Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkuliahan dengan sistem Problem Based Learning/ PBL pada blok sistem
kardiovaskuler, respirasi, pencernaan, imun hematologi, dan neurobehavior sudah diterima
pada semester III dan IV. Mata kuliah tersebut membahas tentang prinsip-prinsip teoritis
dan keterampilan klinis tentang sistem tersebut diatas sesuai tingkat usia manusia mulai dari
pembentukan dalam kandungan sampai lansia. Fokus pada masing- masing mata kuliah
tersebut diatas membahas tentang aspek yang terkait dengan sistem kardiovaskuler,
respirasi, pencernaan, imun hematologi, neurobehavior I, dan integumen . Berdasar hal
tersebut mempermudah mahasiswa berpikir sistematis dan komprehensif dalam
mengaplikasikan konsep dengan pendekatan asuhan keperawatan sebagai dasar pemecahan
masalah. (Kerangka Acuan Praktik Klinik Keperawatan, 2015)
Salah satu metode pembelajaran untuk mencapai kompetensi tersebut adalah metode
pembelajaran di lapangan (rumah sakit). Sebagai suatu upaya mengetahui sejauhmana
pemahaman mahasiswa tentang kemampuan dalam mengaplikasikan pengetahuan,
keterampilan serta cara bersikap dalam pelayanan asuhan keperawatan kepada pasien
maupun teman sejawat maka dilakukanlah pelaksanaan praktik klinik keperawatan di
rumah sakit Bethesda dalam rangka menerapkan ilmu yang telah diterima mahasiswa dalam
perkuliahan system kardiovaskuler, respirasi, pencernaan, imun hematologi, neurobehavior
I, dan integument dengan harapan mahasiswa semester IV program studi S1 Keperawatan
mampu menerapkan ilmu yang ditujukan kepada pasien dimana tidak hanya pengetahuan
tetapi keterampilan dan juga sikap-sikap yang harus diperhatikan saat melakukan
keterampilan dalam melakukan praktik pelayanan asuhan keperawatan.(Kerangka Acuan
Praktik Klinik Keperawatan, 2015)

B. Tujuan
1. Umum
Melalui pelaksanaan praktik klinik keperawatan pada sistem kardiovaskuler, respirasi,
pencernaan, imun hematologi, neurobehaviour I, dan integumen di RS Bethesda
Yogyakarta, RS Bethesda Lempuyangwangi, RS Dr. Cipto Semarang, RS Panti Wilasa
Citarum, RS Panti Rahayu Purwodadi, RS Emmanuel Klampok, mahasiswa diharapkan
mampu mengaplikasikan pengetahuan, keterampilan, serta sikap yang telah diperoleh
selama menerima dan mempelajari mata kuliah tersebut diatas.
2. Tujuan Khusus
Setelah melakukan praktik laboratorium klinik keperawatan di RS Bethesda
Yogyakarta dan RS Bethesda Lempuyanganwangi, RS Dr. Cipto Semarang, RS Panti
Wilasa Citarum, RS Panti Rahayu Purwodadi, RS Emmanuel Klampok, mahasiswa
diharapkan mampu mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat, dengan mampu
melakukan praktik pelayanan proses asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan pada sistem:
a. Kardiovaskuler
b. Respirasi
c. Pencernaan
d. Imun Hematologi
e. Neurobehavior I
f. Integumen

BAB II
PELAKSANAAN PRAKTIK
A. Waktu dan Tempat
2

1. Waktu
a. Pelaksanaan praktik klinik keperawatan dimulai dari tanggal 22-25 Juli 2015.
b. Pengaturan jadwal praktik sesuai dengan jadwal Puskesmas Mergangsan, sebagai
berikut :
1) Senin-Kamis
: 07.30 14.30 WIB
2) Jumat
: 07.00 (senam pagi) 11.30 WIB
3) Sabtu
: 07.30 13.00 WIB
2. Tempat
Pelakasanaan praktik klinik keperawatan semester IV ini dilaksanakan di Puskesmas
Mergangsan
B. Profil Puskesmas Mergangsan
Gambaran Umum Puskesmas Mergangsan Tahun 2014
Batas Wilayah
Batas wilayah Kecamatan Mergangsan adalah sebagai berikut:
a. Utara : Kecamatan Pakualaman dan Kecamatan Gondomanan\
b. Timur : Kecamatan Umbulharjo
c. Selatan : Kecamatan Sewon, Bantul
d. Barat : Kecamatan Mantrijeron, Kraton dan Gondokusuman
Kondisi wilayah Kecamatan Mergangsan merupakan daerah daratan rendah di wilayah
perkotaan dan dilintasi oleh sungai Code.
ISO
Pada tanggal 26 November 2013 Puskesmas Mergangsan mendapat Sertifikat ISO 9001:
2008. Setahun kemudian tepatnya November 2014 diadakan audit eksternal ISO 9001: 2008
dan hasilnya Puskesmas Mergangsan masih bisa mempertahankan Sertivikat ISO 9001: 2008
yang telah didapatkan.
Visi, Misi, Kebijakan Mutu dan Budaya Kerja
Dalam melaksanakan pembangunan kesehatan, Puskesmas Mergangsan mempunyai visi dan
misi sebagai berikut:
1. Visi

Menjadi puskesmas yang mampu memberikan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu,
merata dan terjangkau serta mampu menyelenggarakan masyarakat hidup bersih dan
sehat secara mandiri.
2. Misi
a. Memberikan pelayanan sesuai standar, peduli, responsive dan berkeadilan
b. Memberikan pelayanan yang mengutamakan kepuasan pelanggan
c. Mendorong dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan
d. Mencegah dan mengendalikan penyebaran peyakit menular yang berpotensi wabah
Pelayanan Puskesmas Mergangsan
Pelayanan Puskesmas Mergangsan dengan jadwal pendaftaran sebagai berikut:
1. Senin-Kamis : 07.30 12.00 WIB
2. Jumat

: 07.30 10.30 WIB

3. Sabtu

: 07.30 11.00 WIB

Puskesmas Mergangsan terdiri dari satu puskesmas induk, satu pustu yaitu Pustu
Joyonegaran dan Rumah Pemulihan Gizi (RPG). Berikut pelayanan yang terdapat di
Puskesmas Mergangsan:
1. Jenis layanan Puskesmas Induk Mergangsan meliputi BPU (Balai Pengobatan Umum),
BPG (Balai Pengobatan Gigi), KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), laboratorium, radiologi,
farmasi klinik konsultasi gizi dan konseling ASI/ menyusui, klinik konsultasi psikologi,
klinik konsultasi berhenti merokok.
2. Jenis layanan Pustu Joyonegaran meliputi BPU (Balai Pengobatan Umum), BPG (Balai
Pengobatan Gigi), KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), laboratorium, dan farmasi. Sejak 15
Desember 2014 Pustu Joyonegaran tutup.
3. Jenis layanan RPG meliputi pelayanan skrining dan perawatan balita gizi buruk. Sejak 15
April 2014 rawat inap bersalin Puskesmas Mergangsan berada satu lokasi dengan RPG.

Adapun pelaksanaan kegiatan untuk masing-masing program, baik di dalam gedung


maupun di luar gedung Puskesmas Mergangsan adalah sebagai berikut:
1. BPU (Balai Pengobatan Umum) & Lansia
a. Pelayanan umum, lansia, dan UGD selama jam kerja
b. Buka hari minggu untuk pelayanan gawat darurat
c. Rujukan apabila ada kasus yang perlu dirujuk
d. Peralatan di BPU/Lansia antara lain EKG, compressor nebulizer, oksigen
concentrator, bed patient I crank, bed patient biasa
2. BPG
a. Pelayanan setiap hari selama jam kerja
b. Rujukan apabila ada kasus yang perlu dirujuk
c. Memiliki tiga dental unit
d. Pemeriksaan anak sekolah (SD, SMP, SMA)
e. Pelatihan kader UKGMD
3. KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) & KB (Keluarga Berencana)
a. Pelayanan KIA meliputi pelayanan KB, kehamilan seminggu dua kali, imunisasi,
papsmear, dan lain-lain.
b. Rujukan langsung dilayani dokter Residen di rawat inap
c. Terdapat pelayanan USG dengan dokter spesialis
d. Pembinaan terhadap murid TK, kader, dukun bayi, posyandu, lansia, PUS, WUS,
remaja dan lain-lain.
e. PWS KIA/KPKIA (Kelompok Peminat Kesehatan Ibu dan Anak)

f. SDIDTK (Stimulasi dan Deteksi Dinin Tumbuh Kembang) bayi, balita dan anak pra
sekolah
4. Gizi
a. Penimbangan balita
b. Penyuluhan di posyandu
c. Drop barang UPGK
d. Pemberian vitamin A dan Fe
e. Pencegahan defisiensi yodium
f. Monitoring status gizi
g. Pertemuan kader gizi kelurahan tiap bulan
h. Refreshing kader
i. PWS PG
j. Pembinaan karang gizi/ toga
k. Evaluasi posyandu setiap tiga bulan sekali
5. P2M
a. Imunisasi meliputi penyuluhan, pencarian drop out, pengambilan vaksin, pemberian
imunisasi di puskesmas
b. Diare meliputi pencarian kasus, pengobatan pasien dan penyuluhan
c. Kusta meliputi penyuluhan, case survey, school survey
d. ISPA meliputi penemuan dan pengobatan penderita dan penyuluhan
e. TB (Tuberculosis) meliputi penyuluhan, penemuan serta pengobatan penderita dan
administrasi
6

f. Demam berdarah meliputi PJB tiga bulan sekali, penyuluhan PSN, pelacakan
penderita, abatisasi selektif dan fogging
g. Malaria meliputi pencarian dan penemuan pengobatan penderita
6. PKM (Promosi Kesehatan Masyarakat)
Mading, penyuluhan, pertemuan PKMD kelurahan, kecamatan, pembinaan dan sehat,
pembinaan UKBM, pembinaan SBH
7. HS (Hygiene Sanitasi)
Pengambilan sampel air, penyuluhan dan pembinaan kesling, pendataan dan pembinaan
perumahan, jaga, SPAL, TTU, TP3, TP2M, pembinaan kesehatan kerja dan inspeksi
sanitarian air bersih.
8. PHN (Public Health Nurse)
Kunjungan rumah bagi kelompok resti, keluarga rawan, lanjut usia.
9. UKS
Pendataan murid, bimbingan/ penyuluhan, screening UKS, penataran dokter kecil,
pertemuan TP UKS/ 3 bulan sekali.
10. Laboratorium
a. Pelayanan laboratorium setiap hari selama jam kerja puskesmas
b. Memiliki peralatan laboratorium yang cukup memadai, antara lain mikrotoar,
photometer, solovst, mikroskop binocular, centrifuge urin dan darah, centrifuge HMT.
11. Farmasi
Pelayanan obat setiap hari selama jam kerja puskesmas.
12. Radiologi
Melayani pemeriksaan radiologi senin sampai sabtu.
13. Klinik Konsultasi Gizi

Pelayanan konsultasi meliputi konseling IMD dan ASI/ menyusui, konseling gizi bayi/
balita, remaja, calon pengantin, lansia, dan konsultasi gizi dengan penyakit penyerta.
Pelayanan setiap hari senin, selasa, rabu, kamis, dan sabtu.
14. Klinik Konsultasi Psikolog
Pelayanan konsultasi setiap hari kerja.
15. Klinik Konsultasi Berhenti Merokok
Pelayanan konsultasi setiapp hari selasa dan kamis jam 10.00-12.00 WIB
16. KESWA
Pengobatan penderita lepas rawat RS, rawat jalan penderita jiwa, penerimaan penderita
baru, penyuluhan, pertemuan dan rujukan RSJ.
17. Rawat Inap Bersalin
a. Pelayanan bersalin 24 jam
b. Terdapat dokter residen
c. Peralatan yang dimiliki antara lain CTG, incubator, bed pemeriksa, lampu, partus set,
troli alat, standar infuse, set partus, COVIS, brancar gea, vacuum, O2 besar, O2 kecil,
lampu operasi, lampu penghangat bayi, tensi meter, stetoskop, pesawat sinar X,
otomatic prosesor, kaset extrie, GRIT, EVRON, baju pasien, krikes, standar kaset, bet
periksa rontgen, diagnostic set.
18. RPG (Rumah Pemulihan Gizi)
a. Pelayanan senin sampai dengan sabtu
b. Melayani balita yang memiliki permasalahan gizi, baik gizi buruk maupun gizi lebih.
Jenis layanan meliputi balita sekrening, balita penderita dan balita rawat.
19. Pencatatan dan Pelaporan (R/ R)
Melaksanakan pencatatan dan pelaporan harian pasien maupun non pasien, antar lain:
a. Laporan minggu

1) W2PU
2) P2ISPA
b. Laporan bulanan
(Sumber: staf administrasi Puskesmas Mergangsan)
Sejarah Puskesmas Mergangsan
Puskesmas Mergangsan sejak tanggal 15 April 2014 berada di dua lokasi. Rawat
jalan berada di jalan Taman Siswa Gang Braja Perma MG II/1168 RT 22 RW 11
Kelurahan Wiroguanan Kecamatan Mergangsan Kota Yogyakarta, sedangkan rawat inap
Puskesmas Mergangsan berada di Rumah Pemulihan Gizi (RPG) tepatnya di jalan
Mayjen Sutoyo Nomor 32 Mantrijeron Kota Yogyakarta. Sebelumnya Puskesmas
Mergangsan berada di jalan Kolonel Sugiono Nomor 98 Kelurahan Brontokusuman
Kecamatan Mergangsan Kota Yogyakarta.
Awal berdiri pada tanggal 28 Februari 1966 dengan nama Klinik Bersalin
Tresnowati. Pada tanggal 1 Oktober 1987 Klinik Bersalin Tresnowati menjadi RSUD
Kota Yogyakarta dengan type kelas D, meliputi pelayanan dasar umum, gigi dan
kebidanan. Pada tahun 1988 pelayanan RSUD Kota Yogyakarta pindah dengan gedung
baru di jalan Wirosaban yang sering disebut dengan Rumah Sakit Wirosaban. Sedangkan
gedung lama berganti nama menjadi Puskesmas Mergangsan dengan perawatan.
Semula Puskesmas Mergangsan hanya memberikan pelayanan dasar berupa poli
umum, poli gigi, poli KIA/KB, imunisasi kemudian sejak tahun 2007 mulai melakukan
diversifikasi layanan kesehatan berupa layanan penunjang baik radiologi, laboratorium,
konsultasi gizi, sanitasi, psikologi, layanan kegawat daruratan serta rawat inap Poned
untuk persalinan. Pada tahun 2008 menjadi UPT Puskesmas Mergangsan dengan struktur
organisasi yang baru berdasarkan Perwal nomor 74 tahun 2008. Saat ini Perwal tersebut
diubah menjadi Perwal nomor 46 tahun 2012.
Pada tahun 2013 Puskesmas Mergangsan menjadi Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD) UPT Puskesmas Mergangsan Kota Yogyakarta berdasarkan Perwal nomor 442/
KEP/ 2012. Penerapan pola pengelolaan keuangan BLUD di UPT Puskesmas
Mergangsan Kota Yogyakarta dilaksanakan pada bulan November 2013. Selanjutnya
pada tahun yang sama tepatnya 26 November 2013 Puskesmas Mergangsan mendapat
9

sertifikat ISO 9001: 2008. Setahun kemudian tepatnya 12 November 2014 diadakan audit
eksternal ISO 9001: 2008 dan hasilnya Puskesmas Mergangsan masih bisa
mempertahankan sertifikat ISO 9001: 2008 yang telah didapatkan. Pada tanggal 15
Desember 2014 Pustu Joyonegaran ditutup samapi batas waktu yang tidak ditentukan
karena pertimbangan lokasi Pustu Joyonegaran yang dekat dengan lokasi puskesmas
induk dan keterbatasan SDM.
Sumber: staf administrasi Puskesmas Mergangsan.
C. Pembahasan
Hasil Pencapaian:
1. Program pemerintah mengenai HIV/AIDS
a. Indikator: Mengetahui program nasional penanggulangan HIV/AIDS
Pencapain:
Program nasional Permenkes RI No. 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan
HIV dan AIDS
Bab IV Bagian kesatu
Pasal 9
(1) Kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS terdiri atas :
a. promosi kesehatan;
b. pencegahan penularan HIV;
c. pemeriksaan diagnosis HIV;
d. pengobatan, perawatan dan dukungan; dan
e. rehabilitasi.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh
Pemerintah dan masyarakat.

10

(3) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk layanan komprehensif dan berkesinambungan.
(4) Layanan komprehensif dan berkesinambungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) merupakan upaya yang meliputi semua bentuk layanan HIV dan AIDS yang
dilakukan secara paripurna mulai darirumah, masyarakat sampai ke fasilitas
pelayanan kesehatan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman layanan komprehensif dan
berkesinambungan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Promosi Kesehatan
Pasal 10
(1) Promosi kesehatan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar
dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan menghilangkan
stigma serta diskriminasi.
(2) Promosi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk
advokasi, bina suasana, pemberdayaan, kemitraan dan peran serta masyarakat
sesuai dengan kondisi sosial budaya serta didukung kebijakan publik.
(3) Promosi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan terlatih.
(4) Sasaran promosi kesehatan meliputi pembuat kebijakan, sektor swasta,
organisasi kemasyarakatan dan masyarakat.
(5) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diutamakan pada populasi
sasaran dan populasi kunci.
(6) Populasi sasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan populasi
yang menjadi sasaran program.

11

(7) Populasi kunci sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi:


a. pengguna napza suntik;
b. Wanita Pekerja Seks (WPS) langsung maupun tidak langsung;
c. pelanggan/ pasangan seks WPS;
d. gay, waria, dan Laki pelanggan/ pasangan Seks dengan sesama Laki
(LSL); dan
e. warga binaan lapas/rutan.
Pasal 11
(1) Promosi kesehatan dapat dilakukan terintegrasi dengan pelayanan kesehatan
maupun program promosi kesehatan lainnya.
(2) Promosi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. iklan layanan masyarakat;
b. kampanye penggunaan kondom

pada setiap hubungan seks

berisiko penularan penyakit;


c. promosi kesehatan bagi remaja dan dewasa muda;
d. peningkatan kapasitas dalam promosi pencegahan penyalahgunaan
napza dan penularan HIV kepada tenaga kesehatan, tenaga non
kesehatan yang terlatih; dan
e. program promosi kesehatan lainnya.
(3) Promosi kesehatan yang terintegrasi pada pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diutamakan pada pelayanan:
a. kesehatan peduli remaja;
b. kesehatan reproduksi dan keluarga berencana;
12

c. pemeriksaan asuhan antenatal;


d. infeksi menular seksual;
e. rehabilitasi napza; dan
f. tuberkulosis.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis promosi kesehatan
penanggulangan HIV dan AIDS diatur dengan PeraturanMenteri.
Bagian Ketiga
Pencegahan Penularan HIV Paragraf 1
Pasal 12
(1) Pencegahan penularan HIV dapat dicapai secara efektif dengan cara
menerapkan pola hidup aman dan tidak berisiko.
(2) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya :
a. pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual;
b. pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual; dan
c. pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya;
Paragraf 2 Pencegahan Penularan HIV Melalui Hubungan Seksual
Pasal 13
(1) Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual merupakan berbagai
upaya untuk mencegah seseorang terinfeksi HIV dan/atau penyakit IMS lain
yang ditularkan melalui hubunganseksual.
(2) Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual dilaksanakan terutama
di tempat yang berpotensi terjadinya hubungan seksual berisiko.

13

(3) Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual dilakukan dengan 4


(empat) kegiatan yang terintegrasi meliputi:
a. peningkatan peran pemangku kepentingan;
b. intervensi perubahan perilaku;
c. manajemen pasokan perbekalan kesehatan pencegahan; dan
d. penatalaksanaan IMS.
(4) Peningkatan peran pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf a ditujukan untuk menciptakan tatanan sosial di lingkungan populasi
kunci yang kondusif.
(5) Intervensi perubahan perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
ditujukan untuk memberi pemahaman dan mengubah perilaku kelompok secara
kolektif dan perilaku setiap individu dalam kelompok sehingga kerentanan
terhadap HIV berkurang.
(6)

Manajemen

pasokan

perbekalan

kesehatan

pencegahan

sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) huruf c ditujukan untuk menjamin tersedianya


perbekalan kesehatan pencegahan yang bermutu dan terjangkau.
(7) Penatalaksanaan IMS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d
ditujukan untuk menyembuhkan IMS pada individu dengan memutus mata
rantai penularan IMS melalui penyediaan pelayanan diagnosis dan pengobatan
serta konseling perubahan perilaku.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penatalaksanaan IMS

diatur

dengan Peraturan Menteri.


Pasal 14
(1) Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual dilakukan melalui
upaya untuk:

14

a. tidak melakukan hubungan seksual (Abstinensia);


b. setia dengan pasangan (Be Faithful);
c. menggunakan kondom secara konsisten (Condom use);
d. menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (no Drug);
e. meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk
mengobati IMS sedini mungkin (Education); dan
f. melakukan pencegahan lain, antara lain melalui sirkumsisi
(2) Tidak melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
ditujukan bagi orang yang belum menikah.
(3) Setia dengan pasangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya
berhubungan seksual dengan pasangan tetap yang diketahui tidak terinfeksi HIV.
(4) Menggunakan kondom secara konsisten sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c berarti selalu menggunakan kondom bila terpaksa

berhubungan

seksual pada penyimpangan terhadap ketentuan ayat (1) huruf a dan huruf b
serta hubungan seks dengan pasangan yang telah

terinfeksi HIV dan/atau IMS.

Paragraf 3 Pencegahan Penularan HIV Melalui Hubungan Non Seksual


Pasal 15
(1) Pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual ditujukan untuk
mencegah penularan HIV melalui darah.
(2) Pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. uji saring darah pendonor;
b. pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non medis yang
melukai tubuh; dan
15

c. pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik.


(3) uji saring darah pendonor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non medis yang melukai
tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dengan
penggunaan peralatan steril dan mematuhi standar prosedur operasional serta
memperhatikan kewaspadaan umum (universal precaution).
(5) Pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi:
a. program layanan alat suntik steril dengan konseling perubahan
perilaku serta dukungan psikososial;
b. mendorong pengguna napza suntik khususnya pecandu opiat
menjalani program terapi rumatan;
c. mendorong pengguna napza suntik untuk melakukan pencegahan
penularan seksual; dan
d. layanan konseling dan tes HIV serta pencegahan/imunisasi hepatitis.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengurangan dampak buruk
pada penggunaan napza suntik diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 4 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anaknya
Pasal 16
Pencegahan

penularan HIV dari ibu ke anaknya dilaksanakan melalui 4

(empat) kegiatan yang meliputi:


a. pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif;
b. pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan
dengan HIV;
16

c. pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi


yang dikandungnya; dan
d. pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
dengan HIV beserta anak dan keluarganya.
Pasal 17
(1) Terhadap ibu hamil yang memeriksakan kehamilan harus dilakukan promosi
kesehatan dan pencegahan penularan HIV.
(2) Pencegahan penularan HIV terhadap ibu hamil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan diagnostis HIV dengan tes dan
konseling.
(3) Tes dan Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianjurkan sebagai
bagian dari pemeriksaan laboratorium rutin saat pemeriksaan asuhan antenatal
atau menjelang persalinan pada:
a. semua ibu hamil yang tinggal di daerah dengan epidemi meluas
dan terkonsentrasi; atau
b. ibu hamil dengan keluhan keluhan IMS dan tuberkulosis di
daerah epidemi rendah.
Pasal 18
(1) Ibu hamil dengan HIV dan AIDS serta keluarganya harus diberikan
konseling mengenai:
a. pemberian ARV kepada ibu;
b. pilihan cara persalinan;
c. pilihan pemberian ASI eksklusif kepada bayi hingga usia 6 bulan atau
pemberian susu formula yang dapat diterima, layak, terjangkau,

17

berkelanjutan, dan aman (acceptable, feasible, affordable, sustainable,


and safe).
d. pemberian susu formula dan makanan tambahan kepada bayi setelah
usia 6 bulan;
e. pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksasol pada anak; dan
f. pemeriksaan HIV pada anak.
(2) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai bagian dari standar
perawatan bagi ibu hamil yang didiagnosis terinfeksi HIV
(3)

Konseling pemberian ASI dan pemberian makanan tambahan kepada bayi

setelah usia 6 bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d
disertai dengan informasi pemberian imunisasi, serta perawatan bayi baru lahir,
bayi dan anak balita yang benar.
Pasal 19
Setiap bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIVharus dilakukan tes virologi HIV
(DNA/RNA) dimulai pada usia 6 (enam) sampai dengan 8 (delapan) minggu atau tes
serologi HIV pada usia 18 (delapan belas) bulan ke atas.
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke
anaknya diatur dengan Peraturan Menteri.

18

Pergub DIY No. 37 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penanggulangan HIV dan
AIDS
Bab II Pengurangan Dampak Buruk Tertular dan Menularkan HIV
Pasal 2
(1) Pengurangan dampak buruk tertular atau menularkan HIV disusun dalam
rencana strategis.
(2) Rencana Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat visi, misi,
tujuan, sasaran, kegiatan dan rincian pembiayaan.
(3) Rencana strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun untuk jangka
waktu 5 (lima) tahun.
Pasal 3
(1) Visi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) merupakan perumusan
cita-cita luhur dilakukannya kegiatan pengurangan dampak buruk.
(2) Misi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) merupakan
perumusan strategi untuk mewujudkan visi.
(3) Tujuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) merupakan
perumusan hasil yang dapat terukur.
(4) Sasaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) meliputi
masyarakat umum, anak jalanan, pekerja seks laki-laki dan perempuan, warga
binaan pemasyarakatan,

laki-laki

yang

berhubungan

seks

dengan

lelaki,

pengungsi serta migran, dan populasi rawan lainnya.


(5) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) meliputi :
a. kegiatan promosi dan edukasi pencegahan penularan HIV;
b. pengurangan permintaan dan peredaran narkotika;

19

c. penyediaan alat suntik steril, penyediaan terapi substitusi; dan


d. penyediaan kondom.
(6) Pemilihan pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dilakukan dengan mempertimbangkan kelayakan (feasibility) dan kemampuan
untuk diterima (acceptability).
Pasal 6
(1) Dinas menyediakan fasilitas pelayanan komprehensif untuk pengurangan dampak
buruk tertular dan menularkan HIV.
(2) Fasilitas pelayanan komprehensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyediaan informasi dan edukasi pencegahan penularan HIV;
b. penyediaan alat suntik steril, penyediaan terapi substitusi;
c. pencegahan dan pengobatan infeksi menular seksual; dan
d. penyediaan kondom.
(3) Fasilitas pelayanan

komprehensif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

diperuntukkan bagi pekerja seks dan pengguna narkotika suntik.


(4) Fasilitas pelayanan komprehensif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disediakan di tempat pelayanan kesehatan yang ditunjuk berdasarkan analisa
kebutuhan, kemampuan, dan kemanfaatan.
(5) Pemerintah Kabupaten/Kota harus menyediakan minimal satu fasilitas
pelayanankomprehensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di Rumah Sakit Umum
Daerah.
(6) Biaya penyediaan fasilitas pelayanan komprehensif sebagaimana dimaksud
pada ayat

20

(5) bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota


dan/atau sumber dana lain yang sah.
Bab III Promosi Di Perusahaan
Pasal 7
(1) Pimpinan Perusahaan wajib melaksanakan promosi berkesinambungan
tentang pencegahan penularan HIV kepada pekerja/karyawannya.
(2) Pelaksanana Promosi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(3) Promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara mandiri
atau bekerjasama dengan pihak lain.
(4) Promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Dinas
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tenaga kerja.
Pasal 8
Promosi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dapat dilakukan melalui :
a. ceramah;
b. diskusi kelompok terfokus;
c. pembuatan dan penyebaran buku saku tentang pencegahan penularan
HIV; atau
d.

poster,

leaflet

dan

spanduk

atau

media

lain

yang

dapat

memberikan informasi tentang pencegahan penularan HIV.


Pasal 9
(1)

Dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan

tenaga kerja melakukan

pembinaan

penyelenggaraan

di bidang pembinaan
promosi

pencegahan

penularan HIV pada perusahaan.


21

(2) Upaya pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui :
a. pelatihan penyuluhan;
b. edukasi dan konseling bagi karyawan yang ditunjuk perusahaan;
c. pemberian penghargaan bagi perusahaan yang telah melakukan
promosi pencegahan penularan HIV; dan/atau
d. pemberian teguran tertulis dan pemberitaan di media massa
kepada

perusahaan yang tidak mengindahkan memberikan promosi

pencegahan penularan HIV.


Bab IV Sistem Rujukan
Pasal 10
(1) Rujukan berasal dari puskesmas, balai pengobatan, klinik bersalin, praktek
tenaga kesehatan mandiri, tempat konseling dan tes sukarela, dan fasilitas
pelayanan donor darah ke puskesmas, rumah sakit atau sarana kesehatan lainnya
yang memiliki fasilitas konseling dan tes suka rela, pengobatan, perawatan dan
pemberian duku ngan kepada ODHA.
(2) Rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang
yang diduga mengidap HIV atau orang yang memiliki simptom AIDS dengan surat
rujukan.
(3) Surat Rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus:
a. berisi informasi lengkap tentang keadaan kesehatan orang yang
dirujuk ;
b. bersifat rahasia dan dikirimkan bersamaan dengan orang yang
dirujuk dalam amplop tertutup; dan
c. mencantumkan fasilitas pelayanan kesehatan yang dituju pada
amplop surat rujukan.
22

Pasal 11
(1) Fasilitas pelayanan kesehatan yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (3) huruf c harus menerima rujukan orang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (2).
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengalihkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan lain yang setara karena
alasan tertentu.
Bab V Mekanisme Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA
Pasal 12
(1) Mekanisme pembiayaan pelayanan kesehatan bagi ODHA diselenggarakan
melalui sistem jaminan kesehatan semesta.
(2) Mekanisme pembiayaan sebagaimana dimaksud ayat (1) menggunakan
mekanisme :
a. penerima Bantuan Iuran (PBI); dan
b. coordination of Benefit (COB).
(3)

ODHA

yang

berhak

memperoleh

pembiayaan

pelayanan

kesehatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah yang terdaftar dalam daftar
kepesertaan jaminan kesehatan.
Pasal 13
(1) Dinas melakukan pendataan dan pemilahan ODHA yang akan diusulkan
memperoleh bantuan jaminan kesehatan semesta sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2).
(2) Berdasarkan pendataan dan pemilahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Dinas merekomendasikan ODHA penerima bantuan kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota.
23

Bab VII Pengawasan


Pasal 19
(1) Dinas Kesehatan melaksanakan pengawasan pelaksanaan penanggulangan
HIV dan AIDS yang dilakukan di sarana pelayanan kesehatan, tempat usaha
yang berpotensi menularkan HIV melalui kegiatan usahanya, dan perusahaan.
(2)

Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengawasan

pelaksanaan :
a. standar pelayanan minimum;
b. upaya pencegahan penularan;
c. kewaspadaan standar;
d. promosi; dan/atau
e. pelayanan komprehensif pengurangan dampak buruk.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling sedikit 1
kali dalam 1 (satu) tahun.
(4) Prosedur pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut olehKepala Dinas Kesehatan.
Pasal 20
Dinas harus mempublikasikan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19

di situs jejaring Dinas Kesehatan, surat kabar lokal dan/atau media

elektronik.

24

b. Indikator: Mengetahui program Puskesmas Mergangsan untuk penanggulangan


HIV/AIDS
Pencapaian:
Program Puskesmas Mergangsan untuk penanggulangan HIV/AIDS adalah sebagai
berikut:
1) Melakukan VCT mobile, yaitu mendatangi tempat-tempat yang terdapat orangorang yang memiliki factor risiko tinggi terkena HIV biasanya pada malam hari,
kemudian petugas kesehatan akan menawarkan VCT yaitu tes HIV secara
sukarela dari orang tersebut yang dilakukan ditempat. Sebelumnya mereka diberi
konseling terlebih dahulu, setelah hasil tes keluar juga diberi konseling lagi.
2) Melakukan VCT (Voluntary Counseling and Testing), yaitu tes HIV secara
sukarela disertai dengan konseling. Sebelum dilakukan tes, pasien perlu digali
sejauh mana mereka mengetahui HIV/AIDS, aktivitas sex, penggunaan kondom,
ada tidaknya IMS (Infeksi Menular Seksual). Sesudah hasil tes keluar, pasien
kembali mengikuti konseling tujuannya agar mengetahui tindakan apa yang
harus dilakukan selanjutnya dan diberi dukungan/ pendampingan. Jika hasil
positf HIV maka akan dirujuk ke RS atau LSM tertentu, jika hasil negative HIV
juga akan bertemu konselor lagi.
3) Melakukan PITC (Provider-Initiated Testing and Counseling), seperti VCT
namun sedikit berbeda. Yaitu tes HIV yang dilakukan oleh sesorang yang
merupakan saran dari petugas kesehatan. Khususnya disarankan untuk ibu hamil,
pasien IMS dan yang merkeka yang berisiko tinggi terkena HIV.
4) Pemberian kondom untuk pasien IMS dan HIV.
5) Melakukan penyuluhan HIV/AIDS.
6) Melakukan pendampingan dan konseling pada penderita HIV/AIDS.

25

c. Analisis kekuatan dan kelemahan program


Program
VCT mobile

Kekuatan
Kelemahan
Dilakukan ditempat-tempat orang- orang

dengan

resiko

tinggi

HIV/AIDS berada.

Membantu orang-orang yang malu


datang ke fasilitas kesehatan untuk
tes HIV karena tes dilakukan di
tempat

mereka

berada,

serta

membantu orang-orang yang ingin


tes HIV yang kebetulan berada di
VCT mandiri

tempat yang sedang dikunjungi.


Dapat membantu seseorang mengetahui Pasif karena membutuhkan
status

HIV/AIDS

apakah kesukarelaan,

negative/positif secara sukarela.


PITC

memaksakan

tidak

bisa

seseorang

untuk melakukan VCT.


Karena PITC merupakan saran dari Pasien terkadang merasa
petugas kesehatan untuk pasien, maka terpaksa untuk mengikuti
pasien tidak dapat menolak untuk tes HIV, padahal dari pihak

Pemberian
kondom

melakukan PITC.
Jika pasien menggunakan

medis tidak memaksakan.


kondom -

untuk dengan baik dan benar, dapat mencegah

pasien HIV dan penularan HIV/AIDS dan penularan


IMS
Penyuluhan/

IMS.
Dapat mengedukasi masyarakat tentang -

promosi

HIV, dan membantu menghilangkan


diskriminasi dan stigma pada penderita

HIV/AIDS
Pendampingan & Membantu penderita HIV/AIDS dalam konseling

kepatuhan

pengobatan,

member

motivasi dan dukungan agar tidak putus


asa.
26

2. Pemeriksaan diagnostik HIV/AIDS


Berdasarkan Majalah Kedokteran FK UKI 2012 Vol XXVIII No.3 Juli-September.
Diagnosis Serologis Infeksi Human Immunodeficiency Virus oleh Edyana Durman
Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia :

Pemeriksaan utama untuk menegakkan diagnosis infeksi HIV adalah pemeriksaan


serologi untuk deteksi antibodi. Pada perkembangannya juga dapat dilakukan deteksi
antigen. Pemeriksaan serologi terdiri atas pemeriksaan penyaring dan pemeriksaan
konfirmasi yang masing-masing mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi.
Pemeriksaan penyaring dilakukan dengan metode ELISA dan rapid test sedangkan
metode WB digunakan untuk konfirmasi.Pemeriksaan antigen atau partikel virus
dilakukan untuk menetapkan viral load dengan memakai metode PCR.
a. Pemeriksaan dengan sistem Enzyme Immuno Assay (EIA) / ELISA
Adalah jenis pemeriksaan penyaring yang efektif dan banyak dipakai untuk
mendeteksi antibodi anti HIV karena mempunyai sensitifitas yang tinggi. Sebagai
bahan pemeriksaan dipakai
metode

darah, cairan rongga mulut, atau urin. Umumnya

EIA mendeteksi antibodi terhadap protein p6 dan gp 41 yang merupakan

bagian virus HIV. Hasil pemeriksaan dibandingkan dengan nilai cut off yang
didapat saat pemeriksaan ELISA dilakukan.
Bila nilai sampel lebih kecil dari nilai cut off dianggap non reaktif, tetapi bila
nilai sampel lebih besar dari nilai cut off pemeriksaan diulang kembali
(induplikat) dengan memakai sampel yang baru. Jika hasil pemeriksaan ulangan
tersebut lebih besar dari cut off berarti hasil pemeriksaan reaktif terhadap HIV.
Bila nilai sampel mendekati nilai cut off pemeriksaan ulang dilakukan 2-4
minggu

kemudian,

karena diharapkan dalam periode tersebut antibodi yang

terbentuk sudah dapat dideteksi.

27

Hasil negatif palsu dapat terjadi karena rendahnya titer antibodi atau akibat
terapi immunosupresi. Hasil positif palsu dapat terjadi karena kesalahan teknik
pemeriksaan (pencucian

yang

salah,

suhu

yang

tidak tepat atau sampel

terkontaminasi), sampel mengalami hemolisis atau lipemik atau terjadi reaksi


silang dengan retrovirus lain. Setiap hasil pemeriksaan EIA harus dikonfirmasikan
dengan pemeriksaan WB karena lebih spesifik.

b. Pemeriksaan Western Bolt


Pemeriksaan WB merupakan metode konfirmasi yang paling banyak dipakai
setelah

dilakukan

pemeriksaan

penyaring

misalnya

dengan

EIA.

Prinsip

pemeriksaannya adalah reaksi antara antibodi anti HIV dengan antigen HIV.
Protein yang berasal dari virus HIV didenaturasi dan selanjutnya dipisahkan
dengan metode elektroforesis dengan menggunakan sodium dodecyl sulfate
polyacrylamide gel (SDS-PAGE). Protein dengan berat molekul besar akan
bermigrasi lambat, sedangkan protein dengan berat molekul ringan akan bermigrasi
lebih cepat. Selanjutnya dari gel, protein ditransfer ke membran nitroselulose dan
direaksikan dengan serum pasien. Selanjutnya dilakukan dilakukan visualisasi hingga
hasil WB terlihat sebagai pita.
Hasil dinyatakan positif bila terdapat pita sekurang-kurangnya dua dari antigen
berikut ini yaitu, inti (Gag) protein (p24), (env) glikoprotein (gp41) atau gp 120/160,
28

sedangkan hasilnya negatif bila tidak ditemukan pita. Hasil pemeriksaan meragukan
bila ditemukan ada pita tetapi tidak memenuhi kriteria untuk disebut positif. Menurut
WHO bila hasil meragukan, dilakukan pemeriksaan ulang setelah dua minggu. Bila
hasil tetap negatif selama satu bulan berarti infeksi HIV dapat disingkirkan.

c. Rapid Test
Rapid test untuk deteksi antibodi anti HIV telah banyak digunakan selama decade
terakhir. Dasar rapid test adalah immunokromatografi HIV-1 dan antibodi HIV-2
secara kualitatif. Pemeriksaan di atas mudah dilakukan, tidak memerlukan peralatan
khusus serta tidak memerlukan tenaga terlatih. Hasilnya dapat dibaca dalam waktu
kurang dari 30 menit. Karena itu rapid test sangat berguna untuk membantu
menetapkan status medis pada orang yang diduga terinfeksi HIV sehingga dapat
mengurangi penularan infeksi karena hasil pemeriksaan diperoleh dalam waktu yang
singkat dan pasien dapat segera ditangani.
US Food and Drug Administration (FDA) menyetujui empat jenis pemeriksaan
rapid test yaitu OraQuick Advance Rapid, Reveal

TM

G-2 Rapid HIV-1 Antibody test,

Uni-Gold Recombigen, Multispot HIV-1/HIV-2.

29

OraQuick Rapid HIV-1/2 Antibody Test


Spesimen klinik berupa darah vena, atau ujung jari dan cairan rongga mulut.
Darah dimasukan ke dalam tabung pengencer yang mengandung 1ml larutan buffer
lalu dikocok hingga merata kemudian dimasukkan alat penguji (strip/carik celup) ke
dalam tabung pengencer tersebut. Cairan oral diperoleh dengan usapan pada gusi luar
atas dan bawah, yang langsung dimasukan ke dalam tabung pengencer. Antibodi anti
HIV pada sampel akan mengikat reagen protein A koloid emas. Kompleks antibodi
HIV-protein koloid emas akan bereaksi dengan antigen di membrane nitroselulosa
yang mengandung peptida sintetik gp 41 (HIV-1) dan gp 36 (HIV-2) yang sesuai
dengan goat anti-human IGg dan akan membentuk warna merah. Garis merah yang
muncul di area kontrol menandakan hasil yang reaktif. Hasil dibaca dalam waktu 20
sampai 40 menit. Bila pembacaan kurang dari 20 menit (terhitung mulai carik celup
dimasukan ke dalam tabung pengencer) kemungkinan akan menghasilkan negatif
palsu. Sebaliknya bila pembacaan hasil lebih dari 40 menit akan memberikan hasil
positif palsu. Bila tidak timbul warna merah maka dapat disebut hasil non reaktif.
Antibodi HIV-1 dan antibody HIV-2 tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan
ini. Hasil pemeriksaan yang positif lemah pada rapid test harus dipastikan dengan tes
EIA atau Western Blot. Biasanya bahan pemeriksaan yang berasal dari cairan oral
tidak seakurat bahan dari pemeriksaan darah. Pada laporan kasus didapatkan bayi
berusia di bawah 18 bulan yang diperiksa dengan rapid tes memberikan hasil negatif
palsu. Hal itu mungkin disebabkan tertekannya pembentukan antibodi bayi oleh
antibodi IgG ibu dan akibat imunosupressi.

30

d. Polymerase Chain Reaction


Untuk diagnosis infeksi HIV selain deteksi antibodi juga dikembangkan deteksi
antigen diantaranya dengan mengukur viral load memakai metode polymerase chain
reaction (PCR) untuk mendeteksi asam nukleat virus HIV. Dilakukan biasanya pada
bayi di bawah usia 18 bulan karena pada usia kurang 18 bulan antibodi belum
terbentuk. Dengan pengukuran HIV RNA di dalam darah, dapat dinilai besarnya
replikasi virus. Tiap virus HIV membawa dua kopi RNA. Jika hasil pemeriksaan
didapatkan jumlah HIV RNA sebesar 20 000 kopi per ml maka berarti di dalam tiap
mililiter darah terdapat 10 000 partikel RNA virus dalam plasma yang dapat diukur
secara kuantitatif melalui beberapa cara misalnya polymerase chain reaction (PCR),

31

branched-chain DNA (b-DNA), dan nucleic acid sequence-based amplification


(NASBA).

Sedangkan pemeriksaan HIV/AIDS yang ada di Puskesmas Mergangsan adalah


rapid test HIV melalui PITC maupun VCT.
Alur VCT:
Pasien datang

ke bagian pendaftaran

ingin tes HIV sukarela (VCT)

membayar

ke ruang konseling

bertemu dokter

anamnese

pasien mengisi inform consent

dan konseling pra tes, digali sejauh mana pengetahuan tentang HIV/AIDS

pasien

mengisi formulir regristasi konseling dan tes HIV sambil ditanya tentang aktivitas sex,
penggunaan kondom, pasangan sex, perilaku tidak sehat (penggunaan napza)
ke lab untuk rapid test
keluar

menunggu hasil tes keluar selama 15-20 menit

pasien
hasil tes

Jika hasil positif HIV, pasien kembali ke ruang konseling untuk konseling post

tes untuk diberi dukungan dalam menanggapi hasil tes, diberi informasi perlunya
perawatan dan pengobatan HIV, cara pencegahan penularan kepada pasangan, setelah itu
pasien akan dirujuk ke rumah sakit atau LSM tertentu yang melayani pasien HIV/AIDS;
jika hasil negative HIV, pasien kembali ke ruang konseling untuk konseling post test
akan diberi pesan tentang pencegahan HIV/AIDS, disarankan untuk melakukan tes
ulang 3 bulan kemudian karena dikhawatirkan pasien dalam tahap window period.
Alur PITC: sama dengan VCT, perbedaan nya terletak pada dorongan untuk melakukan
tes HIV bukan inisiatif dari diri pasien sendiri namun merupakan saran dari dokter/
petugas kesehatan dan tidak dapat dipaksakan.

a. Indikator: Melakukan pengambilan sampel untuk pemeriksaan HIV/AIDS


Pencapaian:

32

Dalam praktik selama 4 hari, mahasiswa tidak dapat melakukan pengambilan sampel
untuk pemeriksaan rapid HIV/AIDS karena sampel diambil langsung oleh petugas
laborat di ruang laboratorium.
b. Indikator: Melakukan pemeriksaan rapid HIV/AIDS
Pencapaian:
Mahasiswa tidak melakukan pemeriksaan rapid test HIV, namun dapat
mengobservasi pemeriksaan tersebut dengan memperhatikan langkah-langkahnya
yang dilakukan oleh petugas laborat. Adapun langkah-langkah rapid test HIV adalah
sebagai berikut:
1) Mengambil sampel darah vena pasien.
2) Meneteskan satu tetes sampel darah ke alat tes (rapid test SD) dan ditambah
dengan satu tetes reagen.
3) Menunggu hasil selama kurang lebih 15 menit yang berupa garis/strip.
4) Jika muncul satu garis/strip berarti non reaktif/ negative HIV, jika muncul dua
garis/strip berarti reaktif/ positif HIV.
Terdapat tiga reagen yang digunakan di laboratorium Puskesmas Mergangsan, yaitu:
1) Intec Advanced Quality untuk lini pertama.
2) Oncoprobe HIV 1&2 Antibody untuk lini kedua.
3) Biomerik Vikia HIV untuk lini ketiga
c. Indikator: Mengetahui arti hasil pemeriksaan HIV/AIDS
Pencapaian:
Pada rapid test HIV jika muncul satu garis/strip berarti non reaktif/ negative HIV,
jika muncul dua garis/strip berarti reaktif/ positif HIV.
Berdasarkan penggunaan reagen:
33

Jika dilakukan tes 3 kali dengan 3 reagen berbeda, salah satu hasil nya non
reaktif maka hasil yang lain juga sama non reaktif yang artinya negative HIV

Jika dilakukan tes 3 kali dengan 3 reagen berbeda, hasilnya 2 reaktif dan 1 non
reaktif berarti indeterminate atau masih rancu.

Jika dilakukan tes 3 kali dengan 3 reagen berbeda, hasilnya ketiganya reaktif
artinya positif HIV.

3. Pengobatan HIV/AIDS di Puskesmas Mergangsan


Pencapaian:
Di Puskesmas Mergangsan tidak terdapat obat-obatan untuk HIV, hanya ada pemeriksaan
rapid test dan konseling. Jika setelah di tes pasien positif HIV, maka akan segera dirujuk
ke rumah sakit dan LSM tertentu di Yogyakarta untuk mendapatkan pengobatan. Meski
tidak ada obat-obatan HIV, di Puskesmas Mergangsan mempunyai obat-obat IMS. Obatobat IMS yang ada di farmasi Puskesmas Mergangsan antara lain:
a. Metronidazol 500 mg merupakan antibiotik untuk penyakit infeksi karena bakteri
anaerob, IMS, infeksi bakteri vaginosis (penyakit infeksi tidak spesifik pada vagina),
infeksi parasit trichomonas (misal pada diare atau keputihan akibat trichomonas) dan
infeksi kuman amoeba (misal pada diare akibat amoeba).
b. Cefixime 200 mg merupakan antibiotik.
c. Fluconazole 150 mg untuk mengatasi berbagai jenis infeksi yang disebabkan oleh
jamur candida. Misalnya infeksi jamur pada vagina, mulut, dan pada saluran kemih.
d. Azithromycin 500 mg adalah golongan antibiotic makrolida untuk mengobati
berbagai macam infeksi akibat bakteri seperti infeksi kelamin.
e. Nystatin tablet 100.000 IU. Indikasi: candidosis mulut, esophagus, usus, vagina, dan
kulit. Sebagai profilaksis candidiasis dan untuk mencegah bagi pasien yang rentan
infeksi jamur topical.
34

4. Mengetahui dan mampu melakukan pendampingan dalam pengobatan HIV/AIDS


Indikator: Mengetahui macam-macam, fungsi, cara pemakaian obat, dan efek samping
obat HIV/AIDS.
Pencapain:
Saat praktik selama 4 hari karena tidak ada pasien HIV/AIDS yang datang maka
mahasiswa tidak dapat melakukan pendampingan dalam pengobatan HIV AIDS, namun
diberi gambaran oleh pembimbing bagaimana pendampingan itu. Pendampingan nya
seperti konseling tentang keluh kesah pasien HIV/AIDS, pemberian motivasi agar tidak
putus minum obat.

Obat-Obat HIV/AIDS:
Berdasarkan Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
pada orang Dewasa oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2011
a. ARV (anti retrovirus)
Adalah sebuah terapi yang menggunakan 3 jenis kombinasi obat anti viral yang
bertujuan menekan replikasi HIV di dalam tubuh.
Fungsi: menekan replikasi HIV di dalam tubuh.
Cara pemakaian: obat ini harus diminum secara teratur 2x sehari setiap 12 jam sekali
pada jam yang sama, diminum seumur hidup ODHA tanpa boleh terputus untuk
menghindari terjadinya resisten obat.

35

Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan


Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV
berdasarkan pada 5 aspek yaitu:
Efektivitas
Efek samping / toksisitas
Interaksi obat
Kepatuhan
Harga obat
36

Prinsip dalam pemberian ARV adalah


1) Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada
dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas
penggunaan obat.
2) Membantu

pasien

agar

patuh

minum

obat

antara

lain

dengan

mendekatkan akses pelayanan ARV .


3) Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan
manajemen logistik yang baik.
Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama
Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:
2 NRTI + 1 NNRTI
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:

37

Berbagai pertimbangan dalam penggunaan dan pemilihan Paduan terapi ARV


a) Memulai dan Menghentikan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
(NNRTI)
Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14
hari pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC.
Bila tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap
12 jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis rendah
tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi NVP menginduksi
metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga mengurangi risiko terjadinya
ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang muncul dini.
Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih
dari 14 hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah
tersebut.
Cara menghentikan paduan yang mengandung NNRTI

Hentikan NVP atau EFV


38

Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari setelah penghentian


Nevirapine dan Efavirenz, (ada yang menggunakan 14 hari setelah
penghentian Efavirenz) kemudian hentikan semua obat. Hal tersebut guna
mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang dan menurunkan risiko resistensi
NNRTI.

Penggunaan NVP dan EFV

NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang setara

Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat lain,
dan harga

NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom Steven Johnson dan
hepatotosksisitas yang lebih tinggi dibanding EFV.

Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP harus
dihentikan dan tidak boleh dimulai lagi

Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple NRTI jika NVP
dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan selama 3 bulan
lalu dikembalikan kepada paduan lini pertama

Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan CD4 >250


sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dan pada laki-laki
dengan jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4nya.

Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu diberikan satu
kali sehari selama 14 hari pertama kemudian dilanjutkan dengan 2 kali
sehari.

EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi dengan baik,
hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang banyak tersedia dibandingkan
NVP
39

Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat (SSP)
dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) bersifat teratogenik
bila diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak pada triemester dua dan tiga) dan
ruam kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri tanpa harus
menghentikan obat. Gejala SSP cukup sering terjadi, dan meskipun biasanya
hilang sendiri dalam 2-4 minggu, gejala tersebut dapat bertahan beberapa
bulan dan sering menyebabkan penghentian obat oleh pasien

EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik berat,
pada perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan trimester
pertama.

EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan ko-infeksi TB/HIV yang


mendapat terapi berbasis Rifampisin. Dalam keadaan penggantian sementara
dari NVP ke EFV selama terapi TB dengan Rifampisin dan akan
mengembalikan ke NVP setelah selesai terapi TB maka tidak perlu dilakukan
lead-in dosing.

b) Pilihan pemberian Triple NRTI


Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan obat
ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:
Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin
Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV
Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI
Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah
AZT+3TC +TDF
Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah itu
pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi
virologisnya kurang kuat.
40

c) Penggunaan AZT dan TDF

AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal

Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah CD4 yang
rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemi oleh penggunaan AZT

Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemi, yaitu antara lain
malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang lanjut

TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas


dilaporkan antara 1% sampai 4% dan angka Sindroma Fanconi sebesar 0.5%
sampai 2%

TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan sedikit data
tentang keamanannya pada kehamilan

TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan pemberian satu
kali sehari yang lebih mudah diterima ODHA.

d) Perihal Penggunaan d4T


Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan telah
digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam kurun waktu
yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak membutuhkan data
laboratorium awal untuk memulai serta harganya yang relatif sangat terjangkau
dibandingkan dengan NRTI yang lain seperti Zidovudin (terapi ARV), Tenofovir
(TDF) maupun Abacavir (ABC). Namun dari hasil studi didapat data bahwa
penggunaan d4T, mempunyai efek samping permanen yang bermakna, antara
lain lipodistrofi dan neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat
asidosis yang menyebabkan kematian.
Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi dengan lama
penggunaan d4T (semakin lama d4T digunakan semakin besar kemungkinan
timbulnya efek samping). WHO dalam pedoman tahun 2006 merekomendasikan
41

untuk mengevaluasi penggunaan d4T setelah 2 tahun dan dalam pedoman


pengobatan ARV untuk dewasa tahun 2010 merekomendasikan untuk secara
bertahap mengganti penggunaan d4T dengan Tenofovir (TDF)
Berdasarkan

kesepakatan

dengan

panel

ahli,

maka

pemerintah

memutuskan sebagai berikut:

Menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang baru memulai terapi
dan belum pernah mendapat terapi ARV sebelumnya

Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai efek
samping dan/atau toksisitas maka direkomendasikan untuk diganti setelah 6
bulan

Jika terjadi efek samping akibat penggunaan AZT (anemia), maka sebagai
obat substitusi gunakan TDF.

Pada saat sekarang penggunaan Stavudin (d4T) dianjurkan untuk dikurangi


karena banyaknya efek samping. Secara nasional dilakukan penarikan secara
bertahap (phasing out) dan mendatang tidak menyediakan lagi d4T setelah
stok nasional habis

e) Penggunaan Protease Inhibitor (PI)


Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) TIDAK dianjurkan untuk
terapi Lini Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan pada
Lini Pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami Intoleransi terhadap
golongan NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk tidak
menghilangkan kesempatan pilihan untuk Lini Kedua mengingat sumber daya
yang masih terbatas.

42

f) Paduan Obat ARV yang Tidak Dianjurkan

Terapi ARV untuk ibu hamil


Terapi

antiretroviral/ARV/HAART

(Highly

Active

Antiretroviral

Therapy) dalam program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission


PPIA = Pencegahan Penularan Ibu ke Anak) adalah penggunaan obat
antiretroviral jangka panjang (seumur hidup) untuk mengobati perempuan
hamil HIV positif dan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.Pemberian
obat antiretroviral dalam program PMTCT/PPIA ditujukan pada keadaan
seperti terpapar berikut ini.
Pemberian Antiretroviral pada ibu hamil dengan berbagai Situasi Klinis

43

b. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)


Beberapa

infeksi

oportunistik

(IO)

pada

ODHA

dapat

dicegah dengan

pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan,


yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.

Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk


mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.

Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang


ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita
sebelumnya.

44

Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan


kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang
terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan

insidensi

infeksi

bakterial, parasit (Toxoplasma) dan Pneumocystis carinii pneumonia (sekarang


disebut

P.

jiroveci,

disingkat sebagai PCP). Pemberian kotrimoksasol untuk

mencegah (secara primer maupun sekunder) terjadinya PCP dan Toxoplasmosis


disebut sebagai Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)
PPK dianjurkan bagi:

ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan hamil


dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat menimbulkan
kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam jiwa pada ibu hamil
dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala klinis supresi imun (stadium
klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang memerlukan kotrimoksasol dan
kemudian hamil harus melanjutkan profilaksis kotrimoksasol.

ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia pemeriksaan
dan hasil CD4).

Pemberian kotrimoksasol sebagai profilaksis primer:

45

Kotrimoksasol untuk pencegahan sekunder diberikan setelah terapi PCP atau


Toxoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun.
ODHA yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3;
dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Hal tersebut
berguna untuk mengkaji kepatuhan pasien dalam minum obat dan menyingkirkan
efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV,
mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan
efek samping kotrimoksasol.

5. Program pendampingan untuk HIV/AIDS di Puskesmas Mergangsan


Program pendampingan yang ada yaitu konseling sebelum dan sesudah VCT dan PITC,
serta adanya PMO untuk pasien IMS. Pasien IMS harus meminum obat di depan petugas
puskesmas
46

a. Indikator: Mengikuti konseling untuk penderita HIV/AIDS


Pencapaian:
Tidak tercapai karena selama 4 hari parktik tidak ada penderita HIV yang
berkunjung ke Puskesmas Mergangsan untuk konseling. Yang ada hanya pasienpasien yang konseling untuk pemeriksaan VCT dan PITC yang bukan penderita
namun yang berisiko terkena HIV.
b. Indikator: Melakukan konseling untuk penderita HIV/AIDS
Pencapaian:
Tidak tercapai karena selama 4 hari parktik tidak ada penderita HIV yang
berkunjung ke Puskesmas Mergangsan untuk konseling. Yang ada hanya pasienpasien yang konseling untuk pemeriksaan VCT dan PITC yang bukan penderita
namun yang berisiko terkena HIV.

6. Kompetensi yang tercapai pada setiap sistem di Puskesmas Mergangsan


Pencapaian:
yang bisa dicapai mahasiswa dalam praktik ini adalah melakukan pemeriksaan tanda vital
mengukur tekanan darah pasien, anamnese keluhan pasien dan pengelolaan nyeri teknik
nafas dalam pada pasien yang takut saat diambil darahnya untuk sampel rapid test HIV.

47

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Puskesmas Mergangsan dapat menjadi sarana pemerintah dalam menanggulangi
HIV/AIDS dengan adanya PITC, VCT mandiri, VCT mobile, pendampingan pasien,
penyuluhan dan pemberian kondom pada pasien IMS dan HIV/AIDS. Namun untuk
mendapatkan pengobatan HIV/AIDS seperti ARV tidak dapat diperoleh di puskesmas,
melainkan didapatkan pada rumah sakit dan LSM tertentu yang merupakan rujukan.
Puskesmas menyediakan konselor bagi pasien HIV/AIDS, dan juga menyediakan rapid
test gratis. Dalam pencapaian kompetensi persistem sulit didapatkan oleh mahasiswa.
B. Saran
Setelah melakukan serangkaian kegiatan yang diwajibkan oleh bidang akademik
STIKES Bethesda selama empat hari di Puskesmas Mergangsan, penulis mendapatkan
berbagai macam pengalaman dari melakukan anamnese keluhan pasien lansia, membatu
dalam penulisan etiket obat, mengobservasi rapid tes HIV dan tes lainnya di lab serta
studi dokumentasi. Dengan praktik ini penulis semakin mengetahui tentang HIV/AIDS.
Pencapaian keterampilan dalam pemenuhan kebutuhan dasar dan untuk proses
keperawatan sulit untuk terpenuhi di Puskesmas Mergangsan, karena hanya melakukan
ukur tekanan darah pasien saja, kegiatan lainnya hanya observasi. Penulis berharap pada
praktik berikutnya akan banyak tindakan yang dapat dilakukan dan dapat lebih terampil
dengan skill yang sudah ada baik dari pembelajaran di bangku perkulihan maupun pada
praktik sebelumnya.
Keakraban yang dibangun oleh karyawan di Puskesmas Mergangsan sangat
membantu dalam penyelesaian tugas ini. Pembuatan laporan ini memiliki sedikit kendala
sehingga membutuhkan bimbingan dari pembimbing akademik dan juga pembimbing
lapangan.
Dengan adanya tugas akhir semester ini penulis merasakan semakin tertantang
untuk benar-benar terjun di masyarakat.

LAMPIRAN
A. Formulir Regristasi Konseling dan Tes HIV
B. Formulir Regristasi Layanan PITC
C. Formulir Regristasi Layanan IMS
48

D.
E.
F.
G.
H.

Form Inform Consent


Form Hasil Tes Lab
Form Laporan Test VCT/ PITC Antibodi
Form Rujukan antar Sub Unit
Form Rujukan Balik

49

Anda mungkin juga menyukai