terbuka, sehingga
laju korosi menjadi lebih besar (Supardi, 2002). Hal
ini sejalan pula dengan sifat proses adsorpsi asam
glutamat pada permukaan baja karbon yang bersifat
fisiosorpsi, artinya interaksi antara gugus-gugus
karboksilat pada asam glutamat dengan permukaan
logam baja karbon berupa interaksi fisik dipol-dipol
yang relatif lemah, sehingga naiknya suhu justru
cenderung menginisiasi pemutusan interaksi tersebut
dan menyebabkan permukaan baja karbon kurang
tertutupi oleh asam glutamat. Akibatnya, logam baja
karbon
menjadi
semakin
terbuka
kepada
lingkungannya yang semakin korosif. Dengan
demikian asam glutamat pada suhu yang semakin
tinggi (di atas suhu kamar) tidak dapat digunakan
sebagai inhibitor korosi karena pada kondisi tersebut
justru menjadi korosif. Data energi pengaktifan (Ea)
proses inhibisi korosi asam glutamat terhadap logam
baja karbon dalam larutan NaCl 1% (w/v) dapat
diperoleh dengan mengalurkan ke dalam bentuk
grafik hubungan antara logaritma kerapatan arus (log
icor) terhadap suhu (dalam 1000/T). Kemiringan

Tabel 3. Pengaruh suhu terhadap efisiensi inhibisi korosi asam glutamat 8 ppm pada korosi baja karbon dalam
larutan NaCl 1% jenuh CO2
Suhu (oC)

Ekor (mV)

ikor (A/cm2)

Laju korosi (m/thn)

% Efisiensi Inhibisi

40

a
b

-720,7
-724,4

145,068
134,596

1696,4
1518,0

7,22

55

a
b

-719,0
-720,5

172,073
172,466

2012,2
2015,0

-0,23

70

a
b

-716,6
-718,4

209,500
230,450

2449,9
2695,0

-10,00

231,750
259,800

2710,1
3038,0

-12,10

85

a
-709,5
b
-709,8
Keterangan: a = blanko ; b = sampel

7 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, APRIL 2010, VOL. 15 NOMOR 1

grafik linier log icor terhadap 1000/T merupakan nilai


yang sebanding dengan nilai energi pengaktifan, Ea,
dibagi dengan tetapan gas ideal, R (dalam 8,314
KJ/mol.K). Berdasarkan data ini, energi pengaktifan
proses inhibisi korosi senyawa turunan imidazol
dapat ditentukan, sesuai persamaan berikut (Morad
dan Kamal El-Dean, 2006).

Ea
(3-4)
RT
dimana icor adalah kerapatan arus korosi (dalam
mA/cm2), A adalah faktor pre-eksponensial (tetapan
Arrhenius), Ea adalah energi pengaktifan proses
korosi (dalam kJ/mol), R adalah tetapan gas ideal
(yaitu 8,314 kJ/mol.K) dan T adalah suhu (dalam K).
Berdasarkan Gambar 6 dan Persamaan (3-4)
diperoleh bahwa nilai energi pengaktifan, Ea, untuk
proses inhibisi korosi oleh asam glutamat adalah
25,91 kJ/mol sedangkan energi pengaktifan, Ea,
untuk larutan blanko adalah 16,43 kJ/mol. Hal ini
menunjukkan bahwa proses korosi baja karbon dalam
larutan asam glutamat 8 ppm tetap relatif lebih
lambat terjadi dibandingkan dalam larutan blanko.
Jadi, walaupun efisiensi inhibisi korosi asam
glutamat pada konsentrasi 8 ppm kurang efektif dan
cenderung korosif pada suhu di atas suhu kamar,
namun masih memiliki potensi untuk menghambat
laju korosi logam baja karbon dalam larutan NaCl
1%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi
optimum penggunaan asam glutamat sebagai
kandidat inhibitor korosi adalah pada suhu kamar
dengan konsentrasi 8 ppm dalam larutan NaCl 1%
yang memiliki pH larutan 6,5.
icor = A exp

1000/T
-7.00
2.70

2.80

2.90

3.00

3.10

3.20

3.30

-7.10
Blanko
-7.20

Asam Glutamat dalam


NaCl 1%

ln(ikor /T)

-7.30
y = -1.3534x - 3.4136
R2 = 0.9762

-7.40
-7.50
-7.60

y = -0.8581x - 4.9309
R2 = 0.9813

-7.70
-7.80

Gambar 6. Aluran hubungan antara logaritma


kerapatan arus korosi (log icor, dalam mA/cm2) logam
baja karbon dalam larutan blanko dan larutan asam
glutamat 8 ppm dalam NaCl 1% terhadap 1000/T (T
adalah suhu dalam K)
4. Kesimpulan
Asam glutamat memberikan efisiensi inhibisi
korosi paling efektif pada suhu kamar (26oC) dengan
konsentrasi 8 ppm dalam larutan NaCl 1% pada pH
6,5, yaitu sebesar 48,19%. Nilai efisiensi inhibisi

korosi ini relatif tidak begitu tinggi, namun dalam


penggunaannya dapat ditingkatkan potensi efisiensi
inhibisi korosinya dengan formulasi yang sesuai
maupun dengan modifikasi gugus-gugus fungsi pada
asam glutamat, yang dapat dijadikan suatu kajian
penelitian lanjutan. Adanya spesi asam asetat dan
natrium asetat sebagai larutan buffer dalam media uji
serta kondisi media uji di atas suhu kamar
menyebabkan potensi asam glutamat 8 ppm dalam
larutan NaCl 1% sebagai inhibitor korosi menjadi
sangat berkurang, bahkan korosif pada pH dalam
sistem buffer asetat dan suhu yang lebih tinggi
sehingga pada kondisi tersebut tidak efektif
digunakan sebagai inhibitor korosi.
5. Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini didanai oleh Hibah Riset
Insentif Dasar Kemenristek RI kepada penulis kedua
dan ketiga, dengan nomor Surat Perjanjian Kerja No.
0062i/K01.20/SPK-LPPM/PL2.1.5/I/2009, 23 Januari
2009.
Daftar Pustaka
Bentiss, F., M. Traisnel, H. Vezin, H. F. Hildebrand
and M. Lagrenee, 2004, 2,5-Bis(4dimethylaminophenyl)-1,3,4-oxadiazole and
2,5-bis(4-dimethylaminophenyl)-1,3,4thiadiazole as Corrosion Inhibitors for Mild
Steel in Acidic Media, Corros. Sci., 46,
2781-2792.
Brolo, A.G., P. Germain, and G. Hager, 2002,
Investigation of The Adsorption of Lcysteine on a Polycrystalline Silver
Electrode by Surface-Enhanced Raman
Scattering (SERS) and Surface-Enhanced
second harmonic generation (SESHG), J.
Phys. Chem. B, 106, p:598287.
Bundjali, B., 2005, Perilaku dan Inhibisi Korosi Baja
Karbon dalam Larutan Buffer Asetat,
Bikarbonat-CO2, Disertasi Program Doktor,
Institut Teknologi Bandung.
Cruz, J., T. Pandiyan and E. Garca-Ochoa, 2005, A
New Inhibitor for Mild Carbon Steel:
Electrochemical and DFT Studies, J.
Electroanal Chem., 583, 8-16.
El-Shafei, A. A., S. A. Abd El-Maksoud, A. S.
Fouda, 2004, The Role of Indole and Its
Derivatives in The Pitting Corrosion of Al in
Neutral Chloride Solution, Corros. Sci., 46,
579590.
Heeg, B., D. Klenerman and T. Moros, 1998,
Persistency of Corrosion Inhibitor Films on
C-Steel under Multiphase Flow Conditions:
Part I: The Jet-Cylinder Arrangement,
Corros. Sci., 40:8, 1303-1311.
Hong, T. and W. P. Jepson, 2001, Corrosion Inhibitor
Studies in Large Flow Loop at High
Temperature and High Pressure, Corros.
Sci., 43, 1839-1849.

Ketis, dkk., Efektivitas Asam Glutamat Sebagai Inhibitor Korosi pada Baja Karbon dalam Larutan NaCl 1%
Jones, D. A., 1992, Principles and Prevention of
Corrosion. Singapore, Macmillan Publishing
Company.
Kadirgan, F. and S. Suzer, 2001, Electrochemical and
XPS studies of corrosion behaviour of a low
carbon steel in the presence ofFT2000
inhibitor, J. Electron. Spectrosc., 114, 597601.
Kalman, E., J. Telegdi and T. Rigo, 2004, Nanolayer
Barriers for Inhibition of Copper Corrosion.
Corrosion Engineering, Science and
Technology, 39:1, 65-70.
Kuznetsov, Y. I., 2002, Current State of the Theory
of Metal Corrosion Inhibition, Prot. Met+.,
38:2, 103-111.
Lopez, D. A., W. H. Schreiner, S. R. de Sanchez and
S. N. Simison, 2004, The Influence of
Inhibitors Molecular Structure and Steel
Microstructure on Corrosion Layers in CO2
Corrosion:
An
XPS
and
SEM
Characterization, Appl. Surf. Sci., 236, 7797.
Mateo, E. Marti, Ch. Methivier, P. Dubot, and C. M.
Pradier, 2003, Adsorption of (S)-Histidine
on Cu(110) and Oxygen-Covered Cu(110), a
Combined Fourier Transform Reflection
Absorption Infrared Spectroscopy and Force
Field Calculation Study, J. Phys. Chem. B,
107, 10785-10792
Matos, J.B , L. P. Pereira, S. M. L. Agostinho, O. E.
Barcia, G. G. O. Cordeiro, and E. DElia,
2004, Effect of Cysteine on The Anodic
Dissolution of Copper in Sulfuric Acid
Medium, J. Electroanal. Chem., 570, 9194.
Migahed, M. A., H. M. Mohamed, 2003, Corrosion
Inhibition of H-11 Type Carbon Steel in 1 M
Hydrochloric Acid Solution by N-Propyl
Amino Lauryl Amide and Its Ethoxylated
Derivatives, Mater. Chem. Phys., 80, 169175.
Morad, M. S. and A. M. Kamal El-Dean, 2006, 2,2'Dithiois(3-cyano-4,6-dimethylpyridine): A
New Class of Acid Corrosion Inhibitors for
Mild Steel, Corros. Sci., 48:11, 3398-3412.
Perez, N., 2004, Electrochemistry and Corrosion
Science. New York, Boston, Dordrecht,
London, Moscow, Kluwer Academic
Publishers.
Rajendran, S., B. V. Apparao, N. Palaniswamy, V.
Periasamy and G. Karthikeyan, 2001,
Corrosion
Inhibition
by
Strainless
Complexes, Corros. Sci., 43, 1345-1354.
Refaey, S. A. M., F. Taha and A. M. A. El-Malak,
2006, Corrosion and Inhibition of 316L

Stainless Steel in Neutral Medium by 2Mercaptobenzimidazole. Int. J. Electrochem.


Sci., 1, 80-91.
Srhiri, A., M. Etman and F. Dabosi, 1996, Electro
and Physicochemical Study of Corrosion
Inhibition of Carbon Steel in 3% NaCl by
Alkylimidazoles Electrochim. Acta, 41:3,
429 - 437.
Solomon, T. W. G, and C. B. Fryhle, 2008, Organic
Chemistry, 9th ed., John Wiley & Sons Inc.,
Asia.
Stupnisek-Lisac, E., A. Gazivoda and M. Madzarac,
2002, Evaluation of Non-Toxic Corrosion
Inhibitors for Copper in Sulphuric Acid.
Electrochim. Acta, 47, 4189-4194.
Sunarya, Y., 2008, Mekanisme dan Efisiensi Inhibisi
Sistein pada Korosi Baja Karbon dalam
Larutan Elektrolit Jenuh Karbon Dioksida,
Disertasi Program Doktor, Institut Teknologi
Bandung.
Supardi, R., 2002, Korosi dan Kegagalan Yang
Terjadi
Pada
Pengecatan
Otomotif.
Bandung, Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Industri Logam dan Mesin;
Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Veawab, A., P. Tontiwachwuthikul, and S.D. Bhole,
1997, Studies of Corrosion and Corrosion
Control in a CO2--2-Amino-2-methyl-1propanol (AMP) Environment. Ind. Eng.
Chem. Res., 36, 264-269.
Wahyuningrum, D., Achmad, S., Nugraha, A. dan
Damanik, R., (2004), Sintesis Senyawa Ester
Histidin dan Aplikasinya sebagai Inhibitor
Korosi, Proceeding Seminar MIPA IV, ISSN
979-368-8-02-5
Wahyuningrum, D., R. Brahma, S. Achmad, dan B.
Ariwahjoedi, 2005, The Synthesis of Some
Histidine Derivative Compounds Containing
Imidazole Ring Framework and the
Investigation of Their Inhibitor Activity
towards Carbon Steel in 1% NaCl Solution,
The 6th ITB- UKM Joint Seminar on
Chemistry, Bali, Indonesia, JSChem ITB
2005, ISBN: 979-9299-16-0-540.
Wahyuningrum, D., A. Shobarudin, R. Brahma, S.
Achmad, B. Ariwahjoedi, Ciptati, 2006, The
Synthesis of Some Acetyl Substituted
Histidine Compounds Containing Imidazole
Ring Framework and The Investigation of
Their Inhibitor Activity towards Carbon
Steel in 1% NaCl Solution, Proceeding of
Indonesian Symposium on Science and
Technology on Chemistry (ISSToC),
Serpong, Indonesia, ISSN: 1907-1485.

Anda mungkin juga menyukai