Anda di halaman 1dari 14

BAB 2

KERANGKA TEORI
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea.6
Peradangan tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman, stroma, membran
Descemet, ataupun endotel. Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan
kornea. Pola keratitis dapat dibagi menurut distribusi, kedalaman, lokasi, dan bentuk.
Berdasarkan distribusinya, keratitis dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau multifokal.
Berdasarkan kedalamannya, keratitis dibagi menjadi epitelial, subepitelialm stromal, atau
endotelial. Lokasi keratitis dapat berada di bagian sentral atau perifer kornea, sedangkan
berdasarkan bentuknya terdapat keratitis dendritik, disciform, dan bentuk lainnya.6, 7
Keratitis mikrobial atau infektif disebabkan oleh proliferasi mikroorganisme, yaitu
bakteri, jamur, virus dan parasit, yang menimbulkan inflamasi dan destruksi jaringan
kornea.8

Kondisi

ini

sangat

mengancam

tajam

penglihatan

dan

merupakan

kegawatdaruratan di bidang oftalmologi. Pada satu penelitian, keratitis merupakan


penyebab kedua terbanyak (24,5%) untuk tindakan keratoplasti setelah edema kornea
(24,8%).9 Membedakan etiologi keratitis infektif sulit dilakukan secara klinis dan
membutuhkan pemeriksaan diagnosis penunjang.1, 8
Anatomi Normal Kornea
Kornea merupakan modifikasi dari membran mukosa, dan juga modifikasi dari kulit.9
Bagian depan kornea disusun oleh lima lapis epitel skuamosa nonkeratin yang

Universitas Sumatera Utara

menyerupai epidermis kulit yang telah mengalami modifikasi. Sel Langerhans terdapat di
antara susunan epitel kornea.9 Lapisan terdalam sel epitel, lapisan basal, merupakan
lapisan germinativum dan melekat kepada sel basal sekitarnya dan terletak di atas sel
wing. Lapisan sel basal juga melekat ke membran basal melalui bantuan
hemidesmosom.9
Pada membran basal terdapat tiga jenis molekul utama yaitu kolagen tipe IV,
proteoglikan heparin sulfat dan protein non-kolagen (laminin, nidogen, dan osteonectin).
Membran basal merupakan sawar (barrier) fisiologis penting antara epitel dan stroma
kornea.9, 10
Sel epitel terluar akan berdeskuamasi ke dalam lapisan air mata. Lapisan muko-protein
pada air mata berfungsi untuk melekatkan lapisan air mata kepada mikrovili epitel.11

Gambar 1. Lapisan kornea

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Lapisan epitel skuamosa pada kornea

Respon Imun Kornea


Imunitas Permukaan Kornea Lokal
Imunitas kornea lokal bergantung pada IgM, komplemen C1, dan sel Langerhans (LC)
yang seluruhnya ditemukan pada kornea perifer. IgG berdifusi ke dalam stroma dari
daerah limbus dan akan mencapai konsentrasi sebesar 50% dari konsentrasi serum.
Inflamasi kornea dapat merangsang migrasi LC sentripetal.10-12
Makrofag dapat diubah menjadi antigen-presenting cells (APCs) oleh interleukin1 (IL-1) yang dihasilkan dari sel epitel kornea. Peristiwa ini akan merangsang ekspresi
molekul MHC kelas II pada permukaan kornea. APCs selanjutnya akan memproses
peptida antigenik agar membentuk kompleks biner dengan molekul MHC kelas II.
Makrofag juga mampu mencerna antigen yang berbentuk partikel, termasuk bakteri utuh
seperti stafilokokus dan amuba seperti Acanthamoeba, namun makrofag lebih efektif
dalam mencerna antigen terlarut seperti protein A dari Staphylococcus aureus yang akan

Universitas Sumatera Utara

dimasukkan ke dalam kantung endositik. Ini berbeda dengan sel Langerhans yang hanya
dapat mencerna antigen terlarut. Limfosit T berfungsi mensekresikan sitokin di dalam
jaringan yang bekerja langsung terhadap sel target. Interferon (IFN-g) menstimulasi
ekspresi molekul MHC kelas II di dalam keratinosit, sel epitel, sel endotel, dan fibroblas
yang semuanya dapat bertindak sebagai APCs yang memproses dan menyajikan peptida
imunofenik yang bergabung sebagai kompleks dengan molekul MHC kelas II. Sel-sel
tersebut memiliki kemampuan stimulasi sinyal yang berbeda-beda dan tidak dapat
menstimulasi sel T yang tidak aktif karena sel T tersebut membutuhkan aktivasi oleh IL2.4
HIPERSENSITIVITAS TIPE-LAMBAT LOKAL
Hipersensitivitas tipe-lambat (delayed hypersensitivity, DH) dapat memicu reaksi imun
yang dimediasi oleh sel (cell-mediated). Contoh organisme yang menimbulkan DH
adalah Onchocerca volvulus dan Staphylococcus aureus.Reaksi imun ini diekspresikan
oleh sel limfosit Th1 dan dimediasi oleh sitokin. Mekanisme ini diduga menjadi
penyebab ulkus kornea marjinal yang diakibatkan oleh blefaritis rekuren oleh
Staphylococcus aureus. Mekanisme ini dapat dilihat pada Gambar 1.4
Keratitis Fungal/Jamur (Keratomikosis)
Keratitis infektif yang disebabkan oleh jamur merupakan diagnosis terbanyak pada negara India3,
5, 13

, sedangkan data prevalensi di Indonesia belum tersedia. Jamur terkadang merupakan flora

normal eksternal di mata karena berhasil diisolasi dari sakus konjungtiva pada 3-28% mata
normal.14 Pada mata yang mengalami penyakit, angka isolasi jamur dapat mencapai 17-37%.
Jamur

yang

umumnya

terdapat

pada

mata

normal

adalah

Universitas Sumatera Utara

Aspergillus spp., Rhodotorula spp., Candida spp., Penicillium spp., Cladosporium spp.,

dan

Alternaria spp. Insidensi keratomikosis di Amerika Serikat adalah 6-20% dan umumnya terjadi
di daerah pedesaan. Aspergillus spp. merupakan penyebab terbanyak keratitis yang timbul di
seluruh dunia.14 Candida spp. dan Aspergillus spp. adalah penyebab keratitis jamur terbanyak di
Amerika Serikat.14 Fusarium spp. dilaporkan sebagai penyebab keratitis jamur di Afrika, India,
China dan Jepang. Isolat terbanyak di negara India adalah Aspergillus spp., Penicillium spp., dan
Fusarium spp. Identifikasi jamur yang akurat sangat penting untuk pencegahan paparan di masa
yang akan datang dan penentuan modalitas terapi terbaik.
Tanda dan gejala
Keratitis Fungal/Jamur
Gejala keratitis jamur umumnya tidak seakut keratitis bakterial. Gejala awal dapat berupa rasa
mengganjal di mata dengan peningkatan rasa nyeri. Tanda klinis yang paling sering ditemukan
pada pemeriksaan lampu celah juga umum ditemukan pada keratitis mikrobial seperti supurasi,
injeksi konjungtiva, defek epitel, infiltrasi stroma, reaksi radang di bilik mata depan atau
hipopion.6 Tanda klinis yang dapat membantu penegakan diagnosis keratitis jamur filamentosa
adalah ulkus kornea yang bercabang dengan elevasi, batas luka yang iregular dan seperti kapas,
permukaan yang kering dan kasar, serta lesi satelit Tampilan pigmentasi coklat dapat
mengindikasikan infeksi oleh jamur dematiaceous Keratitis jamur juga dapat memiliki tampilan
epitel yang intak dengan infiltrat stroma yang dalam . Walaupun terdapat tanda-tanda yang
cukup khas untuk keratitis jamur, penelitian klinis gagal membuktikan bahwa pemeriksaan klinis
cukup untuk membedakan keratitis jamur dan bakterial.

Universitas Sumatera Utara

Faktor risiko
Faktor risiko utama untuk keratitis jamur adalah trauma okular.15 Trauma umumnya
terjadi di lingkungan luar rumah dan melibatkan tumbuhan. Pada tahun 2009 terjadi
peningkatan insiden keratitis jamur yang disebabkan oleh Fusarium spp. pada pengguna
lensa kontak yang dikaitkan dengan larutan pembersih ReNu with MoistureLoc. Median
usia pasien adalah 41 tahun dan 94% menggunakan lensa kontak soft. Pada pemeriksaan
pabrik, gudang, filtrat larutan maupun botol Renu yang belum dibuka tidak ditemukan
kontaminasi oleh jamur. Penyebab yang paling mungkin adalah hilangnya aktivitas
fungistatik akibat peningkatan suhu yang berkepanjangan. Sejak ditarik dari peredaran
pada tahun 2006, angka keratitis jamur telah kembali menurun. Selain Fusarium, jamur
lain

yang

juga

dihubungkan

dengan

penggunaan

lensa

kontak

adalah

Acremonium,Alternaria, Aspergillus, Candida, Collectotrichum, and Curvularia. Jamur


dapat tumbuh di dalam matriks lensa kontak soft.
Faktor risiko lain untuk keratitis jamur adalah penggunakan kortikosteroid.
Steroid dapat mengaktivasi dan meningkatkan virulensi jamur, baik melalui penggunaan
sistemik maupun topikal. Faktor risiko lainnya adalah konjungtivitis vernal atau alergika,
bedah refraktif insisional, ulkus kornea neurotrofik yang disebabkan oleh virus varicellazoster atau herpes simpleks, keratoplasti, dan transplantasi membran amnion. Faktor
predisposisi keratitis jamur untuk pasien keratoplasti adalah masalah jahitan, penggunaan
steroid topikal dan antibiotik, penggunaan lensa kontak, kegagalan graft, dan defek epitel
persisten.

Universitas Sumatera Utara

Penyakit sistemik juga merupakan faktor risiko bagi terjadinya keratitis jamur,
terutama yang berkaitan dengan imunosupresi. Suatu penelitian mencatat angka insidensi
diabetes mellitus sebesar 12% pada sekelompok penderita keratitis jamur. Pasien yang
menderita penyakit kronik dan menjalani perawatan rawat inap intensif juga memiliki
predisposisi untuk terjadinya keratitis jamur, terutama Candida spp. Pada suatu penelitian
di Afrika ditemukan bahwa pasien yang positif-HIV memiliki kemungkinan yang lebih
besar untuk menderita keratitis jamur dibandingkan pasien yang HIv-negatif. Hal ini juga
ditemukan pada pasien penderita kusta.
Keratitis jamur pada anak jarang dijumpai pada penelitian di luar negeri. Biasanya
penyakit ini ditemukan setelah terjadi trauma organik pada mata. Pada suatu penelitian,
keratitis jamur pada anak memiliki prevalensi 18% dari seluruh keratitis anak yang
dikultur. Anamnesis sulit digali pada sebagian besar kasus, oleh karena itu seluruh kasus
dengan kecurigaan keratitis harus menjalani pemeriksaan kultur jamur.

Gambar 3. Keratitis fungal dengan lesi satelit

Universitas Sumatera Utara

Prognosis
Prognosis keratitis jamur bervariasi sesuai dengan kedalaman dan ukuran lesi serta
organisme penyebab. Infeksi superfisial yang kecil umumnya memiliki respon yang baik
terhadap terapi topikal. Infeksi stroma yang dalam atau dengan keterlibatan sklera
maupun intraokular lebih sulit untuk ditangani. Suatu penelitian intervensional prospektif
mengevaluasi terapi natamisin topikal pada 115 pasien keratitis jamur. Pada penelitian
tersebut, 52 pasien mengalami keberhasilan terapi, 27 menderita ulkus yang pulih
walaupun

lambat,

dan

36

mengalami

kegagalan terapi.

Analisis

multivariat

memperlihatkan bahwa kegagalan terapi berhubungan dengan ukuran lesi yang lebih dari
14 mm2, adanya hipopion, dan Aspergillus sebagai organisme penyebab. Jika penanganan
medis gagal, dapat dilakukan operasi.

Keratitis Bakterial
Keratitis bakterial jarang terjadi pada mata normal dikarenakan adanya mekanisme
pertahanan alami kornea terhadap infeksi. Faktor predisposisi yang umum terjadi adalah
penggunaan lensa kontak, trauma, riwayat operasi kornea, kelainan permukaan bola mata,
penyakit sistemik dan imunosupresi.8
Bakteri merupakan penyebab keratitis terbanyak di negara maju seperti Amerika Serikat.8
Diperkirakan terdapat 30000 kasus keratitis bakterial di Amerika Serikat setiap
tahunnya.2 Penyebab terbanyak adalah spesies stafilokokus dan pseudomonas. Di negara
berkembang, streptokokus, stafilokokus dan pseudomonas merupakan penyebab keratitis
bakterial terbanyak.2, 8, 16

Universitas Sumatera Utara

Tanda dan gejala klinis keratitis bakterial bergantung kepada virulensi organisme
dan durasi infeksi.2 Tanda utama adalah infiltrasi epitel atau stroma yang terlokalisir
ataupun difus. Umumnya terdapat defek epitel di atas infiltrat stromal nekrotik yang
berwarna putih-keabu-abuan. Tampilan umum lainnya adalah abses stroma di bawah
epitel yang intak. Infiltrat dan edema kornea dapat terletak jauh dari lokasi infeksi
primer.2 Ulserasi kornea dapat berlanjut menjadi neovaskularisasi. Jika proteinase
menyebabkan stromal melting maka akan terbentuk descemetocele (Gambar).4 Gejala
yang dikeluhkan dapat berupa rasa nyeri, pembengkakan kelopak mata, mata merah atau
mengeluarkan kotoran, silau, dan penglihatan yang buram.4

Gambar 4. Descemetocele pada keratitis ulseratif yang diakibatkan oleh P. aeruginosa pada
pengguna lensa kontak.4

Universitas Sumatera Utara

Patogenesis
Perlekatan Bakteri
Keratitis bakterial akan terjadi jika mikroorganisme dapat melawan imunitas pejamu.
Patogen akan melekat kepada permukaan kornea yang cedera dan menghindari
mekanisme pemusnahan oleh lapisan air mata dan refleks kedip. Setelah cedera terjadi,
bakteri yang bertahan akan melekat kepada tepi sel epitel kornea yang rusak dan ke
membran basalis atau stroma pada tepi luka. Glikokaliks pada epitel yang cedera sangat
rentan terhadap perlekatan mikroorganisme.10
Perlekatan mikrobial diawali oleh interaksi adhesin bakteri dengan reseptor glikoprotein
pada permukaan okular. Kemampuan bakteri untuk melekat kepada defek epitel
tampaknya berperan terhadap seringnya kejadian infeksi oleh S. aureus, S. pneumoniae,
and P. aeruginosa. Produksi biofilm akan meningkatkan agregasi bakteri, melindungi
mikroorganisme yang melekat dan meningkatkan pertumbuhan pada tahap infeksi dini.
Pili (fimbriae) yang terdapat pada permukaan bakteri akan memfasilitasi perlekatan P.
aeruginosa dan Neisseria spp. ke epitel.

Invasi Bakteri
Kapsul bakteri dan komponen permukaan lainnya memiliki peran yang penting dalam
menginvasi kornea. Sebagai contoh, beberapa bakteri menghindari aktivasi jalur
komplemen alternatif karena memiliki polisakarida di kapsulnya. Lipopolisakarida pada
subkapsul bakteri merupakan mediator utama terhadap terjadinya inflamasi kornea.
Inokulasi endotoksin pada intrastroma kornea akan memicu respon peradangan. Invasi
bakteri ke dalam sel epitel dimediasi sebagian oleh interaksi antara protein permukaan sel

Universitas Sumatera Utara

bakteri, integrin, protein permukaan sel epitel, dan pelepasan protease bakteri. Organisme
seperti

as N.

gonorrhoeae,[99] N.

meningitidis,[100]Corynebacteriurn

diphtheriae, Haemophilus aegyptius, and Listeria monocytogenes

dapat menembus

permukaan epitel kornea yang intak melalui mekanisme ini.


Terkadang kolonisasi bakteri pada permukaan kornea dapat mendahului invasi stroma.
Tanpa antibiotik atau intervensi lainnya, bakteri dapat melanjutkan proses invasi dan
replikasi pada stroma kornea. Keratosit memiliki kemampuan fagositosis, namun stroma
avaskular yang terpajan tidak dapat melindungi kornea. Mikroorganisme di stroma
anterior akan memproduksi enzim proteolitik yang akan menghancurkan matriks stroma
dan fibrilkolagen. Invasi bakteri dapat terjadi beberapa jam setelah terjadinya
kontaminasi luka kornea dengan agen eksogen atau setelah penggunaan lensa kontak
yang terkontaminasi. Peningkatan populasi bakterial tertinggi terjadi pada 2 hari pertama
infeksi stroma.
Setelah inokulasi terjadi, bakteri akan menginfiltrasi epitel sekitarnya dan stroma yang
lebih dalam di sekitar lokasi infeksi awal. Bakteri yang bertahan cenderung ditemukan
pada tepi infiltrat atau di dalam pusat ulserasi kornea. Multiplikasi bakteri yang tidak
terkendali di dalam stroma kornea akan mengakibatkan pembesaran fokus infeksi ke
kornea sekitarnya.

Inflamasi Kornea dan Kerusakan Jaringan


Berbagai mediator dan sel radang dapat dipicu oleh invasi bakteri dan menimbulkan
inflamasi yang mengakibatkan destruksi jaringan. Mediator inflamasi yang terlarut
meliputi sistem pembentuk-kinin, sistem pembekuan dan fibrinolitik, imunoglobulin,

Universitas Sumatera Utara

komponen komplemen, amino vasoaktif, eikosanoid, neuropeptida, dan sitokin. Kaskade


komplemen dapat dipicu untuk membunuh bakteri namun kemotaksin yang complementdependent dapat mengawali inflamasi fokal.
Produksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF)-alpha and interleukin-1 akan
mengakibatkan adhesi dan ekstravasasi neutrofil di pembuluh darah limbus. Proses ini
dimediasi oleh glikoprotein adhesi sel seperti integrin dan selektin dan anggota
superfamily imunoglobulin seperti intercellular adhesion molecules (ICAMs) pada sel
endotel vaskular dan leukosit.
Dilatasi vaskular konjungtival dan limbal berhubungan dengan peningkatan permeabilitas
yang akan menimbulkan eksudat radang di dalam lapisan air mata dan kornea perifer.
Neutrofil polimorfonuklir (PMNs) dapat memasuki kornea yang cedera melalui lapisan
air mata pada defek epitel, namun umumnya PMN melewati limbus.
Perekrutan sel radang akut akan terjadi beberapa jam setelah terjadinya inokulasi bakteri.
Dengan terjadinya akumulasi neutrofil pada lokasi infeksi, semakin banyak sitokin dan
komponen komplemen yang dihasilkan untuk menarik lebih banyak leukosit. Makrofag
akan berpindah ke kornea untuk memusnahkan bakteri dan neutrofil yang telah
berdegenerasi. Inflamasi stroma yang berat dapat mengakibatkan penghancuran stroma
secara proteolitik dan nekrosis jaringan.
Kerokan dari kornea yang terinfeksi akan memperlihatkan kumpulan neutrofil di
antara jaringan debris nekrotik.10 Organisme dapat ditemukan pada pemeriksaan
pewarnaan Gram. Pemeriksaan kultur sangat membantu identifikasi organisme penyebab
dan sensitivitas antibiotik.

Universitas Sumatera Utara

Terapi Keratitis Bakterial


Topikal
Terapi keratitis bakterial sebelumnya adalah tetes mata fortified seperti 5% cefazoline
dan 1% gentamicin, namun terapi ini memiliki biaya yang mahal dan kurang nyaman
digunakan oleh pasien. Selain itu sediaan komersial terapi ini tidak tersedia sehingga
harus diformulasi lebih dahulu oleh dokter.
Fluorokuinolon yang merupakan antibiotik spektrum luas telah mengubah pola terapi ini.
Antibiotik dari golongan ini umumnya mampu mengatasi sebagian besar bakteri Gram
positif dan bakteri Gram-negatif anaerobik, oleh karena ini antibiotik ini menjadi drugs of
choice untuk keratitis bakterial.4, 10, 11, 17, 18 Keratoplasti biasanya dilakukan setelah ulkus
pulih dengan antibiotik dan masih meninggalkan sikatriks.10 Tindakan keratoplasti dapat
dilakukan pada fase infeksi akut jika terdapat ancaman perforasi maupun telah terjadi
perforasi.10 Steroid masih menjadi kontroversi dalam penatalaksanaan keratitis
bakterial.19

Sistemik
Keratitis bakterial tanpa komplikasi tidak membutuhkan terapi sistemik.20 Terapi sistemik
diberikan pada komplikasi yang berupa endoftalmitis, terutama endoftalmitis
endogen/metastatik yang membutuhkan penanganan infeksi sistemiknya. Pemberian
terapi sistemik harus diawasi mengingat adanya risiko toksisitas.4

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Derajat keparahan keratitis bakterial berdasarkan kriteria Jones


Faktor
Lokasi
Area
Kedalaman
Radang di segmen
anterior

Grade I (ringan)
Non-aksial
2 mm
1/3 stroma anterior
Ringan

Rawat inap

Tidak

Terapi antimikroba
awal

Tetes mata topikal


fortified

Grade II (sedang)
Sentral atau perifer
2-6 mm
2/3 stroma anterior
Sedang atau berat;
eksudat
dengan
fibin
Dapat

Grade III (berat)


Sentral atau perifer
6 mm
> 2/3 stroma
Berat; hipopion

dipertimbangkan

dipertimbangkan

Tetes mata topikal


fortified

Tetes mata topikal


fortified
Pertimbangkan
antibiotik intravena

Dapat

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai