Anda di halaman 1dari 2

Kedamaian

Judul Cerpen Kedamaian


Cerpen Karangan: Patrick Andromeda
Kategori: Cerpen Galau, Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 16 November 2013
Petrus mulai menyadari perubahan pada wajah orang itu. Wajahnya berkerut-kerut seperti orang
menahan rasa sakit yang luar biasa. Matanya yang redup semakin terlihat gelap tanpa harapan. Meski
lelaki itu tetap berusaha berdiri dan menjalankan kewajibannya sebagai pendeta, namun kali ini ia
tampak tak lebih baik dari hari-hari kemarin. Petrus duduk di deretan kursi belakang dekat pintu
keluar gereja kecil itu, dan ia dapat melihat dengan jelas penderitaan orang itu. Sangat menyedihkan,
pikirnya. Seharusnya ia sudahi saja kothbah minggu paginya. Dalam sekejap, Petrus mulai menebak
apa yang akan terjadi pada orang itu.
Sebagai seorang muda yang tumbuh besar di lingkungan religius, Petrus tak serta merta mengikuti
jejak kedua orang tuanya yang taat beribadah. Tidak juga seperti kedua saudaranya yang kini menjadi
pendeta pada dua gereja yang berbeda. Ia bukan tak percaya Tuhan, tapi ia tengah mengalami krisis
yang kerap dialami anak muda seusianya. Ia merasa sedih sekaligus bingung. Sedih karena ia merasa
hidupnya terlalu sederhana dan bingung ketika melihat orang-orang lain yang tidak seperti
keluarganya namun dapat memiliki apapun yang diinginkan. Ia tak punya keberanian untuk
mengungkapkan perasaannya selama ini, bagaimana ia tertekan dan ingin pergi melihat dunia yang
jauh lebih luas sambil berharap menemukan apa yang ia cari kebahagiaan.
Pada malam sebelum perayaan Natal, ketika kedua saudara dan keluarga mereka berkunjung ke
rumah, Petrus berada di pantai. Di sana, taman-teman sebayanya berkumpul, membakar daging ayam
dan tentu saja disertai berbotol-botol minuman beralkohol. Petrus tahu seharusnya ia tak berada di
sana, namun, kali ini ia melawan suara hati yang kerap membuatnya merasa bersalah dan stres. Ia
mencoba melupakan segalanya dan bersenang-senang dengan caranya sendiri.
Dari sana, ia dapat melihat rumahnya yang bagai titik cahaya di kejauhan di tepi pantai. Ia
membayangkan apa yang tengah di lakukan orang-orang dalam rumah itu. Kedua orang tuanya
mungkin akan mencarinya karena tidak berada di rumah pada saat penting seperti malam ini. Mereka
tentu akan marah besar, sambil mengatakan hal yang sama terus menerus hingga ia merasa muak.
Petrus memalingkan wajahnya dan menatap api yang menyala, menghantarkan panas di udara. Udara
dingin tak ia hiraukan. Akan tetapi, gelak tawa dan kesenangan itu tak membuat Petrus merasakan
bahagia. Justru perasaan aneh yang tak pernah ia rasakan menjalari tubuhnya.
Ia menenggak botol dan mengunyah daging matang berwarna kecokelatan itu. Sementara pikirannya
melayang menuju ruang makan di rumahnya dan membayangkan hidangan sederhana yang
memuakan. Tapi mengingat orang-orang yang berada di sana membuat ia marah. Ia marah karena
mereka hanya menikmati apa yang mereka miliki, tetap puas dengan keadaan hidup yang biasa-biasa
saja. Petrus ingin menjadi seseorang yang berbeda, seorang pemuda yang bisa mencapai apapun
yang ia inginkan. Pekerjaan yang layak, kemapanan dan hidup yang bahagia, dan ia harus
memisahkan diri dari lingkungan itu serta teori-teori absurd yang tak ia pahami.
Dua orang pria dan wanita tampak bergandengan tangan memisahkan diri dari lingkaran orang-orang
muda yang duduk mengelilingi api unggun. Kedua orang itu tertawa-tawa dan tak peduli dengan
sekeliling mereka sementara mereka semakin menjauh. Petrus mengamati hingga keduanya
menghilang di balik semak-semak yang gelap. Ia tak pernah punya keberanian melakukan hal
semacam itu. Seperti biasa, ia hanya terdiam dan menyimpan pikiran itu dalam daftar panjang hal
aneh yang ia jumpai. Lamunannya buyar ketika Franz, teman satu kelasnya, mulai meracau. Alkohol
menguasainya hingga ia melakukan hal yang paling bodoh; menjerit-jerit sambil menceritakan
pengalaman pertamanya berhubungan s*ks dengan seorang pel*cur di rumah ayahnya dan ia bangga

akan hal itu. Mendengar hal itu, teman-teman yang lain tertawa terbahak-bahak. Petrus merasa
muak. Ia ingin pergi dari tempat itu. Ia benci menyaksikan kenapa semua orang tak bisa bersenangsenang tanpa melakukan dosa. Ia merasa aneh dan tiba-tiba asing pada diri sendiri. Gadis pujaannya
yang sedari tadi duduk di hadapannya di seberang api, menatapnya, lengan kurus seorang pria
melingkar di pinggang gadis itu. Petrus tak peduli. Ia beranjak pergi.
Petrus berlari sekencang-kencangnya. Rumahnya masih jauh. Malam ini ia merasa begitu berbeda. Ia
berusaha melupakan wajah gadis itu yang selalu menghantuinya dan segala tentang temantemannya. Ia tak ingin pulang ke rumah, juga tak ingin berada di antara teman-temannya itu Ia ingin
bebas. Bebas seperti burung yang terbang menjelajahi angkasa tinggi. Kegelisahannya berangsur
menghilang, ia tak lagi berlari, tapi berjalan. Senyuman terkembang di wajahnya yang tirus. Ia
menuju sebuah pohon besar yang terletak di atas bukit yang menaungi kota itu. Di sana ia
menemukan kedamaian, ketika melepaskan pandangan yang luas dan megah, serta kaki langit yang
menyentuh permukaan laut. Seolah semua pikiran yang memenuhi kepalanya menghilang begitu saja.
Petrus menyandarkan tubuhnya yang lelah dan menyeka keringat yang membasahi dahinya. Ia
tersenyum ketika sesosok bercahaya putih cemerlang duduk di sampingnya, ikut menikmati
pemandangan malam dari atas bukit. Petrus merasa tenang dan damai, bahkan lebih dari yang bisa ia
ungkapkan.
Cerpen Karangan: Patrick Andromeda
Facebook: Patrick Andromeda

Anda mungkin juga menyukai