Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ruptur

buli-buli

merupakan

keadaan

darurat

bedah

yang

memerlukan

penatalaksanaan segera. Bila tidak ditangani dengan segera maka dapat menimbulkan
komplikasi seperti peritonitis dan sepsis. Angka kejadian trauma buli-buli pada beberapa
klinik urologi kurang lebih 2% dari seluruh trauma pada sistem urogenitalia.1,2
Ruptur buli diklasifikasikan menjadi ruptur buli extraperitoneal sebagai penyebab
terbanyak (55 78%) dan intraperitoneal (17 39%) serta campuran antara extraperitoneal
dan intraperitoneal (5 8%). Trauma tumpul pada buli-buli mempunyai jumlah paling
banyak sebagai penyebab ruptur buli (51 86%). Tahun 2004 Consensus Statement on
Bladder Injuries mencatat bahwa fraktur pelvis meningkatkan insiden ruptur buli dari 1,6%
menjadi 5,7 %, yang lebih banyak dibanding tinjauan NTDB (National Trauma Data Bank).
Fraktur pelvis menyumbang sebanyak 70% (35-90%) sebagai penyebab ruptur buli. 3
Pada ruptur buli dapat dirasakan nyeri perut bagian bawah, ketidakmampuan untuk
menahan kencing dan ekimosis perineum. Tanda kardinal ruptur buli adalah gross hematuria.
Diagnosa ruptur buli-buli setelah beberapa hari perawatan rumah sakit, dapat terjadi karena
missed diagnosa

atau diagnosa tepat namun terlambat. Keterlambatan dalam presentasi

penyakit dan penatalaksanaan mungkin meningkatkan angka mortalitas. Diagnosis yang tepat
dan manajemen yang terpadu terhadap ruptur buli buli akan memberikan hasil yang baik
dengan angka morbiditas dan mortalitas minimal.4
Karya tulis ini saya susun dengan landasan bahwa berdasarkan SKDI (Standar
Kompentensi Dokter Indonesia), dalam sistem ginjal dan saluran kemih no.29, ruptur buli
masuk ke dalam kategori 3B dimana merupakan keadaan darurat sehingga lulusan dokter

harus mampu membuat diagnosis klinis dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan
gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah kegawatan dan/atau kecatatan
pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan
pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan.5

1.2.Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.

Apakah etiologi terjadinya ruptur buli-buli ?


Apasaja tanda dan gejala ruptur buli-buli ?
Apa saja jenis dari ruptur buli-buli ?
Bagaimana mendiagnosa ruptur buli ?
Apakah penyulit atau komplikasi yang akan ditemukan pada pasien dengan ruptur

buli-buli ?
6. Bagaimana penatalaksaan ruptur buli ?
7. Apaa manfaat penulisan karya tulis ilmiah ini bagi mahasiswa yang menempuh
pendidikan kedokteran ?

1.3.Tujuan Penulisan
1.
2.
3.
4.
5.

Untuk mengetahui etiologi dari ruptur buli-buli.


Untuk mengetahui tanda dan gejala dari ruptur buli-buli.
Untuk mengetahui jenis-jenis ruptur buli-buli.
Untuk mengetahui bagaimana mendiagnosa ruptur buli-buli.
Untuk mengetahui penyulit atau komplikasi yang akan ditemukan pada pasien dengan

ruptur buli-buli.
6. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksaan ruptur buli-buli.
7. Untuk mengetahui apa manfaat penulisan karya tulis ilmiah ini bagi mahasiswa yang
menempuh pendidikan kedokteran.

1.4.Manfaat Penulisan
1. Manfaat bagi penulis
Manfaat dari penelitian ini bagi penulis adalah dapat menambah pengetahuan dalam
mendiagnosa dini ruptur buli-buli serta dapat melakukan pertolongan pertama bagi
pasien ruptur buli-buli.
2. Manfaat bagi Fakultas Kedokteran Universitas Cendrawasih.
Semoga karya tulis ilmiah ini dapat menyumbang kelengkapan data tentang ruptur
buli yang dapat berguna bagi mahasiswa kedokteran kedepannya.
3. Manfaat bagi penelitian selanjutnya

Semoga pembuatan karya tulis ilmiah ini dapat memberikan sumbangsih untuk
dilakukannya penelitian lebih lanjut. Dan dapat dijadikan bagan referensi untuk
penelitian sejenis.
4. Manfaat bagi pasien
Diharapkan pasien dapat mendapat pertolongan yang tepat dengan diagnosa sedini
mungkin.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Ruptur buli-buli merupakan keadaan darurat bedah yang memerlukan penatalaksaan
segera. Bila tidak ditangani dengan segera maka dapat menimbulkan komplikasi seperti
peritonitis dan sepsis.1
2.2 Epidemiologi 3
Karena lokasinya yang terlindung dalam tulang pelvis, trauma buli tidak sering
terjadi seperti trauma pada ginjal, namun trauma buli masih terjadi akibat trauma tumpul dan
trauma tembus. Deibert et al mengkaji NTDB (National Trauma Data Bank) dari tahun 20022006 dan mengidentifikasi 8.565 pasien dengan riwayat ruptur buli. Dimana subyeknya 75%

adalah laki-laki dan 57% adalah di bawah 40 tahun (rata-rata 38,9 tahun). Pada tahun 2009
Bjurlin et al mangkaji 1.466.887 catatan pasien di NTDB antara 2001 - 2005 dan menemukan
bahwa 3,6% pasien dengan fraktur tulang pelvis juga mengalami ruptur buli secara
bersamaan. Meskipun laki-laki lebih mungkin untuk terlibat dalam kegiatan berisiko yang
mengakibatkan fraktur tulang pelvis, tercatat bahwa laki-laki dan perempuan dengan fraktur
pelvis memiliki insiden yang sama.
Beberapa sumber literatur telah menemukan bahwa ruptur buli ekstraperitoneal
sebagai penyebab terbanyak ruptur (55-78%), dan sisanya terdiri dari intraperitoneal (1739%) dan ruptur gabungan intra dan ekstraperitoneal (5-8%).
Trauma tumpul buli merupakan mayoritas penyebab ruptur kandung kemih. (5186%). Pada tahun 2004 "Concensus Statement on Bladder injuries" mencatat bahwa fraktur
pelvis meningkatkan kemungkinan ruptur buli dari 1,6% menjadi 5,7%, yang sedikit lebih
dari 3,6% daripada yang dikaji dalam ulasan NTDB (National Trauma Data Bank). Database
baru ini melaporkan bahwa MVCs (Motor vehicle collision) merupakan penyebab paling
umum trauma tumpul pada ruptur buli (50,5%) diikuti oleh kecelakaan pejalan kaki vs
kecelakaan mobil (29,1%) dan jatuh dari ketinggian (14,5%). Terdapat fraktur tulang pelvis
70% (35-90%) pada waktu terjadinya ruptur buli, yang menunjukkan hubungan yang kuat
antara kedua kondisi ini. Trauma pelvis yang spesifik, terutama diastasis dari simfisis pubis
atau sendi sakroiliaka dan fraktur dislokasi dari cincin obturator atau ramus pubis, telah
terbukti mempunyai hubungan dengan ruptur buli. Mayoritas ruptur buli yang tidak terkait
fraktur pelvis terjadi setelah pukulan keras ke perut pada seseorang dengan distensi buli-buli
yang sering mengakibatkan cedera intraperitoneal pada fundus buli-buli. Keterkaitan
mortalitas setinggi 10-22% pasien dengan ruptur buli yang mengalami trauma energi tinggi
dan trauma yang melibatkan multisistem.

Persentase ruptur buli yang disebabkan oleh trauma tembus berkisar 14-49%.
Ulasan NTDB, dengan luka tembak yang terdiri dari sebagian besar (88%, 316/358) pasien
dengan trauma tembus. Per tinjauan literatur besar trauma tembus cedera buli dilaporkan
3,6% dari luka tembak di perut, 13% dari luka tembus ke rektum, dan 20% dari luka tembus
di bokong.
Trauma iatrogenik buli-buli jarang terjadi. Namun, merupakan organ yang paling
sering mengalami cedera selama prosedur obstetrik dan ginekologi. Penyebab lain ruptur
buli-buli yang dilaporkan dalam literatur mencakup penempatan trocar dalam

keadaan

darurat untuk laparoskopi diagnostik, selama pengelolaan ortopedik fraktur pelvis dengan
fiksators eksternal, dan penempatan IUD (Intrauterin Device).

Tabel 1. Resiko trauma iatrogenik buli-buli karena tindakan operatif.


RESIKO TRAUMA IATROGENIK BULI KARENA TINDAKAN OPERATIF.
Jenis trauma
Frekuensi per 1000 prosedur
Radikal histerektomi
14
Histerektomi vaginal
13,8
Laparaskopi histerektomi
10
Operasi sesar
1,8
Laparaskopi hernia
1,6
Partus pervaginam
0,1
2.3 Etiologi 2
Kurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli adalah akibat fraktur pelvis. Fiksasi bulibuli pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis sangat kuat sehingga
cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada arah berlawanan (seperti pada

fraktur pelvis), dapat merobek buli-buli. Robeknya buli-buli karena fraktur pelvis bisa pula
terjadi akibat fragmen tulang pelvis merobek dindingnya.
Dalam keadaan penuh terisi urine, buli-buli mudah sekali robek jika mendapatkan
tekanan dari luar berupa benturan pada perut sebelah bawah. Buli-buli akan robek pada
daerah fundus dan menyebabkan ekstravasasi urine ke rongga intraperitoneum.
Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli iatrogenik antara lain
pada reseksi buli-buli transuretral (TUR Buli-buli) atau pada litotripsi. Demikian pula partus
kasep atau tindakan operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenik pada bulibuli.
Ruptur buli-buli dapat pula terjadi secara spontan; hal ini biasanya terjadi jika
sebelumnya terdapat kelainan pada dinding buli-buli. Tuberkulosis, tumor buli-buli, atau
obstruksi infravesikal kronis menyebabkan perubahan struktur otot buli-buli yang
menyebabkan kelemahan dinding buli-buli. Pada keadaan itu bisa terjadi ruptur buli-buli
spontanea.

Gambar 1. Ruptur buli-buli. A. Intraperitoneal robeknya buli-buli pada derah fundus,


menyebabkan ekstravasasi urine ke rongga intraperitoneum, B. Ruptur ekstraperitoneal akibat
fraktur tulang pelvis.
2.3.1 Anatomi buli-buli 2

Urologi adalah salah satu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari penyakit dan
kelainan traktus urogenitalia pria dan traktus urinaria wanita. Organ urinaria terdiri atas ginjal
beserta salurannya, ureter, buli-buli dan uretra sedangkan organ reproduksi pria terdiri atas
testis, epididimis, vas deferens, vesikula seminalis, prostat dan penis. Kecuali testis,
epididimis, vas deferens, penis, dan uretra, sistem urogenitalia terletak di rongga
retroperitoneal dan terlindung oleh organ lain yang mengelilinginya.
Buli-buli adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang saling
beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di tengah merupakan otot sirkuler,
dan paling luar merupakan otot longitudinal. Mukosa buli-buli terdiri atas sel-sel transisional
yang sama seperti pada mukosa-mukosa pada pelvis renalis, ureter, dan uretra posterior. Pada
dasar buli-buli kedua muara ureter dan meatus uretra internum membentuk suatu segitiga
yang disebut trigonum buli-buli.
Secara anatomik bentuk buli-buli terdiri atas 3 permukaan, yaitu (1) permukaan
superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum, (2) dua permukaan inferiolateral, dan
(3) permukaan posterior. Permukaan superior merupakan lokus minoris (daerah terlemah)
dinding buli-buli.
Buli-buli berfungsi menampung urine dari ureter dan kemudian mengeluarkannya
melalui uretra dalam mekanisme miksi (berkemih). Dalam menampung urine, buli-buli
mempunyai kapasitas maksimal, yang volumenya untuk orang dewasa kurang lebih adalah
300 450 ml.
Pada saat kosong, buli-buli terletak di belakang simfisis pubis dan pada saat penuh
berada di atas simfisis sehingga dapat dipalpasi dan diperkusi. Buli-buli yang terisi penuh
memberikan rangsangan pada saraf aferen dan menyebabkan aktivasi pusat miksi di medula
spinalis segmen sakral S2-4. Hal ini akan menyebabkan kontraksi otot detrusor, terbukanya
leher buli-buli, dan relaksasi sfingter uretra sehingga terjadilah proses miksi.

2.3.2 Faktor resiko


Individu yang sedang berkendara dibawah pengaruh alkohol sering mengalami buli
yang distensi. Mengemudi setelah mengkonsumsi alkohol merupakan faktor resiko terjadinya
cedera buli. Buli yang penuh merupakan faktor resiko untuk terjadinya ruptur intraperitoneal.
Resiko tinggi terjadinya cedera buli pada fraktur pelvis ditemukan pada disrupsi
lingkaran pelvis dengan displacemen > 1cm, diastasis simfisis pubis, dan fraktur ramus
pubis. Fraktur asetabulum yang terlokalisir tidak berhubungan dengan cedera buli. Faktor
resiko IBT ditunjukkan pada tabel di bawah ini.6
Tabel 2. Faktor resiko trauma buli iatrogenik yang berhubungan dengan beberapa prosedur. 6
Prosedur
Melahirkan sesar
Histerektomi
Bedah Umum
TURB

(Transurethral

resection

of

the

Faktor Resiko
Melahirkan dengan seksio sesar sebelumnya.
Operasi panggul sebelumnya.
Berat badan fetus >4 kg
Malignansi
Endometriosis
Malignansi
Divertikulitis
Inflammatory bowel disease
Ukuran tumor

bladder)
Pasien usia tua
Lokasi tumor di fundus buli atau di
divertikulum.
2.3.3 Klasifikasi
Klasifikasi trauma buli-buli menurut derajat keparahannya menurut AAST (American
association for the surgery of trauma injury score for the bladder).7
Tabel 3. Klasifikasi trauma buli menurut derajat keparahannya.
Grade
I
II
III
IV
V

Hematom
Laserasi
Laserasi
Laserasi
Laserasi
Laserasi

Kontusio, hematom intramural


Partial thickness
Laserasi dinding extraperitoneal < 2cm
Laserasi extraperitoneal (>2) cm atau intraperitoneal (<2cm)
Laserasi dinding intraperitoneal >2cm
Laserasi intraperitoneal atau extraperitoneal meluas ke leher

10

vesika urinaria atau orifisium ureter (trigonum)


2.4 Penegakan Diagnosa2
Untuk menegakkan diagnosis kelainan-kelainan urologi, seorang dokter dituntut
untuk dapat melakukan pemeriksaan-pemeriksaan dasar urologi dengan seksama dan secara
sistematik mulai dari :
1. Pemeriksaan subyektif yaitu mencermati keluhan yang disampaikan oleh pasien yang
digali melalui anamnesis yang sistematik.
2. Pemeriksaan obyektif yaitu melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien untuk mencari
data-data yang objektif mengenai keadaan pasien.
3. Pemeriksaan penunjang yaitu melakukan pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium,
radiologi atau imaging (pencitraan), uroflometri atau urodinamika, elektromiografi,
endourologi, dan laparoskopi.

2.4.1 Anamnesa 2
Kemampuan seorang dokter dalam melakukan wawancara dengan pasien ataupun
keluarganya diperoleh melalui anamnesis yang sistematik dan terarah. Hal ini sangat penting
untuk mendapatkan diagnosis suatu penyakit. Anamnesis yang sistematik itu mencakup (1)
keluhan utama pasien (2) riwayat penyakit lain yang pernah dideritanya maupun pernah
diderita oleh keluarganya dan (3) riwayat penyakit yang diderita saat ini. Pasien datang ke
dokter mungkin dengan keluhan : (1) sistemik yang merupakan penyulit dari kelainan
urologi, antara lain gagal ginjal (malaise, pucat, uremia) atau demam disertai menggigil
akibat infeksi/urosepsis dan (2) lokal (urologi) antara lain nyeri akibat kelainan urologi,
keluhan miksi, disfungsi seksual, atau infertilitas.
Nyeri Vesika

11

Nyeri vesika dirasakan di daerah suprasimfisis. Nyeri ini terjadi akibat overdistensi
buli-buli yang mengalami retensi urin atau terdapat inflamasi pada buli-buli (sistitis
interstisialis, tuberkulosis, atau sistosomiasis). Inflamasi buli-buli dirasakan sebagai perasaan
kurang nyaman di daerah suprapubik (suprapubic dyscomfort). Nyeri muncul manakala bulibuli terisi penuh dan nyeri berkurang pada saat selesai miksi. Tidak jarang pasien sistitis
merasakan nyeri yang sangat hebat seperti ditusuk-tusuk pada akhir miksi dan kadang kala
disertai dengan hematuria keadaan ini disebut sebagai stranguria.
Keluhan miksi
Keluhan yang dirasakan oleh pasien pada saat miksi meliputi keluhan iritasi,
obstruksi, inkontinensia, dan enuresis. Keluhan iritasi meliputi urgensi, polakisuria, atau
frekuensi, nokturia, dan disuria sedangkan keluhan obstruksi meliputi hesitansi, harus
mengejan saat miksi, pancaran urine melemah, intermitensi, dan menetes serta masih terasa
ada sisa urine sehabis miksi. Keluhan iritasi dan obstruksi dikenal sebagai lower urinary tract
symptoms.
Inkontinensia urine
Inkontinensi urine adalah ketidak-mampuan seseorang untuk menahan urine yang
keluar dari buli-buli, baik disadari ataupun tidak disadari. Terdapat beberapa macam
inkontinensia urine, yaitu inkontinensia true atau continous, inkontinensia stress,
inkontinensia urge, dan inkontinensia paradoksa (overflow).
Tabel 4. Beberapa Jenis Inkontinensi Urine2
JENIS
Paradoksa
Stress
Urge
Continuous atau true

Urine keluar pada saat


Buli-buli penuh
Tekanan abdomen meningkat
Ada keinginan untuk kencing
Urine selalu keluar

Terdapat pada
Obstruksi infravesika (BPH)
Kelemahan otot panggul
Sistitis, buli-buli nerogen
Fistel vesikel atau utero vagina,
ureter ektopik, kerusakan
sfingter eksterna.

Hematuria

12

Hematuria adalah didapatkannya darah atau sel darah merah di dalam urine. Hal ini
perlu dibedakan dengan bloody urethral disharge atau perdarahan per uretram yaitu keluar
darah dari meatus uretra eksterna tanpa melalui proses miksi. Porsi hematuria yang keluar
perlu diperhatikan apakah terjadi pada saat awal miksi (hematuria inisial), seluruh proses
miksi (hematuria total), atau akhir miksi (hematuria terminal). Dengan memperhatikan porsi
hematuria yang keluar dapat diperkirakan asal perdarahan.
Hematuria dapat disebabkan oleh berbagai kelainan pada saluran kemih tetapi mulai
dari infeksi hingga keganasan saluran kemih. Oleh karena itu setiap hematuria perlu
diwaspadai adanya kemungkinan adanya keganasan saluran kemih terutama hematuri yang
tidak disertai dengan nyeri.

2.4.2 Pemeriksaan Fisik 2


Pemeriksaan fisis pasien meliputi pemeriksaan tentang keadaan umum pasien dan
pemeriksaan urologi. Seringkali kelainan-kelainan di bidang urologi memberikan manifestasi
penyakit umum (sistemik), atau tidak jarang pasien-pasien urologi kebetulan menderita
penyakit lain.
Adanya hipertensi mungkin merupakan tanda dari kelainan ginjal, edema tungkai satu
sisi mungkin akibat obstruksi pembuluh vena karena penekanan tumor buli-buli atau
karsinoma prostat, dan ginekomasti mungkin ada hubungannya dengan karsinoma testis.
Semua keadaan di atas mengharuskan dokter untuk memeriksa keadaan umum pasien secara
menyeluruh. Pada pemeriksaan urologi harus diperhatikan setiap organ mulai dari
pemeriksaan ginjal, bulibuli, genitalia eksterna, dan pemeriksaan neurologi.

Pemeriksaan Ginjal

13

Adanya pembesaran pada daerah pinggang atau abdomen sebelah atas harus
diperhatikan pada saat melakukan inspeksi pada daerah ini. Pembesaran itu mungkin
disebabkan oleh karena hidronefrosis atau tumor pada daerah retroperitoneum. Palpasi ginjal
dilakukan secara bimanual yaitu dengan memakai dua tangan. Tangan kiri diletakkan di sudut
kosto-vertebra untuk mengangkat ginjal ke atas sedangkan tangan kanan meraba ginjal dari
depan seperti diperlihatkan pada gambar dibawah.
Perkusi atau pemeriksaan ketok ginjal dilakukan dengan memberikan ketokan pada
sudut kostovertebra (yaitu sudut yang dibentuk oleh kosta terakhir dengan tulang vertebra).
Pembesaran ginjal karena hidronefrosis atau tumor ginjal, mungkin teraba pada palpasi dan
terasa nyeri pada perkusi.

Gambar 2. Gambaran palpasi bimanual pada ginjal


Pemeriksaan Buli-buli
Pada pemeriksaan buli-buli diperhatikan adanya benjolan/massa atau jaringan parut
bekas irisan/operasi di suprasimfisis. Massa di daerah suprasimfisis mungkin merupakan
tumor ganas buli-buli atau karena buli-buli yang terisi penuh dari suatu retensi urine. Dengan
palpasi dan perkusi dapat ditentukan batas atas buli-buli
Pemeriksaan genitalia eksterna
Pada inspeksi genitalia eksterna diperhatikan kemungkinan adanya kelainan pada
penis/uretra antara lain: mikropenis, makropenis, hipospadia, kordae, epispadia, stenosis pada
meatus uretra eksterna, fimosis/parafimosis, fistel uretro-kutan, dan ulkus/tumor penis.

14

Striktura uretra anterior yang berat menyebabkan fibrosis korpus spongiosum yang teraba
pada palpasi di sebelah ventral penis, berupa jaringan keras yang dikenal dengan
spongiofibrosis. Jaringan keras yang teraba pada korpus kavernosum penis mungkin suatu
penyakit Peyrone.
Pemeriksaan skrotum dan isinya
Perhatikan apakah ada pembesaran pada skrotum, perasaan nyeri pada saat diraba,
atau ada hipoplasi kulit skrotum yang sering dijumpai pada kriptorkismus. Untuk
membedakan antara massa padat dan massa kistus yang terdapat pada isi skrotum, dilakukan
pemeriksaan transiluminasi (penerawangan) pada isi skrotum. Pemeriksaan penerawangan
dilakukan pada tempat yang gelap dan menyinari skrotum dengan cahaya terang. Jika isi
skrotum tampak menerawang berarti berisi cairan kistus dan dikatakan sebagai transiluminasi
positif atau diafanoskopi positif.
Colok Dubur (Rectal toucher)
Pemeriksaan colok dubur adalah memasukkan jari telunjuk yang sudah diberi pelican
kedalam lubang dubur. Pemeriksaan ini menimbulkan rasa sakit dan menyebabkan kontraksi
sfingter ani sehingga dapat menyulitkan pemeriksaan. Oleh karena itu perlu dijelaskan
terlebih dahulu kepada pasien tentang pemeriksaan yang akan dilakukan, agar pasien dapat
bekerja sama dalam pemeriksaan ini.

15

Gambar 3. Pemeriksaan colok dubur.


Pada pemeriksaan colok dubur dinilai: (1) tonus sfingter ani dan refleks bulbo-kavernosus
(BCR), (2) mencari kemungkinan adanya massa di dalam lumen rektum, dan (3) menilai
keadaan prostat. Penilaian refleks bulbo-kavernosus dilakukan dengan cara merasakan
adanya refleks jepitan pada sfingter ani pada jari akibat rangsangan sakit yang kita berikan
pada glans penis atau klitoris.
Pada wanita yang sudah berkeluarga selain pemeriksaan colok dubur, perlu juga
diperiksa colok vagina guna melihat kemungkinan adanya kelainan di dalam alat kelamin
wanita, antara lain: massa di serviks, darah di vagina, atau massa di buli-buli.

Pemeriksaan neurologi
Pemeriksaan neurologi ditujukan untuk mencari kemungkinan adanya kelainan
neurologik yang mengakibatkan kelainan pada sistem urogenitalia, seperti pada lesi motor
neuron atau lesi saraf perifer yang merupakan penyebab dari buli-buli neurogenik.

2.4.3 Pemeriksaan penunjang 2


Pemeriksaan Laboratorium
1.

Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis merupakan pemeriksaan yang paling sering dikerjakan pada

kasus-kasus urologi. Pemeriksaan ini meliputi uji:


1. Makroskopik dengan menilai warna, bau, dan berat jenis urine
2. Kimiawai meliputi pemeriksaan derajat keasaman/pH, protein, dan gula dalam urine

16

3. Mikroskopik mencari kemungkinan adanya sel-sel, cast (silinder), atau bentukan


lain di dalam urine.
Urine mempunyai pH yang bersifat asam, yaitu rata-rata: 5,5 - 6,5. Jika didapatkan pH
yang relatif basa kemungkinan terdapat infeksi oleh bakteri pemecah urea, sedangkan jika pH
yang terlalu asam kemungkinan terdapat asidosis pada tubulus ginjal atau ada batu asam urat.
Pemeriksaan mikroskopik urine ditujukan untuk mencari kemungkinan adanya sel-sel darah,
sel-sel yang berasal dari saluran reproduksi pria, sel-sel organisme yang berasal dari luar
saluran kemih, silinder, ataupun kristal.
Tabel 4. Bentuk Sedimen pada Pemeriksaan Mikroskopik Urin2
Sel dari darah
Eritrosit
Leukosit
Plasma

Sel dari saluran

Sel

dari

Epitel
Sperma

saluran kemih
Bakteri
Fungsi
Parasit

luar Silinder
Hialin
Granul
Waxy

Kristal
Oksalat
Urat

Didapatkannya eritrosit di dalam darah secara bermakna (> 2 per lapangan pandang)
menunjukkan adanya cedera pada sistem saluran kemih; dan didapatkannya leukosituri
bermakna (> 5 per lapangan pandang) atau piuria merupakan tanda dari inflamasi saluran
kemih. Cast (silinder) adalah mukoprotein dan elemen-elemen yang berasal dari parenkim
ginjal yang tercetak di tubulus ginjal; oleh karena itu bentuknya menyerupai silinder.
Terdapat bermacam-macam jenis silinder sesuai dengan elemen yang ikut tercetak di dalam
tubulus. Jika diketemukan silinder di dalam pemeriksaan sedimen urine menandakan adanya
kerusakan parenkim ginjal

2. Pemeriksaan Darah
Darah rutin

17

Pemeriksaan darah rutin terdiri atas pemeriksaan kadar hemoglobin, leukosit, laju
endap darah, hitung jenis leukosit, dan hitung trombosit.
Faal ginjal
Beberapa uji faal ginjal yang sering diperiksa adalah pemeriksaan kadar kreatinin,
kadar ureum atau BUN (blood urea nitrogen), dan klirens kreatinin. Pemeriksaan BUN,
ureum, atau kreatinin di dalam serum merupakan uji faal ginjal yang paling sering dipakai di
klinik. Sayangnya kedua uji ini baru menunjukkan kelainan, pada saat ginjal sudah
kehilangan dari fungsinya.
Kenaikan nilai BUN atau ureum tidak spesifik, karena selain disebabkan oleh
kelainan fungsi ginjal dapat juga disebabkan karena dehidrasi, asupan protein yang tinggi,
dan proses katabolisme yang meningkat seperti pada infeksi atau demam; sedangkan kadar
kreatinin, relatif tidak banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor tadi.
Elektrolit: Na, K, Ca, P
Kadar natrium sering diperiksa pada pasien yang menjalani tindakan reseksi prostat
transuretra (TURP). Selama TURP banyak cairan (H2O) yang masuk ke sirkulasi sitemik
sehingga terjadi relatif hiponatremia. Untuk itu sebelum TURP perlu diperiksa kadar natrium
sebagai bahan acuan jika selama operasi diduga terdapat hiponatremia.
Pemeriksaan

elektrolit

lain

berguna

untuk

mengetahui

faktor

predisposisi

pembentukan batu saluran kemih, antara lain: kalsium, fosfat, magnesium; selain itu untuk
mendeteksi adanya sindroma paraneoplastik yang dapat terjadi pada tumor Grawitz.
Faal hepar, faal pembekuan, dan profil lipid
Pemeriksaan faal hepar ditujukan untuk mencari adanya metastasis suatu keganasan
atau untuk melihat fungsi hepar secara umum. Pemeriksaan faal hemostasis sangat penting
guna mempersiapkan pasien dalam menjelang operasi besar yang diperkirakan banyak
menimbulkan perdarahan.

18

Pemeriksaan berkala profil lipid diperlukan untuk memonitor kemungkinan efek


samping penggunaan terapi testosteon karena beberapa jenis testosteron yang diberikan
sebagai terapi sulih hormon pada pasien andropause dapat menyebabkan perubahan profil
lipid.
Pemeriksaan penanda tumor (tumor marker)
Pemeriksaan penanda tumor antara lain adalah: PAP ( Prostatic acid phosphatase) dan
PSA (Prostate specific Antigen) yang sering berguna dalam membantu menegakkan diagnosis
karsinoma prostat, AFP ( -Feto Protein ) dan Human chorionic gonadotropin

( -HCG)

untuk mendeteksi adanya tumor testis jenis non seminoma, dan pemeriksaan VMA (Vanyl
Mandelic Acid) dalam urine untuk mendeteksi tumor neuroblastoma. Penanda tumor tersebut
hanyalah alat pembantu menegakkan diagnosis suatu keganasan yang mempunyai sensitivitas
dan spesifitas tertentu.
Analisis semen
Pemeriksaan analisis semen dikerjakan pada pasien varikokel atau infertilitas pria
untuk membantu diagnosis atau mengikuti perkembangan hasil pasca terapi atau pasca opersi
infertilitas pria. Pada analisis disebutkan tentang volume ejakulat, jumlah sperma, motilitas,
dan morfologi sperma. Di samping itu perlu dinilai kemungkinan adanya leukosit, sel-sel
darah merah, dan kadar fruktosa yang rendah untuk menilai kemungkinan terjadinya
penyakit-penyakit pada genitalia interna.
Analisis batu
Batu yang telah dikeluarkan dari saluran kemih dilakukan analisis. Kegunaan analisis
batu adalah untuk mengetahui jenis batu guna mencegah terjadinya kekambuhan di kemudian
hari. Pencegahan itu dapat berupa pengaturan diet atau pemberian obat-obatan. Yang paling
penting adalah analisis inti batu, bukannya melakukan analisis seluruh batu. Hal ini karena

19

terjadinya gangguan metabolisme yang menyebabkan timbulnya batu dimulai dari


pembentukan inti batu.
Kultur urine
Pemeriksaan kultur urine diperiksa jika ada dugaan infeksi saluran kemih. Pada pria,
urine yang diambil adalah sample urine porsi tengah (mid stream urine), pada wanita
sebaiknya diambil melalui kateterisasi, sedangkan pada bayi dapat diambil urine dari aspirasi
suprapubik atau melalui alat penampung urine. Jika didapatkan kuman di dalam urine,
dibiakkan di dalam medium tertentu untuk mencari jenis kuman dan sekaligus sensitivitas
kuman terhadap antibiotika yang diujikan.
Sitologi urine
Pemeriksaan sitiologi urine merupakan pemeriksaan sitopatologi sel-sel urotelium
yang terlepas dan terikut urine. Contoh urine sebaiknya diambil setelah pasien melaukuan
aktivitas (loncat-loncat atau lari di tempat) dengan harapan lebih banyak sel-sel urotelium
yang terlepas di dalam urine. Derajat perubahan sel-sel itu diklasifikasikan dalam 5 klas
mulai dari (1) normal, (2) sel sel yang mengalami keradangan, (3) sel-sel atipik, (4) diduga
menjadi selsel ganas, dan (5) sel-sel yang sudah mengalami perubahan morfologi menjadi sel
ganas.

Patologi Anatomi
Pemeriksaan patologi anatomik adalah pemeriksaan histopatologis yang diambil
melalui biopsi jaringan ataupun melalui operasi. Pada pemeriksaan ini dapat ditentukan suatu
jaringan normal, mengalami proses inflamasi, pertumbuhan benigna, atau terjadi
pertumbuhan maligna. Selain itu pemeriksaan ini dapat menentukan stadium patologik serta
derajat diferensiasi suatu keganasan.

20

3. Pencitraan
1. Sistografi (konvensional atau CT Scan)
Sistografi retrograde adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mendiagnosis ruptur
buli. Diagnosis ruptur buli biasanya dibuat dengan sistografi saat kontras yang diberikan
tampak berada di luar buli. Sistografi, baik konvensional dan CT Scan dilakukan saat ada
gross haematuria dan fraktur pelvis. Sistografi dapat dipakai pada kasus cedera buli non
iatrogenik dan pada kasus IBT saat operasi. Meskipun sistografi konvensional dan CT Scan
mempunyai sensitivitas dan spesifitas 90-95% dan 100%, sistografi dengan CT Scan
mempunyai keuntungan lebih dalam mendiagnosis cedera lain atau penyebab nyeri
intraabdomen. Sistografi konvensional dan CT Scan harus dilakukan dengan pengisian
material zat kontras secara retrograd yang perlahan, minimum 350 mL.2,8
Pemeriksaan sistografi konvensional minimum membutuhkan film polos, film
pengisian lengkap dan post drainase. Distensi buli yang cukup penting untuk menunjukkan
perforasi, terutama pada trauma tusuk, karena banyak false-negative pada sistografi retrograd
ditemukan pada kasus ini. Rekonstruksi 3D dengan sistografi CT Scan membantu dalam
menentukan lokasi ruptur buli, sehingga serial postdrainase tidak diperlukan. Cedera buli bisa
diidentifikasi hanya pada film post drainase pada sekitar 10 % kasus. Adanya false-negative
mungkin karena pemeriksaan yang belum baik dengan pemberian kontras 250 ml atau
kelalaian saat pengambilan film post drainase. Hanya penatalaksanaan sistografi yang benar
yang dapat dipakai untuk menegakkan cedera buli.

21

Gambar 4. Ruptur ekstraperitoneal. Ekstravasasi terlihat di luar buli dalam buli di


pelvis.
Pada ekstravasasi intraperitoneal maka medium kontras bebas akan tampak dalam
abdomen, menunjukkan loop usus dan atau menunjukkan viscera abdominal, seperti hepar.
Cedera buli ekstraperitoneal terkait dengan luas daerah dengan ekstravasasi kontras dalam
jaringan lunak perivesika.

Gambar 5. Ruptur intraperitoneal. Sistografi memperlihatkan kontras di sekitar usus.


2. Sistoskopi
Sistoskopi menyediakan 2 metode untuk memastikan cedera buli intraoperatif.
Sistokopi rutin postoperatif setelah prosedur ginekologi masih menjadi kontroversi, tapi hal
tersebut dianjurkan untuk semua prosedur dimana diduga terjadi ruptur buli. Vakili dkk

22

melaporkan bahwa 64.7% cedera buli saat histerektomi tidak diketahui sebelum sistokopi,
sehingga mereka menganjurkan penggunaan sistoskopi rutin setelah histerektomi dan semua
prosedur besar ginekologi.
Sistoskopi direkomendasikan setelah operasi minimal invasive suburethral sling
dengan rute retropubis untuk mendeteksi perforasi buli (atau uretra). Selama sistoskopi, buli
harus distensi dan harus menggunakan sistoskop optik 70 atau fleksibel untuk menginspeksi
daerah dekat leher buli. Penggunaan sistoskopi rutin untuk insersi melalui obturator masih
kontroversial dimana cedera buli jarang tetapi mungkin masih bisa terjadi. Sistoskopi setelah
prosedur mesh transvaginal disukai tapi tidak dianjurkan.
Sistoskopi dengan distensi buli cukup bisa langsung menunjukkan laserasi dan dapat
untuk mengkorelasikan lesi dengan letak trigonum dan orifisium uretra. Diduga adanya
perforasi luas bila buli tidak bisa distensi selama sistoskopi.
3.

Fase Ekskresi CT Scan atau UIV


Pengisisan buli secara pasif dengan mengklem kateter urin selama fase ekskresi saat

CT Scan atau UIV diperlukan untuk menegakkan cedera buli. Curiga cedera buli saat ada
ekstravasasi kontras selama fase ekskresi.
4. Ultrasound
Kumpulan cairan intraperitoneal dan ekstraperitoneal dapat diduga adanya perforasi.
Ultrasound saja tidak bisa digunakan dalam diagnosis trauma buli.

2.4.4 Tanda dan Gejala Klinis 6


Trauma Eksternal
Presentasi klinis ruptur buli mungkin dikaburkan oleh adanya fraktur pelvis, cedera
viseral, dan atau vaskular. Tanda cardinal cedera buli adalah adanya gross haematuria,
ditemukan pada 82-95% pasien. Adanya ruptur buli kuat berhubungan dengan kombinasi
fraktur pelvis dan adanya gross haematuria. Kombinasi klasik dari fraktur pelvis dan adanya
gross haematuria merupakan indikasi absolut untuk pemeriksaan penunjang lebih lanjut.

23

Sekitar 5-15% pasien dengan ruptur buli hanya ditemukan microhaematuria. Pada kasus
adanya gross haematuria tanpa fraktur pelvis, microhaematurie dengan fraktur pelvis dan
hanya microhaematuria, maka keputusan untuk pemeriksaan penunjang harus berdasarkan
adanya tanda dan gejala klinis.
Tanda dan gejala lain adalah abdominal tenderness (hingga 97%), retensi urin, jejas
pada regio suprapubis dan distensi abdomen (dalam kasus asites karena urin). Ekstravasasi
urin dapat menyebabkan pembengkakan di perineum, skrotum (melalui kanalis inguinalis),
sepanjang dinding depan abdomen dimana ada ruang potensial antara fasia transversalis dan
peritoneum parietal.
Pada kasus ruptur intraperitoneal, reabsorpsi ureum dan kreatinin melalui kavum
abdomen meningkatkan kadar ureum dan kreatinin tersebut. Pada trauma tembus abdomen,
luka masuk dan keluar pada abdomen bawah, perineum atau bokong harus dicurigai adanya
trauma buli.
Ruptur buli yang berat dapat disertai dengan avulsi jaringan lunak dinding abdomen
bawah dan atau perineum, seperti juga hilangnya jaringan buli karena trauma atau infeksi.
Perlu diperhatikan, dalam kasus retensio urin dan atau hematuria, harus dicurigai cedera
uretra dan uretrografi retrograd harus dilakukan untuk melihat keadaan uretra sebelum
dilakukan manipulasi terhadap uretra (mis: pemasangan kateter untuk sistografi).
Trauma Iatrogenik
1. Perioperatif : trauma buli iatrogenik eksternal
Inspeksi langsung merupakan metode yang dianjurkan untuk melihat integritas buli.
Tanda ekstravasasi urin, laserasi yang tampak, cairan jernih di lapang operasi, adanya
keteter buli dan darah atau gas di kantung urin selama laparoskopi. Dimasukkannya
methylene blue intravesika dapat membantu. Jika ada perforasi buli maka integritas
orifisium ureter harus diperiksa.
2. Perioperatif: trauma buli iatrogenik internal
Jaringan lemak, daerah antara muskulus destrusor atau tampaknya usus dicurigai
adanya perforasi. Tanda utama perforasi adalah ketidakmampuan buli untuk distensi,
cairan irigasi yang kembali sedikit, dan distensi abdomen.

24

3. Perioperatif: cedera buli yang tidak diketahui


Tanda dan gejala klinis termasuk haematuria, nyeri abdomen bawah, distensi
abdomen, ileus, peritonitis, sepsis, rembesan urin melalui luka, penurunan urin output,
dan peningkatan kadar kreatinin.
2.6. Terapi
Pada kontusio buli-buli, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk
memberikan istirahat pada buli-buli. Dengan cara ini diharapkan buli-buli sembuh setelah 710 hari.2
Trauma Eksternal 6
Trauma tumpul: ruptur ekstraperitoneal
Mayoritas pasien dengan ruptur ekstraperitoneal tanpa komplikasi bisa dimanajemen
dengan aman dengan drainase kateter saja meskipun ada ekstravasasi retroperitoneal atau
skrotal. Obstruksi kateter oleh klot atau debris harus dicegah agar proses penyembuhan
berjalan baik. Namun, bila berhubungan dengan serviks buli, adanya fragmen tulang dalam
dinding buli, adanya cedera rektum, atau jepitan dinding buli, memerlukan intervensi operasi.
Untuk mencegah infeksi dari material osteosintesis maka saat ini sering dilakukan
penjahitan ruptur ekstraperitoneal. Pada kasus dilakukannya operasi eksplorasi karena cedera
yang lain, ruptur ekstraperitoneal harus dijahit untuk mengurangi komplikasi infeksi
(terutama paravesikal abses).
Trauma tumpul: ruptur intraperitoneal
Ruptur intraperitoneal yang terjadi setelah trauma tumpul harus selalu di manajemen
dengan repair dalam pembedahan. Pertimbangannya adalah ekstravasasi urin intraperitoneal
dapat menyebabkan peritonitis, sepsis intraabdomen, dan kematian.
Organ abdominal harus diinspeksi untuk kemungkinan adanya ruptur dan bila ada
urinoma harus didrainase. Bila tidak ada cedera intraabdomen yang lain, penjahitan ruptur
intraperitoneal secara laparoskopik dapat dilakukan.
Trauma tembus
Semua ruptur buli karena trauma tembus harus dimanajemen dengan eksplorasi cito,
debridement dan devitalisasi muskulus buli, lalu dilanjutkan dengan repair buli. Sistostomi

25

eksplorasi secara midline dianjurkan untuk menginspeksi dinding buli dan ureter distal.
Cedera Buli dengan avulsi dinding abdomen bawah atau perineum dan atau hilangnya
jaringan buli.
Pada kasus ini, penutupan langsung buli yang mengalami trauma akan menyebabkan
tension dan menyebabkan iskemia dan akan merusak hasil perbaikan sebelumnya. Sehingga,
substitusi dinding buli diperlukan untuk repair defek buli seperti substitusi untuk
memperbaiki dinding abdomen bawah atau perineum. Penggunaan flap miokutaneus dengan
pedikel vastus lateralis dilaporkan pernah digunakan pada rekonstruksi buli post trauma dan
penutupan jaringan lunak untuk abdomen bawah atau perineum.
Trauma Iatrogenik 6
Penemuan ruptur intraoperatif ditutup secara primer. Pada ruptur buli yang tidak
diketahui selama pembedahan atau untuk cedera internal harus dibuat perbedaan antara
cedera intraperitoneal and ekstraperitoneal. Untuk cedera intraperitoneal, penatalaksanaan
standarnya adalah pembedahan untuk eksplorasi dan repair. Dalam kasus-kasus tertentu
(tanpa peritonitis atau ileus), manajemen konservatif dengan drainase buli kontinyu dan
pemberian antibiotik sebagai profilaksis. Sebagai tambahan dalam penatalaksanaan
konservatif, disarankan penempatan drainase, terutama apabila lesi luas. Bila pembedahan
eksplorasi dilakukan setelah TURB maka inspeksi usus dengan teliti diperlukan untuk
melihat adanya trauma penyerta.
Untuk cedera ekstraperitoneal, disarankan penatalaksanaan konservatif dengan
drainase buli dan pemberian antibiotik profilaksis. Ruptur ekstraperitoneal luas kompleks
dengan pengumpulan cairan di ekstravesikal yang simptomatis memerlukan drainase, dengan
atau tanpa penutupan ruptur.
Bila ruptur terjadi saat TURB, perbaikan intravesika segera dengan pemberian
kemoterapi jangan dilakukan. Bila ruptur buli terjadi selama sling midurethral atau prosedur
mesh transvagina, reinsersi sling, dan kateterisasi uretra harus dipasang.
2.7 Komplikasi

26

Pada ruptur buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urine ke rongga pelvis yang


dibiarkan dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan abses pelvis. Yang lebih berat
lagi adalah robekan buli-buli intraperitoneal, jika tidak segera dilakukan operasi, dapat
menimbulkan peritonitis akibat dari ekstravasasi urine pada rongga intra-peritoneum. Kedua
keadaan itu dapat menyebabkan sepsis yang dapat mengancam jiwa. 2

2.8 Rehabilitasi
Drainase buli

kontinyu postoperatif diperlukan dalam penyembuhan buli dan

mencegah peningkatan tekanan intravesikal dan disrupsi sutura. Untuk trauma eksternal dan
cedera iatrogenik eksternal, kateter buli dipertahankan selama 7-14 hari, tergantung dari
luasnya laserasi. Dianjurkan dilakukan sistografi sebelum melepaskan kateter. Bila ada
ekstravasasi kontras maka drainase kontinyu buli tetap dipertahankan selama kurang lebih
seminggu dan hingga sistografi menunjukkan tidak adanya ekstravasasi. Untuk terapi
konservatif pada cedera buli iatrogenik intra maupun ektraperitoneal, kateter dipertahankan
5-7 hari.6
2.9 Prognosis
Diagnosis yang tepat dan manajemen yang terpadu terhadap ruptur buli buli akan
memberikan hasil yang baik dengan angka morbiditas dan mortalitas minimal. Sistostomi
suprapubik dapat dilepas dalam 10 hari, dan pasien biasanya dapat miksi dengan normal.
Pasien dengan laserasi yang luas mungkin untuk sementara akan mengalami inkontinensia
namun dapat kembali normal.7

27

BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Ruptur buli-buli merupakan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan
segera karena jika tidak ditangani dengan baik maka dapat terjadi komplikasi seperti
sepsis dan peritonitis.
2. Ruptur buli-buli dapat disebabkan oleh trauma eksternal (non iatrogenik) dan trauma
iatrogenik yang terbagi menjadi trauma tumpul maupun trauma yang menembus bulibuli.
3. Ruptur buli paling banyak berkaitan dengan adanya fraktur pelvis.
4. Cardinal sign dari ruptur buli adalah adanya gross hematuria. Lalu diikuti dengan
abdominal tenderness, retensi urin, jejas pada suprapubik dan distensi abdomen pada
kasus asites urinari.
5. Diagnosa ruptur buli dilakukan dengan menggunakan pencitraan berupa sistografi
dengan menggunakan kontras.
6.
Gross hematuria yang terjadi dengan fraktur panggul dianggap sebagai indikasi
mutlak untuk sistografi retrograde untuk mengevaluasi adanya trauma buli-buli.
7. Pada trauma tumpul buli-buli yang tidak fatal, cukup dilakukan pemasangan kateter
dengan tujuan untuk memberikan istirahat pada buli-buli. Dengan cara ini diharapkan
buli-buli sembuh setelah 7-10 hari.
8. Komplikasi yang terjadi jika ruptur buli-buli tidak ditangani dengan baik adalah
terjadi peritonitis dan sepsis.

28

9. Komplikasi yang serius biasanya disebabkan oleh diagnosis yang terlambat serta
kesalahan penanganan sebagai akibat miss diagnosis dapat meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas.
10. Diagnosis yang tepat dan manajemen yang terpadu terhadap ruptur buli buli akan
memberikan hasil yang baik dengan angka morbiditas dan mortalitas minimal.

3.2. Saran
1.
2.
3.
4.

Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui dengan baik tanda ruptur buli-buli.


Penanganan ruptur buli harus sesuai dengan kondisi buli-buli.
Rehabilitasi bagi ruptur buli diperlukan untuk mengistirahatkan buli-buli.
Penegakkan diagnosa sebaiknya dilakukan secepat mungkin agar dapat dilakukan
tatalaksana yang tepat dan dapat mencegah komplikasi yang tidak diinginkan.

Anda mungkin juga menyukai