Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat membuat makalah tentang
khilafiyah.
Adapun makalah khilafiyah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan
tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan bayak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadar sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu
dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi para pembaca
yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki
makalah ini.Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah ini dapat diambil
hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.
Semarang,September 2016-09-06
Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ................................ii
BAB I PENDAHULUAN ............1

A. Latar Belakang Masalah ..........................1


B. Rumusan Masalah ....................................1

C. Tujuan Penulisan ...............1

BAB
II KHILAFIAH..................................................................3

A. Pengertian Khilafiah (Ikhtilaf)3


B. Sebab-sebab terjadinya perbedaan
pendapat......................................................................3

C. Pemahaman nash sebagai faktor timbulnya perbedaan


pendapat...............8

D. Aliran aliran dalam hukum Islam...11


E. Kesatuan mazhab dalam hukum Islam.............20

BAB III PENUTUP 22

A. Kesimpulan...............22
B. Saran.22

DAFTAR PUSTAKA ..................23

Bab I
PENDAHULUAN

A . Latar Belakang
Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan
manusia. Di antara masalah khilafiah tersebut ada yarig menyelesaikannya dengan cara yang

sangat sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan akal sehat. Akan
tetapi dibalik itu, niasalah khilafiah menjadi ganjalan untuk menjalin kehanhonisan di
kalangan umat Islam karena sifat ta'asyubiyah (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan
pertimbangan akal yang sehat. Perbedaan pendapat (masalah khilafiah dalam fiqh), dalam
lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang
melemahkan kedudukan hukum islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran
kepada orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi saw., dalam haditsnya:

Artinya:
"Perbedaan pendapat (di kalangan) uinatku adalah rahmat."
Hadits ini dapat diambil kesimpulan, bahwa orang itu bisa bebas memilih salah satu pendapat
dari beberapa pendapat, tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.
B.Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan khilafiyah?
2. Apa saja yang termasuk masalah-masalah khilafiyah ini?
3. Bagaimana cara kita bersikat dalam menghadapi masalah-masalah khilafiyah yang ada?

C . Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.

Untuk mengetahui pengertian Khilafiah.

2.

Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat.

3.

Untuk mengetahui pemahaman nash sebagai faktor timbulnya perbedaan pendapat.

4.

Untuk mengetahui aliran-aliran dalam hukum Islam.

5. Untuk mengetahui kesatuan mazhab dalam hukum Islam.

BAB II

PEMBAHASAN
Khilafiah/ikhtilaf itu sendiri merupakan term;yang diambil dari bahasa Arab yang
berarti berselisih, tidak sepaham. Sedangkan secara terminologis fiqhiyah, khilafiyah adalah
perseiisihan paham atau pendapat dikalangan para ulama fiqh sebagai hasil ijtihad untuk
mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu.
Dengan demikian, masalah khilafiah merupakan masalah ijtihad sebagai hasil dari
pemahaman terhadap sumber hukum Islam.
Masalah khilafiyah adalah masalah yang hukumnya tidak disepakati para ulama. Terkadang
ketidaksepakatan itu hanya pada tataran yang sempit, bahkan seringkali hanya perbedaan
penggunaan istilah. Tapi tidak jarang pula tataran perbedaannya luas, yaitu antara halal dan
haram.
Munculnya perbedaan pendapat tentang hukum suatu masalah sebenarnya hak para ulama
saja. Sebab mereka itulah yang punya alat dan otoritas untuk menyimpulkan sebuah hukum
agama. Kita sebagai orang awam, tentu tidak punya perangkat dan alatnya, juga tidak punya
spesifikasi yang minimal untuk melakukan pengambilan kesimpulan hukum.
Sayangnya, seringkali perbedaan pendapat itu justru dilakukan oleh mereka yang tidak punya
kapasitas keilmuwan khusus dalam istimbath hukum.
Seringkali orang yang tidak mengerti ilmu kecuali hanya sekedar bertaklid kepada seorang
tokoh, tiba-tiba dengan beraninya mencaci-maki para ulama sambil menuduh mereka ahli
bidah. Padahal dia sendiri tidak paham apa yang sedang dikatakannya.
Tidak jarang orang-orang awam itu hanya punya ilmu sebatas apa yang gurunya sampaikan,
akan tetapi seolah-olah dia berlagak seperti ulama betulan, sambil menyalahkan semua hal
yang sekiranya tidak sama dengan pendapat gurunya. Orang seperti ini tidak lain adalah
muqallid yang jahil serta tidak punya tata adab sebagai ulama.
Bahkan perlu diketahui, tidak semua orang yang pernah belajar agama, memiliki kapasitas di
bidang menarik kesimpulan hukum. Orang yang sekedar mempelajari ilmu tafsir misalnya,
tentu punya ilmu yang luas dalam masalah makna ayat-ayat Al-Quran, namun bukan berarti
dia punya kemampuan dalam menarik kesimpulan hukum. Demikian juga orang yang
mendalami ilmu kritik hadits, tentu piawai untuk menilai keshahihan suatu hadits, akan tetapi
kepiawaiannya itu bukan pada bidang metode pengambilan kesimpulan hukum. Apalagi

orang yang belajar sastra arab dan bidang tata bahasa , tentu bukan bidangnya bila harus
menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Ilmu dan metodologi dalam menarik kesimpulan hukum itu adalah ilmu yang dipelajari oleh
mereka yang belajar di fakultas syariah. Dengan berbagai disiplin ilmu pendukung seperti
ilmu fiqih sendiri sebagai dasar, ilmu ushul fiqih sebagai metodologi, ilmu mantiq sebagai
logika, ilmu qawaid fiqhiyah sebagai penunjang. Selain itu mereka pun harus memahami
ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu lughah arabiyah dengan beragam cabangnya.
Sebab tugas mereka adalah menelusuri semua dalil dan berserakan lalu membangunnya
menjadi sebuah hujjah dan menarik kesimpulan hukumnya. Jadi memang perlu memiliki
banyak cabang disiplin ilmu yang menunjang tugasnya.
Sayangnya, seringkali orang yang bukan pada kapasitasnya itu berdebat tentang masalah
yang mereka tidak menguasainya. Akibatnya mudah diterka, masalah akan semakin rumit di
tangan orang yang tidak paham.
Sebaliknya, kita bila saksikan bagaimana indahnya para ulama di masa lalu
memperbincangkan perbedaan pendapat. Tidak ada caci maki, apalagi saling ejek atau saling
tuduh ahli bidah. Sebab masing-masing sadar bahwa argumen temannya itu tidak bisa
dipatahkan begitu saja. Meski dirinya lebih yakin dengan kekuatan argemumentasi sendiri,
tapi tetap saja menaruh hormat yang tinggi kepada pendapat orang lain. Rupanya, semakin
tinggi ilmu mereka, semakin tawadhhu jiwa mereka.
Yang Termasuk Masalah Khilafiyah
Biasanya perkara yang masuk kategori khilafiyah adalah masalah furu atau cabang-cabang
agama. Adapun masalah pokok, seperti aqidah yang paling dasar, tauhid yang esensial serta
konsep ketuhanan yang fundamental, tidak pernah terjadi perbedaan pendapat.
Demikian juga dengan kerangka dasar ibadah, umumnya para ulama sepakat. Ketidaksepakatan baru muncul manakala mereka mulai memasuki wilayah teknis dan operational
yang tidak prinsipil.
Di antara sebab mengapa suatu perkara bisa menjadi masalah yang tidak disepakati
hukumnya antara lain:

Adanya ayat yang berbeda satu dengan lainnya secara zhahirnya. Sehingga
membutuhkan jalan keluar yang bisa cocok untuk keduanya. Di titik inilah para ulama
terkadang berbeda dalam mengambil jalan keluar.
Adanya perbedaan penilaian derajat suatu hadits di kalangan ahli hadits. Di mana
seorang ahli hadits menilai suatu hadits shahih, namun ahli hadits lainnya menilainy tidak
shahih. Sehingga ketika ditarik kesimpulan hukumnya, sangat bergantung dari perbedaan ahli
hadits dalam menilainya.
Adanya ayat atau hadits yang menghapus berlakunya ayat atau hadits yang pernah turun
sebelumnya. Dalam hal ini sebagaian ulama berbeda pendapat untuk menentukan mana yang
dihapus dan mana yang tidak dihapus.
Adanya perbedaan ulama dalam menetapkan mana ayat yang berlaku mujmal dan mana
yang berlaku muqayyad. Juga dalam menetapkan mana yang bersifat umum dan mana yang
bersifat khusus .
Adanya perbedaan ulama dalam menggunakan metodologi teknik pengambilan
kesimpulan hukum, setelah sumber yang disepakati. Misalnya, ada yang menerima syari
iman qablana dan ada yang tidak. Ada yang menerima istihsan dan ada juga yang tidak mau
memakainya. Dan masih banyak lagi metode lainnya seperti saddan lidzdzriah, qaulu
shahabi, istishab, qiyas dan lainnya.
Sikap terhadap masalah khilafiyah adalah:
Yakin bahwa masalah khilafiyah itu wajar dan tidak bisa dihindari terjadinya. Khilafiyah
sudah ada sejak awal mula risalah Islam pertama kali diturunkan di muka bumi.
Yakin bahwa beda pendapat itu bukan dosa, justru sebaliknya kita jadi semakin punya
khazanah yang kaya tentang ragam alur hukum.
Yakin bahwa khilafiyah itu bukan persoalan yang harus ditangani dengan sewot dan
emosi, melainkan sebuah kewajaran yang manusiawi.
Selama masih ada Quran dan sunnah, sudah pasti muncul perbedaan pendapat. Karena
sejak zaman nabi dan shahabat di mana Quran sedang turun dan hadits masih diucapkan oleh

nabi, sudah ada perbedaan pendapat di kalangan mereka. Kalau perbedaan pendapat mau
dihilangkan, maka hapus dulu Quran dan sunnah dari muka bumi.
Kita diharamkan merasa diri paling benar dengan pendapat kita. Padahal kapasitas kita
tidak pernah sampai kepada derajat ulama ahli istimbath hukum.
Kita diharamkan untuk mencaci maki ulama, apalagi sampai menuduh mereka ahli
bidah, hanya lantaran para ulama itu tidak sama pandangannya dengan apa yang kita
pikirkan.
Kita tidak bisa memaksakan manusia untuk berpendapat sesuai dengan pendapat kita
sendiri dengan menafikan, mengecilkan atau malah menghina pendapat orang lain. Tindakan
seperti ini hanya dilakukan oleh mereka yang jahil dan tak berilmu.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan beberapa hal penting yaitu :

Perlu diketahui bahwa yang penulis maksud dengan ikhtilaf di sini adalah ikhtilaf tadladl,
yaitu perbedaan pendapat yang saling menafikan (bertentangan). Di dalam ihtilaf seperti ini
yang benar hanya satu. Ada juga macam ikhtilaf yang lain, yaitu ikhtilaf tanawwu. Di dalam
ikhtilaf tanawwu semua pendapat benar, seperti :
1. Dua perkara atau perbuatan yang disyariatkan, seperti macam-macam doa iftitah, bacaan
sujud dan lainnya. Untuk bentuk seperti ini kadang-kadang salah satunya ada yang lebih
utama.
2. Dua lafazh yang berbeda tetapi mempunyai makna yang sama atau mendekati contoh surat
Al-Fatihah disebut juga dengan Ummul Kitab, aqiqah sama dengan nasikah. Kata qadla
dalam firman Allah : wa qadla rabbuka illaa tabuduu illaa iyyaahu [Al-Isra : 23]. Ibnu
Abbas berkata qadla berarti memerintahkan. Mujahid mengatakan mewasiatkan. Rabi
bin Anas mengatakan mewajibkan. Kata-kata memerintahkan, mewasiatkan dan
mewajibkan mempunyai makna yang hampir sama.
3. Dua lafazh dengan makna berbeda, tetapi tidak saling menafikan bahkan saling melengkapi
atau mencakup semua di dalamnya. Contoh kata an-naiim dalam firman Allah.
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megahmegahkan di dunia itu) [At-Takatsur : 8]. Sebagian ahli tafsir mengatakan an-naiim
bermakna keamanan, kesehatan, kecukupan dalam makanan dan minuman. Sebagian
mengatakan ringannya syariat dan sebagian lagi mengatakan nikmat pendengaran dan
penglihatan.
Dari sini jelas bahwa ikhtilaf tanawwu semuanya benar. Untuk ikhtilaf tanawwu,
tidak boleh seseorang menyalahkan salah satunya. Syaihul Islam mengatakan, Hanya
kejahilan dan kezhaliman yang menjadikan seseorang mencela salah satunya atau lebih
mengutamakan salah satunya tanpa maksud yang baik, atau tanpa ilmu atau tanpa keduanya
dan segera menyelesaikannya sehingga mereka kembali sadar akan kekeliruannya, lalu
berdamai dan bersatu dalam kebenaran.
B. Saran
Demikianlah makalah ini penulis buat untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti
ujian akhir semester pada Jurusan Pendidikan Agama Islam semester III. Apabila dalam
penulisan makalah ini terdapat kekurangan penulis meminta kepada pembaca umumnya dan
khususnya kepada bapak dosen mata kuliah Materi PAI ini untuk memberikan saran dan

kritik yang membangun untuk makalah ini. Mudah-mudahan Allah Swt senantiasa
memberkahi kita semua. Amin ya Rabbal Alamin.

DAFTAR PUSTAKA
http://nurkholisalbantani.blogspot.co.id/2012/09/khilafiah.html
http://beritaislamimasakini.com/masalah-khilafiyah-bagaimana-harusbersikap.htm

Anda mungkin juga menyukai