Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) saat ini masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat, karena ISPA merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas
terpenting khususnya pada anak. Pengertian ISPA di sini adalah infeksi yang
menyerang traktus respiratorius atas dan adneksanya hingga parenkim paru yang
berlangsung hingga 14 hari. ISPA terdiri dari rinitis, faringitis, tonsilitis, rinosinusitis,
otitis media,epiglotitis, laringotrakeobronkitis atau croup, bronkitis, bronkiolitis, dan
pneumonia (Wantania et al., 2013).
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa ISPA menjadi penyebab
kematian terbesar yang menyerang usia anak-anak.
Mortalitas dan morbiditas ISPA di Indonesia pada balita masih cukup tinggi,
karena ISPA menyebabkan kematian kurang lebih 5 per 1000 balita, dengan rata-rata
angka morbiditas sebesar 18,5 per mil. Berdasarkan kelompok umur, prevalensi
tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-35 bulan (21,4 per mil), kemudian pada
kelompok umur 36-59 bulan (18,1 per mil), dan terendah pada kelompok umur 0-11
bulan sebanyak 13.6 per mil (Riskesdas, 2013).
Di setiap tempat, angka kejadian ISPA dapat bervariasi.Hal ini berkaitan dengan
faktor risiko yang mempengaruhi perjalanan penyakit ISPA pada anak. Beberapa
faktor yang telah teridentifikasi dari penelitian terdahulu antar lain, usia, jenis kelamin,

status gizi, pemberian Air Susu Ibu (ASI), imunisasi, pendidikan ibu, status ekonomi,
pekerjaan ibudan status merokok anggota keluarga (Wantania et al., 2013).
B. Tujuan Penyusunan
1. Tujuan Umum
b. Untuk memenuhi tugas penyusunan tinjauan pustaka.
c. Untuk mengetahui penanganan kasus infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
pada anak.
1

Tujuan Khusus
Tujuan Khusus dari laporan kasus ini adalah untuk mengetahui :
a
b
c

Mengetahui penyebab dari infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada anak.
Mengetahui Tanda dan gejala infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada anak.
Mengetahui penatalaksanaan pada pasien dengan infeksi saluran pernafasan
akut (ISPA) pada anak.

BAB II

TINJAUAN TEORI

1. Definisi ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)


Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) sering disalah-artikan sebagai infeksi
saluran pernafasan atas, padahal ISPA tidak hanya meliputi saluran pernafasan
bagian atas saja tetapi juga mencakup saluran pernafasan bagian bawah, karena
ISPA merupakan terjemahan dari bahasa inggris Acute Respiratory Infection
(ARI). Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA
secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan
bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran
pernafasan (Wantania et al., 2013).
Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas
14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih
dari 14 hari. ISPA dapat didefinisikan sebagai infeksi yang menyerang traktus
respiratorius atas dan adneksanya hingga parenkim paru yang berlangsung hingga
14 hari (Wantania et al., 2013).

2. Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
3

antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus,


Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain
golongan Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma,
Herpesvirus.

Gambar 1.1 Etiologi ISPA pada anak

2. Klasifikasi ISPA
Adapun program pemberantasan ISPA di Indonesia mengklasifikasikan
ISPA sebagai berikut (Depkes RI, 1993) :
a. Pneumonia berat : ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada ke
dalam (chest indrawing).
b. Pnemonia : ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.
c. Bukan pneumonia : ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai
demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat, seperti
rinofaringitis, rhinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit saluran pernafasan
akut lainnya selain pneumonia.
4

ISPA berdasarkan letak anatominya di klasifikasikan menjadi 2 macam,


yaitu ISPA bagian atas dan ISPA bagian bawah. ISPA bagian atas adalah infeksi
primer traktus respiratorius superior diatas laring, yaitu rinitis, faringitis, tonsilitis,
rinosinusitis dan otitis media. Sedangkan ISPA bagian bawah adalah infeksi
traktus respiratorius inferior dari laring hingga ke struktur di bawahnya, yaitu
epiglotitis, laringotrakeobronkitis atau croup, bronkitis, bronkiolitis, dan
pneumonia (Wantania et al., 2013).
a

ISPA Bagian Atas


1)
2)
3)
4)

Rinitis
Faringitis
Rinosinusitis
Otitis Media
Faringitis
Istilah faringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi
akut pada faring, temasuk tonsilitis atau tonsilofaringitis yang
berlangsung hingga 14 hari. Faringitis merupakan peradangan akut
membrane mukosa faring dan struktur lain yang ada disekitarnya. Karena
berada dekat dengan tonsil dan hidung, yang terjadi jarang hanya
mengenai faring atau tonsil saja. Oleh karena itu, pengertian faringitis
mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis (Naning et al.,
2013).
Bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik sebagai
manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus
merupakan penyebab faringitis akut terbanyak terutama menyerang anak
usia di bawah 3 tahun. Virus seperti rhinovirus, adenovirus dan

parainfluenza virus dapat menyebabkan penyakit ini. (Naning et al.,


2013).
Streptokokus beta hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab
terbanyak faringitis atau tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup
15-30% penyebab faringitis akut pada anak, sedangkan pada dewasa
hanya 5-10% (Naning et al., 2013).
Diagnosis faringitis streptokokus ditegakkan apabila menemukan
gejala dan tanda biasanya dengan onset akut, mual, muntah, faring
hiperemis, demam, nyeri tenggorokan, suara serak tonsil bengkak dan
bereksudasi, kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri,
uvula bengkak dan merah, ekskoriasi hidung disertai lesi impetigo
sekunder, ruam skarlatina dan ptekie palatum mole (Naning et al., 2013).
Gejala seperti rinorea, suara serak, batuk, konjungtivitis dan daire
biasanya disebabkan oleh virus, selain itu dapat juga ditemukan ulkus di
palatum mole dan dinding faring serta eksudat di palatum dan tonsil,
namun sulit dibedakan dengan eksudat pada faringitis streptokokus.
Gejala dapat hilang dalam 24 jam, berlangsung 4-10 hari (self limiting
disease), jarang menimbulkan komplikasi dan prognosisnya baik (Naning
et al., 2013).
Gold standard diagnosis faringitis adalah dengan pemeriksaan
kultur dari apusan tenggorok yang berasal dari bagian posterior tonsil
untuk menegakkan adanya Streptococcus pyogenes, dan bagian posterior
faring. Kemudian diinokulasikan pada media agar darah domba 5% dan
piringan basitrasin diaplikasikan kemudain ditunggu selama 24 jam. Saat
ini terdapat metode yangdengan cepat mendeteksi antigen streptokokus
grup A (rapid antigen detection test). Metode ini memiliki sensitifitas dan
6

spesifitas 90% atau 95% dan hasilnya dapat diketahui dalam 10 menit,
sehingga metode ini bisa digunakan sebagai pengganti pemeriksaan
kultur (Naning et al., 2013).
Perlu dibedakan antara faringitis bakteri dan virus, agar pemberian
antibiotik menjadi tepat sasaran. Faringitis streptokokus grup A
merupakan indikasi kuat pemberian antibiotik. Pada infeksi virus
pemberian antibiotik tidak diperlukan, istirahat cukup dan pemberian
cairan yang sesuai merupakan terapi suportif yang dapat diberikan.
Pemberian gargles (obat kumur) dan lozanges (obat hisap), pada anak
yang cukup besar dapat meringankan keluhan nyeri tenggorok. Apabila
terdapat demam yang berlebihan bisa diberikan paracetamol atau
ibuprofen. (Naning et al., 2013).
Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah dilakukan secara luas,
walau dasar ilmiah tindakan ini masih belum jelas. Pengobatan dengan
edenoidektomi dan tonsilektomi telah menurun dalam 2 dekade terakhir.
Karena ukuran tonsil bukanlah indikator yang tepat untuk tindakan ini,
tonsilektomi dilakukan pada tonsilofaringitis berulang atau kronis
(Naning et al., 2013).
b

ISPA Bagian Bawah


1
2
3
4
5

Epiglotitis
Laringotrakeobronkitis
Bronkitis Akut
Bronkiolitis
Pneumonia

3. Gejala Klinis ISPA


Berikut gejala ISPA dibagi menjadi 3 antara lain sebagai berikut :
a. Gejala dari ISPA ringan

Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan


satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
1
2

Batuk
Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (pada

waktu berbicara atau menangis)


3 Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
4 Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37C
b. Gejala dari ISPA sedang
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai
gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :

1) Pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu :


a) Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per
menit atau lebih untuk umur 2-<12 bulan
b) 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan - < 5 tahun
2) Suhu tubuh lebih dari 39C
3) Tenggorokan berwarna merah
4) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak
5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
6) Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)
c. Gejala dari ISPA Berat
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai
gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejalagejala sebagai berikut :
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Bibir atau kulit membiru


Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah
Sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernafas
Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba
Tenggorokan berwarna merah

4. Patogenesis Terjadinya ISPA

Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkhus dilapisi oleh membran


mukosa bersilia, udara yang masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan
dan dilembutkan. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang
terdapat dalam hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam
membran mukosa. Gerakan silia mendorongnmembran mukosa ke posterior ke
rongga hidung dan ke arah superior menuju faring. Secara umum efek pencemaran
udara terhadap pernafasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi
lambat dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran
pernafasan akibat iritasi oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat
sehingga menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan makrofage di saluran
pernafasan. Akibat dari dua hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas
sehingga benda asing tertarik dan bakteri tidak dapat dikeluarkan dari saluran
pernafasan, hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan
(Mukono, 2008: 17).

5. Cara Penularan ISPA


Penyebaran melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda yang
telah dicemari virus dan bakteri penyebab ISPA (hand to hand transmission) dan
dapat juga ditularkan melalui udara tercemar (air borne disease) pada penderita
ISPA yang kebetulan mengandung bibit penyakit melalui sekresi berupa saliva atau
sputum.

6. Diagnosis ISPA
Gold standard diagnosis ISPA (faringitis) adakah dengan pemeriksaan
kultur dari apusan tenggorok yang berasal dari bagian posterior tonsil untuk
9

menegakkan adanya Streptococcus pyogenes, dan bagian posterior faring.


Kemudian diinokulasikan pada media agar darah domba 5% dan piringan basitrasin
diaplikasikan kemudain ditunggu selama 24 jam. Saat ini terdapat metode
yangdengan cepat mendeteksi antigen streptokokus grup A (rapid antigen detection
test). Metode ini memiliki sensitifitas dan spesifitas 90% atau 95% dan hasilnya
dapat diketahui dalam 10 menit, sehingga metode ini bisa digunakan sebagai
pengganti pemeriksaan kultur (Naning et al., 2013).
Pemeriksaan untuk rinitis, rinosinusitis dengan CT-scan, MRI atau foto
polos sinus, yang menunjukkan adanya kelainan sinus yang disebabkan karena
rinitis bukan karena infeksi sekunder bakteri.
Bila diduga terdapat epiglotitis, dapat dilakukan pemeriksaan labolatorium,
ditandai

dengan

ditemukannya

>20.000/mm3

yang

didominasi

PMN.

Pemeriksaan X-ray didapatkan ruang subglotis yang menyempit seperti menara,


yang disebut steeple sign (Kercsmar, 2010).

7. Pencegahan Penyakit ISPA


a. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Intervensi yang ditujukan bagi pencegahan faktor risiko dapat dianggap
sebagai strategi untuk mengurangi kesakitan (insiden) pneumonia. Termasuk
disini ialah :
1) Penyuluhan, berupa penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif,
penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak,
penyuluhan kesehatan lingkungan rumah, penyuluhan bahaya rokok.
2) Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka
kesakitan (insiden) ISPA.

10

3) Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin


A.
4) KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah.
5) Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani
masalah polusi di dalam maupun di luar rumah.
b. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Upaya penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan
sedini mungkin. Upaya pengobatan yang dilakukan dibedakan atas klasifikasi
ISPA yaitu :
1) Pneumonia Sangat Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi
antibiotik dengan memberikan kloramfenikol secara intramuskular setiap 6
jam. Apabila pada anak terjadi perbaikan (biasanya setelah 3-5 hari),
pemberiannya diubah menjadi kloramfenikol oral, obati demam, obati
mengi, perawatan suportif, hati-hati dengan pemberian terapi cairan, nilai
ulang dua kali sehari.
2) Pneumonia Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotic
dengan memberikan benzilpenesilin secara intramuskular setiap 6 jam
paling sedikit selama 3 hari, obati demam, obati mengi, perawatan suportif,
hati-hati pada pemberian terapi cairan, nilai ulang setiap hari.
3) Pneumonia: obati di rumah, terapi antibiotik dengan memberikan
kotrimoksasol, ampisilin, amoksilin oral, atau suntikan penisilin prokain
intramuskular per hari, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah,
obati demam, obati mengi, nilai ulang setelah 2 hari.
4) Bukan Pneumonia (batuk atau pilek): obati di rumah, terapi antibiotik
sebaiknya tidak diberikan kecuali jika penyebabnya adalah infeksi bakteri,
terapi spesifik lain (untuk batuk dan pilek), obati demam, nasihati ibu untuk
memberikan perawatan di rumah. Faringitis Streptococcus dapat diberikan :
- Antibiotik selama 10 hari : Penisilin 15-30 mg/kgBB/hari (3 kali sehari)
- Atau Ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari (4 kali sehari)
11

Atau Amoksisilin 25-50 mg/kgBB/hari (3 kali sehari)


Atau Eritromisin 30-50 mg/kgBB/hari (4 kali sehari)
Pemberian antibiotik golongan sefalosporin generasi I dan II juga dapat
memberikan efek yang sama, namun tidak diberikan karena risiko

resistensinya lebih besar.


5) Pneumonia Persisten: rawat (tetap opname), terapi antibiotik dengan
memberikan kotrimoksasol dosis tinggi untuk mengobati kemungkinan
adanya infeksi pneumokistik, perawatan suportif, penilaian ulang.
c. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada anak penderita ISPA agar tidak
bertambah parah dan mengakibatkan kematian.

8. Komplikasi
a. Akibat penyebaran langsung

: otitis media, rinosinusitis, mastoiditis,

adenitis servikal, abses retrofaringeal/parafaringeal, pneumonia.


b. Akibat penyebaran hematogen : meningitis, osteomielitis, arthritis septic,
demam rematik, glomerulonefritis).
9. Prognosis

Pada umumnya bonam bila ditangani secara adekuat.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

12

ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) bagian atas et causa bakterial


merupakan suatu infeksi saluran pernafasan dimulai dari hidung sampai sebelum
laring yang disebabkan oleh bakteri.
Penyebaran melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda yang
telah dicemari bakteri penyebab ISPA (hand to hand transmission) dan dapat juga
ditularkan melalui udara tercemar (air borne disease) pada penderita ISPA yang
kebetulan mengandung bibit penyakit melalui sekresi berupa saliva atau sputum.
Secara umum efek pencemaran udara terhadap pernafasan dapat
menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat
berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi oleh
bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan
penyempitan saluran pernafasan dan makrofage di saluran pernafasan. Akibat dari
dua hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing
tertarik dan bakteri tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal ini akan
memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (Mukono, 2008: 17).
Diagnosis

ditegakkan

dengan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik

dan

pemeriksaan penunjang. Gejala yang timbul diantaranya, serak, nyeri menelan,


batuk berdahak dengan dahak berwarna hijau, pilek, demam, tidak ada sesak, dan
tidak ada nyeri dada.
Tatalaksana pada penyakit ini harus disesuaikan etiologinya. Jika
etiologinya bakteri maka harus diberikan antibiotik, tetapi jika etiologinya virus
penggunaan antibiotik tidak diperlukan. Pada kasus ini, obat yang bisa diberikan
berupa Mukolitik : Ambroksol untuk anak 6-12 tahun tablet 30 mg 2-3 kali
sehari untuk mengencerkan dahak supaya mudah dikeluarkan, Paracetamol tablet
500 mg 3x1/2 tablet atau 10-15 mg/kgBB/x = 210-315 mg, Amoxicillin 25-50
13

mg/kgBB/hari (3 kali sehari) selama 10 hari, pemberian antibiotik golongan


sefalosporin memberikan efek yang sama, tetapi tidak diberikan karena risiko
resistensinya lebih besar.
Prognosis pada pasien dengan penyakit ini umumnya bonam jika
tatalaksana yang diberikan baik.

B. Saran
1. Bagi pasien diharapkan merubah kebiasaan makannya, dengan mengurangi
makanan

yang

berminyak

serta

mengurangi

minuman

yang

dingin,

memperbaiki imunitas dengan cara meningkatkan asupan makanan bergizi dan


menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
2. Bagi insitusi diharapkan dapat menambah koleksi buku-buku yang membahas
secara lebih mendalam mengenai penyakit ISPA.
3. Bagi petugas medis agar dapat terus meningkatkan pengetahuan serta
keterampilannya dalam hal penanganan pasien dengan penyakit ISPA.

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics. 2012. Breastfeeding and the Use of Human Milk.
Official Journal Of The American Academy Of Pediatrics. 129 : e827-e841.

14

Ariyanto, Yoedi. 2008. Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ISPA dengan Kejadian ISPA
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Citeureup Kecamatan Citeureup
Kabupaten Bogor Tahun 2008. Tesis Program Pasca Sarjana FKM UI. Depok.
Hegar, Badriul. 2010. Indonesia Menyusui. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Kercsmar, Carolyn M. 2010. Nelson Esensi Pediatri Edisi 4. Jakarta : EGC. Naning, Roni.
Triasih, Rina. Setyati, Amalia. 2013. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
Riskesdas. 2010. Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS 2010. Jakarta : Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS 2013. Jakarta : Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Sherwood, Lauralee. 2013. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem Ed. 6. Jakarta : EGC.
Wantania, Jan M. Naning, Roni. Wahani, Audrey. 2013. Buku Ajar Respirologi Anak.
Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
WHO. 2013. Ending Preventable Child Deaths from Pneumonia and Diarrhoea by 2025
The Integrated Global Action Plan For Pneumonia and Diarrhoea (GAPPD).

15

Anda mungkin juga menyukai